"Kenapa kau memakai pakaian seperti ini? Yang benar saja!" Ursula menggerutu bahkan saat dia baru keluar dari mobilnya.
Aku mengernyitkan kening sembari menatap penampilanku, "Tidak ada yang aneh. Aku selalu memakai ini saat kita datang ke klub."
Dia berdecak, dan kemudian mendengus. "Tapi kita sedang berada di Gate Of Heaven. Kau seharusnya tidak terlihat biasa biasa saja, Abby!"
Aku memutar bola mataku dengan jengah, "Kau ingin masuk atau ingin mengomentari penampilanku sampai besok?"
Ursula menyipitkan matanya sedikit kesal dengan itu tetapi kemudian dia menarik lengan sebelahku. "Baiklah, ayo. Maafkan aku. Kau pun masih sangat cantik meskipun menggunakan mode ini." Ucapnya.
Kami memberikan kartu identitas dan juga dua voucher milik Drake yang sudah menjadi milik kami pada salah satu penjaga yang berada di depan pintu. Pria dengan kacamata hitam itu melirik kami berdua sebentar saat memberikan kartu identitas kami. Dia mengangguk dan kemudian membuka pintu untuk kami berdua.
Suara musik berdentam, suasana gelap yang sesekali diisi oleh lampu disko menjadi suasana ruangan, yang berbeda dari klub lain yang pernah aku kunjungi adalah semua orang yang ada di sini terlihat berkelas. Orang orang pun banyak yang menggunakan pakaian pakaian mewah mereka, dan kebanyakan ada yang memakai pakaian biasa seperti yang kupakai. Lantai dansa diisi oleh beberapa pengunjung bersama dengan para wanita penghibur lainnya yang dengan suka hati mempertontonkan tubuh mereka pada para pria berkelas yang hadir di dalam klub.
Deretan botol alkohol mahal menghiasi latar belakang klub, lantai marmer yang berkualitas tinggi, lilin lilin besar yang bersinar tiap kali lampu disko mengenainya.
Kami berjalan langsung menuju stool bar tanpa mau mengambil tempat tempat yang berisi sofa nyaman atau tempat duduk tinggi dengan meja. Kami hanya berdua dan aku pikir duduk di stool bar sudah cukup.
"Hello, ladies. Apa yang kalian inginkan?"
"Dua bourbon." Jawab Ursula.
"Siap!" sahut pria itu dan dengan segera menyiapkan pesanan kami.
Aku mengedarkan pandangan ke sekitar klub ini dengan pandangan takjub sembari berpikir siapa yang memberikan Drake tiket voucer gratis untuk memasuki klub yang seharga lima ribu dollar ini, uang yang setara dengan harga apartemenku. Aku benar benar tidak menyangka dengan koneksi yang didapatkan oleh Drake.
"Minuman kalian, Ladies." Ucapnya sembari menaruh dua gelas di atas meja.
"Benar benar berbeda bukan?" tanya Ursula di bawah suara keras musik, dan kemudian menyesap minumannya.
Aku mengangguk, "Bukankah kau ingin memangsa pria pria kaya yang ada di sini, sudah ada pria yang menjadi targetmu?" tanyaku.
"Ah, ini sangat enak!" serunya. "Ada beberapa pria yang menjadi targetku, aku bingung harus memilih yang mana."
Mataku melotot, dan terkekeh. "Sialan!"
"Aku akan memberikan salah satu pria padamu. Kau membutuhkan satu malam panas bersama pria selain Bernald. Aku yakin pria pria di sini bahkan lebih memuaskan daripada pria sialan itu."
"Tidak, terima kasih."
Ursula menggeram kesal, "Ugh. Ayolah, Abby! Kau harus melupakan dia, dan semua jejak menjijikkan miliknya yang ada di tubuhmu juga harus dibuang. Benar benar harus. Kau harus mencari kuda untuk kau tunggangi nanti malam."
Apa yang dikatakan Ursula benar. Aku memang harus melakukan itu karena selama ini aku hanya menikmati kegiatan ranjang dengan Bernald. Dia adalah yang pertama dan terakhirku—sampai detik ini. Aku membutuhkan pengalaman baru atau kuda baru agar jejak pria itu menghilang. Tapi, masalahnya adalah aku sedang tidak membutuhkan one-night-stand dengan siapa pun atau mencari pria. Aku masih ingin sendiri dan menikmati kesendirianku.
"Terserah apa katamu. Tapi aku masih tidak ingin terlibat apa pun dengan pria pria."
"Lalu apa kau ingin melakukan itu bersama wanita?"
"Apa kau gila?!" semprotku yang membuat dia tertawa. Aku menyesap vodka yang terasa panas di tenggorokanku, dan, sial, ini sangat enak. Aku tidak tahu apakah aku akan merasakan cita rasa seperti ini dengan Vodka yang selalu kubeli dengan murah di bar dan supermarket.
"Lihatlah pemuda itu!" Ursula mendekat padaku.
Dia menunjuk seorang pemuda berkaus hitam yang sedang menyender di dinding dan sedang berbicara dengan pria lainnya dengan dagu. Di tangan berotot pria itu ada sebuah gelas kaca berisi cairan merah.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Ursula, tatapannya tidak pergi dari pria itu.
"Dia tampan, tapi bagaimana jika dia sudah mempunyai kekasih atau istri?"
Ursula memutar bola mata, "Kau tidak akan tahu jika kau tidak bertanya." Jawabnya dan kemudian menyesap minumnya. "Ah. Aku akan menghampiri pria itu."
Mataku melotot lagi, "Tidak bisakah kau duduk dengan tenang dan menikmati minum? Apa tidak bisa?" tanyaku dengan sedikit kesal. Karena dengan begitu maka beberapa pria, yang sejak tadi, menatapku dengan penuh perhatian akan menghampiriku jika aku sendiri.
Termasuk pria itu.
Pria bernama Rafael.
"Tidak bisa. Itu namanya bukan bersenang senang, DAN, setidaknya kau harus memberi kesempatan para pria itu untuk berkenalan denganmu." Ucapnya lalu terkikik geli.
"Sialan. Kau tahu?"
Ursula mengangguk, "Sejak tadi mereka memperhatikanmu. Ayolah, terima saja perkenalan mereka. Terserah kau tidak ingin menghabiskan satu malam atau tidak ingin memberikan nomor ponselmu, tapi kau harus membiarkan dirimu untuk larut dalam perbincangan agar tidak bosan atau kau bisa menari di lantai dansa." Ocehnya panjang lebar.
"Dan sementara kau berusaha mendekati pria berkaus hitam itu?"
Ursula mengangguk dengan antusias, dia mencium pipiku singkat. "Bersenang senanglah. Bye!"
Aku sudah ingin mengomelinya tapi dia sudah melangkah dengan cepat meninggalkanku, yang kini sendirian. Aku memutar dudukku yang tadinya miring menjadi berhadapan dengan jajaran alkohol yang berada di balik konter bar sembari menyesap vodkaku lagi. Aku menarik ponselku dari saku celanaku. Mungkin lebih baik aku menunggu Ursula dengan bermain Candy Crush Saga daripada berbincang dengan para pria pria itu atau menari di lantai dansa.
"Butuh teman, seksi?"
Aku menghela napas saat seorang pria mendekat ke sisiku. Oke salah, dia sangat dekat. Dia berdiri tepat di sampingku dengan wajahnya berada di depanku. Aku mundur dengan cepat, dan melotot pada pria berambut hitam cepak dan kemeja flanelnya.
"Damn. Where's your manner, man?!" ucapku dengan kesal pada pria itu, aku mendorong wajahnya agar menjauh dariku. "Pergilah atau aku akan berteriak memanggil penjaga." Lanjutku dengan mengancam.
Oke, dia terlihat sangat mabuk.
Dia mendengus dengan wajah jengahnya. "Dasar jual mahal." Ucapnya tapi hanya menjauh sedikit, dan dia kemudian berkata lagi, "Sengaja bersikap kasar tidaklah membuatmu menarik dimata pria, nona."
"Memangnya siapa yang sedang menarik perhatian pria, Tuan?" balasku tajam dan menatap mata pria itu yang memerah karena alkohol.
Dia hendak membuka mulut, tetapi seseorang sudah berkata dulu.
"Tinggalkan dia sendiri, John." Pria satu lagi menarik pundak pria kurang ajar itu ke belakang untuk menjauh dariku. Pria itu akhirnya berjalan entah ke mana. Meninggalkan kami berdua.
Aku mengernyit menatap pria familiar. Pria yang tadi menemuiku di halaman depan. Pria yang bernama Rafael. Sekarang jas hitamnya sudah terlepas dan meninggalkan kaos abu abu ketat berlengan pendek yang mencetak otot otot tubuhnya.
"Namanya John?" tanyaku padanya.
"Aku tidak tahu, tetapi dia seperti seorang pria bernama John." Balasnya.
Aku hanya menggelengkan kepala pada jawaban konyolnya, dan menyesap vodka. Membiarkan dia mendekat ke tempat duduk milik Ursula.
"Boleh aku temani, shawty?" tanya pria bernama Rafael itu lembut. Nada itu memang sangat lembut dan pelan tapi ada sedikit tekanan menuntut yang membuatku bergidik ngeri.
Aku menatapnya sejenak sebelum mengangguk.
Dia langsung duduk di sisiku, dan menyesap winenya. Yang membuatku terpana melihat otot otot lengannya yang bergerak.
"Aku belum pernah melihatmu. Ini pertama kalinya, bukan?"
Aku mengangguk. "Apa kau setiap hari berada di sini sampai kau tahu siapa yang baru pertama kali dan siapa yang tidak?" tanyaku, menyesap vodkaku juga.
Pria itu mengangguk. "Aku sering kesini selama sebulan ini. Tempatku di Los Angeles dan sudah sebulan penuh aku di sini karena sesuatu, jadi seperti itulah. Aku sudah tahu siapa saja yang sering datang ke sini dan siapa yang baru ada di sini."
Aku mengangguk sembari menjilat dinding dinding mulutku, "Apalagi wanita, kan?" tanyaku, dan kembali menyesap Vodkaku yang sangat enak sampai aku tidak ingin berhenti menyesapnya.
Dia terkekeh rendah, "Ya. Biasanya aku tidak peduli pada mereka, tapi.." ada jeda yang membuatku menoleh padanya. "Hanya kau yang membuatku tertarik." Lanjutnya dengan blak-blakkan.
Aku menarik senyum, merasakan cairan menyenangkan dari vodka yang turun ke tenggorokanku.
"Bolehkah aku membelikanmu minum?"
"Ya, satu vodka lagi. Tolong." Jawabku dengan cepat. Mungkin karena kadar dan pengaruh dari Vodka yang membuatku sedikit..tidak seperti diriku sendiri.
Pria itu memanggil bartender dan meminta dua vodka. Untukku dan dia sendiri. Aku menatap wajahnya yang benar benar tampan dengan senyuman yang akan membuat gigiku kering. "Terima kasih."
"Apa pun untukmu." Jawabnya. "Aku Rafael." Dia mengulurkan tangan seksi yang penuh dengan aliran darah. Sejak kapan aliran darah yang menonjol dari tangan pria begitu seksi?
Aku menyambut jabatan tangannya. "Aubrey."
"Aubrey," ulangnya hampir berbisik. Dia menarik punggung tanganku sampai menyentuh bibir tebalnya. "Nama yang indah."
"Aku tahu." Balasku, menarik tanganku lembut, dan mengambil gelasku yang baru diberikan oleh bartender.
"Jadi apa yang membawamu ke New York?"
Aku menaikkan alis, menggeleng. "Aku Newyorkers."
Pria itu menaikkan alis, "Aksenmu."
"Armenia. Aku berasal dari Yerevan, Armenia dan pindah ke New York sekitar enam tahun yang lalu." Jawabku.
"Oh, oke. Kalau begitu apa yang membuatmu datang ke klub ini, Aubrey?"
Aku menaikkan bahu, "Bersenang senang, tentu saja."
"Jika kau bersenang senang, kau pasti sudah menari di lantai dansa seperti temanmu itu."
Aku menatap Ursula yang sudah berdansa erotis dengan pria incarannya, dan kembali menatap Rafael. "Huh, memperhatikanku sejak tadi, ya?"
"Kau sudah menarik perhatianku sejak kau datang dengan sepeda motormu."
"Penikmat otomotif?"
Rafael menyeringai, lesung pipit sialan itu kembali muncul. "Penikmat wanita yang mengemudikannya."
Ah, sial. Berengsek.
Tapi walaupun aku mengumpat, aku tertawa dengan godaan murahannya.
"Tawa yang manis."
Tawaku memudar, aku bergantian memandangnya dengan lekat.
"Jadi, kau hanya bersenang senang atau datang ke sini untuk melupakan seseorang?"
"Melupakan seorang pria berengsek, tepatnya."
"Wow, siapa yang berani melukai wanita secantik dirimu?"
Aku memutar bola mata, "Mantan kekasihku, dan disakiti tidaklah memandang wanita cantik atau jelek, Tuan El." Balasku.
Matanya memejam, aku melihat jakun di tenggorokannya bergerak menelan, "El. Kau bisa memanggilku dengan El saja."
Aku tersenyum, menaruh sebelah sikuku ke atas meja, dan memutar dudukku agar berhadapan dengan Rafael. "Jadi apa yang membuatmu datang ke New York dan ke tempat ini, setiap hari, El?" tanyaku sembari bertanya tanya di dalam hatiku apakah aku benar benar dapat melakukan ini.
Ini adalah kesempatan yang bagus, bukan? Dia sempurna, seksi dan rupawan. Tampak tertarik denganku dan aku tidak akan pernah melihatnya lagi. Jika aku ingin kembali menunggangi kuda, seperti yang Ursula katakan, aku tidak bisa meminta skenario yang lebih baik. Atau kuda yang lebih baik. Seperti kuda atau pria yang benar benar tidak bisa aku dapatkan nanti dan bukan pria pengecut seperti Bernald, aku pasti ingin menungganginya.
"Bisnis."
"Bisnis? Kau melakukan bisnis di sini?"
Dia mengangguk. "Aku pemilik tempat ini."
Mataku seperti ingin keluar, "Really?"
"Really." Balasnya bersungguh sungguh.
Ya itu bisa dilihat dari bagaimana cara dia berbicara, dari sifat classynya, dan merk kaus yang dia gunakan.
"Membosankan."
"Sama sekali tidak."
"Karena kau bisa menarik wanita mana pun ke ranjangmu?" tanyaku langsung.
Terasa mustahil jika itu tidak terjadi. Dia bisa menjeratku, dan dia juga bisa menjerat siapa pun. Seperti yang sudah kukatakan, dia menyadari kesempurnaan yang ada di dalam dirinya, dan menggunakan itu semaksimal mungkin untuk kebutuhan hasratnya.
"Tidak dengan wanita. Aku menyukai bisnisku." Jawabnya dengan kekehan.
"Terdengar seperti omong kosong dilihat dari bagaimana wanita tadi bergelayut di lenganmu dan dari bagaimana kau mendekatiku." Balasku, aku menganggukkan kepala. "Ya, bisnis lebih menarik." Lanjutku dengan sarkastik.
"Itu semata mata untuk kebutuhan."
"Jadi di mana wanita yang bersamamu tadi? Aku tidak ingin dipukul karena kau sedang bersamaku." Balasku, dan kembali menenggak minumanku.
Dia menggeleng, "Aku mengusirnya karena dia menyebalkan."
Aku menaikkan alis, terkekeh. "Apa pria selalu begitu?"
"Seperti apa?"
"Menendang wanita keluar saat wanita berubah menyebalkan?"
"Tergantung. Jika wanita itu adalah wanita yang membuatku jatuh cinta, maka aku akan dengan senang hati meladeninya, tapi jika wanita itu hanya sebatas 'teman', aku akan menendangnya."
Aku menyipitkan mata padanya, dan tidak menjawab apa pun.
"Jadi kenapa kau patah hati, Aubrey?"
"Dia berselingkuh. He's a dick." Jawabku.
"Kenapa semua wanita berpikir kalau selingkuh adalah hal yang buruk?" tanyanya dengan nada merenung.
Aku menyipitkan mata, "Ya, itu buruk. Karena itu berarti kau mengkhianati kepercayaan pasanganmu. Itu artinya kau menyakiti cintanya." Jawabku dengan sedikit emosi. "Dan, bagaimana menurutmu, El?" tanyaku menekan panggilan El.
Dia menjatuhkan tatapannya ke bibirku dan menahannya selama tiga detik yang membuat leherku terasa hangat. "Aku tidak tahu. Aku tidak pernah terlibat emosi serius dengan para wanita." Jawabnya dan mata birunya kembali naik ke mataku.
"Jadi apa menurutmu wajar?"
"Tergantung dengan situasi. Jika aku terikat hubungan dengan wanita yang tidak aku inginkan dan tidak aku cintai, maka wajar saja bagiku untuk selingkuh dengan wanita yang aku cintai."
"Seperti karena desakan keluarga?"
Rafael mengangguk, "Ya. Tapi bagi pria yang sudah berjanji pada pasangannya untuk saling setia, aku pikir itu adalah hal yang salah dan itu tidak wajar."
Aku mengangguk, tanpa menjawab apa pun. Jam sudah menunjukkan hampir tengah malam dan musik EDM yang berputar semakin keras.
Aku merasakan dia menarik stoolnya untuk semakin dekat denganku.
"Jadi, apakah mencari pria untuk melupakan mantan kekasihmu adalah salah satu motifmu ke sini?" tanyanya bernada rendah.
Wajahnya sudah berjarak beberapa senti saja dari wajahku. Membuat aroma musk, kopi yang bercampur dengan mint tercium di hidungku.
Aku berkedip, "Mungkin."
"Mungkin?"
"Jika aku tertarik pada salah satu pria mungkin aku akan berakhir di ranjang bersamanya."
Dia kembali menatap bibirku, "Bagaimana denganku?"
"Aku suka bajumu." Ucapku, mengalihkan topik untuk menggodanya. Aku tahu ini payah, tapi... sial, aku tidak pernah menggoda pria lain selain Bernald.
Apa benar itu payah?
"Kau harus melepas bajuku jika menginginkannya." Ucap Rafael lembut, tetapi mata birunya menatapku dengan tegas dan tajam.
Leherku terasa hangat saat menyadari kalau apa yang dia ucapkan mempunyai makna yang berbeda. Ya, tentu saja aku menginginkan Rafael dan ingin tidur dengannya. Selain karena dia tampan dan begitu mempesona, aku juga tidak akan bertemu dengannya lagi. Kami tidak akan kembali bertemu, dan terlibat emosi dari hubungan apa pun yang sangat ingin kuhindari.
Lagi pula bukankah itu poin terpenting dari One Night Stand?
Bersenang senang satu malam dengan fantasi panas bersama pria yang tidak kau kenali, lalu keesokan harinya kembali menghadapi realita dunia nyata yang kejam dan melupakan apa yang terjadi.
Aku berkedip, "Tempatmu atau tempatku?" tanyaku dengan rona panas yang kini kurasakan merebak di wajahku.
Dia menyeringai.