webnovel

Bagian 58

Putri terbangun dengan wajah memucat dan kening berdenyut hebat. Bajunya basah oleh keringat. Dia refleks duduk, lalu meraih gelas di nakas dan meminum isinya hingga tandas. Mimpi buruk itu kembali datang menoreh kembali luka. Perih di kakinya bahkan terasa begitu nyata. Putri mengusap wajah, menenangkan detak jantung yang tak beraturan seolah masih diburu sang paman.

"Hhh ... bagaimana bisa aku berniat melepaskan kebencian ini?" lirihnya.

Lima belas menit berlalu, Putri telah berhasil mengendalikan perasaan yang kalut. Dia mencoba berdiri pelan-pelan. Denyut di keningnya sudah mulai mereda. Jika memperturutkan hati, Putri tentu ingin menghabiskan hari itu dengan meringkuk di tempat tidur. Namun, pekerjaan di toko bunga sudah menunggu. Dia harus segera mandi dan bersiap agar tidak terlambat.

Setelah merapikan tempat tidur, Putri melangkah ke luar kamar sambil menyampirkan handuk di bahu. Namun, tinggal lima langkah lagi menuju kamar mandi, terdengar keributan dari arah luar. Suara Asih yang meninggi bersahutan dengan suara bariton serak-serak basah.

"Anda tidak bisa seperti ini! Pak Arka sudah menghibahkan tanah panti ini!"

"Kami tidak mau tahu soal itu. Kami hanya menjalankan tugas dari atasan."

"Atasan kalian itu dasar kikir! Pak Arka di alam kubur pasti sangat kecewa memiliki anak seperti dia!"

"Ibu jangan sembarangan bicara! Kami bisa saja menuntut Anda."

Putri urung ke kamar mandi. Dia yakin masalah di ruang depan bukan hanya permasalahan biasa. Putri pun segera menyusul ke teras. Benar saja, Asih tengah beradu mulut dengan pria-pria berbadan kekar dan berwajah sangar. Putri menghela napas sebelum menghampiri mereka.

"Mohon maaf, ini ada permasalahan apa, ya? Kita bisa bicarakan dengan baik-baik," tuturnya sesopan mungkin.

"Kami sudah bicara baik-baik, Mbak! Ibu ini yang ngegas duluan!" gerutu preman yang berbadan paling besar. Sepertinya, dia adalah pemimpinnya.

Asih mendelik tajam. Dia siap untuk menumpahkan amarah lagi. Putri cepat mengambil tindakan dengan membujuk sang ibu asuh agar beristirahat saja di kamar. Asih sempat menolak, tetapi bujuk rayu Putri berhasil meluluhkannya.

"Sekarang, ibu saya sudah menyerahkan urusan ini kepada saya. Jadi, apa kita bisa bicara baik-baik?"

"Oke, Mbak. Kami setuju."

"Nah, silakan bapak-bapak ini duduk dulu."

Emosi para preman sedikit mereda. Mereka pun duduk di kursi teras. Putri permisi sebentar, lalu kembali dengan nampan berisi beberapa cangkir teh. Setelah menata teh di meja, barulah dia ikut duduk.

"Jadi, ada keperluan apa sebenarnya Bapak-bapak ini ke sini? Ibu saya bukan tipe pemarah. Jika sampai semarah tadi, saya rasa ada yang salah di sini?"

"Kami ini hanya menjalankan tugas dari bos besar," sahut si kepala preman.

"Tugas? Boleh saya tahu apa tugasnya?"

Si kepala preman pun memperlihatkan surat tanah. Dia menjelaskan bahwa sertifikat tersebut adalah milik ayah bosnya dan sang bos ingin mengambil haknya. Jadi, mereka ingin panti secepatnya dikosongkan karena akan digunakan untuk keperluan usaha. Putri seketika mengerutkan kening.

"Mohon maaf, ya, Pak. Panti asuhan ini tanahnya berasal dari hibah Bapak Arka Wijaya dan sertifikat juga sudah balik nama menjadi Yayasan Cinta Kasih Ibu," tutur Putri tenang. "Jika Anda tidak percaya, saya bisa tunjukkan sertifikatnya."

Kepala preman menggeram. Dia hampir saja menggebrak meja. Namun, nyali pria berbadan besar itu seketika ciut begitu sebuah mobil mewah memasuki halaman panti. Putri bisa menebak bos si premanlah yang datang langsung.

"Sepenting apa tanah ini, sampai bosnya datang langsung?" gumam Putri dalam hati.

Tak lama kemudian, seorang pria berseragam serba hitam keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk si bos besar. Para preman kompak berdiri, lalu menghampiri mobil bos mereka dan membentuk barisan.

Selanjutnya, lelaki berperut buncit yang tak lain adalah Broto itu keluar dari mobil. Melihat wajahnya saja, Putri sudah bergidik. Dia merasakan hawa-hawa genit di sorot mata Broto. Benar saja, ketika berhadapan, si bos langsung jelalatan seperti ingin menerkam mangsa. Meskipun sangat ingin menghadiahkan sebuah tamparan, Putri tetap harus menerimanya dengan sopan demi nasib panti asuhan.

Putri mempersilakan tamu tak diundang itu duduk. Dia juga kembali membuatkan teh. Broto memperkenalkan diri dan sedikit berbasa-basi sebelum menjelaskan maksud kedatangannya, sebuah tawaran mengandung ancaman agar mengakhiri hubungan dengan Aldi. Putri pun seketika tersadar, bukan tanah panti asuhan yang diinginkan Broto, tetapi menggagalkan Aldi menjadi penerus perusahaan utama Keluarga Permana.

Broto juga punya agenda lain. Dia bermaksud membuat Aldi terpuruk dan tersisih dari perusahaan, sehingga bisa dihasut agar mau menikahi putrinya. Putri merasakan kecemburuan meluap dalam dadanya, tetapi bayangan wajah sedih anak-anak panti jika sampai terusir mampu meredakan amarah. Gadis itu tetap bisa bersikap setenang mungkin.

"Jadi, bagaimana Mbak Putri? Anda tahu, kan, meskipun sertifikat di tangan kalianlah yang asli, orang sepertiku tetap akan memenangkan kasus," desak Broto.

"Bisa berikan kami waktu berpikir?" tawar Putri.

"Tentu. Saya harap bisa mendengar kabar bahagia besok," sahut Broto sembari menyeringai jahat. Dia meraih cangkir, lalu menenggak isinya sampai habis. "Tehnya sudah habis, jadi saya permisi dulu."

Broto dan rombongannya pun meninggalkan panti. Putri seketika menghela napas berat.

***

Putri tercenung. Langit tanpa rembulan dan gemintang tampak suram. Suara guruh terdengar beberapa kali. Suasana malam yang sangat mendukung kegalauan hatinya.

Dilema menghantam, meluluhkan lantakkan pertahan hati. Tawaran Broto sama saja dengan menjatuhkan Aldi ke pelukan si sombong Rani. Jika menurutkan rasa cinta, Putri tentu tak rela. Namun, nasib panti asuhan dipertaruhkan.

"Sertifikat ganda sial*n!" umpat Putri.

Blar!

Pancaran kilat menyilaukan mata. Tak lama kemudian, terdengar Guntur yang memekakkan telinga. Orang normal pasti akan bergidik, lalu bergegas masuk ke rumah. Namun, Putri malah menikmatinya, memejamkan mata dan membiarkan embusan angin kencang menerpa wajahnya. Tiba-tiba ingatan percakapan dengan Aldi melintas di benaknya.

...

"Wah, ternyata Mas Aldi benar-benar bisa nari!"

"Sebenarnya, aku punya cita-cita menjadi penari, tapi sekarang hanya bisa dijadikan hobi."

"Karena kamu harus mengelola perusahaan, Mas?"

"Iya, perusahaan cabang saja sudah sibuk sekali, apalagi kalau kakekku meminta serah terima jabatan di perusahaan utama."

"Kenapa kamu tidak menyerah saja bersaing dengan pamanmu itu, Mas? Bukankah jadi lebih mudah untuk meraih impianmu?"

"Jika ingin perusahaan keluarga bangkrut, boleh saja aku begitu. Selama ini, Om Bima memang tampak memberikan keuntungan besar bagi perusahaan. Tapi, cara-caranya untuk mencapai itu sama dengan bom waktu yang siap meledak kapan saja."

...

Putri tersentak. Dia seketika membuka mata. Obrolan dengan Aldi tempo hari seperti membuka pikirannya. Tawaran Broto adalah jalan untuk mewujudkan dendamnya. Jika Aldi gagal menjadi penerus, perusahaan milik Dirja akan hancur. Putri menghela napas berat.

"Ck! Kenapa ada perasaan ragu? Apakah karena rasa hangat saat bersama Mas Joko, Shinta, dan Eyang Sulis mulai mengendurkan tekadku? Arggh! Sial!" gerutu Putri seraya mengacak-acak rambutnya.

Rintik hujan mulai membasahi bumi, perlahan menjadi lebat. Tempiasnya membiaskan hawa dingin. Beberapa kali suara guntur memekakkan telinga menimpali petir yang menyambar. Putri merapatkan jaketnya.

Sebenarnya, bukan rasa hangat itu yang membuat Putri semakin terjebak dilema. Keraguan muncul sejak ketahuan Sulistyawati hendak menggeledah ruang kerja Dirja. Kata-kata Sulistyawati membuatnya berpikir ulang. Sulistyawati tampak begitu yakin sang suami tak bersalah. Putri pun mengakui selama penyelidikannya, jarang sekali menemukan proyek Dirja yang merugikan rakyat kecil.

"Atau mungkin itu taktik Eyang Dirja supaya kejahatan tersamarkan?" Putri mengelus dagu. "Kematian Om Dirga juga aneh sekali. Bagaimana kalau aku salah mengira?" Dia menghela napas. "Sudahlah, lebih baik aku tidur saja lagi!" putusnya.

Putri bangkit dari kursi teras. Secara kebetulan, hujan juga telah reda. Hujan yang singkat seperti hanya lewat. Putri melemaskan otot. Namun, suara sirene pemadam kebakaran mengusik pendengaran. Tubuhnya seketika gemetar, lalu terduduk di lantai. Putri terus menutupi telinga dengan posisi meringkuk.

Putri hanya bisa terus berada di posisi yang sama. Rasa trauma mencekik tanpa ampun. Beruntung, Asih terbangun karena mendengar sirene. Dia mencoba keluar untuk memeriksa dan menemukan Putri dalam kondisi yang benar-benar buruk.

"Astaghfirullah, Putri!"

"Tunggu! Ibu sama Bapak masih di dalam!" jerit Putri histeris.

Oleh karena sudah mendengar cerita Putri tentang kematian kedua orang tuanya, Asih segera mengerti. Dia cepat mendekap Putri dan mengusap punggung gadis itu dengan lembut. Lama mereka terjebak dalam keheningan yang mencekik, hingga Putri bisa menjadi lebih tenang.

"Putri ...."

"Terima kasih, Bu. Maaf tadi aku benar-benar syok. Trauma itu belum hilang. Itu juga kenapa mobil pemadam bisa lewat padahal abis ujan," keluh Putri.

"Ya, mungkin hujannya hujan lokal. Nak. Sekarang, ayo kita masuk. Kelamaan di luar nanti masuk angin kamu."

Putri mengangguk. Asih membantunya berdiri dan memapah masuk ke rumah. Langit malam sudah tak lagi suram, kini indah dihiasi gemintang. Hujan yang tampak lewat saja tadi telah membawa pergi awan kelabu. Seperti sirene mobil pemadam kebarakan yang telah membebaskan hati Putri dari dilema. Satu keyakinan untuk membalas dendam kembali terpatri. Dia sudah tahu jawaban apa yang harus diberikan kepada Broto.

***