#14
Suasana hati Hamid kini sudah lebih baik dari sebelumnya. lebih tepatnya Hamid merasa lega karena telah menceritakan segalanya pada ibunya. Tidak dengan menceritakan Tala, tapi dia meminta izin untuk tidak bise mendampingi ibunya operasi. Lagi pula asisten ibunya selalu memberi kabar perkembangan ibunya dan semuanya baik-baik saja. Syukurnya operasi berjalan lancar. Setidaknya ibunya tahu bahwa dia bukan tidak ingin datang mendampingi, tapi karena benar-benar tidak bisa.
"Kak Ha-mid?"seorang cewek lebih muda menyapanya.
"Loh, Ara, kan?"
"Hai, Kak."gadis itu tersenyum ramah padanya. "Udah lama banget ya, enggak ketemu sama Kakak."
"Iya, Ra. Kamu kesini sama Pram?"
"Ah, enggak kok. Aku ke sini sama bunda. Biasalah, bunda suka rewel kalau aku sakit. Padahal Cuma tambah darah kayak biasa, tapi bunda mulai lagi deh enggak bisa tidur."
"Namanya juga orang tua, Ra."
"Tapi, berlebihan tahu, Kak."
Tidak lama kemudian seseorang menghampiri mereka. Berusia paruh baya, wajahnya sudah lesu dan pucat. Anak gadisnya selalu saja membuatnya khawatir. "Bunda kira kamu kemana."
"Kan Ara tadi bilang mau keluar cari udara segar, terus enggak sengaja ketemu sama Kak Hamid di sini."
"Ah, begitu rupnaya."ibunya Ara tersenyum ramah pada Hamid lalu membawa anaknya kembali menuju ruangan.
Ara adalah saudara sepupunya Pram. Ara mengidap penyakit auto imun, hal itu membuat orang tuanya harus sering memeriksakan kondisi anaknya ke rumah sakit secara intensif. Sudah sejak lama sekali sejak terakhir mereka bertemu. Hamid kerap merasa kasihan karena Ara masih berusia 15 tahun. Masa depannya masih panjang, cita-citanya menjadi seorang dokter spesialis kanker. Namun sering tidak mendapat dukungan dari kedua orang tuanya karena kondisinya tersebut.
"Hei, Bro," Hamid menyapa Pram yang tampak sedang panik di depan ruangan Ara.
"Mid. Lo di sini?"
"Iya, tadi gue cuma lagi ngecek keadaan Tala. Sekarang dia sudah tidur. Kayaknya kecapekan. Kalau lo sendiri, ngapain? Tadi gue juga ketemu sama Ara."
Pram berusaha terlihat tenang. Ara sudah seperti adik kandung bagi Pram. "Gue tadi ditelepon tante, katanya kondisi Ara tiba-tiba ngedrop lagi. Jadi, gue buru-buru ke rumah sakit. Tante enggak bilang kalau Ara sering dirawat di sini."
Hamid ikut duduk di sisi Pram. Sementara Pram memijit lembut batang hidungnya perlahan. Kemarin sore mereka baru saja menghabiskan waktu bersama. Tidak ada kata yang Hamid keluarkan untuk menyemangati Pram kecuali ... hanya menepuk pundak kanannya Pram sebagai bentuk dukungan sebagai teman. Hamid sangat mengerti bagaimana perasaan Pram, bagaimana dia dulu pun pernah mendampingi ayahnya dengan perasaan was-was. Karena malaikat maut bisa saja mencabut nyawa ayahnya kapanpun dia mau. Dan hal itu benar-benar membuatnya ketakutan.
"Thankyou, Bro," balas Pram pelan.
Tidak jauh dari mereka tampak Myesha tengah berlari dengan raut wajah khawatir. Lalu menghampiri Pram dan duduk di sisinya.
"Pram ... that's okay. Ara pasti bakal baik-baik saja, kok."
Hamid yang menyaksikan hal itu merasa tersentuh dan dia juga yakin bahwa Pram pasti akan baik-baik saja. Selama ada Myesha yang terus mendukung di sisinya, semua akan baik-baik saja. Tak terbayangkan olehnya jika hari itu dia pergi menemui ibunya yang akan dioperasi, pasti terasa berat bagi Tala. Ya, dia tahu Tala adalah gadis yang mandiri dan tangguh, tapi bagaimanapun gadis itu juga pasti membutuhkan dirinya.
***
Beberapa hari kemudian ...
Kondisi Tala berangsur pulih. Untuk sementara Tala hanya diberikan obat yang harus dia habiskan. Dokter memutuskan operasinya masih bisa ditunda. Bukan tanpa alasan, tapi karena Tala yang juga terus memohon kepada dokter agar menunda operasinya.
Bersama kondisi Tala yang perlahan berangsur pulih, kegiatan sehari-harinya juga demikian. Meski masih khawatir, tetapi Yasmin mengizinkan Tala untuk mengikuti kegiatan olahraga di sekolah tentu saja setelah diyakinkan oleh anaknya dengan usaha yang tidak mudah. Dengan syarat, jangan memaksakan diri.
Kegiatan hari ini adalah berenang. Tentu bukan jam iseng, melainkan jam olahraga. Guru olahraga telah menentukan tempat dan waktunya.
Tok tok tok
Tala bergegas menuju pintu, dia yakin yang mengetuk pintu itu adalah seseorang yang sudah dia tunggu sejak tadi.
"Hai, La."
"Hai, Mid," balas Tala dengan senyum yang begitu semringah.
Hamid tersenyum kecil, "semangat banget lo kayaknya."
"Iya, dong. Gue sumpek banget disuruh bunda di rumah mulu."
Hamid memasuki rumah itu setelah dipersilakan Tala. "Gue mau siap-siap dulu, ya."
"Iya. Jangan kelamaan."
Tala hanya membalas dengan mengangkat jempol kanannya. "Hm." Gumamnya pelan.
Rumah itu bukan pertama kalinya Hamid injak. "Eh, ada anak Bunda," sapa Bunda Yasmin. Ya, selain rumahnya yang terasa nyaman, seluruh anggota keluarga Tala juga menyambutnya dengan ramah. Termasuk Latif—ayah sambung Tala.
"Bunda, tadi Hamid bawakan rujak buah yang biasa." Hamid menyodorkan sebungkus plastik hitam dari tasnya.
"Ini nih yang Bunda tunggu, terima kasih, loh."
Hamid tersenyum kecil. Baginya, Yasmin tidak hanya seorang ibu dari gadis yang dia cintai, tapi juga ibu kedua setela ibu kandungnya—Bu Sekar. Bahkan saking akrabnya dengan Yasmin, Hamid kerap kali menceritakan apa yang mengganggu pikirannya.
"Bunda enggak usah khawatir."
"Hm?"
"Hamid akan jaga dia, kok."
"Ah, kamu, Mid. Paling ngerti Bunda."Yasmin paham kini kemana kini arah pembicaraan anak angkatnya itu. "Padahal Bunda sudah berusaha menutupi itu, loh. Tetap kelihatan jelas, ya?"
"Lumayan, Bun."
Tala ingin bergabung dan berniat memberi kejutan untuk Hamid dan bundanya, namun mendengar atmoster yang terasa agak sedih, dia memutuskan untuk diam mendengarkan. Atau lebih tepatnya berpura-pura tidak tahu apa-apa.
"Tala sangat berarti bagi Bunda. Bahkan lebih berarti daripada nyawa Bunda sendiri. Kalau Tala kenapa-napa ... hiks..." Yasmin mulai menangis. Hamid yang menyaksikan itu berpindah duduk di sisi Yasmin. Lalu memeluk tubuh wanita itu.
"Iya, Bun. Hamid paham, kok. Hamid kan sudah janji akan menjaga Tala, jadi ... Bunda enggak perlu khawatir ya?"ujar Hamid menenangkan.
Hanya berusaha menenangkan tentu saja. Hamid yakin, ibunya tidak akan tinggal diam karena dia menolak untuk menuju Singapura. Akan tetapi, setidaknya sekali ini saja dia ingin membantah. Kalaupun suatu hari nanti akan pergi menuju Sekar, setidaknya saat ini saja dia ingin menjaga Tala.
"Iya, selama ada Hamid, Bunda merasa semuanya akan baik-baik saja, kan?"
Ini adalah salah satu penyebab mengapa Tala tidak mau memberitahu jika sedang sakit. Karena pasti Yasmin akan terlalu khawatir padanya.
Tala menuju ruang tamu. Dimana Hamid dan bundanya berada. "Hai! Gimana penampilanku?" tanyanya dengan senyum semringah.
"Lo ngapain pakai dress segala, sih, La?"
"Loh, kan ini hari pertama olahraga. Jadi, harus totalitas."
"Berlebihan sih, tapi cantik." Bundanya memuji.