Kemarin, Rani sudah bertemu Gilang. Pemuda itu memberikan rencana baru. Rani akan menghasut Shinta agar membenci Putri. Dengan begitu, hubungan Aldi dan Putri akan sulit untuk kembali bersatu. Syukur-syukur, jika Shinta juga berhasil ditaklukkan dan mau memaafkan Rani.
Oleh karena itu, ketika jadwal syutingnya kosong, Rani langsung menyambangi rumah Tiana. Menurut Gilang, wajah tulus Tiana akan sangat membantu. Pas sekali, begitu Rani tiba di halaman rumah Tiana, sahabatnya itu baru saja keluar sambil membawa ransel besar.
"Tiana, plis temenin gue ke rumahnya, Bang Aldi," bujuk Rani.
Tiana. Mengerutkan kening. "Mau apa emang ke rumah Bang Aldi?" tanyanya.
"Buat rencana baru gue sama Bang Gilang."
Rani pun menceritakan rencana mereka. Tiana refleks menghela napas berat. Dia sudah sangat lelah dengan hal-hal jahat yang dilakukan dua orang itu. Lagi pula saat ini, Tiana sedang terburu-buru. Setelah sekian lama hanya menjadi asisten pelukis terkenal, dia diberi kesempatan untuk memamerkan lukisan sendiri.
"Kalo sekarang, enggak bisa, Ran. Lo lupa, kalo pagi ini pertama kalinya lukisan gue bakal dipamerkan di galeri."
Ya, sebenarnya Tiana sudah memberikan undangan kepada Rani. Dia tentu berharap sahabat tersayang bisa berhadir dan ikut memberi dukungan. Namun, Rani bahkan sudah lupa di mana menaruh undangan itu. Sebagai anak perempuan bungsu yang dimanja, Rani berpikir dunia hanya berpusat pada dirinya.
"Cuma pameran kecil gitu aja, enggak bakal gede juga pengaruhnya. Buang-buang waktu sama energi lo aja entar. Gini aja, kerugian materi lo gue ganti deh, kalo perlu nanti gue minta Papa bikinin pameran yang lebih gede," sahut Rani congkak.
Tiana terperenyak. Dia bahkan kehilangan kata-kata untuk beberapa detik. Matanya mendadak terasa panas.
"Jadi, selama ini, nilai gue cuma begitu di mata lo? Lo cuma nganggep gue sahabat yang mau deket sama lo karena duit?" cecar Tiana dengan suara bergetar.
"Lah, emang selama ini gitu, 'kan? Orang-orang yang deketin gue, kalo cewek, demi duit, kalo cowok, ya karena gue cantik."
Tiana tak lagi kuasa menahan air mata. Dua buliran bening menuruni pipinya seiring dengan rasa sakit yang menghujam hati. Kenangan-kenangan bersama Rani membayang, menoreh luka semakin dalam.
Rani tersentak. "Lho? Lo kok nangis, sih? Kayak anak kecil aja," gerutunya.
"Jangan pernah temui gue lagi, Ran!"
"Eh? Apa maksudnya?"
"Jangan pernah temui gue lagi, sampai lo kembali jadi Rani yang gue kenal dulu. Rani yang bisa tersenyum dengan tulus. Rani yang bikin gue terpesona dengan pertunjukkan teaternya."
Tiana menyeka air matanya, lalu melangkah cepat menuju motornya. Tak lama kemudian, dia sudah pergi dengan kecepatan tinggi. Teriakan-teriakan Rani sama sekali tidak dihiraukannya.
"Ih! Napa, sih? Udah diusir Bang Aldi, malah si Tiana lagi tiba-tiba jadi baperan!" keluh Rani. Dia melirik arloji di pergelangan tangan. "Udah jam segini aja, huh! Mending gue pergi sendiri ajalah ke rumah Bang Aldi."
Rani mendengkus dan segera memasuki mobilnya. Setengah berteriak, dia meminta manajer untuk menuju rumah Aldi. Seperti biasa, sang manajer menurut tanpa protes. Dia segera menyalakan mesin dan berkendara dengan kecepatan sedang.
Akhirnya, Rani tiba di kediaman Aldi. Dia sempat-sempatnya berdandan dulu. Namun, riasan kali ini memang untuk tujuan tertentu. Pemilihan warna dan gaya dandanannya dibuat agar berkesan sederhana dan apa adanya. Rani pernah membaca artikel bahwa riasan seseorang dapat memengaruhi perasaan orang lain. Dia berharap riasan sebagai gadis polos sedikit banyak bisa memengaruhi pandangan Shinta terhadapnya.
Setelah persiapan dirasa matang, Rani keluar dari mobil dan langsung menuju teras. Dia memencet bel. Tak lama kemudian, pintu dibuka dari dalam.
Kebetulan sekali, Shinta sendiri yang membukakan pintu. Begitu melihat wajah Rani, Shinta refleks hendak menutup lagi pintu. Namun, Rani dengan cepat menahannya.
"Tunggu, Shinta! Kita perlu bicara!"
"Apa lagi, Kak?" sinis Shinta.
"Kamu udah baca berita belum?"
"Berita apa lagi, sih? Aku tuh baru nyampe rumah Subuh tadi, pengen istirahat," ketus Shinta.
"Bang Aldi lho, Shin, jadi bulan-bulanan publik lagi, gara-gara Putri," adu Rani dengan berapi-api.
Shinta seketika melotot. "Eh, Kakak Mak Lampir! Enggak tobat-tobat juga, ya, fitnah orang mulu!" bentaknya.
Rani mencoba menyabarkan hati. Dia selalu mengulangi nasihat Gilang untuk bersikap elegan dan tak mudah terpancing. Setelah berhasil menahan emosi, barulah Rani kembali angkat bicara.
"Beneran, Shin? Gara-gara dia putusin Bang Aldi, terus nyebarin kalo selama ini mereka cuma pacaran kontrak. Tuh cewek sekarang malah ngedeketin Bang Gilang. Gitu deh kalo orang miskin, enggak bisa liat duit langsung pindah haluan," cerocos Rani sambil menahan pegal. Dari tadi Shinta memang tidak mempersilakan masuk.
"Itu enggak mungkin! Suka banget sih fitnah orang!" geram Shinta.
"Ini bukan fitnah, Dek. Kakak punya bukti. Tunggu ...."
Rani mengeluarkan ponselnya. Dia membuka galeri, lalu menunjukkan foto-foto Putri dengan Gilang di tempat kerja ataupun saat makan siang di restoran. Foto tersebut diambil dengan sedemikian rupa agar tampak mesra, padahal hanya kegiatan biasa, bahkan beberapa di antaranya tidak berduaan.
"Dia mengkhianati Bang Aldi cuma karena pengen kerja di perusahaan Eyang Dirja. Katanya, Bang Aldi enggak mau bantu lewat jalur orang dalem. Ya, wajar dong Bang Aldi enggak mau bantu. Bang Aldi, kan, orangnya jujur," tambah Rani untuk memanas-manasi.
Dia tentu tidak membahas ancaman ayahnya yang ingin menggusur panti asuhan. Rani terus menambahkan bara. Gilang telah memberikan pelatihan khusus agar bisa menghasut dengan sukses. Pemuda itu bahkan sudah menyusun kata-kata yang paling tepat dan tidak bercelah.
Perlahan, ucapan Rani mulai memberi pengaruh. Shinta tampak terdiam. Rani bisa melihat tangan gadis itu terkepal kuat dan sedikit gemetaran. Dia diam-diam menyeringai, lalu menyiapkan amunisi terakhir.
"Dek, Kakak emang salah dulu itu terhasut sama Gilang buat fitnah kamu. Kakak juga banyak salah dan sempat ngomong kasar karena memang enggak suka deket-deket orang miskin. Tapi, Kakak tulus mencintai Bang Aldi. Enggak kayak lont* murahan it–"
"Pulanglah, Kak!"
"Eh? Apa?"
"Apa Kakak tuli? Pulang sana!"
"Tapi, Shinta–"
Shinta mendadak mendorong Rani. Tak ayal, Rani jatuh terduduk. Tak lama kemudian, pintu dibanting dengan keras.
"Rencana bagus apanya? Gue malah diusir, sial*n!" umpat Rani. Dia berdiri dengan susah payah, lalu meninggalkan rumah Aldi sambil menyumpah-nyumpah.
***
Sorenya, Shinta langsung pergi ke panti. Meskipun foto-foto dari Rani terlihat begitu nyata, dia masih ingin memastikan sendiri. Shinta pernah mengikuti pelatihan fotografi selama masa kuliah. Gadis itu tahu jika sudut pengambilan gambar dan pencahayaan diatur sedemikian rupa, bisa membuat foto menjadi bermakna lain.
Semesta seolah mendukung, begitu Shinta tiba di panti, Putri terlihat sedang memutar anak kunci. Dia baru saja pulang kerja. Shinta pun bergegas menghampirinya.
"Kak Putri!"
Putri berbalik. Raut wajahnya yang lelah semakin kuyu. Sementara Shinta masih di Singapura, dia terus memikirkan bagaimana harus bersikap saat mereka bertemu. Namun, keadaan itu tiba-tiba saja sudah harus dihadapi. Putri yakin Shinta sudah mengetahui kabar buruk tentang dia dan Aldi.
"Kak, aku denger Kakak udah mutusin Bang Aldi, terus nyebarin isu yang enggak-enggak, lalu malah pacaran sama Bang Gilang. Kakak juga katanya mau bantu Om Bima buat jadi penerus perusahaan ngelawan Bang Aldi," cerocos Shinta hampir tanpa jeda.
Akibatnya, dia menjadi terengah-engah. Shinta pun mengatur napas sejenak, lalu mengenggam tangan Putri. Matanya menatap dalan dengan sorot memelas.
"Jawab, Kak Putri! Bilang kalo itu enggak bener! Bilang kalo itu cuma fitnah!" cecar Shinta.
Putri menghela napas berat. Perlahan, dia melepaskan genggaman tangan Shinta, lalu tersenyum pahit.
"Maaf, Shinta. Aku dan Mas Joko memang sudah putus, juga benar aku berada di pihak Pak Bimasakti untuk membantunya menjadi penerus. Tapi, aku enggak pernah nyebar isu dan pacaran sama Gilang," jawab Putri setenang mungkin meskipun hatinya dilamun badai.
Shinta menggeleng kuat. "Kakak bohong! Enggak mungkin! Buat apa coba Kakak ngelakuin itu? Mereka itu orang-orang jahat, Kak!"
"Iya, aku tahu mereka jahat. Tapi, hanya mereka yang bisa mewujudkan tujuanku," tutur Putri dingin.
Tangannya dimasukkan ke saku, lalu dikepalkan dengan kuat. Putri berusaha keras menjaga raut wajahnya agar tak tampak sedikit pun kesedihan dari sorot mata. Dia tahu, Shinta sangat cerdas dan peka. Satu ekspresi kecil yang tersamarkan bisa saja dibaca gadis itu.
"Tujuan apa, Kak? Tujuan apa? Memangnya Bang Aldi enggak bisa bantu?" cecar Shinta
Putri lagi-lagi menghela napas berat. "Aku tidak bisa menjawabnya, Shinta. Kau bisa membenciku sepuasnya."
Satu kata maaf bernada dingin terlantun lagi dari bibir Putri sebelummasuk ke rumah dan menutup pintu. Bisa terdengar suara frustrasi Shinta memanggil-manggil namanya dari luar. Putri mencengkeram dada, lalu terduduk dan bersandar di daun pintu. Perlahan, dua buliran bening menuruni pipinya.
***