Dika tersenyum kecil, lalu berkata. "Emang kenapa? Ada gitu yang nglarang?"
"Ya... nggak ada si. Tapi kan aneh aja. Gak mungkin gitu. Orang-orang pendiam kayak aku, yang taunya cuma buku tiba-tiba pegang microphone dan jadi pembawa upacara atau pembaca doa. Bukannya aneh?"
"Emang kamu pengin jadi pembawa acara, Nad?"
Nadya menggeleng.
"Trus?"
"Aku kesel aja liat temenku ngeluh. Kenapa dia gak kayak siswi lain yang bisa bicara depan umum. Tapi pas aku bilang mustahil orang yang dicap pendiam jadi publik speaker. Dia sepertinya marah."
"Lagian kamu...," ucap Dika.
"Emang aku salah ya, Dik?"
"Ehmm, gimana ya. Mungkin kamu berusaha jujur. Apa adanya. Tapi ya jangan gitu juga. Temen yang bilang begitu, berarti dalam dirinya kemungkinan ada rahasia."
"Rahasia? Maksudnya?"
"Coba besok kamu minta maaf dan deketin pelan-pelan deh. Biar dia cerita, kenapa pengin bersuara depan banyak orang. Nanti kamu bakal ngerti sendiri jawabannya." Nasihat Dika.
"Gitu, ya? Tapi aku gak yakin... dia kayaknya kesel banget. Aku baru pernah liat ekspresi seperti tadi. Aku bingung, Dik."
"Ini masalah yang dari dulu kamu gak berubah."
"Hum?"
"Selalu pesimis sebelum mencoba. Jangan gitu, Nad. Kalau niat kamu baik, besok coba ajak bicara aja. Pasti bakal redain emosinya. Ok? Yuk, pulang! Sudah sore."
Nadya mengangguk. "Makasih ya, Dik."
Dika membentuk lingkaran dari ibu jari dan telunjuknya, seraya berkata. "Ok, Peri Puisi!"
"Apaan?"
"Mulai sekarang, aku panggil Peri Puisi."
"Hah? Kenapa?"
"Kamu kan suka puisi. Kamu lupa, ya? Puisi sendiri seperti Ibu dari suara. Kamu mungkin selama ini gapernah menyuarakan puisimu. Tapi lewat menulis puisipun, sebenernya itulah suaramu. Ia bisa menjadi obat bagi siapa yang membacanya. Kayak peri dalam wujud lain."
"Hah? Apaan si, Dik?"
"Heh! Wahu! Tunggu!"
"Wahyu?" Nadya terheran.
"Tungguin napa. Gue ikut bareng pulang sama lo, ya? Motor gue mogok."
"Ok, Rak!"
"Eh, kamu bukannya cewe yang kemarin di perpus?"
Nadya hanya mengangguk. "Jadi ini temen lo, Rak?" "Iya, dia sahabat gue sejak kecil. Nadya namanya." "Ouh, Nadya. Kenalin, aku Raka. Temennya Wahyu."
"Wahyu?" Nadya makin bingung.
"Iya. Dika Wahyu Himawan. Awalnya si biasa manggil Dika. Tapi karena dia sempat minta dipanggil Wahyu, jadi gue panggil dia Wahyu deh," tutur Raka.
"Jelek, ya? Buat becandaan aja, sih. Tetap panggil Dika aja lebih ok."
"Ish, pake curhat, udah gausah dengerin, Nad," sangkal Dika.
"Eh, udah dulu, ya. Gue sama Dika mau pulang. Hati-hati, Nady." Ucap Raka.
"Duluan ya, Nad. Hati-hati."
"Oh, ya. Tetaplah bersuara! Jangan pesimis lagi!" Ucapnya sambil sedikit berteriak. Berlalu pergi meninggalkan Nadya.
Nadya mengangguk. Seraya tersenyum. "Ibu dari suara? Peri puisi? Ada-ada aja kamu, Dik." Gumam Nadya seraya tersenyum.
Nadya tergugah karena ucapan Dika. "Ibu dari suara? Peri puisi? Tetaplah bersuara?"
"Apa dengan aku coba menyuarakan puisi, akan terdengar berbeda?"
Jemari Nadya mencari aplikasi perekam suara. Ragu-ragu jemari ini akan membukanya. Tapi perasaan dan penasaran kian beradu begitu saja.
"Apa aku coba rekam sendiri suaraku?"
Nadya mengambil salah satu puisi yang telah dia buat. Ia pilih yang menurutnta itu yang terbaik. Setidaknya, versinya sendiri.
"Ehm, susah juga." Nadya hapus rekaman pertamanya.
Klik
Rekaman suara kedua. Beberapa detik merekam, tapi langsung berantakan.
"Ternyata gak semudah yang aku kira. Heuh."
"Ok, coba lagi." Nadya kian bertekad diri.
"Ish, susahnya... ," keluhnya.
"Ribet!!" Nadya kesal sendiri.
Nadya ambil napas panjang. Seraya mengucap bismillah.
Klik
Beberapa menit kemudian, baru kerekam semua.
"Akhirnya... kerekam juga."
"Ah, coba aku edit juga biar jadi video, ah. Tau deh mau jelek atau nggak."
Tangannya sekarang kembali menyari aplikasi edit video.
"Ah, mana ya?"
"Nah, ini!"
Beberapa menit kemudian, selesai. Nadya mengeditnya sederhana begitu saja. Hanya memasukkan satu gambar, lalu rekaman suaranya.
"Akhirnya... jadi. Upload nggak ya?"
Beberapa detik kemudian, Nadya memutuskan menguploadnya di whatsapp story.
Berbagai komentar kian memenuhi notifikasi ponselnya.
"Suara jelek aja direkam segala! Jelek ya jelek!"
"Malu-maluin! Itu suara atau bunyi apaaan?!
Berbagai cemoohan tak membuat senyumnya kendur. Namun, adapula yang membuatnya merasa berharga.
"Waaah, ini mah keren banget."
"Luar biasa, Laras. Bakat nih."
Namun, Nadya tetap merasa tak begitu nyaman dengannya. Meskipun pujian melayang padanya. Apakah memang aku tak cocok jadi peri puisi? Atau, memang aku terlahir sama seperti Laras? Mencoba bersuara tapi sungguh sulit itu adanya. Mencoba bersuara, tapi semesta seakan menyuruh diam saja.
Seketika Nadya merasa kian bersalah. "Seperti inikah perasaanmu tadi siang, Ras? Merasa sakit dan tak dipedulikan dalam satu waktu. Aku keterlaluan kah, Ras?" Nadya tutup semua aplikasi dan rekaman-rekaman yang tlah coba kubuat. "Aku mungkin memang bukan ditakdirkan untuk bersuara, tapi entah bagaimana, aku akan tetap menulis. Biarlah, ini caraku bicara. Selebihnya? Biarlah tugas semesta saja gimana." Nadya berpasrah diri.
Takdir? Adakah suara juga bagian dari takdir? Tidakkah ia serupa menulis? Yang adanya bisa dipelajari. Bukan semata pemberian Tuhan yang sekali jadi. Bahkan, tanpa peduli bakat ada atau tidaknya. Ketekunan, percaya diri, dan kesepertiituan, bukankah lebih diperlukan?
"Ras, barangkali kamu hanya perlu berlatih lagi. Baiklah, aku akan minta maaf besok. Dan mengajakmu makan kesukaaanmu. Aku tak akan mengajakmu ke perpus, sesuai kebiasaanku. Agaknya aku selama ini yang bersalah. Yang selalu meminta dimengerti, padahal saat kamu bicara satu dua kata, aku begitu kurang bijak menanggapinya."
"Laras... maafkan aku. Aku pastikan, kau harus lebih berkenalan dengan suaramu itu! Ya, kamu harus!"
"Heh!! Ngapain bengong, Nad? Lagi ngapain sih?"
"Enggak, Dik. Tadi cuma latian ngrekam suara sendiri lagi. Sejujurnya, aku masih takut latian, Dik."
"Emang kenapa? Ada yang ngatain jelek? Gausah peduliin. Mau sebaik apapun kamu, pasti ada yang bilang jeleknya. Mulai sekarang, belajar jangan terlalu dengerin kata orang lain, yah. Optimis. Semangat!!" Dika menjedakan Nadya. Membawanya ke dalam halaman penuh semangat tak kan layu.
***
"Laras!! Tunggu!" Perempuan yang Nadya panggil seolah tak mendengar. Padahal, jaraknya tak begitu jauh darinya.
Nadya kian berlari menujunya.
"Laras! Tunggu." Nadya menahan lengannya.
"Kenapa? Adapalagi, Nad?" Wajahnya begitu datar. Menyembunyikan kecewa yang entah sampai kapan.
"Ras... aku minta maaf untuk yang kemarin. Aku ngilang gitu aja. Aku salah. Aku minta maaf, ya. Please."
"Cuma kamu satu-satunya temen yang bisa kuajak bicara dengan nyaman."
"Ras.. "
"Aku sudah maafin kamu, Nad. Kamu juga gak salah, ko. Aku yang salah. Aku yang kurang mengerti diriku sendiri."
"Ssstt... ayo ikut aku!" Segera Nadya tarik lengan Laras.
"Mau kemana, Nad? Bentar lagi kan jam masuk Sosiologi. Kamu mau ngajak kemana lagi? Kayak dulu?"
"Tenang. Tadi kata Arfan cuma ada tugas. Bu Sri gak berangkat."
"Terus? Kita gak mau ngerjain tugasnya?"
"Sebentar, ko. Itu gampang. Ini jauh lebih penting!"
"Laras. Mau kemana sih?"