webnovel

44. Interested in Death

Mengawali akhir pekan dengan hati yang nyaman dan bahagia, itulah keinginan Rumi sekarang. Dia duduk bersama temannya. Sedikit lebih dekat dari waktu ke waktu. Genta banyak menunjukkan sisi yang mengejutkan. Rumi tak pernah tahu jika dia adalah tipe pemuda yang hangat dan penuh kasih sayang. Selama ini, dia hanya melihat Genta sebagai pemuda dingin yang egois. Hanya mementingkan nilai, tanpa mau ikut campur tangan dalam masalah orang lain. Namun, dia salah besar. Genta mengejutkan dirinya dari segala macam aspek. Bahkan dia membawakan gula-gula manis untuknya sekarang.

"Gue gak tahu kalau ada pameran di sini." Nata menatap ke sekitarnya. "Lebih tepatnya seperti bazar di pagi hari." Gadis itu mengimbuhkan. Duduk dengan rapi, mengapit rok pendeknya agar tak terbuka sebab angin yang berembus.

"Teman gue yang bilang. Katanya ini ada setiap satu bulan sekali. Selalu ramai dengan orang-orang." Genta menyahut. Melirik gadis cantik berkuncir kuda di sisinya. Awalnya, dia ingin mengajaknya ke tempat yang jauh lebih nyaman. Seperti dalam kafetaria misalnya. Di sana jauh lebih aman dan teduh. Tak terkena udara luar apalagi panas yang mulai menyengat. Namun, dia mulai memahami kepribadian Rumi. Gadis sederhana ini mungkin akan menolak mentah-mentah ajaknya.

"Makasih udah bawa gue ke sini. Minggu sebelumnya benar-benar pelik." Rumi mengeluh. Sekarang pandangan matanya tertuju pada gula-gula yang ia genggam. "Makasih juga gula-gulanya."

Genta mengangguk. Sekarang benar-benar menatap ke arah Rumi. "Boleh gue tanya sesuatu?" Genta menyela. Rumi yang baru saja menjilat gula-gula, menoleh padanya. Berdehem ringan, tanpa memberi jawaban kata-kata.

"Ini mungkin sedikit aneh, tapi tolong mengertilah."

Rumi menarik kedua alisnya. Sedikit aneh rasanya. Genta selalu pandai bermain kata-kata. "Katakan saja. Memangnya aku pernah berpikir aneh sama lo?" tanyanya sembari tertawa.

Genta memberikan lipatan kertas untuk Rumi. Menyodorkan pada gadis itu. Jelas-jelas aksinya mendapatkan respon yang aneh. Rumi membeku dalam sesaat. Menatap uluran tangan Genta, lalu memandang wajahnya kembali. "Apa ini?" tanya Rumi.

Genta memaksa. Sekarang menarik satu tangan Rumi untuk menerimanya.

"Bukan surat cinta kan?" kata Rumi tertawa lagi. Dia gila, lebih tepatnya mencoba untuk gila agar beban yang ada di atas pundaknya hilang.

"Buka dulu. Nanti gue jelasin."

Rumi mengangguk. Memasukkan gula-gula di sela apitan bibirnya. Jari jemarinya memilih fokus membuka lipatan kertas.

Baretta 92! Rumi pernah melihat pistol ini.

"Kenapa dengan ...." Rumi diam sejenak. "Lo mau membahas itu lagi?"

Genta menghela nafasnya. "Paman gue menemukan kejanggalan di pistol itu. Temannya adalah salah satu tim rahasia dari interpol yang ditugaskan di Indonesia. Katanya, pemilik pistol ini dicari di seluruh negara."

Rumi mengerutkan keningnya lagi. Masih tak mengerti. Genta mengoceh tanpa alasan yang jelas.

"Paman gue ingin bertemu sama lo, Rumi. Dia yang akan menjelaskan nanti." Genta terus berucap. Tak peduli Rumi yang hanya diam, memendam teka-teki di dalam ekspresi wajahnya. "Gue gak berhak menjelaskan karena gue tidak sepenuhnya mengerti. Namun, dari penjelasan yang gue terima kemarin, pemilik pistol itu adalah buronan antar negara."

Rumi diam. Hatinya tiba-tiba saja terbakar. Perutnya mulas, seakan diremas dengan hebat. Di dalam sana, ada gejolak yang luar biasa. Rumi tak bisa mendeskripsikan apa yang dia rasakan. Nyatanya, Rumi hanyalah gadis yang kikuk.

"Lo kenal siapa yang punya pistol ini? Jika iya, segera laporkan sebelum lo berada dalam bahaya. Mereka menggunakan kode ini untuk melakukan transaksi senjata api ilegal. Ini bukan sembarang Baretta 92, Rumi. Ada teknologi tersembunyi di dalamnya." Genta berucap dengan mantap. Terus mencoba untuk meyakinkan Rumi di sini.

"Paman lo ...." Rumi membuka suaranya. "Boleh gue bertemu dengannya sekarang?"

"Sekarang?" Genta mengulang. Sedikit terkejut. Tak tahu kalau Rumi akan antusias begitu.

"Hm. Gue perlu berbicara. Lo tahu ... jika pistolnya ada di rumah gue, jadi gue harus memastikan beberapa hal. Lo paham bukan apa yang gue maksudkan?"

Genta diam sejenak, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya dengan ringan. "Tentu. Gue akan mencoba telfon paman gue sekarang. Jika bisa, gue antar lo ke sana."

Rumi hanya bisa mengangguk. "Terimakasih."

... To be continued ...