BAB 11
Medan, 18 Mei 2019
Masih di kota Medan… Titik waktu bergeser mundur ke Jumat malam. Tempat juga berpindah ke sebuah universitas kedokteran, universitas ekonomi, ilmu fisika, ilmu kimia, ilmu komputer, sastra Inggris dan sastra Indonesia. Mahasiswa-mahasiswi masih mengikuti kelas perkuliahan yang terakhir untuk malam itu. Tampak semua lampu di kebanyakan ruangan masih menyala dengan terang benderang.
Dokter Quade memulangkan semua mahasiswa-mahasiswinya. Kelas pembedahan baru saja selesai. Masing-masing mahasiswa dan mahasiswi menanggalkan pakaian bedah masing-masing dan menyimpannya kembali pada lemari yang telah disediakan. Masing-masing keluar dari ruangan bedah setelah itu. Tinggallah Dokter Quade seorang diri di dalam ruangan bedah. Di dalam ruangan bedah berjejer banyak mayat yang dibaringkan di atas meja-meja bedah. Ada pengerjaan beberapa mahasiswa-mahasiswi yang kurang rapi sehingga tampak organ-organ si mayat bertebaran nan berserakan dari meja bedah bahkan sampai ke lantai. Tercium bau alkohol, bau formalin, bau amis dari darah dan beberapa organ dan bagian tubuh yang mulai membusuk. Semuanya bercampur baur menjadi satu. Namun, dengan pengalaman berpuluh-puluh tahun dalam dunia pembedahan, semuanya itu sudah biasa bagi Dokter Quade. Semuanya itu tidak membuat Dokter Quade gentar.
Dokter Quade juga menanggalkan pakaian bedahnya. Dia tampak tampil kembali dengan kemeja lengan panjangnya yang berwarna hitam pekat. Saat tangan hendak menjangkau sakelar lampu, mendadak pandangan mata Dokter Quade tertuju pada seonggok mayat berukuran agak kecil, tertutup kain putih di sudut ruangan. Dokter Quade berjalan ke sudut ruangan dan menyibakkan kain penutup mayat. Dia terhenyak bukan main tatkala mengenali wajah mayat tersebut.
Anak ini! Anak ini…! Sudah kubakar habis mayat anak ini! Sudah kubinasakan…! Kenapa masih ada di sini? Siapa yang menaruh mayat anak ini di sini?
Tampak dari lubang besar pada dada sebelah kiri, mayat si anak kecil laki-laki sudah tidak memiliki jantung. Tampak dari kedua lubang besar pada rongga matanya, kedua mata si anak kecil laki-laki sudah tidak ada. Dokter Quade mengingat kembali. Saat Dokter Quade mengambil kedua kornea mata anak itu, dia sudah membuang bola matanya entah di mana. Tidak mungkin dia repot-repot mengembalikan bola matanya pada si anak kecil laki-laki yang jelas-jelas diketahuinya sudah pasti akan meninggal begitu jantungnya dikeluarkan.
Mendadak saja, tangan anak itu naik secepat kilat dan langsung mencengkeram tangan Dokter Quade. Dokter Quade terhenyak bukan main. Dia menjerit seketika dan sontak mundur beberapa langkah.
"Main ayunan, Dok… Main ayunan, Dok… Mana ayunanku, Dok…? Kau sudah berjanji setelah semuanya ini selesai, kau akan membawaku pergi jalan-jalan, pergi bermain ayunan dan pergi berenang kan?"
"Aaaahh…!!!" terdengar jeritan si dokter bedah. Dia mengambil dua langkah lebar ke pintu ruangan bedah. Dia segera keluar dari ruangan bedah dan segera mengunci ruangan bedah tersebut.
Saat dia mencabut anak kunci, terasa ada yang menarik-narik lengan kemejanya. Dia berpaling ke kiri dan tampak anak itu sudah berdiri di luar, dengan sebersit senyuman polos ke arahnya. Teriakan Dokter Quade berkumandang lagi. Dia mengambil langkah seribu lagi. Anehnya, koridor yang tadinya masih ramai sekarang mendadak menjadi sepi padahal masih ada banyak kelas yang sedang berlangsung. Berkali-kali Dokter Quade berteriak bak orang gila, tak ada seorang pun yang mendengarnya, yang membuka pintu ruangan dan menjulurkan kepala keluar untuk melihat apa sesungguhnya yang sedang terjadi di koridor. Teriakan Dokter Quade berkali-kali bagai lenyap begitu saja ditelan angin.
Dengan napas yang tersengal-sengal, akhirnya Dokter Quade mencapai ujung koridor. Buntu! Di ujung koridor terdapat satu ruangan terakhir. Dokter Quade mencoba tangkai pintunya. Tidak terkunci! Dokter Quade memutuskan untuk bersembunyi dalam ruangan tersebut. Di atas pintu ruangan tersebut, tertera tulisan 'laboratorium kimia'.
Ruangan tersebut begitu sunyi. Hanya terdengar napas Dokter Quade sendiri yang begitu cepat nan tersengal-sengal. Terdapat satu lemari kabinet berukuran medium, yang berisi segala jenis cairan kimia. Dokter Quade memutuskan untuk bersembunyi di balik lemari kabinet tersebut. Tercium aroma berbagai jenis cairan kimia.
Di sudut kanan depan, terdapat sebuah meja tulis dan sebuah kursi di depannya. Di atas meja tulis itu, terdapat sebuah komputer. Mungkin komputer itu digunakan untuk mengetikkan laporan-laporan segala jenis penelitian yang dilakukan dalam laboratorium ini. Sekonyong-konyong, komputer tersebut hidup sendiri. Papan ketik mulai berbunyi-bunyi dengan sendirinya, seolah-olah ada yang mengetik-ngetik sesuatu di depan komputer itu.
Dokter Quade juga mendengar suara papan ketik yang diketik-ketik dengan kecepatan tinggi. Tidak mungkin anak itu masuk ke sini dan bisa mengetik dengan teramat cepat seperti itu. Pasti sudah ada petugas laboratorium ini yang datang dan sedang mengetik laporannya yang tertunda. Aku bisa keluar dari sini dan mengatakan pada petugas itu aku sedang mencari cairan formalin.
Kembali Dokter Quade merapikan kemejanya yang sempat berantakan ketika ia berlari-lari tadi. Ia keluar dari tempat persembunyiannya di belakang lemari kabinet. Dia terperanjat sekali lagi tatkala dia melihat sama sekali tidak ada orang di depan komputer itu. Komputer itu hanya menyala dengan sendirinya. Papan ketiknya mengetik-ngetik dan bergerak-gerak sendiri dengan kecepatan tinggi. Di layar komputer, tertera tulisan besar-besar,
"Dokter Quade! Dokter Quade…! Kau sudah berjanji akan membawaku pergi jalan-jalan, pergi bermain ayunan, dan pergi berenang. Jika memang kau tidak sempat, tidak apa-apa. Aku bisa mengerti kok… Jika memang kau tidak sempat membawaku pergi berenang, kita berenang di sini saja ya…"
Dokter Quade terhenyak kaget. Dia mengambil dua langkah mundur. Kakinya tersandung kaki meja penelitian yang ada di belakang. Tubuhnya jatuh sempoyongan ke belakang dan kontan menimpa lemari kabinet tadi, dengan lima botol air keras di atasnya. Segera botol pertama jatuh tepat ke atas kepala Dokter Quade. Dokter Quade terduduk lemas dengan setengah badannya yang bersandar pada lemari kabinet. Belum sempat ia memekik tertahan, botol kedua jatuh lagi, juga tepat ke atas kepalanya. Tampak kepala si dokter sudah mulai meleleh dengan darah merah segar yang berhamburan ke segala arah. Botol ketiga jatuh lagi, juga tepat ke atas kepalanya lagi. Bagian otaknya kini habis seluruhnya terbakar oleh cairan air keras tersebut. Tampak kedua tangannya yang mulai kaku dan menegang. Botol keempat jatuh lagi, juga tepat ke atas kepalanya. Kedua bola matanya terlepas dari rongga mereka, menggelinding turun, dan mendarat persis di dalam genggaman kedua tangannya yang menegang tadi. Botol kelima jatuh, juga tepat ke atas kepalanya. Kepala yang sudah tinggal setengah tadi, kini kontan terbakar habis. Jadilah sesosok mayat tanpa kepala, dengan posisi setengah badan yang bersandar pada lemari kabinet.
Keadaan laboratorium kimia kembali sepi. Pendingin ruangan kembali dimatikan. Komputer kembali dimatikan. Tidak terdengar lagi suara orang yang mengetik-ngetik di depan komputer. Lampu pun akhirnya dimatikan.
Seisi ruangan kembali sunyi, kembali senyap.
***
Tanah Deli, awal November 1931
Pak Roberto Fang terhenyak kaget tatkala tahu Dedrick de Groot sejak awal sudah mengincar anak perempuannya satu-satunya.
"Bagaimana, Pak Roberto Fang? Jika Anda menikahkan anak perempuan Anda kepada saya, utang Anda terhadap bank Belanda itu lunas semua. Saya akan melunasi semua utang Anda kepada bank Belanda, dan Anda menikahkan anak Anda kepada saya. Suatu kompensasi yang pantas bukan?"
Tampak Valencia memandangi ayahnya dengan mata nanar. Namun seperti biasanya, dia hanya bisa terduduk lemas dan pasrah di tempatnya, tanpa punya kekuatan apa-apa untuk menuntut sebuah keadilan.
Pak Roberto Fang mendekati anak perempuannya.
"Kau tahu jika kau menikah dengan Dedrick de Groot ini, segala utang Ayah pada bank Belanda itu akan lunas, Valencia? Kau tahu itu dengan jelas bukan? Sebagai anak yang berbakti pada Ayah, kau tentunya akan mengiyakan permintaan Dedrick de Groot ini dan menikah dengannya guna menolong Ayah keluar dari jeratan utang ini bukan?"
Valencia menggigit bibirnya dan membuang pandangannya ke arah lain. Dia sama sekali tidak ingin berkata mau atau tidak. Pak Roberto Fang langsung mengambil kesimpulan sendiri.
"Oke, Pak Dedrick… Anda boleh menikahi putri saya. Saya ingin Anda membuat semacam surat perjanjian untuk membantu melunasi semua utang saya pada bank jika Anda sudah menikah dengan putri saya. Oke kan?"
Tampak senyuman sinis nan mengerikan di wajah Pak Roberto Fang.
"Anda memang seorang pengusaha yang cerdik dan awas, Pak Roberto."
Dedrick de Groot meledak dalam tawa yang terbahak-bahak. "Mulai detik ini, Valencia adalah kekasih saya. Dia adalah calon istri saya. Saya berhak membawanya ke mana pun yang saya kehendaki. Malam ini saya mau berkencan dengan Valencia. Dandani dengan cantik supaya dia tidak membuat saya malu ketika saya ajak makan di luar nanti."
Dedrick de Groot tertawa terbahak-bahak sambil berlalu.
Seperti yang dijanjikan, Pak Roberto Fang mendandani putrinya dengan cantik jelita hari itu. Malam harinya, Dedrick de Groot benar-benar datang menjemputnya dan membawanya ke bar yang cukup terkenal di Tanah Deli pada zaman itu.
Perasaan Valencia mulai terasa tidak enak ketika dia melangkah memasuki bar. Semua pasang mata keranjang tertuju ke arahnya. Semua pasang mata itu seolah-olah akan melahap dan menelannya hidup-hidup. Dia mulai merasa tidak nyaman ketika seorang perempuan setengah baya dengan pakaian glamor dan dandanan menor mendekatinya. Perempuan setengah baya itu memperhatikannya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Barang bagus… Ternyata matamu tidak salah menilai," tampak sebersit senyuman sinis di wajah si perempuan setengah baya.
"Barang ini sangat langka dan bernilai. Aku bisa mendapatkannya karena ayahnya berutang banyak pada bank ayahku. Jika tidak begitu, jangan harap aku bisa menyentuh bahkan sehelai rambutnya. Oleh sebab itu, kau harus memperlakukan dia dengan baik."
"Jangan khawatir, Dedrick… Dia akan menjadi primadona di sini," ujar si perempuan setengah baya sembari membelai-belai wajah Valencia.
Valencia terkesiap di tempatnya. Dia menyadari dia sedang berada di depan mulut harimau. Takut dan panik segera mengeriap di pesisir pikirannya.
***
Masih di hari yang sama, masih di zaman yang sama… Hanya saja, titik waktu bergeser sedikit ke siang harinya. Waktu menunjukkan pukul satu siang hari. Tampak bangunan 3P dari jalanan Tanah Deli yang masih lengang dan tidak begitu ramai. Pada zaman ini, mobil merupakan sebuah kemewahan yang hanya diperuntukkan bagi kalangan kelas atas, kalangan pejabat Belanda, kalangan konglomerat dan kalangan tuan-tuan tanah. Bahkan sepeda motor masih sangat jarang. Yang paling banyak terlihat adalah sepeda dan para pejalan kaki.
Bangunan 3P merupakan gedung tertinggi di antara bangunan-bangunan yang ada di areal tersebut. Setiap harinya, tukang pos akan keluar masuk bangunan 3P ini karena banyaknya surat masuk dan surat keluar yang silih berganti. Dengan pendanaan yang tak kunjung henti dari Kenny Herry Yanto Wangdinata yang merupakan seorang pengusaha muda yang sangat sukses pada zaman itu, bangunan 3P disulap menjadi gedung berlantai tiga dengan arsitektur dan rancangan interior ala Inggris yang dipadupadankan dengan gaya China.
Tampak suasana yang cukup ramai dan sibuk di lantai dua, di mana hanya anggota-anggota 3P yang diperbolehkan masuk dan mempergunakan segala fasilitas yang ada dalam ruangan ini. Terdengar suara orang-orang yang bercakap-cakap, terdengar suara mesin tik yang sambung-menyambung satu sama lain, dan tampak pula beberapa tukang pos yang keliling-keliling sana sini menyampaikan surat-surat masuk untuk anggota-anggota yang nama mereka tertera pada amplop-amplop surat yang ada dalam genggaman tangan mereka.
"Kau tidak sadar dengan hasil tulisanmu ini, Boy?" kata Kenny Herry melemparkan majalah berbahasa Inggris ke hadapan Boy yang sibuk berkutat dengan mesin tiknya, menulis sebuah cerita terbarunya dalam bahasa Indonesia.
"Apa yang salah dengan cerita itu? Kan aku hanya menuliskan cerita misteri kematian seorang lelaki Belanda. Di akhir cerita, ternyata pembunuhnya adalah istrinya yang merupakan seorang bumiputra. Di akhir cerita, ada diceritakan istrinya itu ditangkap oleh para polisi Belanda, diadili di pengadilan Belanda, dan kemudian dihukum mati kok!" kata Boy seraya mengerutkan dahinya. Dia merasa heran kenapa sahabatnya bisa mempermasalahkan salah satu tulisannya yang sudah lewat beberapa minggu.
"Dan kau menuliskan cerita itu dengan maksud menyampaikan implikasi bahwasanya orang-orang bumiputra bisa saja melawan, memberontak, dan bahkan membunuh orang-orang Belanda kan? Ceritamu ini menjadi favorit di kalangan bumiputra bahkan dua minggu setelah ceritamu ini tamat, Boy. Dan juga menjadi bulan-bulanan di kalangan pejabat-pejabat Belanda yang ada di sini. Kau tahu apa artinya itu, Boy?" sahut Kenny Herry tidak memberi ampun.
"Akhir ceritanya kan kubuat tetap orang Belanda yang menang dengan matinya si istri yang merupakan orang bumiputra itu kan! Ya sudah… Suruh mereka baca sampai akhir dulu dong baru menyuarakan persepsi! Jangan hanya baca sampai setengah dan bersalahan dalam menarik kesimpulan!"
"Mereka takkan peduli dengan pesan yang kausampaikan di akhir cerita itu, Boy. Mereka hanya peduli pada maksud dan tujuan penulisanmu yang sebenarnya. Gara-gara tulisan ini, gerak-gerik kita menjadi diawasi terus-menerus oleh pejabat-pejabat Belanda yang ada di sini, Boy. Ruang gerak kita menjadi terbatas. Surat masuk ke sini dan surat keluar dari sini semuanya harus diperiksa oleh departemen pemeriksaan orang-orang Belanda itu. Aku terpaksa harus memakai pantun dan peribahasa ketika berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di Tanah Aceh dan Tanah Padang sana. Untung ada Jacky yang membantuku mengarang pantun-pantun yang mudah dimengerti di kalangan sesama bumiputra."
Tampak Boy Eddy membisu seribu bahasa sekarang.
"Dan cerita yang kautulis sekarang tentang apa sih, Boy?" tanya Kenny Herry lagi sedikit mengerutkan dahinya.
"Tentang persahabatan di antara lima orang remaja… Dua di antara mereka adalah orang Belanda, dan tiga sisanya adalah orang China seperti kita… Kemudian…" belum sempat Boy menyelesaikan kalimatnya, Kenny Herry sudah melemparkan sebersit senyuman kecut dan berujar,
"Dan dua orang Belanda itu akan mengkhianati tiga teman China mereka. Pada akhir ceritanya, tiga teman China itu akan membunuh dan membinasakan dua teman yang Belanda ini. Iya kan? Jelas itu memberikan implikasi bahwa orang-orang Belanda akan kalah di negeri ini, dan mereka semuanya akan diusir keluar dari bumi pertiwi kita ini. Itu kan maksudmu?"
"Memang begitu… Tapi ceritaku yang terbaru ini tidak kutuliskan dalam bahasa Inggris ataupun Belanda lagi. Kutuliskan dalam bahasa Indonesia kita. Apa semua pejabat dan orang-orang Belanda itu mengerti bahasa Indonesia kita?" Boy masih tampak mempertahankan pembenarannya.
"Kau salah besar jika kau bilang mereka tidak bisa memahami. Kecuali kau menuliskan ceritamu itu dalam huruf Jawi, jelas mereka tidak bisa memahami. Ini kau tulis dalam bahasa Indonesia kita, dengan memakai huruf-huruf alfabet yang jelas berasal dari bahasa Belanda mereka; kau mau menyakinkan anak kecil orang-orang Belanda itu tidak mengerti isi cerita yang kautuliskan ini? Sekarang kita tidak lagi memakai huruf Jawi, Boy. Kita sudah memakai ejaan van Ophuijsen itu. Semua huruf dan angka yang ada pada tuts-tuts mesin tikmu itu berasal dari bahasa Latin, ibu dari bahasa Belanda mereka. Kau mengerti tidak sih?" Kenny Herry tampak begitu menggebu-gebu dalam penjelasannya. Dia tahu Boy Eddy minim sekali pengetahuannya akan bahasa Melayu yang pada waktu itu sudah menjadi bahasa Indonesia dengan sistem ejaan van Ophuijsen, karena pendidikan Boy Eddy didominasi oleh pendidikan Inggris dan Belanda.
Terdengar Boy Eddy mendengus berat dan wajahnya menjadi agak suram nan kelam.
"Oke… Jadi aku harus ganti cerita ini dengan tema penceritaan yang lain? Begitu kan?"
Terlihat wajah Boy Eddy yang agak murung. Dia menarik kertas yang sudah ia ketik seperdelapan dari mesin tik. Dia membawa semua tumpukan naskahnya dan berjalan menuruni tangga ke lantai bawah. Kenny Herry mengantar kepergian Boy Eddy dengan dahinya yang berkerut dalam.
"Apa aku ada salah bicara? Nggak kan? Jelas dengan tulisan-tulisannya di majalah itu, ruang gerak kita menjadi terbatas sekarang ini! Kok jadinya dia yang marah!" tampak Kenny Herry bersenandika dengan dirinya sendiri.
Sambil mendengus ringan sekarang, Kenny Herry kembali ke ruangannya sendiri di lantai tiga.
Kesibukan di lantai dua gedung 3P terus berlanjut. Terdengar orang-orang yang bercakap-cakap sana sini. Terdengar terus suara mesin tik yang saling bertaut satu sama lain.
***
Malam sudah meladung di seantero Tanah Deli. Untuk hiburan di malam hari, televisi masih menjadi barang langka yang sangat mahal. Acara yang disiarkan pun terbatas, dan kebanyakan hanya dalam bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Kebanyakan orang menghabiskan waktu di bar. Ada yang menghabiskan waktu di malam hari dengan kekasih tercinta, dengan para sahabat, atau dengan keluarga di taman-taman kota atau di pasar-pasar malam yang tersebar di seantero Tanah Deli. Ada juga yang memilih menghabiskan waktu di malam hari dengan berjualan makanan atau minuman yang terkenal pada zaman itu di pasar-pasar malam yang bisa dijumpai hampir di setiap sudut Tanah Deli.
Boy yang memiliki sedikit beban pikiran memilih untuk ke bar saja. Dia meneguk banyak sekali alkohol pada malam hari itu. Meski sudah seperdelapan mabuk, kesadarannya masih jelas dan dia masih bisa mengenali Kenny Herry dan Jacky Fernandi yang mencarinya ke bar malam itu.
"Akhirnya menemukanmu juga… Bisa tidak sih kau tidak bersikap kekanak-kanakan begini!" Kenny Herry sedikit menggerutu.
"Ya… Ya… Aku yang salah… Aku yang salah… Aku merasa sangat bersalah. Sekarang biarkan aku mabuk dan biarkan aku tenggelam dalam perasaan bersalahku ini, Ken…"
Cara bicara Boy Eddy sudah ngawur. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Meski demikian, ketika berdiri, dia masih bisa berdiri dengan seimbang.
"Mabuk berat dia, Ken…" ujar Jacky Fernandi. "Sepertinya perasaan bersalahnya itu benar-benar membebaninya."
"Iya… Dia tidak pernah semabuk ini sebelumnya kan?" Kenny Herry mendengus dan menghela napas panjang.
Mendadak terdengar jeritan Valencia yang kebetulan juga berada di klub malam yang sama.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku…!" tampak Valencia masih memberontak dan berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan kedua body guard yang ada di samping kiri dan kanannya.
"Kau menjualku ke klub malam ini rupanya! Aku takkan memaafkanmu! Aku takkan memaafkanmu! Aku akan bilang pada Ayah dan Ayah akan membuat perhitungan denganmu!" teriak Valencia masih dengan kedua tangannya yang meronta-ronta.
"Ayahmu saja tidak berkutik dikarenakan semua utangnya pada bank yang sebenarnya adalah milik ayahku. Apa kau kira dia sanggup menyelamatkanmu dari tempat ini? Malam ini aku ingin dia tahu, berutang pada orang Belanda adalah tindakan yang salah. Dia ingin mengambil uang orang Belanda, oke-oke saja… Namun, dia harus membayarnya dengan kesucian dari anak gadisnya sendiri!"
Si perempuan setengah baya tampak tertawa sinis, "Kenapa tidak kaunikmati saja sendiri dan malah kaujual dia ke tempatku sini, Dedrick?"
"Cih! Aku tidak suka gadis China! Di belakangku, masih ada banyak gadis bangsaku sendiri yang antre ya!" tampak Dedrick de Groot membuang ludahnya ke lantai.
"Bawa dia ke dalam dan tunggu tamu pertamanya malam ini!" kata si perempuan setengah baya yang sepertinya adalah si pemilik bar.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" teriak Valencia mulai memberontak lagi ketika dua body guard menyeretnya masuk ke bagian dalam bar.
"Aku ingin membelinya!" teriak Boy Eddy tiba-tiba.
Semua pasang mata mengarah ke sesosok laki-laki muda ganteng dengan postur tubuh tinggi tegap, mengenakan baju model China klasik warna hijau muda. Kenny Herry dan Jacky Fernandi terhenyak kaget kenapa Boy Eddy bisa seberani itu mencari masalah dengan orang-orang Belanda.
"Kau mau membelinya? Kau punya uang? Aku beli dia seharga tiga ribu Gulden. Ada uang, berikan uangnya kepadaku dan kau boleh membawanya pergi dari sini. Tidak ada uang, tutup mulutmu dan jangan ganggu aku berbisnis ya!" tukas si perempuan setengah baya dengan nada ketus.
"Tiga ribu Gulden?" mendadak Boy Eddy meledak dalam tawa yang terbahak-bahak. Dia mengeluarkan segepok uang dari dalam saku celananya dan melemparkannya ke wajah si perempuan setengah baya.
Si perempuan setengah baya langsung mengutip uang tersebut dengan penuh suka cita. Terdengar tawanya yang melengking menjijikkan bagai burung terjepit dalam sarang lebah.
"Astaga… Maafkan aku, Tuan Muda… Maafkan aku… Belum tahu jati diri dan statusmu, mulutku sudah mengomel yang macam-macam. Maafkan atas prasangka burukku ya… Maaf… Maaf… Malam ini Tuan Muda mau bermalam di sini atau langsung membawanya pulang?"
"Aku ingin membawanya pulang…" tampak senyuman menenangkan di wajah Boy Eddy meski dia sudah seperdelapan mabuk. Entah kenapa mulai timbul suatu kelegaan dalam pesisir pantai pikiran Valencia melihat senyuman Boy Eddy malam itu.
Dia… Dia… Dia membeliku dan ingin membawaku pulang? Seharusnya aku merasa takut… Seharusnya aku merasa gentar. Tapi, dari senyumannya itu, aku jadi merasa lega. Astaga, Valencia… Apa yang sedang kaupikirkan? Nasibmu bisa saja berakhir tragis ketika kau ikut si baju hijau ini pulang. Kenapa kau justru merasa lega? Kenapa kau seolah-olah begitu percaya pada si baju hijau ini?
"Aku rasa ikut campur ke dalam urusan orang lain bukanlah perkara yang baik, Kawan… Kau kira memiliki banyak uang itu hebat!" mulai tampak raut ketidaksenangan di wajah Dedrick de Groot.
"Oh ya…? Aku ikut campur ke dalam masalahmu, Kawan? Aku bayar dia itu dengan uangku sendiri! Aku tidak pinjam uangmu! Apa kau harus atur-atur aku ke mana aku harus memakai uangku?" Boy Eddy yang sudah seperdelapan mabuk bertanya dengan sorot mata menantang.
Dedrick de Groot ingin mendaratkan satu tinju ke wajah Boy ketika mendadak tangannya ditahan oleh tangan Kenny Herry yang entah sejak kapan sudah berdiri di dekat mereka.
"Hal apa pun itu bisa dibicarakan baik-baik, Bro… Jangan main kekerasan…" Kenny Herry tersenyum sinis dan mendorong mundur tubuh Dedrick de Groot dengan kasar.
Dedrick de Groot mundur beberapa langkah. Beberapa anak buahnya di belakang hendak mengeluarkan pistol masing-masing ketika beberapa anak buah Kenny Herry juga tampak siaga dengan pistol di saku masing-masing.
"Jangan main kekerasan, Sobat. Apa kau tidak dengar tadi?" kini tampak senyuman sinis Jacky Fernandi.
Dedrick de Groot tidak bisa berkutik malam itu. Kebanyakan tamu di bar itu adalah anak buah Kenny Herry dan anggota-anggota 3P yang tentunya berpihak pada The Amazing Boys.
"Gadis ini sudah dibeli oleh teman kami ini. Bu Xaviera juga sudah setuju dan uang juga sudah diambil. Iya kan, Bu Xaviera?" tanya Jacky Fernandi melemparkan sebersit senyuman menawan ke arah Bu Xaviera.
"Iya… Iya… Tentu saja, Tuan Muda. Ada uang, ya ada barang. Aku selalu melakukan transaksi yang adil di sini…" Bu Xaviera berusaha tertawa santai dan menetralkan ketegangan yang sempat memanas tadi.
Bu Xaviera mendekati Dedrick de Groot dan berbisik, "Mereka adalah The Amazing Boys rupanya, Dedrick… Jika kau tidak tahu siapa mereka bertiga, akan kuberitahu padamu… Banyak tamu di sini yang merupakan pendukung mereka. Pendukungmu kalah banyak bisa kupastikan. Jadi sebelum terjadi hal-hal yang tak diinginkan, sebaiknya kau mundur dari sini. Aku tidak ingin barku hancur lebur hanya gara-gara keributan sepele."
Dedrick de Groot mengisyaratkan kepada anak-anak buahnya untuk mundur perlahan-lahan. Dia juga mundur dari bar tersebut sembari terus memandangi tiga sahabat The Amazing Boys dengan matanya yang mendelik tajam.
"Oke… Sudah boleh bersenang-senang dan menikmati waktu Anda-anda di sini…" kata Bu Xaviera kembali menampilkan senyuman khasnya yang terkesan menjijikkan.
"Terima kasih… Terima kasih…" kata Valencia mendekati Boy Eddy. "Namaku Valencia… Senang berkenalan dengan kalian…"
"Aku Kenny Herry…"
"Aku Jacky Fernandi…" kata Jacky Fernandi melemparkan sebersit senyuman santai. "Kau harus berterima kasih padanya karena dialah yang telah membelimu."
Kenny Herry menepuk-nepuk ringan bahu sang sahabat. "Pendamping barumu ini bernama Valencia. Kau harus memperlakukannya dengan baik ya. Jangan bersikap kasar pada seorang gadis perawan."
Kenny Herry dan Jacky Fernandi tampak tersenyum geli. Tampak mereka berlalu dari tempat itu.
"Aku… Valencia… Siapa namamu? Boleh tidak kita berkenalan?"
Boy Eddy mendengus ringan dan tersenyum santai sembari memandangi Valencia dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Gadis secantik dan selembut dirimu pasti berasal dari kalangan atas. Aku heran kenapa ayahmu bisa berutang banyak pada si Belanda itu. Heran…"
"Saat merintis usahanya, Ayah memang ada meminjam uang dari bank Belanda itu. Sampai sekarang pembayaran Ayah tetap lancar kok. Mendadak saja, dia datang ke rumah dan ingin Ayah melunasi semua utangnya padahal masih ada satu tahun cicilannya."
"Entah ayahmu yang bodoh atau tidak bisa berhitung. Sekali meminjam uang dari orang-orang Belanda, dia akan membayarnya dengan mahal sekalipun kelak ketika semua utangnya sudah lunas."
Valencia hanya diam menunduk. Dia tampak menunduk dan sedikit meneteskan air matanya.
Boy Eddy spontan mengangkat tangan dan menyeka ekor mata Valencia. Tentu saja perbuatan itu membuat si putri pujaan tercengang.
"Pulanglah… Sudah jam sembilan lewat juga nih… Tidak baik seorang putri sepertimu berkeliaran tak jelas di bar pada jam-jam segini…"
Boy Eddy berjalan terhuyung-huyung keluar dari bar, dan menyusuri jalanan Tanah Deli di malam hari. Udara malam terasa begitu dingin. Lima belas menit menyusuri jalan setapak, akhirnya Boy Eddy tiba di depan rumahnya sendiri, sebuah rumah petak sederhana berlantai satu.
Alangkah terhenyaknya Boy Eddy ketika menyadari Valencia Fang ternyata mengekorinya sampai ke rumahnya.
"Sudah kubilang tadi kan? Kau harus pulang… Malam-malam begini seorang gadis perawan sepertimu berkeliaran tak jelas, nanti kau bisa dicap sebagai gadis yang tidak-tidak!"
"Aku tak mau balik ke rumah… Ketika aku balik nanti, mereka akan kembali menjemputku dan membawaku ke bar dan kemudian menjualku. Lagipula, kau sudah membeliku. Mulai sekarang, aku akan mengikutimu ke mana pun kau pergi."
Boy Eddy tampak tersenyum nakal. Dia mendekati Valencia dan mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. "Kau mau bermalam di sini? Kau yakin? Kau tidak takut aku mengapa-apakan dirimu tengah-tengah malam nanti?"
Tampak Valencia memicingkan matanya sejenak.
Boy Eddy menghela napas panjang. Memang pada prinsipnya, ia tidak pernah mau melakukannya dengan gadis yang tidak menginginkannya. Dia tidak suka memaksa. Itulah salah satu nilai hidup yang dipedomaninya ketika tinggal di panti asuhan dulu.
Boy Eddy membuka pintu dan mempersilakan Valencia masuk. Valencia masuk dan pintu kembali ditutup rapat.
"Kau tidur saja di kamar dalam. Aku tidur di sofa ini… Di lemariku itu hanya ada pakaian laki-laki, tidak ada pakaian perempuan. Kau pakailah dulu kaus tidurku. Bersih karena fresh dari bibi cuci. Besok nanti baru lihat bagaimana baiknya…"
"Tidak usah repot-repot… Aku bisa membeli barang-barang keperluanku sendiri… Terima kasih… Terima kasih sudah menyelamatkan aku dan mengizinkanku bermalam di sini… Selamat… Selamat malam…"
"Selamat malam…" Boy Eddy kontan membaringkan dirinya ke atas sofa. Beberapa saat kemudian, sudah terdengar dengkuran halus dari atas sofa.
Valencia masuk ke dalam kamar Boy Eddy. Dia melarikan pandangannya ke seisi kamar. Kamar yang sungguh rapi… Tidak ada terlalu banyak barang. Hanya ada beberapa barang yang memang dia butuhkan… Kamar yang sungguh rapi, terlihat sederhana nan tidak mencolok… Sungguh dia terkesan sebagai laki-laki yang sederhana, tapi penuh dengan keseriusan dan tanggung jawab…
Malam itu dilewatkan Valencia sebagai malam yang tenang nan damai.
Cinta perlahan-lahan mulai bergelitar di padang pikiran Valencia Fang.
***
Medan, 20 Mei 2018
"Ini ya rumahnya?" Kenny Herry mengamati sebuah rumah besar yang ada di depan mata. Angela Thema langsung mengangguk cepat dan mantap.
Mereka kini sedang berada di kawasan perumahan Citraland Bagya City. Berjejerlah rumah-rumah yang mewah nan elegan sepanjang jalan masuk sampai ke depan rumah besar yang diketahui mereka adalah milik Nona Jessica Wong, sang general manager PT. Keramik Rusli.
Tampak seorang pembantu laki-laki yang keluar dan terlihat agak ragu apakah mau membukakan pintu bagi kedua tamunya atau tidak.
"Angela Thema dari PT. Keramik Rusli datang bertamu, Bang…" kata Angela.
Si pembantu laki-laki mengangguk dan segera masuk ke dalam. Tak lama kemudian, secara otomatis pintu pagar bergeser membuka dengan sendirinya. Kenny Herry tersenyum santai. Pintu pagar ini digerakkan dengan listrik yang dikendalikan dari dalam rumah.
Kenny Herry dan Angela masuk dan pintu pagar bergeser menutup lagi. Kedua tamu diarahkan ke bagian samping rumah di mana terdapat taman dan kolam renang yang luas di sini. Tampak Nona Jessica Wong habis berenang dan bersantai menikmati sinar matahari sore sembari berbaring di tepian kolam renang.
"Minggu sore begini bisa bertandang ke sini, Gel. Kau bisa mengetahui alamat tempat tinggalku sini? Hebat sekali penyelidikanmu ya…"
Angela merasa sedikit heran. Tidak pernah Nona Jessica Wong memanggilnya dengan panggilan yang seakrab itu. Angela berpikir, mungkin ini tidak di kantor dan tidak sedang dalam suasana formal.
Nona Jessica Wong mempersilakan kedua tamunya duduk. Kenny Herry dan Angela duduk di deretan kursi-kursi yang ada di samping kolam renang.
"Mau minum? Aha… Pacarmu selalu tampil dalam pakaian yang serba biru, Gel… Aku ada jus blueberry juga di sini. Mau?"
"Boleh…" terlihat sebersit senyuman menawan dari wajah ganteng Kenny Herry. Jelas tampak Nona Jessica Wong begitu terpana.
"Kau mau minum apa, Gel?" tanya Nona Jessica Wong kepada Angela.
"Sama dengan Kenny saja, Bu Jessica…" jawab Angela sembari menganggukkan kepalanya sekali.
Si nyonya rumah berdiri sejenak dan berjalan masuk ke ruangan dapur. Setelah memberitahu pesanan kedua tamunya kepada si pembantu, dia berjalan keluar lagi. Entah sengaja, entah tidak hati-hati, jam tangan yang sedang dikenakannya terlepas dari lengannya dan tercebur ke dalam kolam renang.
"Aduh! Ada yang bisa membantuku mengambilkannya tidak? Aku baru saja mandi air bersih nih… Masa aku harus menceburkan diri ke kolam dan mandi air bersih lagi… Kau bisa berenang, Gel?"
Angela menggeleng.
"Pacarmu bisa berenang?"
"Kenny, Bu Jessica… Panggil saja Kenny," tukas Kenny Herry santai.
"Kenny bisa berenang?"
"Bisa sih bisa… Hanya saja, aku kan tidak bawa baju ganti. Tidak mungkin dong aku pulang dari sini dalam keadaan baju dan celanaku basah semua."
Nona Jessica Wong tertawa ringan, "Kau kan tidak mesti cebur ke dalam dengan pakaian lengkapmu. Dalam ruang ganti itu, ada satu stel celana renang cowok yang berwarna biru gelap. Pas sekali dengan warna kesukaanmu. Bagaimana? Jam tangan itu aku beli dari Paris loh, Ken… Mahal sekali… Sayang sekali kalau rusak terendam dalam air terlalu lama."
"Oke… Tidak masalah… Habis ini, Bu Jessica harus bantu jawab-jawab pertanyaan yang berhubungan dengan penyelidikan kami ya…"
Angela menatap sang malaikat birunya dengan bingung. Sang malaikat biru hanya tersenyum santai sembari mengedipkan sebelah matanya dengan Angela. Sang malaikat biru kemudian bergegas masuk ke dalam ruang ganti yang diindikasikan oleh Nona Jessica Wong barusan.
Di dalam ruang ganti, Kenny Herry melihat sosok si anak kecil laki-laki yang tempo hari mendorong-dorong kepala Nona Jessica Wong.
"Abang mau berenang?" tanya si anak kecil dengan polos.
"Berenang sebentar, dan habis itu membantumu menegakkan keadilan, Adik Kecil. Habis itu lagi, mempertemukanmu dengan seseorang yang pastinya sudah sangat kaurindukan. Sabar ya…" Kenny Herry membelai sejenak kepala si anak kecil. Si anak kecil laki-laki hanya mengangguk dengan polos.
Dengan sekali sapuan tangan, otomatis baju dan celana Kenny Herry hilang semua dan berganti dengan celana renang warna biru Bromo.
"Abang tidak memakai celana renang yang berwarna biru gelap itu?"
"Tidak suka dengan biru yang itu… Terlalu gelap… Biru Bromo lebih keren dan maskulin."
"Apa itu maskulin, Bang?"
"Di kehidupan yang selanjutnya, kau akan mengerti dengan sendirinya. Sabar ya, Adik Kecil…"
"Ada penyelidikan apa nih, Gel? Benarkah aku bisa membantu?" tanya Nona Jessica Wong dengan nada santai.
"Tentu saja Bu Jessica bisa membantu. Nanti Kenny saja yang menjelaskan, Bu," kata Angela sembari tersenyum ringan.
Sosok sang malaikat biru berjalan keluar dan berdiri di tepian kolam renang. Entah dari mana datangnya, dia memiliki sepasang kacamata renang dan terlihat sedang mengenakan kacamata renangnya. Sontak bola mata Nona Jessica Wong dan Angela terpana melihat sosok tubuh tinggi putih nan seksi bedegap terpampang di hadapan mereka. Beberapa kali Nona Jessica Wong dan Angela tampak menelan ludah mereka, hanya bisa menikmati tubuh tersebut dari jauh tanpa bisa menyentuh dan menggapainya.
Dengan sigap, Kenny Herry mencebur dan menyelam ke dalam kolam. Dalam waktu lima detik, dia sudah mencapai bagian tiga meter, tempat di mana terdapat jam tangan tersebut. Tangan segera menyambar jam tangan tersebut. Dengan jerjak yang ada di pinggiran kolam tersebut, sang malaikat biru naik dari kolam dan menyerahkan jam tangan kepada Nona Jessica Wong. Sambil menelan ludah lagi, Nona Jessica Wong menerima jam tangan tersebut.
"Terima kasih sekali, Kenny… Berkat kau, jam tanganku ini tidak jadi rusak," Nona Jessica Wong menyapu sekujur tubuh sang malaikat biru dengan kedua matanya yang bersinar terang.
"Sama-sama…" tampak senyum menawan Kenny Herry.
"Aku akan ambilkan handuk untukmu…"
"Tidak usah… Dalam tas Angela ada baju handuk warna biru kok… Kebetulan kami baru saja jalan-jalan di Sun Plaza. Angela membelikan baju handuk warna biru untukku."
Kenny Herry mengedipkan sebelah matanya kepada sang putri pujaan hati. Sang putri pujaan hati membuka tas tangannya dan benar-benar ada baju handuk warna biru. Angela tersenyum ringan. Dia mengeluarkan baju handuk tersebut dan memakaikannya pada tubuh sang malaikat biru yang tinggi putih nan seksi bedegap. Tampak kedua tangan Angela sedikit gemetaran. Menyadari hal itu, Kenny Herry hanya tersenyum santai.
"Anak itu kembali mencarimu, Bu Jessica. Mungkin waktu itu kau belum memberinya jus mangga yang dia inginkan," tukas Kenny Herry santai lagi.
Mata Angela sontak membelalak lebar. Nona Jessica Wong berpaling ke samping kanan. Dia menjerit ketakutan tatkala anak dengan dua lubang besar pada tubuhnya kembali menampakkan diri di hadapannya. Kini anak kecil laki-laki itu melambaikan tangan padanya dan tersenyum padanya.
"Siapa… Siapa kau?" jeritan Nona Jessica Wong terus berlanjut.
Nona Jessica Wong hendak mengambil langkah seribu tatkala anak kecil itu kini mencengkeram tangan kirinya.
"Benaran kau tidak kenal anak ini, Bu Jessica?" tanya Angela sembari menyipitkan matanya.
"Siapa sebenarnya kalian? Siapa sebenarnya kalian? Mengapa kalian bisa membawa anak ini masuk ke dalam rumahku? Kalian telah sembarangan membawa orang masuk ke dalam rumahku! Aku akan lapor polisi! Ya, aku akan lapor polisi!"
"Kau yakin anak itu adalah orang? Kau yakin dia adalah manusia hidup? Bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki mata bisa melihatmu dan tahu persis kau ada di mana? Bagaimana mungkin orang yang ada lubang besar pada dada kirinya bisa hidup?" tanya Kenny Herry lagi menghampiri Nona Jessica Wong yang sudah berada di puncak kengeriannya.
"Katakan sejujurnya, Bu Jessica. Bu Jessica mengenal anak ini atau tidak? Jika Bu Jessica mengakui segala perbuatan Bu Jessica dengan jujur, kemungkinan… kemungkinan hukuman Bu Jessica takkan begitu berat," kata Angela sengaja memelankan kalimatnya.
"Hukuman apa maksudmu? Sama sekali tidak ada bukti! Tidak ada bukti yang bisa menjatuhkanku! Memangnya hukuman apa yang bisa aku terima? Kalian takkan bisa menangkapku! Kalian takkan bisa menangkapku! Justru aku yang akan menuntut kalian karena telah sembarangan membawa orang masuk ke dalam rumahku! Aku akan melaporkan kalian ke polisi!" Nona Jessica Wong tertawa di antara ketakutan dan kesinisannya.
Anak kecil laki-laki itu mulai menjulurkan lidahnya yang panjang keluar. Lidah mencapai pipi Nona Jessica Wong. Akan tetapi, Nona Jessica Wong sama sekali tidak bisa lari. Dia hanya bisa terus menjerit dan menjerit dalam kengerian. Angela bergidik ngeri menyaksikan fenomena itu. Dia bersembunyi di belakang tubuh sang malaikat biru yang tinggi putih. Sekonyong-konyong lagi, air kolam renang mulai beriak. Dari dalam kolam, satu tangan keluar dan tampaklah bagian kepala Audina Ivander yang mati bunuh diri. Meski wajahnya dalam keadaan rata tak berbentuk, si anak kecil laki-laki itu bisa mengenalinya.
"Ibu…! Ibu…!" jerit si anak kecil laki-laki kegirangan. "Ke sini dong, Bu… Aku menemukan mainan baru yang asyik… Asyik sekali dimainkan… Ke sini dong, Bu…"
Perlahan-lahan, sosok Audina Ivander mulai naik dari dalam kolam. Sosok itu kini berdiri dengan kondisi tulang belakang dan tulang leher yang terpatah-patah di hadapan Nona Jessica Wong. Sosok itu berjalan dengan terpincang-pincang ke arah Nona Jessica Wong.
"Tidak! Tidak! Lepaskan aku! Lepaskan aku! Jangan ke sini! Jangan ke sini!" Nona Jessica Wong menjerit dengan kuat. Anehnya, tak ada seorang pembantu pun yang mendengar jeritannya.
"Anak ini adalah anaknya…" Kenny Herry menunjuk ke sosok Audina Ivander yang mati bunuh diri. "Kau membeli anak ini kan?"
Nona Jessica Wong kini hanya bisa mengangguk pasrah.
"Kemudian apa yang kaulakukan pada anak ini?"
"Aku… Aku…"
"Aku yang bantu kau jawab saja. Kau mengeluarkan jantung dan kedua kornea matanya. Kau jual jantung dan kedua kornea mata itu pada orang lain yang ingin membelinya. Kau menjualnya dengan harga mahal. Uangnya dibagi dua antara kau dan dokter bedah yang mengeluarkan jantung dan kornea mata anak ini. Iya tidak? Bisnis yang sangat menggiurkan ya, Bu Jessica…"
"Semua itu adalah tawaran dari Dokter Quade. Aku hanya membantunya mencari anak yang akan dikorbankan. Aku sama sekali tidak menyentuh anak ini di atas meja bedah. Aku tidak membunuh anak ini! Dokter Quade yang telah membunuhnya!"
"Kau ingin melihat foto Dokter Quade? Dokter Quade juga sudah membayar perbuatannya…" Kenny Herry melemparkan foto Dokter Quade ke hadapan Nona Jessica Wong. Tampak kepala Dokter Quade yang sudah hilang total. Nona Jessica Wong menjerit dalam kengerian lagi.
"Sorry sekali… Aku tidak bisa menyelamatkannya. Semuanya memiliki karma masing-masing. Jika aku berusaha menyelamatkannya, sebagian dari karma buruknya akan berpindah ke diriku. Jelas aku tak ingin menanggung akibat karma yang tidak kuperbuat… Sorry sekali lagi… Aku tidak bisa menyelamatkannya, juga tidak bisa menyelamatkanmu…" tampak senyuman kecut Kenny Herry di sini.
Nona Jessica Wong menjerit-jerit tak karuan.
"Mainnya di dalam air saja, Bu… Lebih seru…" tukas si anak kecil laki-laki. Audina Ivander mengangguk mengiyakan.
Arwah ibu dan anak mulai menarik tubuh Nona Jessica Wong yang meronta-ronta ke dalam kolam. Tampak air kolam begitu beriak karena perlawanan dari tubuh Nona Jessica Wong. Lima menit berlalu. Sepuluh menit berlalu. Air kolam berangsur-angsur tenang. Tampak arwah Nona Jessica Wong naik dari kolam renang. Dia melihat mayatnya sendiri di dalam kolam. Kontan jeritan delapan oktaf yang melengking tinggi mulai berkumandang. Angela tidak tahan mendengar jeritan itu. Dia tampak menutup kedua telinganya.
"Aku masih ingin hidup… Masih ada banyak hal yang ingin kulakukan. Masih ada banyak impian yang belum aku raih. Masih ada banyak tempat wisata yang belum aku kunjungi. Kenapa aku harus mati? Kenapa aku harus mati?" teriakan Nona Jessica Wong terus berlanjut.
"Bu Jes! Bu Jes! Di mana kepalaku? Di mana kepalaku? Aku tak bisa menemukan di mana kepalaku. Aku hanya memiliki kedua bola mata ini. Jika tidak ada kepalaku, aku tidak tahu di mana aku harus memasukkan kedua bola mata ini," terdengar suara Dokter Quade di samping mereka.
Angela hanya memekik tertahan. Arwah Nona Jessica Wong menjerit lagi dengan lengkingan tinggi delapan oktaf.
Kenny Herry menutupi kedua mata Angela dengan tangannya. Dia meraih tubuh sang putri pujaan ke dalam pelukannya.
"Jangan dilihat, Gel… Jangan dilihat hal-hal yang mengerikan ini… Sebentuk realita hidup yang mengerikan… Sejak awal, Bu Jessica Wong hanya berupaya bertahan hidup. Dokter Quade juga hanya ingin bertahan hidup, dengan melawan realita hidup ini. Mereka menghalalkan segala cara. Sampai di akhir pun, mereka tetap berupaya bertahan hidup. Sayang, mereka kalah… Mereka kalah dalam melawan kejamnya realita hidup…"
Arwah Dokter Quade terus berjalan tanpa arah. Kenny Herry menjentikkan jarinya dan kereta api pengantar tiba di depannya. Tanpa disadarinya, Dokter Quade akhirnya naik ke dalam kereta api pengantar. Kenny Herry juga berjalan ke tempat di mana arwah Nona Jessica Wong berlutut dan menutupi kedua matanya. Dengan sigap, dia mendorong arwah tersebut masuk ke dalam kereta api pengantar.
"Jangan bawa aku pergi! Aku masih ingin menyelesaikan beberapa hal di kehidupan ini! Aku masih belum mewariskan harta kekayaanku ini kepada beberapa keponakanku… Jangan bawa aku pergi…!"
Jeritan Nona Jessica Wong berangsur-angsur lenyap seiring dengan berangkatnya kereta api pengantar dan jaraknya yang semakin dan semakin jauh.
"Apakah… Apakah… Qomar juga akan kalah dan akhirnya ia akan senasib dengan Bu Jessica dan Dokter Quade?"
"Entahlah… Hanya karma dia sendirilah yang tahu. Aku juga tidak tahu apa yang akan terjadi pada laki-laki itu…"
Kenny Herry menjentikkan jarinya. Kereta api magis datang. Keduanya naik ke dalam kereta api magis. Kereta api magis bergerak meninggalkan rumah besar Nona Jessica Wong.
Air kolam mulai kembali tenang. Tampak tubuh Nona Jessica Wong mulai mengendap di dasar kolam. Setengah jam hingga satu jam berlalu. Tubuh Nona Jessica Wong mengapung ke permukaan air. Si pembantu yang datang menghidangkan dua gelas jus blueberry terhenyak melihat kondisi tubuh Nona Jessica Wong yang sudah tidak bernyawa. Gelas berisi jus blueberry terjatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping. Terdengar si pembantu memekik tertahan.
***
Bisa ditebak, polisi, pihak rumah sakit, dan orang-orang Labkrim mulai datang menyidik rumah Nona Jessica Wong, areal kolam renang dan sekitarnya. Sama sekali tidak ditemukan adanya bekas, jejak, ataupun sidik jari yang mencurigakan. Polisi akhirnya memutuskan kematian Nona Jessica Wong adalah murni karena kecelakaan.
"Sama sekali tidak ada yang datang, Pak Polisi. Sekitar dua jam yang lalu, ada yang menekan bel dan saya dengar ada yang menekan tombol pintu pagar dari dalam. Saya kira itu adalah Ibu sendiri yang membukakan pintu untuk tamunya. Namun, ketika saya pergi melihat ke pekarangan depan, sama sekali tidak ada orang. Pintu pagar dalam kondisi tertutup dan Ibu sendiri sedang bersantai di tepian kolam renang. Saya balik lagi ke kebun samping kanan ini meneruskan pekerjaan saya," kata si pembantu laki-laki tampak sedikit kebingungan. Kenapa ini? Ada apa ini? Kenapa mendadak aku merasa ada sebagian dari ingatanku yang hilang? Kenapa ya ini? Apakah aku sudah mulai pikun?
"Selama ini Ibu sangat jago berenang. Makanya itu, saya heran sekali kenapa Ibu bisa tenggelam. Selain itu, tadi kira-kira satu jam sebelum kejadian, mendadak Ibu minta dibuatkan dua gelas jus blueberry, padahal sama sekali tidak ada tamu. Biasanya kalau mau tambah, Ibu akan minta minumannya ditambahkan ke dalam satu gelas yang sama. Ini kok mendadak Ibu meminta dibuatkan dua gelas jus blueberry ya?" tampak dahi si pembantu perempuan juga berkerut dalam.
"Mana tahu memang ada tamu dan dia duduk di dalam rumah dan Anda tidak melihat si tamu ini…" kata si polisi membuat sebuah asumsi.
"Setelah menyuruh saya membuatkan dua gelas jus blueberry itu, Ibu masih terus di kolam renang kok, Pak Polisi… Tidak mungkin dong Ibu meninggalkan tamunya sendirian di dalam ruang tamu sana. Dari sini saya bisa terus melihat ke kolam renang dan Ibu ada di sana terus sampai saya masuk ke dapur sini dan mulai membuatkan jus blueberry-nya. Di dapur sini, sama sekali tidak ada jendela lagi. Saya tidak bisa melihat ke kolam renang lagi. Saat saya keluar, saya lihat tinggal sandal Ibu yang ada di tepian kolam. Saya mendekati kolam dan ternyata Ibu sudah… sudah… sudah meninggal…" si pembantu tampak lirih dan menghela napas panjang.
Si polisi juga menghela napas panjang. Tidak ditemukan bukti suatu pembunuhan di rumah Nona Jessica Wong. Akhirnya, polisi hanya bisa menyimpulkan kematian Nona Jessica Wong murni karena kecelakaan.