webnovel

Chapter 1.3 - Malam Tak Berujung

"Tidak bisakah kau sehari saja tidak sakit!?"

Dan sekarang, saatnya menerima caci makian dari orang sarkas ini.

"Sepertinya tidak bisa," jawabku, santai.

Terlihat wajah masam dari pria yang sedang berdiri di depanku ini. Tatapannya begitu tajam– untungnya, separuh matanya tertutup oleh rambut lebat tersebut.

Diam-diam, aku meliriknya.

"Tolong, jangan katakan kejadian ini pada ibu."

"Memangnya aku bakal bilang apa?" tanyanya.

"Yah … seperti luka-luka di tubuhku ini," balasku, tidak enak.

"Lagian itu salahmu menjadi lemah. Kenapa tidak melawan saja, kalau aku jadimu, aku sudah pasti menghancurkan hidup mereka," katanya.

"Mudah saja berkata, tapi tidak mudah untuk dipraktekkan," jawabku, mendelik.

Sorot matanya lagi-lagi tidak mengenakkan. Bahkan, melalui tekanan auranya saja sudah cukup mampu membuatku menundukkan pandangan.

Jawabanku memang terkesan melawan. Tapi, umurnya tidak jauh dariku– meskipun dia sudah menjadi dokter, tapi aku masih remaja SMA yang sering ditindas.

Namanya Daichi Yamamoto, berumur 26 tahun yang masih lajang karena sifatnya yang kasar. Mana ada perempuan yang berani mendekatinya, biarpun wajahnya termasuk kedalam kategori pria berwajah tampan.

Terdengar suara decak yang keras di depanku. Lantas, aku mengangkat kepala untuk menatap wajah Daichi.

Daichi sedang menggertakkan gigi. Bahkan, kedua alisnya sampai bertaut karena rasa kesalnya.

Padahal, yang mengalami masalah itu aku, bukan dirinya.

"Terlalu banyak memar kali ini, siapa yang melakukan mu seperti ini? Padahal, sudah dewasa, tapi tetap saja pribadi mereka terlalu kekanakan!"

Umur 16 tahun masih belum bisa dikatakan dewasa. Terkadang aku suka heran dengan Daichi yang selalu mengatakan bahwa semua orang itu dewasa.

Seperti biasa, ketika Daichi menggerutu, maka jurus pamungkasku ialah tersenyum canggung di depannya. Kemudian, seorang perawat yang berdiri dari jauh– tunggu, kemana wanita yang mirip nenek sihir itu?

"Mereka sudah keterlaluan sampai membuatmu pingsan seperti tadi. Lebih baik aku menuntutnya! Sekolah itu tidak becus!" celoteh Daichi yang emosinya kian memuncak.

Aku menghela napas. Memikirkan profesinya sebagai dokter dan membandingkannya dengan pejabat yang telah menjadi donatur tetap, juga berpengaruh dalam kota ini.

"Kau tidak akan bisa, dia anak dari petinggi– ngomong-ngomong, di mana Laila."

Pandanganku mengedar. Wanita yang tadinya kusebut itu, yang biasanya ada di samping Daichi terus, kini tidak terlihat batang hidungnya.

Terdengar suara helaan napas yang berat dari Daichi.

"Jangan tanyakan padaku, kau tidak lihat aku sedang apa? Kenapa susah sekali membukanya–"

"Hei!? Apa yang kau lakukan!?"

Tangannya tanpa permisi memegang kancing kemejaku. Ternyata, sudah satu buah yang berhasil ia buka.

"Akh! Jangan bergerak! Tidak lihat ada luka besar di sana? Kau tidak merasa sakit sama sekali, hah!?" kata Daichi.

"Tidak ada! Semuanya sudah kau obati tadi, jadi menjauhlah!" balasku.

"Tidak! Ada di bagian sana lukanya!"

Dia menunjuk ke arah perut. Pandangannya tidak lepas dari sana. Membuatku merasa tidak nyaman dan berkata,

"Tidak ada! Ini hanya luka kecil, serius! Tidak perlu diobati segala!"

Daichi terlihat kesal. Keningnya mengerut dan terlihatlah taringnya yang panjang daripada manusia lain.

"Kau keras kepala, sialan! Perlihatkan perutmu sekarang juga!"

"Tidak! Aku tidak mau! Jangan membuat orang lain berpikir yang tidak-tidak!"

Umpatannya keluar, akan tetapi jelas sekali tangannya memaksa untuk membuka kemejaku.

"Berpikir tidak-tidak apanya? Barusan aku lihat ada yang lebam dibagian sana!"

"Lebam apanya? Sudah jelas aku tidak merasa sakit sama seka–"

Cklek.

Terdengar suara pintu yang dibuka cukup kasar sampai bunyinya sampai ke pendengaranku. Spontan, aku mengunci bibirku dan membiarkan mataku terbelalak kaget. Begitu pula dengan Daichi, pandangan kami sama-sama tertuju pada pintu tersebut.

Seorang wanita yang kukenal, berseragam putih dengan pinggiran baju yang berwarna hijau sedang mengerjapkan mata bulatnya pada kami.

Keheningan yang mencekam ini membuatku tersadar akan posisiku dengan Daichi yang bisa dibilang tidak wajar.

"Oh, lanjutkan pertunjukkan kalian. Aku tidak akan mengganggu."

"LAILA!?"

"BUKAN BEGITU!"

Laila atau bernama Kanazawa Aiwa hampir saja salah paham dengan apa yang baru saja terjadi. Tangannya yang bergerak untuk menutup pintu lagi secara alami tertahan oleh suara ku dan Daichi.

[]

"Jadi, kau menyuruh Shin untuk membuka bajunya karena ada lebam di bagian perut … itunya?"

Suasana memang tidak terlalu mencekam, akan tetapi berada di samping Daichi yang memiliki aura gelap itu tak sanggup membuat kepalaku terangkat.

Dengan kedua tangan dilipat di depan dada, aku mendengar pembelaan dari diri Daichi.

"Ya, makanya aku menyuruhnya untuk membuka kemejanya dan dia tidak mau."

Mulutku terbuka. Hendak membantah. Akan tetapi, sorot mata tajam dari Daichi membuatku tak sanggup mengelak.

Laila sebagai perawat dan juga asistennya Daichi itu menjauhkan kacamatanya dari mata, lalu menatap dengan intens dari ujung kaki sampai puncak kepalaku.

"Yah … lagian, kemejanya juga kotor dan sudah tak layak dipakai lagi," tuturnya.

Lantas, aku pun mengalihkan pandangan. Ingin berdecak kesal, tapi tidak mungkin.

"Perlihatkan padaku luka itu." Laila mengulurkan tangannya ke depanku.

"Sudah kubilang, tidak ada luka sama sekali." Aku menggeleng, menolak.

"Tidak baik melawan pada orang dewasa, anak kecil," kata Laila.

"Hah …."

Kata-katanya selalu membuatku tidak dapat membantah. Terutama pada saat dia mengatakan aku 'anak kecil', rasanya ingin ku lempar saja sepatu yang dikenakan padanya.

Tapi, dia perempuan.

Tanganku bergerak sesuai dengan permintaan Laila. Membuka kancing kemeja, lalu menunjukkan tubuhku yang kini sudah tidak dibaluti pakaian apapun selain celana.

Laila mendengus. Entah apa yang membuatnya frustasi.

"Padahal tubuhmu bagus, tapi kenapa tidak mau melawan anak-anak itu, huh?" gerutunya.

Aku mengernyit. Tiba-tiba saja dia berkata begitu.

"Percuma saja melawan mereka, orang tua mereka berpengaruh di sekolah itu," balasku.

Laila menatap wajahku. "Kenapa tidak pindah saja?"

"Karena ada Aiko."

Dari samping, terdengar jelas decak kesal dari seseorang. Daichi menatap tajam dan bahkan itu terlihat seperti sorot mata elang.

"Aiko terus, aku tidak setuju kalau kau berakhir dengannya," katanya.

"Siapa juga yang mau menikahinya!?"

"Gaya bicaramu itu!" balas Daichi.

"Ck!" Aku pun berdecak kesal.

Tak bisa menjawab, aku beralih untuk menatap alat-alat kedokteran yang hanya sedikit kupahami.

Harus berapa lama aku disini?

"Bahkan, dia saja tidak bisa mengelak!" Daichi selalu saja mencari masalah.

Mungkin seharusnya aku tidak ke tempat ini. Bertemu dengan Daichi dan Laila hanya membuat uratku menegang.

"Sudahlah, Daichi. Jangan menambah beban pikiranku."

Pada akhirnya, Laila melerai kami. Terlihat jelas dari keningnya yang mengerut– bahkan, dia sampai mengurung keningnya itu.

Laila menjatuhkan pandangannya padaku. Tepatnya pada perut tanpa dibalut kain ini.

"Di mana lukanya?" tanya Laila.

Ini memalukan.

"Aku melihatnya di si–"

Daichi secara tiba-tiba melebarkan matanya ketika melihat perutku. Memangnya, apa yang membuatnya sampai seperti itu?

Aku menatap perutku sendiri. Tidak ada yang aneh dan seperti anatomi tubuh manusia lainnya. Hanya saja, terdapat mole yang ada di pinggang kanan, apa karena itu dia membelalakkan matanya?

Tidak mungkin.

Kali ini Daichi membungkam mulutnya. Kernyitannya semakin jelas di keningnya tersebut.

"Sudah tidak ada. Mungkin aku salah lihat."

"Ha?"

Perkataan dari Daichi spontan membuatku terperangah. Mulutku terbuka dan kedua alis menjadi terangkat. Entah apa maksud dari salah lihat tersebut.

Terlihat bahwa Daichi membuang muka, bahkan aku juga mendengar suara decakan kesal yang samar-samar.

"Sudahlah, balik saja bekerja. Sepertinya aku butuh tidur."

"Apaan, sih?"

Laila sepertinya kesal dengan sikap Daichi.

Dua orang yang ada di depanku sekarang sedang beradu tatapan dengan sengit. Hanya karena mempermasalahkan luka yang ada di tubuhku, lalu Daichi yang mengatakan perutku juga terluka.

'Apa memang benar kalau mata minus Daichi bertambah? Atau … jangan-jangan matanya jadi rabun dekat?'

Pikiranku yang random pun akhirnya dimulai.

"Shinzou."

Kudengar suara Laila yang memanggil namaku, lantas aku mengalihkan pandangan untuk menatap wajahnya.

Dengan mata sedikit melebar aku menatap raut wajah serius dari Laila– seperti biasa, Laila selalu mengernyitkan kening.

"Ya?" balasku.

"Kau tidak merasa sakit sama sekali ketika dipukuli?" tanya Laila, kernyitan samar-samar terlihat di keningnya.

"Hanya sedikit …." Aku menggaruk pipiku yang sebenarnya tidak gatal.

Laila membuang napas. "Kau sudah terbiasa rupanya. Tapi, tetap saja ada yang membuatku khawatir."

Entah apa maksudnya, kali ini dia menoleh ke arah Daichi.

Daichi mengangguk.

Begitu melihat anggukan dari Daichi, Laila pun kembali menatapku. Tatapan datar– aku tidak yakin dia menunjukkan wajah tanpa ekspresi– ditujukan padaku.

"Ya, sepertinya kita harus memeriksa organ tubuhmu, bisa saja ada yang hilang atau–"

"Ja– jangan katakan itu! Kau membuatku takut!"

Aku terlonjak mendengar kata pemeriksaan organ tubuh. Tentu saja kaget, bagaimana dengan biaya rumah sakit? Yah … meskipun sebenarnya seluruh biaya perawatan selama ini ditanggung oleh Daichi.

"Sudah larut malam, jadi tidurlah di kamar ini. Untungnya, Daichi sudah mengambil ruangan ini lebih dulu," ucap Daichi sebagai penengah.

Aku menoleh tidak terima.

"Tapi, bagaimana dengan biaya–"

"Biar aku yang urus itu. Sekarang, tidur dan bangun pagi hari. Besok, kau masih sekolah, bukan?" kata Daichi, memotong perkataanku.

"Ah, ya …."

Pada akhirnya, aku hanya bisa menerimanya. Memilih untuk duduk kembali setelah terlonjak kaget, lalu menatap kedua tangan yang sudah bersih.

Ketika melihat kemeja sekolah yang masih kukenakan ini, tiba-tiba pikiranku tertuju pada benda yang biasa kubawa setiap saat ke sekolah.

Aku mengedarkan pandangan. Mungkin saja Daichi dan Laila akan beranggapan aku panik.

"Mencari tas?"

Namun, Laila lebih dulu paham akan kondisiku. Aku mengangguk dan menjawab,

"Ya."

Kedua alis Laila terangkat. "Sedari tadi kau tidak membawa tas."

"Hah?"

Aku tercengang. Sudah sangat jelas anak sekolahan membawa tas, akan tetapi Laila mengatakan tidak?

Memori kuputar kembali. Dua orang pelaku yang telah menindasku tanpa ada rasa kemanusiaan itu tidak pernah memegang tasku.

Lalu, di mana?

Aku pun beranjak dari tempat duduk. Dua orang yang berprofesi dalam bidang kesehatan itu menatap dengan keheranan.

"Mau ke mana?" tanya Laila.

"Cari tas!" balasku, panik.

"Sudah kubilang kau tidak membawa tas ke sini!" kata Laila.

Laila juga ikut beranjak dari kursi, hendak mencegatku untuk keluar dari ruangan. Akan tetapi, ponsel Daichi berdering membuatnya mengurungkan niat untuk mengejarku.

[]

Hasilnya, tas yang kucari tidak dapat kutemui. Setelah mengelilingi rumah sakit yang begitu besar, bahkan sampai ke tempat IGD– tidak peduli dengan pandangan orang– tetap saja tas tersebut tidak ditemukan.

Aku membuang napas dengan kasar. Memikirkan tas yang telah hilang akibat kehilangan kesadaran tadi.

'Apa yang harus kulakukan? Kalau ibu tahu, pasti–"

Bugh!

Tak sengaja, aku menabrak seseorang ketika pikiranku sedang tidak di tempatnya.

"Oh, maaf–"

Mataku melebar. Tak sempat ku selesaikan ucapanku setelah melihat seseorang yang kutabrak barusan.

"KAU!?"

Dia berbicara dengan lantang. Telunjuknya mengarah tepat di depan wajahku. Hari sial.

Aku menundukkan pandangan. Berharap jika dia tidak mengenalku, tapi anak mami yang bernama Haruto itu tidak mungkin tidak mengenalku dengan baik. Toh, dia bukan anak yang bodoh.

"Sepertinya kau salah orang–"

"Sedang apa kau di sini!? Mengadu sama kakakmu itu, hah?!" tanyanya dengan kasar.

Aku menengadah. Menatap tidak terima pada ucapannya Haruto.

"Apa–"

"Ikut aku!"

Tanpa izin, dia menarik tanganku secara kasar. Berjalan ke luar di malam hari yang sepi.