Sementara Shinta mengawasi dengan tatapan sinis, Rani tampak kegirangan. Sesekali dia melirik Aldi, lalu tersenyum malu-malu. Aldi sendiri tak terlalu peduli, malah sibuk membalas pesan dari relasi bisnis dan memeriksa email. Beberapa dokumen penting baru saja dikirimkan oleh mata-mata di bagian keuangan, bukti-bukti yang dapat menjatuhkan si biang masalah dan beban perusahaan, direktur keuangan.
"Makasih, ya, Bang," celetuk Rani setelah menahan kekesalan karena diacuhkan selama 5 menit.
"Hmm," sahut Aldi bahkan tanpa menoleh.
Namun, Rani tak ingin menyerah. "Makasih lho Abang udah mau bantuin Rani. Semoga aja habis ini Bang Zain mundur," celotehnya.
"Ya."
Rani hendak bicara lagi, tetapi orang yang mereka tunggu telah tiba. Pemuda tampan bertubuh atletis memasuki restoran dan menuju ke meja mereka. Dialah Zain. Garis wajahnya tegas sangat serasi dengan sorot mata setajam elang dan alis tebal. Zain tak kalah tampan dari Aldi. Namun, selera tiap orang memang berbeda-beda. Rani yang seorang pecinta K-Pop lebih menyukai tipikal wajah-wajah oriental tampan sekaligus cantik.
"Maaf, ya, Ran. Syutingnya sempat molor, gue jadi telat," ucap Zain. Dia menarik kursi yang berhadapan dengan Rani, lalu duduk di atasnya. "Seperti biasa, lu cantiknya kelewatan," rayunya.
Rani mengepalkan tangan. Dia sama sekali tidak marah dengan rayuan Zain, bahkan sejak dulu menikmati pujian yang tertuju kepadanya. Rani justru dongkol dengan sikap tak acuh Aldi.
"Ini pacar lo yang bikin gue harus patah hati?" tanya Zain blak-blakan.
"Iya, Bang," sahut Rani dengan gaya sok polos.
Zain mengamati wajah Aldi sambil mengelus dagunya yang ditumbuhi jenggot tipis. "Hmm mirip-mirip lah artis Korea yang lo suka. Jangan-jangan lo terima cuman karena mirip idol doang lagi," sindirnya.
Sayangnya, Aldi sama sekali tidak tersinggung. Dia membalas tatapan tajam Zain dengan sorot mata dingin dan wajah hampir tanpa ekspresi.
"Mungkin saja itu benar. Saya sarankan Anda operasi plastik jika ingin dilirik sedikit saja oleh Rani," balasnya. Aldi tersenyum sinis. "Tapi, tentu saja tidak akan sama dengan yang asli."
Zain tergelak. "Ya, ya, itu benar. Mungkin gue emang harus nyerah. Udah, udah, jangan kelewat serius. Mending kita pesan makanannya, gue lapar beudh."
Akhirnya, mereka memesan makanan. Secara kebetulan, Aldi dan Zain memesan makanan dan minuman yang sama. Zain kembali tergelak. Dia tak lagi menyebalkan dan antusias menceritakan banyak hal. Ternyata, mereka memiliki selera yang mirip kecuali untuk tipe gadis idaman. Bahkan, Zain juga sangat tertarik dengan kebudayaan tradisional.
Aldi yang semula sibuk dengan pekerjaan menyambut hangat obrolan dengan Zain. Mereka masih asyik berbincang bahkan ketika makanan di meja sudah habis. Rani hanya bisa menahan kedongkolan hati sembari tersenyum manis. Sesekali dia ikut bicara meskipun tidak menyambung. Hampir saja Shinta yang menguntit tak bisa menahan tawa melihat kejadian itu.
Sementara dua pria asyik mengobrol, Rani menggerutu dalam hati, "Sial*n, harusnya mereka saling berebut gue! Lah, kok, malah asik sendiri! Mana manajer gue udah nyebar isu biar wartawan datang ke sini. Kalo begini bisa-bisa nih dua orang yang bakal dianggap gey. Dasar dudul banget, sih, Bang Aldi!"
Dia melirik ke meja nomor 11, 6, dan, 17. Di sanalah para wartawan itu berada. Rani berpikir keras bagaimana caranya agar isi yang beredar tentang dua pria tampan memperebutkan dirinya.
Belum selesai berpikir, lagu berbahasa Korea tiba-tiba terdengar. Rani tersentak. Nada dering itu berasal dari ponselnya. Dia pun meminta izin untuk menerima panggilan sembari merogoh isi tas.
Rani tersentak. Dia merasakan ada sesuatu yang berbulu dalam tas. Rani menelan ludah sembari mengeluarkan benda tersebut.
"Kyaaa! Tolong! Tolong!"
Rani melempar tikus mainan di tangannya, langsung masuk ke mangkuk sup Zain. Dia terus menjerit-jerit histeris. Aldi hanya mengerutkan kening, sementara Zain berusaha menenangkan gadis itu.
Brak!
Terlambat. Rani tak sadarkan diri dan ambruk ke lantai yang dingin. Para wartawan tentu tak akan melewatkan momen tersebut. Jepretan kamera menghujani gadis itu. Zain cepat-cepat melakukan pengamanan. Dia juga menelepon manajer Rani.
Untunglah, manajer Rani tiba tepat waktu. Wanita bertubuh kurus tinggi dengan cekatan menangani permasalahan. Pertama, dia meminta pengawal pribadi untuk mengamankan Rani dari lokasi. Selanjutnya, sang manajer menutup mulut para saksi mata termasuk wartawan agar berita yang menyebar tidak menjatuhkan nama baik Rani.
Uang yang digelontorkan tidak sedikit. Kini, Aldi mengerti kenapa Broto tak habis-habisnya menambah kekayaan dengan cara kotor. Ternyata, selain menutupi aib putra pertamanya yang tukang selingkuh, uangnya juga digunakan untuk terus menjaga image Rani
Akhirnya, restoran sudah terkendali. Zain permisi pulang, tetapi malah dikejar wartawan. Sementara Aldi tak sengaja melihat ke meja di mana adiknya dan Rama berada. Dia pun menatap tajam Shinta.
"Shinta, ikut Abang! Kita perlu bicara!" tegasnya.
"Tapi, Bang–"
"Ikut!"
"Iya, Bang."
Shinta menghela napas. Dia memberi isyarat kepada Rama untuk mengembalikan mobil sewaan ke tempat rental.
"Jadi, sejak kapan adik Abang berubah hingga melakukan hal tak bermartabat seperti tadi?" cecar Aldi begitu mereka berada dalam mobil.
"Aku, kan, udah bilang, Bang. Kak Rani itu jahat! Aku enggak suka!"
"Tapi, kenyataannya kamu yang sudah berbuat jahat!"
"Abang tuh enggak ngerti!"
"Iya, Abang gak ngerti kenapa adek Abang yang membanggakan bisa menjadi mengecewakan!"
Shinta tak lagi menyahut. Wajahnya benar-benar masam. Aldi mendecakkan lidah. Dia tahu sang adik dalam mode mengambek dan biasanya akan bertahan selama beberapa hari.
"Renungkan baik-baik kesalahnmu, Shinta. Jangan sampai buat masalah lebih dari ini!" tegas Aldi sebelum menyalakan mesin mobil.
Mereka pun meninggalkan restoran.
***
"Jadi, gitu deh, Kak. Sebel banget aku tuh. Masa Abang aku malah belain dia," cerocos Shinta.
Setelah latihan menari, dia langsung curhat soal kejadian dengan Rani di restoran. Putri mengangguk-angguk, lalu mengelus dagu. Wajahnya terlihat sangat serius, membuat Shinta menjadi tegang.
"Kalo gitu, sih, kamu yang salah," komentar Putri setelah terdiam lama.
Wajah Shinta seketika berubah masam. "Ih, Kakak kok ikutan belain dia!" keluhnya.
"Bukan begitu maksudku, Shinta."
Putri terkekeh. Dia mencubit ujung hidung Shinta dengan gemas. Putri tidak mungkin mendadak menjadi peri baik hati dan pemaaf. Penghinaan Rani terhadap kesenian tradisional masih meninggalkan dendam di hatinya.
"Lalu, maksud Kak Putri apa coba? Tadi, bukannya Kakak bilang aku salah?" cecar Shinta.
"Maksudku, kamu salah strategi," sahut Putri. Dia menyeringai, lalu menyodorkan ponsel. "Coba kamu lihat video ini," pintanya.
Shinta mengerutkan kening. Dia mengambil ponsel Putri dan menonton sebuah video. Matanya seketika membulat lebar.
"Kak, ini ...."
Shinta kehilangan kata-kata. Video yang diperlihatkan Putri adalah hasil rekaman Tyas saat mereka bertengkar dengan Rani di taman. Suara Rani yang menghina dan merendahkan orang lain terdengar dengan jelas. Putri tersenyum manis, tetapi terasa mengandung duri.
"Bagaimana, Shinta? Videonya sangat bagus bukan? Selama ini, kamu fokus mengisengi gadis itu. Akhirnya, image kamu yang jadi jelek."
Putri menyeringai nakal.
"Bukankah lebih baik kamu membuktikan kejahatan si sombong itu? Orang yang licik jangan dihadapi dengan bar-bar. Kamu justru harus lebih licik. Selain itu, untuk menambah bukti kamu ...."
Putri mendekatkan bibirnya ke telinga Shinta. Dia membisikkan sesuatu. Wajah Shinta berubah cerah dan bersemangat.
"Terima kasih, Kak Putri. Pokoknya, aku bakal lebih licik dari dia!" seru Shinta antusias.
"Sama-sama, Anak Manis," sahut Putri seraya mencubit pipi Shinta dengan gemas.
Selanjutnya, mereka tak lagi membahas Rani. Keduanya kembali terhanyut dalam obrolan tentang tari tradisional yang dipelajari hari itu. Namun, Shinta tiba-tiba menepuk kening.
"Oh iya, Kak! Hampir kelupaan nih!" Shinta mengeluarkan undangan ulang tahun dan menyodorkannya kepada Putri. "Nanti datang, ya, Kak."
"Wah, makasih udah diundang. Kakak boleh bawa temen? Si Tyas biasanya suka nih pergi pesta begini."
"Boleh dong, Kak. Bawa semua ibu sama anak di sini juga boleh. Bang Paijo sekalian diajak juga."
Putri tergelak. "Itu mau hadir ke pesta ulang tahun apa gotong royong ngabisin makanan?"
"Enggak papa dong. Anak-anak di sini, kan, temen aku juga, Kak," sahut Shinta.
"Ya, ya, nanti kita liat pas hari-H. Sekali lagi makasih lho diundang."
"Sama-sama, Kak."
Putri pun menyimpan undangannya. Ketika mereka hendak mengobrol lagi, jemputan Shinta sudah datang. Gadis itu pun pamit pulang setelah mencium punggung tangan Putri.
***