["Sekitar 10 menit lagi, gue nyampe."]
Paijo membaca lagi pesan yang dikirimkan Aldi 5 menit yang lalu. Dia duduk berdiri berulang dan menggaruk kepala. Rambut hitam sedikit kecokelatannya menjadi kusut.
Paijo memang sudah tidak lagi mengecat pirang rambutnya sesuai permintaan Aldi. Meskipun merasa kekerenannya berkurang, dia berusaha percaya dengan pendapat Aldi. Walau bagaimanapun popularitas sahabanya itu sebagai cowok idola bisa dijadikan jaminan.
"Rapi bener lu, Jo. Mau ke mana dah? Bukannya ngurusin kape atau bantuin Emak," sindir Romlah yang hendak menuju warung makan sambil membawa keranjang besar.
"Mau ke tukang cukur, Mak. Aldi bilang model rambut ini kagak cocok. Dia juga yang minta jangan nyemir rambut pirang lagi. Katanya, anak emak ini jadi mirip preman jalanan."
"Alhamdulillah! Emak mesti kasih Aldi kue yang banyak entar. Alhamdulillah, dia bikin lu sadar dari kesurupan genderwo, Jo."
"Emak apaan dah? Kerasukan genderuwo apanya?"
"Itu rambut pirang kayak bule padahal kagak cocok sama muka lu, malah jadi mirip genderuwo."
"Jahat Emak ah!"
"Emak pan cuman juju–"
Perdebatan ibu dan anak terhenti. Aldi berdiri di depan pintu dengan kening berkerut. Romlah langsung menghampirinya, menarik dengan lembut.
"Ayo masuk, Nak Aldi! Ayo masuk! Duduk dulu, Encing bikinkan kopi."
"Enggak usah repot-repot, Tante."
"Repot apanya? Kagak repot kalo buat penyelamat anak Encing," cerocos Romlah sembari menepuk-nepuk punggung Aldi.
Aldi meringis. Ternyata, tenaga ibunya Paijo cukup besar. Mantan juara silat memang tidak bisa diremehkan. Untunglah, wanita paruh baya itu segera pergi ke dapur.
"Sejak kapan gue jadi penyelamat lo, Jo?" bisik Aldi ketika Romlah benar-benar sudah pergi.
"Emak gue senang soalnya gue udah gak pirang lagi. Jadi, Emak selama ini ngira gue kerasukan genderuwo.
"Pptttt bhaaa ha ha hujatan emak lo lebih sadis dari gue rupanya."
"Jahat bener dah lo."
"Maaf, maaf, tapi sebentar lagi juga lo bakal ngucapin selamat tinggal sama versi genderuwo kok."
"Ya, ya, makasih udah bantuin gue."
Obrolan Paijo dan Aldi terhenti. Romlah sudah kembali dengan nampan berisi dua cangkir kopi dan sepiring pisang goreng. Dia menatanya di meja, juga mempersilakan Aldi untuk menikmati hidangan.
"Encing makasih sama Nak Aldi. Anak Encing sudah tobat jadi genderuwo."
"Justru Paijo sudah banyak sekali membantu saya, Tan. Kalo tidak ada Paijo, mungkin saya harus pindah kampus dulu."
"Lho, memangnya kenapa Nak Al?
Aldi pun menceritakan kisah kelam di masa kuliah akibat perbuatan Rani. Romlah terbawa emosi sampai menggebrak meja. Paijo sangat kaget dan terjungkal dari sofa. Akhirnya, mereka malah asyik mengobrol. Untunglah, Aldi teringat waktu sudah lewat 1 jam dari perjanjian awal.
"Anu, Tante, saya minta maaf kurang sopan," tuturnya hati-hati.
"Iya, kenapa, Nak?"
"Apa kami sudah boleh pergi ke tukang cukur?"
Romlah menepuk kening. "Aduh, maaf! Encing malah menahan kalian di sini. Ayo, ayo, silakan pergi aje! Encing izinin pasti."
"Kalo begitu, kami pamit, Tante."
"Oh iya, iya, silakan."
Aldi dan Paijo kompak berdiri dari sofa. Mereka bergegas pergi setelah mencium tangan Romlah. Waktu hanya tersisa 7 jam lagi, belum ditambah kemungkinan macet atau antrian di barbershop.
***
Mobil Aldi memasuki halaman barbershop. Sudah ada beberapa kendaraan lain terparkir di sana. Aldi segera mengajak Paijo keluar dari mobil. Namun, sahabatnya itu malah bengong.
"Jo? Paijo?"
"Gue gugup, Al."
"Ayo cepat! Mumpung antriannya belum banyak," tegur Aldi.
"Iya, gue napas dulu bentar."
Paijo menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Aldi keluar dari mobil sambil menggeleng pelan. Dia mendelik saat Paijo masih saja senam pernapasan. Pasalnya, ada satu lagi mobil yang datang. Kalau berleha-leha, antrian mereka akan semakin mundur.
"Jo ...."
"Iya, Bos, siap!"
Akhirnya, Paijo keluar juga dari mobil. Aldi menariknya cepat memasuki barbershop. Sudah ada lima pelanggan di dalam, tiga orang sudah dalam proses pencukuran dan dua lainnya menunggu di kursi panjang yang empuk. Aldi segera mengambil nomor antrian.
"Untunglah, antriannya tidak panjang. Ayo kita duduk dulu," ajaknya.
Paijo tidak lagi banyak gaya. Dia mengekori Aldi dengan patuh. Mereka duduk di bangku tunggu sembari mengobrol ringan, hingga giliran Paijo tiba.
"Mau style seperti apa, Bro?" tanya sang barber begitu Paijo duduk di kursi cukur.
"Menurut Abang bagusnya gimana?" Aldi yang menyahut.
Barber mengelus dagu, lalu mengangguk-angguk. Tak lama kemudian, tangannya bergerak gesit menggarap rambut Paijo. Bersamaan dengan helaian rambut yang jatuh ke lantai, tekad dalam hati Paijo semakin menguat. Namun, dia juga sangat gugup, sehingga memejamkan mata selama proses pencukuran selesai.
"Al ... ini beneran gue?" gumam Paijo tak percaya saat melihat bayangan wajahnya di cermin.
"Bukan lo, tapi artis ibukota," ledek Aldi.
"Jiah, gue serius malah ngaco lo ah."
Aldi tergelak.
"Sekarang, lo percaya kata-kata gue, 'kan? Lo gak kalah dari Gilang. Habis ini kita cari lagi outfit yang cocok."
Paijo mengangguk. Dia bangkit dari kursi dan berterima kasih kepada barber. Mereka pun meninggalkan barbershop setelah membayar tagihan.
Selanjutnya, Aldi mengajak pergi menuju pusat perbelanjaan. Paijo sedikit canggung karena menjadi pusat perhatian. Penampilan barunya rupanya mampu membuat beberapa gadis mengalihkan pandangan.
"Coba ini, Jo," cetus Aldi membuyarkan lamunan Paijo.
Paijo menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Masa baju ini, Al? Kayaknya gak cocok ke gue. Ini bajunya model-model papan atas."
Aldi mendelik.
"Iya, iya, gue coba!"
Akhirnya, Paijo mencoba kemeja yang diperoleh pilihkan Aldi. Dia tercengang saat melihat cermin di kamar pas. Kemeja kekinian itu tampak melekat pas di tubuhnya. Paijo dengan heboh keluar dari kamar pas.
"Al, aneh banget! Kok cocok!" serunya saat berada di hadapan Aldi.
"Cocoklah. Meskipun lo enggak pernah latihan, tapi punya rangka badan yang bagus. Pundak lo lebar dan kokoh dan baju ini lebih menonjolkan kelebihan itu. Kalo lo latihan otot bakal lebih keren lagi," jelas Aldi.
Paijo mengangguk-angguk polos. Aldi terus memberikan beberapa lembar pakaian untuk dicoba. Mereka selesai berbelanja tepat pukul 1 siang, lalu lanjut ke kafe Paijo untuk makan siang.
***
Tyas duduk di taman kota dengan jantung berdebar. Kemarin, dia membuat janji temu dengan Paijo. Ada firasat kuat pemuda itu akan menyatakan perasaan. Tyas menjadi gugup sekaligus bahagia jika memikirkannya.
Meskipun sejak dulu-dulu Paijo sering menyatakan cinta, kini semua telah berbeda. Tyas sudah mengakui perasaannya setelah insiden Gilang dan es jeruk. Saat melihat Paijo terkapar tak berdaya, dia merasakan dunia runtuh, bahkan wajah tampan Gilang langsung kehilangan pesonanya.
"Dek!"
Tepukan di bahu membuat Tyas berbalik. Dia tersentak dan langsung bersikap waspada. Seorang pemuda tampan dan gagah berdiri tegap sembari tersenyum malu-malu. Namun, Tyas tak menangkap senyum malu-malu itu, malah melihatnya seperti seringaian jahat. Dia memang sedikit trauma dengan lelaki tampan gara-gara kekurangajaran Gilang.
"Dek, kamu baik-baik aja?" tanya si pemuda cemas. Dia tanpa sadar memegang tangan Tyas.
Tyas pun menjadi histeris. "Kyaaa! Lepasin saya! Lepasin saya!"
Buk! Buk! Buk!
Pemuda yang tak lain Paijo itu pun dihantam dengan tas. Bunga yang tadinya akan digunakan sebagai pemanis pernyataan cinta jatuh ke tanah. Sementara Paijo terpaksa berjongkok sambil melindungi kepala. Aldi yang tengah mengintip untuk memastikan keberhasilan temannya susah payah menahan tawa.
"Ampun, Tyas! Ampun, Tyas!" seru Paijo.
"Anda ini kurang ajar sekali, ya! Kenal enggak, pegang-pegang sembarangan!" bentak Tyas setelah puas memukul.
"Tyas, ini Abang. Ini Abang Paijo!"
"Hah?"
Tyas memicingkan mata. Namun, berkali-kali dilihat pemuda di depannya jauh lebih tampan. Dia tentu tak bisa percaya begitu saja. Namun, suara yang mirip membuat Tyas melonggarkan kewaspadaannya.
"Beneran Bang Paijo? Tapi, kok, beda?"
"Beneranlah, Tyas. Nih liat."
Paijo menggulung lengan kemejanya. Ada tanda lahir khas di bagian siku. Barulah, Tyas bisa percaya.
"Ke-ke-napa Abang jadi berubah ganteng?" tanya Tyas dengan terbata.
"Temen Abang bantu biar keliatan keren. Dia bilang model rambut sama gaya baju Abang selama ini kurang cocok," jelas Paijo sambil mengusap pipinya yang perih karena dihantam dengan tas.
"Oh ...." Wajah Tyas mendadak memerah karena teringat sudah memukuli Paijo. "Tadi, maaf Bang sudah mukul ...."
"Enggak papa, Tyas. Abang baik-baik aja kok." Namun, wajah Paijo berubah sendu. "Tapi, bunganya gak baik-baik aja," gumamnya sambil melirik buket bunga mawar merah yang telah kotor.
"Tyas enggak perlu mawar, Bang. Soalnya, hati Abang jauh lebih indah dari mawar itu," gumam Tyas lirih, tetapi cukup keras untuk didengar Paijo.
"Eh? Maksud kamu ... berarti cinta Abang di terima nih!" seru Paijo dengan jantung berdebar kencang.
Tyas mengangguk malu-malu. Paijo melompat-lompat kegirangan. Dia bahkan menari-nari dengan konyol.
"Aldi, thank you, Bro! Cinta gue diterima! Cinta gue diterima!" teriaknya heboh.
"Udah, Bang, udah, malu diliatin orang," tegur Tyas.
Untunglah, Paijo menurut. Tyas mengajak duduk di bangku taman. Mereka pun mengobrol dengan canggung, sembari sesekali saling melirik, lalu memalingkan wajah dengan pipi merona. Cinta memang bisa mengubah keadaan dengan cepat. Tyas yang biasanya bar-bar kepada Paijo mendadak menjadi gadis pemalu.
Sementara itu, melihat keberhasilan dan kebahagiaan Paijo, Aldi yang mengawasi di kejauhan mengembuskan napas lega. Namun, baru saja merasa tenang, pesan masuk dari sekretarisnya. Dia membukanya dan seketika merasa geram. Ya, pesan tersebut berisi link berita dengan judul-judul kontroversial.
Benarkah Mantan Pacar Maharani Prameswari dijebak oleh Wanita Malam?
Jebakan si Wanita Penggoda menjerat CEO PT. Karya Abadi
Video Full Kejadian Asli di Hotel Mentari Pagi, Sang CEO Ternyata Diancam
Aldi segera menghubungi Putri.
***