"Sepertinya ini hari keberuntungan kamu, Bian," bisik Tarana mendesis. Memperingati, tanda seru, semua tergolong di dalamnya. Memposisikan dagunya di sela-sela dinding mobil dengan bantalan kepala kursi mobil. "Saya sungguh ingin memaki-maki kamu."
Pft!
Menggemaskan. Bagaimana Bian bisa tahan menyetir kalau Tarana ada di sampingnya, membisiki kata-kata pengancaman itu? "Kenapa tidak memaki sekalian? Karena Nataya?"
"H-hm." Tarana mengiyakannya dengan dehaman. "Juga, karena jari saya sedang digenggam Nataya makanya saya tidak bisa memukul kamu."
Kaca dasbor berfungsi sebagai penghubung yang baik. Alih-alih menghindar, Bian lebih suka kalau menyandarkan kepalanya nyaman, karena Tarana juga urung berpindah. Sepertinya dia juga tidak sadar sebab matanya tertuju pada Nataya.
Nyaman, tentunya. Ketidakcocokan mereka malah menambah warna, bukan menghancurkan. Setidaknya, itu yang dirasakan Bian.
Bian tidak tahu apa yang dirasakan Tarana. Wanita itu lebih tampak seperti pemudi fleksibel, tapi jarang mengeksplorasi dirinya sendiri. "Tar?"
"Apa?" sahut Tarana baru menyadari. Sedari tadi mengayunkan lengan Nataya bermain-main, senang mendengar kikikan gelinya. "Bisa jangan bicara separuh-separuh?"
Tempramen Tarana yang acak juga menjadi kesenangan sendiri untuk Bian. Entahlah, ia tidak merasa seberat sebelumnya. Mungkin, tahap menerima? "Alasan kamu tidak ingin mempertemukan saya dengan teman-teman kamu apa?"
"Kalau itu, sebelumnya saya yang tanya kamu dulu," ujar Tarana membalik pertanyaan. "Apa kamu tidak kesal setiap saya berceloteh banyak?"
"Kesal, tapi-"
"Dua teman saya yang lain persis seperti saya." Wajah mungil itu mengisi celah kosong lagi. Kini, matanya memprotes ke rahang tegap itu. "Kamu akan kewalahan. Kamu tidak semuda dugaan kamu, dan tidak memiliki humor yang sesuai dengan usia kami."
"Kamu menghina saya?"
"Bukan, saya mengatakan fakta. Lalu, status kamu tidak main-main, Bian-"
Berganti, Bian yang menyela sebelum kata lain terucap. "Kamu tidak ingin memperkenalkan suami kamu yang 'statusnya tidak main-main itu', Tar? Menyombong begitu misalnya? Saya tidak masalah kalau kamu menggunakan nama saya."
"Tidak terima kasih," tolak Tarana mentah-mentah. Menarik wajahnya dari kisaran Bian lagi. "Sudahlah. Yang penting, jangan muncul lagi di dekat kantor saya."
"Saya memaafkan kamu untuk hari ini, karena saya sedang bersabar. Tapi tidak untuk besok-besok. Saya akan bilang yang mereka lihat tadi pagi adalah kesalahan," sambung Tarana menghela napas. "Nataya mau makan apa, hm?"
"Apa aja, Tante," sahut Nataya antusias. "Selama sama Papa."
Sudut bibir Tarana selalu tertarik naik tiap kali Nataya memperlakukan Bian sebagai orang spesial dalam hidupnya. "Nataya sayang banget sama Papa? Kalau sama Tante gimana?"
"Baru kenal Tante ...." Nataya terlihat kebingungan menyodorkan darinya. Dibantu usaha dari tangan lainnya, melipat jarinya berbentuk angka dua. "Dua hari, Tante."
"Kalau Nataya sama Tante selamanya mau enggak, Nataya?" tanya Bian menimbrung percakapan dua perempuan itu. "Misal Papa lagi gak bisa gitu, Nataya, terus Tante yang urus kamu. Mau enggak?"
"Gak bisa?" Nataya kebingungan memproses kalimat ambigu itu. Kemudian, ide tercetus aneh. "Tante mau jadi Mama aku?"
Oh, sial. Tidak tahu saja cengiran bibir itu ingin dilumat Tarana sampai si empunya kehabisan napas. "Bian!"
"Apa?" tanya Bian terkekeh. Tak merasa bersalah. "Nataya mau anggep Tante jadi Mama, enggak?"
Namun, gelengan anak berumur empat tahun itu tak jadi memberikan kebahagiaan baru bagi Tarana. Bahkan, membuat kegundahannya menjadi-jadi setelah lontaran kalimat polos itu.
"Nataya mau Papa jadi satu-satunya untuk Nataya," jawab Nataya membulatkan manik mata indahnya.
***
"Sekarang ngerti, kan, kenapa saya gak pernah mau ngungkit perkara itu, Bian?"
Bian tak lagi mampu membuka mulut seenaknya. Untung Nataya sudah tidur. Kalau tidak, mungkin Tarana tidak akan pernah membuka topik ini sampai kapan pun. Pengendalian dirinya cukup baik sampai makan malam. Tapi tidak sampai di rumah.
Padahal, Bian ingin mengajukan pertanyaan yang ringan dulu. Cukup tak menduga Tarana akan menyasar Bian secara tepat setelah turun dari kamar Nataya. "Sakit, Tar?"
"Mau coba sendiri?" tanya Tarana sinis. Sibuk menuangkan air dingin ke gelasnya. "Kali aja mau tukeran jadi saya, Bian? Kamu melukai harga diri saya empat tahun lalu, kamu menyembunyikan bahwa kamu punya anak, lalu sekarang harga diri saya terluka lagi."
Gelas kaca itu sudah terisi setengah. Dalam sekejap, isi setengah itu berubah menjadi seperempat. Memejamkan mata menikmati bagaimana air itu menyegarkan pikiran kusutnya.
Walau hanya ilusi semata. Sudah lama Tarana tak merasa sebegininya, semenjak peninggalan Diana. "Ah, sial. Saya bahkan tidak bisa minum anggur. Ini sangat menyebalkan."
"Tar, saya minta maaf." Bian berderap mendekat. Mengambil gelas kosong dari tangan Tarana, menuangkannya air susu dari dalam kulkas.
Hah! Lihat saja. Permintaan maaf disertai bagaimana Bian merebut gelasnya. "Kamu tulus atau tidak, sih? Sebegitu susahnya kamu mengambil gelas baru, Bian? Saya belum bilang saya selesai minum, ya."
"Biar kamu tidak segan kalau nanti berciuman dengan saya."
Refleks, tangan Tarana lebih mudah terangkat dari angin yang menyeret. Mendarat gondok di lengan besar yang mencuri gelas kacanya. "Bian Pramoko!"
"Yang saya bilang benar adanya, loh, Tar," celetuk Bian datar. Antara niat mengerjai, juga serius dengan perkataannya yang tak ingin ambigu. "Memang saya boleh memintanya sekarang?"
"Enggak!"
Bian melengkungkan area bibir ranumnya singkat. Tak bisa jika tidak tersenyum berada di lingkaran magnet Tarana.
Sebelah tangannya terulur, mengacak singkat rambut Tarana, seperti yang sering ia lakukan pada Nataya.
Anehnya, ia memperlakukan Tarana sebagai apa? Menganggapnya sebagai anak, atau sebagai istri? Bian nyaris tidak bisa membedakannya, karena keduanya sama-sama membuatnya nyaman dan gemas.
Tak ada perbedaan signifikan, kecuali Bian yang tak ingin Tarana jauh darinya. "Saya belum tanya sama kamu, Tar. Kamu kerja jadi apa?"
"Jurnalis," jawab Tarana ketus. Menyingkirkan Bian dari radarnya. "Saya masih kesal sama kamu. Dan tolong kedepannya, jangan ungkit soal 'Mama dan Tante' Bian. Anak kecil itu tidak bisa berbohong, tidak bisa memisahkan apa yang seharusnya ia katakan, dan tidak boleh terucap."
"Iya," jawab Bian kalem. "Saya lebih suka kalau kamu memberi saya peringatan, Tar. Boleh coba lagi?"
"Jangan dekat-dekat!" sentak Tarana menghindar. Kakinya kilat menggapai ubin lain sebelum Bian mendahuluinya. "Bian Pramoko! Jangan jadi om-om nyebelin, deh!"
"Saya suami kamu, Tar, bukan om-om," ralat Bian sabar, tapi turut mencebik dalam hatinya. Melajukan satu langkah, yang mana Tarana memundurkan langkahnya ke belakang. "Kenapa menghindar? Kamu istri saya, loh, Tar. Saya gak boleh?"
"Enggak!" Tarana berseru memperingati. "Bian! Eh?"
Bukan Bian yang merangkul pinggangnya, melainkan Tarana mencari segala cara agar ia tidak terjatuh di ambang anak tangga kecil pembatas dapur.
Yang paling dekat, ialah leher Bian. Berharap disangga, padahal Bian sama terkejutnya. Tak sempat hingga limbung berdua.
Bruk!