webnovel

Penyelidikan Dimulai

BAB 13

Di perjalanan menuju kantor, Felisha Aurelia meracau sendiri dalam padang sanubarinya. Bagaimana mungkin dia masih bisa muncul di hadapanku setelah mengetahui siapa aku dan apa yang diperbuatnya padaku dan pada Boy di kehidupan lampau? Dia masih punya muka untuk muncul di depanku seolah-olah di antara kami tidak terjadi apa-apa! Memang Terry Liandy tetaplah Terry Liandy! Dari dulu sampai sekarang, tetap saja dia tidak berubah!

Sedikit gamang mulai menggeligit lereng pikiran Felisha Aurelia. Dia merasa dia harus mendirikan benteng pertahanan yang lebih tangguh supaya Hengky Fredieco bisa menjauhinya selamanya.

Mobil sampai di depan kantor perusahaan alat-alat tulis dan alat-alat cetak keluarga Viraluo. Perusahaan ini menjadi satu perusahaan yang cukup menguntungkan buat Pak Erwan Viraluo. Felisha Aurelia bertindak sebagai kepala departemen keuangan dan bagian personalia di sini. Dia mengecek setiap penerimaan dan pengeluaran perusahaan dan juga memantau jalur masuk keluarnya setiap karyawan yang bekerja di perusahaan ini.

Felisha Aurelia turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam gedung perusahaan. Dengan menaiki lift, dia tiba di lantai delapan tempat ruangan kerjanya berada. Tampak seorang gadis yang sebaya dengannya sudah menunggunya di dalam ruangan kerjanya. Tampak beberapa body guard yang berdiri di depan pintu ruangan kerjanya. Astaganaga! Sungguh seorang putri kaya raya…! Mau bertamu ke perusahaan orang saja, harus ada beberapa body guard yang menjaganya… Sayang nasibku tidak seberuntung itu…

"Pagi…" sapa Felisha singkat dan menebarkan sebersit senyuman hangat.

Si gadis cantik berpaling dan juga menebarkan sebersit senyuman hangat. "Halo, Felisha… Aku panggil Felisha saja ya karena kita sebaya…"

"Kau adalah…" Felisha sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya karena dia masih belum mengenal pihak seberang sementara pihak seberang sudah mengetahui namanya.

"Sorry… Aku tahu namamu dari papan nama yang ada di atas mejamu itu… Perkenalkan… Aku Xavi… Xavi Ximena… Tapi, kau boleh memanggilku dengan Vivi saja…" kata si Xavi sembari menampilkan senyuman cerahnya lagi.

Felisha Aurelia agak kesulitan menafsirkan nama tersebut – agak jarang didengar, agak sulit dicerap. "Safi…? Pakai S?"

Xavi menggeleng. "Pakai X, Fel…" tampak Xavi Ximena sedikit cengengesan, "Sudah kuduga kau akan kesulitan mencerap bagaimana menuliskan namaku. Banyak yang juga kesulitan mencerap bagaimana menuliskan namaku pada saat pertama kali kusebutkan namaku."

"Soalnya nama yang pakai X dalam nama-nama orang Indonesia ini kan sangat jarang," tampak Felisha sedikit tersenyum kecut.

"Seperti nama-nama orang Spanyol atau orang Malta begitu ya… Ibuku memang tamatan jurusan bisnis di Spanyol, Fel… Dia memberikan nama-nama yang berawalan X kepada kedua anaknya."

"Kau masih ada saudara?" tanya Felisha Aurelia santai sembari mulai menyeduh secangkir minuman cokelat untuk Xavi Ximena.

"Iya… Adik perempuan – beda satu tahun kami… Namanya Xava Ximela…" kata Xavi Ximena santai.

Felisha Aurelia tertawa renyah. "Nama kalian unik…"

Felisha Aurelia menghidangkan secangkir minuman cokelat ke hadapan Xavi Ximena. "Sorry banget, Vi… Aku hanya punya minuman cokelat ini di kantor. Aku jarang minum kopi ataupun teh. Kurang suka…"

Xavi Ximena menyesap minuman cokelat tersebut. "Don't worry… Aku juga suka cokelat. Cokelat memberikan kita kesegaran tersendiri ketika memulai aktivitas baru di pagi hari."

Felisha Aurelia melemparkan sebersit senyuman hangat. Entah kenapa, meski baru kenal, dia merasa dia sangat nyaman berekspresi di depan Xavi Ximena ini.

"Jadi apa nih kira-kira yang bisa aku bantu?" tanya Felisha Aurelia duduk di sebuah sofa panjang di depan Xavi Ximena duduk.

"Not a big deal, Fel… Kan perusahaan penerbitan ayahku yang di Jakarta sudah buka cabang di Medan juga. Kami sering ambil alat-alat cetak darimu juga. Sekalian Ayah menyuruhku datang ke sini mengobrol-ngobrol denganmu. Mungkin saja kita bisa berteman, Fel… Kan ke depannya kita akan sering-sering berkomunikasi karena perusahaan kami adalah pelanggan setia dari perusahaan kalian."

Felisha Aurelia kembali menampilkan senyuman hangat.

"Kau dan Xava akan pindah dan menetap di Medan?" tanya Felisha.

"Untuk sementara kami akan tinggal di Medan sampai kantor cabang yang di Medan stabil, Fel. Setelah itu, ya bolak-balik antara Medan dan Jakarta sambil mengurus kedua perusahaan kami deh…" kata Xavi apa adanya.

"Halo… Boleh aku masuk?" terdengar sebuah suara di depan pintu ruangan kerja Felisha yang menganga lebar.

"Masuk saja, Sen…" kata Xavi memberi isyarat kepada si pemuda awal dua puluhan dengan tubuh tinggi putih bedegap. Si pemuda yang sebaya dengan dirinya tampak melangkah masuk dan melemparkan sebersit senyuman menawan kepada Felisha. Felisha membalas dengan senyuman yang sama.

Sambil menyibakkan rambutnya yang panjang ke belakang, Xavi Ximena memperkenalkan pacarnya kepada Felisha Aurelia, "Perkenalkan, Fel… Ini temanku… Namanya…"

"Pacar…" senyum si pemuda lagi sedikit cengengesan. "Aku Wilsen Yono… Panggil saja Wilsen…" katanya sembari mengulurkan tangan.

Felisha menyalami tangan sang pemuda. "Aku Felisha Aurelia… Panggil saja Felisha…"

"Sudah beberapa tahun mendengar tentang perusahaanmu, Fel… Ternyata sebegitu hebat dan elegan." Wilsen melarikan pandangannya ke seisi kantor Felisha. Dia tampak sangat mengagumi interior design kantor Felisha yang sangat elegan nan eksotis.

"Pulang ke Jakarta nanti, aku akan mengubah rancangan kantorku menjadi seperti ini juga. Hanya saja, aku akan menambahkan sedikit unsur warna merah ke wallpaper-nya, sesuai dengan warna kesukaan Kakek dan Ayah," kata Wilsen seakan-akan mendapatkan inspirasi baru untuk rancangan kantornya.

"Wallpaper itu baru kauganti deh, Sen… Masa sekarang mau kauganti lagi…" kata Xavi Ximena sedikit tergelak dengan inspirasi mendadak dari sang kekasih.

"Yang dulu kuganti itu entah kenapa rasanya ada yang kurang cocok. Sekarang begitu melihat interior design kantor Felisha ini, aku jadi mendapat inspirasi baru design bagaimana yang baru cocok buat kantorku," timpal Wilsen Yono.

"Kalau boleh tahu Wilsen ini bisnisnya adalah…" Felisha sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya supaya pihak seberang yang menyelesaikannya sendiri.

"Pemilik satu sekolah national plus yang sudah sangat terkenal di Jakarta dan Surabaya. Di Medan lima tahun lalu ayahnya buka cabang juga. Namun, Wilsen ini hanya sesekali datang ke Medan untuk memantau dan memeriksa," tukas Xavi Ximena.

"Tidak seterkenal itu deh, Vi… Lumayanlah… Cukup makan… Cukup pakai… Cukup tidur…" kata Wilsen berkelakar. Xavi Ximena meledak dalam tawa renyahnya. Felisha Aurelia hanya mengulum senyumannya.

"Apa nama sekolahnya kalau boleh tahu?" tanya Felisha Aurelia lagi.

"Oliver Plus…" kata Wilsen menebarkan sebersit senyuman menawan.

"Nama yang bagus ya…" Felisha Aurelia tampak mangut-mangut. Kebetulan sekali… Ternyata sekolah Oliver Plus tempat Carvany bekerja itu adalah milik keluarga si Wilsen Yono ini…

"Ngomong-ngomong, belum sarapan nih… Lapar aku loh… Kau sudah sarapan, Fel?" tanya Xavi Ximena dengan nada antusias.

"Sudah sih… Pagi aku hanya makan oat biasanya. Kalian belum sarapan?"

Baik Wilsen maupun Xavi Ximena menggeleng cepat.

"Di lantai dua gedung ini ada kantin kami. Enak juga sih… Tersedia bermacam-macam kuliner Medan di sana. Mau mencoba?" Felisha menawarkan.

Xavi Ximena mengangguk dengan antusias lagi, "Boleh juga tuh… Makan di gedung perusahaan Felisha ini saja ya, Sen. Kan habis sarapan, kita sudah mau kuliah online, iya nggak?"

"Oke deh…" Wilsen mengangguk mengiyakan.

"Kalian kuliah online juga?" tanya Felisha sedikit membesarkan kedua matanya. "Sama dong kayak aku…"

"Iya loh, Fel… Saran Ayah dan Ibu, kami lebih baik kuliah online saja. Sibuk mondar-mandir Medan dan Jakarta, mana bisa menghadiri kelas-kelas perkuliahan tetap. Sering absen, nanti lama lagi tamatnya," sahut Xavi Ximena dengan sebersit senyuman kecut.

Mereka bersama-sama berjalan keluar dari ruangan kerja Felisha. Beberapa body guard Xavi Ximena tampak mengekori mereka.

"Iya sih… Aku juga sudah diminta Ayah urus ini itu, urus perusahaan ini, urus perusahaan itu. Mau tidak mau, terpaksa aku ambil kelas kuliah online saja."

Saat hendak keluar dari ruangan kerja Felisha, sepasang mata Wilsen sempat tertumbuk pada foto ukuran kartu pos yang dipajang di atas lemari di belakang meja kerja Felisha. Dia berhenti sejenak untuk memperhatikan wajah Boy Eddy dalam foto itu.

"Itu pacarku. Namanya Boy Eddy…" kata Felisha mengetahui Wilsen sedang memperhatikan foto dirinya bersama-sama dengan sang malaikat hijau.

Wilsen Yono hanya mangut-mangut. Mereka segera berlalu dari ruangan kerja Felisha. Tampak Wilsen Yono mulai mengerutkan dahinya, memikirkan sesuatu, sementara Xavi Ximena dan Felisha Aurelia mulai menyibukkan diri dengan ponsel masing-masing.

***

Lonceng tanda anak-anak SD pulang sudah berbunyi. Jam juga menunjukkan pukul satu. Carvany makan di kantin sekolah bersama-sama dengan sang malaikat merah.

"Enak sekali ya mi pansitnya…" kata Jacky Fernandi sembari melahap habis mi pansitnya dalam waktu hanya beberapa menit.

"Ibu-ibu itu berjualan mi pansit semenjak dia lajang sampai sekarang ketiga anaknya sudah sebaya denganku dan bekerja di bank, hotel, dan satunya lagi menjadi pegawai keuangan di salah satu perusahaan besar di Medan sini. Tidak heran mi pansitnya sangat enak, Jack…"

"Kok dia masih mau berjualan mi pansit seperti itu?"

"Dia jualan dari pagi hanya sampai jam duaan nanti toh sudah pulang… Bisa kau lihat, dia berjualan hanya untuk mengisi waktu luang, bukan lagi sebagai penghasilan utamanya," sahut Carvany.

"Berarti dia lebih memilih mengerjakan sesuatu daripada menganggur di rumah dan tinggal tunggu kiriman uang dari ketiga anaknya setiap bulan," tukas Jacky Fernandi mangut-mangut.

Carvany membenarkan, "Betul loh… Kalau sudah tua, dan kita tidak mengerjakan apa-apa lagi, lama-kelamaan otak ini bisa pikun loh…"

Dari jendela kantin, bisa terlihat ke arah pintu pagar sekolah. Sudah jam satu, dan tampak Bertha Tulas masih belum pulang. Jacky Fernandi tersenyum santai dan menunjuk ke Bertha Tulas sembari berkata,

"Bertha Tulas memang tiap hari selalu lambat dijemput ya… Mukanya sudah menunjukkan gejala-gejala mau menangis tuh…"

Carvany melirik ke pintu pagar melalui jendela kantin. Benar saja… Tampak Bertha Tulas berdiri di dekat pintu pagar sekolah dan terus melihat ke arah jalan besar dengan penuh-penuh harap. Sesekali ia akan berpaling ke belakang. Carvany bisa melihat raut wajahnya yang mulai masam nan cemberut.

"Aduh! Kok dia menunggu di sana sih! Kalau ketahuan Pak Kepala Sekolah, aku bisa ditegur nih… Ini si satpam juga keterlaluan banget deh… Masa dia tidak suruh Bertha masuk saja dan menunggu di dalam…"

Carvany meninggalkan makanannya yang masih dihabiskannya setengah dan segera bergegas ke pintu pagar. Dari jendela kantin, Jacky Fernandi bisa melihatnya menegur si satpam dan kemudian menarik tangan Bertha Tulas untuk masuk ke dalam sekolah. Ternyata, Carvany kembali ke kantin bersama-sama dengan Bertha Tulas. Ia menyuruh anak itu duduk. Melihat paras wajah sang malaikat merah yang super ganteng, Bertha Tulas lantas tersenyum cerah dan langsung duduk di samping sang malaikat merah. Hilang sudah semua raut masam nan cemberutnya barusan.

"Bang Malaikat…" panggil Bertha Tulas tiba-tiba. Anak perempuan itu memandang dalam ke sepasang mata sang malaikat merah dengan polos.

Tentu saja Carvany terhenyak kaget. Jacky Fernandi sendiri tersedak-sedak karena saking kagetnya dan sama sekali tidak menyangka anak itu bisa menyebutnya dengan sebutan yang demikian.

"Dari… Dari mana… Dari mana kau bisa tahu aku ini adalah malaikat?" tanya Jacky Fernandi agak ragu.

"Waktu si ayah jahat datang menjemputku hari itu, sebenarnya dia menampar, memukuli dan mengancamku… Waktu itu, sebenarnya kau ada di tempat bukan? Kenapa kau tidak membelaku dan menolongku, Bang Malaikat?" Bertha Tulas kembali memandangi sang malaikat merah di hadapannya dengan sinar mata polos.

Jacky Fernandi terkesiap di tempatnya. Carvany hanya duduk membisu sembari menahan napasnya.

"Bisa jadi anak ini juga memiliki semacam kemampuan indigo – sama sepertimu, Carvany…" tukas Jacky Fernandi.

"Kau bisa melihat Bang Malaikat pada hari itu, Bertha?" tanya Carvany untuk memastikan sekali lagi. Bertha Tulas mengangguk dengan mantap dan berujar lagi,

"Bang Malaikat suka sekali dengan warna merah. Warna bajunya hari itu merah; sekarang merah lagi, Bu Carvany…"

Jacky Fernandi dan Carvany terdiam. Ternyata memang benar Bertha Tulas memiliki semacam kemampuan indigo untuk bisa melihat makhluk-makhluk tak kasat mata.

"Tapi, waktu aku muncul itu, si ayah jahat sudah tidak menampar dan memukulimu lagi kan? Aku hanya dengar dia mengancammu akan mengurangi jatah makananmu jika kau menangis lagi. Itu saja…" Jacky Fernandi berusaha meluruskan keadaan di hadapan si anak perempuan itu.

Si anak perempuan mulai menundukkan kepala dan meneteskan air mata.

"Aku tidak ingin ikut si ayah jahat pulang lagi hari ini. Bang Malaikat… Bang Malaikat… Aku bisa tinggal bersamamu saja?" tampak raut wajah memelas kali ini.

Jacky Fernandi dan Carvany saling berpandangan sesaat.

"Apakah si ayah jahat itu benaran memukulmu dan menamparmu?" tanya Carvany guna mendapatkan jawaban yang benar-benar pasti dari Bertha Tulas. Dia memandang dalam ke kedua mata anak perempuan itu.

Bertha Tulas hanya mengangguk perlahan. Dia melihat ke Carvany dan kemudian berpaling ke Jacky Fernandi.

"Dia bukan ayah kandungku. Ayah kandungku meninggal ketika aku masih bayi. Ibu menikah lagi dengan ayah baru yang jahat! Dia sedikit pun tidak sayang sama aku, Bu Carvany, Bang Malaikat. Jika Ibu ada, dia akan memperlakukanku dengan baik dan memanjakan aku. Jika Ibu tidak ada, dia selalu memukulku, menamparku, dan mengasariku. Aku tidak ingin tinggal bersamanya lagi, Bu Carvany, Bang Malaikat. Dia itu si ayah jahat! Dia itu monster!" tampak pancaran kengerian dari kedua mata Bertha Tulas.

Bertha Tulas kontan memeluk sang malaikat merah. Tangan sang malaikat merah naik dan membelai-belai kepala anak perempuan itu.

"Apa kau pernah bilang kepada ibumu tentang semua yang dilakukannya kepadamu?" tanya Carvany lagi.

"Ibu tidak percaya. Ibu berkali-kali bilang bahwasanya si ayah jahat itu adalah ayah yang baik hati. Ibu berkali-kali bilang akulah yang bandel dan Ibu merasa sangat bersalah pada si ayah jahat itu karena sudah terlalu memanjakan aku. Bahkan Ibu juga sudah tidak mau dengar, tidak mau percaya pada ceritaku. Aku tidak ingin tinggal di rumah itu lagi, Bu Carvany, Bang Malaikat! Mengerikan sekali! Aku tidak mau lagi tinggal di sana!" Kini, Bertha Tulas mulai terisak-isak dalam tangisannya.

Kembali sang malaikat merah membelai-belai kepala anak perempuan itu guna menenangkannya.

"Jadi kita harus bagaimana sekarang? Ini murni adalah masalah keluarga orang lain yang tak ada kaitannya dengan urusan sekolah, Jack. Jelas aku tidak bisa menggunakan statusku di sini untuk turut menyelesaikan permasalahan ini."

Jacky Fernandi melemparkan sebersit senyuman menenangkan.

"Oke deh… Masih ada aku… Sudah menyangkut kasus penganiayaan seperti ini, akan lebih cocok jika aku yang turun tangan," tukas Jacky Fernandi setengah berseloroh.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Carvany sedikit bingung harus memulai dari mana.

"Tentu saja membawa anak ini menjumpai ibunya. Kita sampaikan saja cerita anak ini kepada ibunya. Aku ingin melihat bagaimana reaksi ibunya jika yang menyampaikan cerita anak ini kepadanya itu adalah orang dewasa seperti kita."

Carvany hanya mengangguk mengiyakan. Dalam situasi yang serba membingungkan seperti ini, dia hanya bisa mengikuti arahan dan petunjuk dari sang malaikat merah.

***

Ternyata wanita yang menjadi ibu Bertha Tulas adalah seorang general manager juga di sebuah perusahaan penghasil mainan-mainan edukatif terbesar di Medan. Tampak jelas ibu Bertha Tulas sudah berada di pertengahan tiga puluhannya, sementara Sandy Austeen Tulas yang mereka jumpai tempo hari hanya berada di pertengahan dua puluhannya.

Carvany mulai mereka-reka dalam hati. Usia mereka terpaut kira-kira sepuluh tahun! Kok dia mau sih menikah dengan lelaki yang lebih muda sepuluh tahun darinya? Tidak salah ini? Kariernya bagus; penghasilannya sudah pasti oke. Apakah penghasilan si Sandy Austeen Tulas itu lebih tinggi lagi daripada penghasilannya sebagai general manager di perusahaan ini? Tampak jelas Sandy Austeen Tulas itu bukan potongan seorang pengusaha. Jelas seorang pengusaha itu takkan punya banyak waktu mondar-mandir sana-sini antar jemput seorang anak. Jika Sandy Austeen Tulas itu adalah seorang pengusaha, dia akan mempekerjakan seorang sopir untuk melakukan semua itu. Memang ada sesuatu yang kurang klop dalam keluarga aneh ini.

"Tapi yang kalian bilang itu tidak mungkin deh… Sandy bahkan rela melepaskan semua bisnisnya demi bersama denganku, demi menjaga Bertha dan demi menjaga keutuhan keluarga kami. Aku rasa-rasanya kurang bisa percaya tanpa adanya bukti yang nyata deh, Bu Carvany, Pak Jacky…" kata Bu Kindy Zilian Honggowinata dengan raut wajah skeptis.

"Melepaskan bisnisnya demi bersama-sama denganmu, demi menjaga Bertha dan demi menjaga keutuhan keluarga kalian? Kok ada ya pria yang melepaskan bisnisnya demi alasan yang bodoh nan tidak logis seperti itu?" Carvany langsung to the point sembari melemparkan sebersit senyuman kecut.

Carvany dan sang malaikat merah saling berpandangan sesaat. Ada yang tidak beres dengan Kindy Zilian Honggowinata ini. Antara pertanyaan yang ditanyakan dan jawaban yang ia berikan seputar masalah keluarganya, semuanya tidak berkaitan satu sama lain.

Carvany memandang dalam ke kedua bola mata Kindy Zilian. Sekonyong-konyong kedua bola matanya menjadi hitam semua. Raut wajah Kindy Zilian Honggowinata mulai berubah menjadi beringas dan ia mulai mengeluarkan suara yang berat dan bengis seperti suara seorang lelaki.

"Jangan ikut campur ke dalam urusanku! Apa kalian juga ingin berakhir seperti anak-anak yang lain itu?"

Carvany mundur dan bersembunyi di belakang sang malaikat merah. Akan tetapi, sang malaikat merah tetap tampak santai.

"Anak-anak yang mana kalau aku boleh tahu?" tanya Jacky Fernandi malah mendekatkan wajahnya ke wajah makhluk yang kini mendiami tubuh Kindy Zilian.

"Anak-anak yang lain… Sampai sekarang sudah ada empat. Aku mengincar anak ini. Dia akan menjadi yang kelima, yang mendiami boneka-boneka yang kusayangi," makhluk dalam tubuh Kindy Zilian menunjuk ke Bertha Tulas.

Bertha Tulas terhenyak kaget. Dia juga mundur beberapa langkah lagi dan bersembunyi dalam pelukan Carvany.

"Karena kalian sudah mengetahui rahasiaku, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi! Arwah anak ini akan menjadi milikku sekarang juga! Tidak ada yang bisa menolong kalian lagi! Berikan arwah anak perempuan ini padaku sekarang juga!"

Tubuh Kindy Zilian Honggowinata berdiri secara tiba-tiba. Dia mengarahkan tangan kanannya ke Bertha Tulas. Sontak Bertha Tulas menjerit dengan lengkingan tinggi delapan oktaf.

"Bagaimana ini, Jack?"

Panik mulai menyelisir di delta pikiran Carvany. Dia terus memeluk Bertha Tulas yang masih terus berteriak dalam pelukannya.

Dengan sekali menyapukan tangannya, Jacky Fernandi berhasil memanggil kedua sahabatnya dan menghadirkan mereka ke dalam ruangan yang sama.

"Ada apa ini?" Boy Eddy mengerutkan dahinya dan sedikit membesarkan kedua matanya.

"Kenapa sesosok makhluk asura ada di sini, Jack?" tanya Kenny Herry sedikit bingung.

"Kali ini kasusku berhubungan dengan sosok makhluk asura ini. Dia ingin mengambil arwah anak itu secara paksa! Aku perlu bantuan kalian untuk menghentikannya!" tukas Jacky Fernandi.

"Oke… Sesosok makhluk asura berani bertingkah pula di sini ya!" kata Boy Eddy yang memang mudah tersulut emosinya.

Ketiga-tiganya menyapukan tangan mereka ke udara. Sinar biru, hijau, dan merah bertebaran ke seisi ruangan kantor yang cukup luas tersebut. Dalam sekejap, ketiga sinar masuk ke dalam tubuh Kindy Zilian Honggowinata dan terdengarlah teriakan membahana dari si makhluk yang mendiami tubuhnya. Terjadilah getaran dimensi dalam ruangan kantor itu. Tampak satu sinar hitam keemasan melesat keluar melalui jendela kaca ruangan kantor tersebut.

"Ibu! Ibu! Ibu pergi ke mana, Bu Carvany? Ibu menghilang!"

Carvany sendiri juga bingung dan tidak bisa menjawab pertanyaan Bertha Tulas. Dia menatap ketiga malaikat menantikan sebuah jawaban.

"Dia berhasil melarikan diri dengan membawa tubuh inangnya juga," kata Jacky Fernandi dengan sebersit senyuman kecut. "Ketika aku mendengar semua jawaban perempuan itu tidak connected dengan pertanyaan kami, aku sudah curiga ada makhluk lain yang mendiami tubuh perempuan itu. Ternyata benar, ada satu sosok makhluk asura dalam tubuhnya."

Tubuh Carvany terasa sedikit gemetaran, "Jadi harus bagaimana kita sekarang? Kalian bisa menemukan Bu Kindy Zilian itu dan mengeluarkan makhluk itu dari tubuhnya?"

"Bisa saja… Tapi makhluk itu pasti bandel… Dia sudah menemukan satu tubuh yang enak dan menyenangkan. Jika tidak dipaksa, dia takkan mau meninggalkan tubuh itu," sahut Boy Eddy dengan sedikit raut wajah geram.

"Ya… Harus dipaksa keluar…" sahut Kenny Herry tampak mereka-reka sesuatu.

Ketiga malaikat tampak tenggelam dalam alam lamunan masing-masing.

"Tenang ya, Bertha…" Jacky Fernandi kemudian berjalan menghampiri si anak perempuan. "Kami akan menyelamatkan ibumu. Dia akan selamat."

Bertha Tulas mengangguk cepat dan ia kemudian menenggelamkan diri dalam pelukan Carvany lagi.

***

Aktivitas di rumah keluarga Sandy Austeen Tulas tampak berjalan seperti biasa. Ada beberapa pembantu yang membersihkan dan merawat taman yang ada di bagian depan rumah. Ada beberapa pembantu yang merawat beberapa anjing peliharaan Sandy Austeen Tulas. Ada beberapa pembantu yang menyapu, mengepel, dan membersihkan lantai, dinding, jendela, dan seluruh perabotan yang ada dalam rumah tersebut.

Tiga malaikat dan Carvany datang ke rumah tersebut dengan Bertha, jadi mereka dengan mudah mendapatkan izin masuk. Tampak kini Bertha bermain dengan dua ekor anjing kesayangannya. Anjing-anjing itu memang pada mulanya menggonggong ke keempat tamu asing yang datang ke rumah, terutama ke ketiga malaikat yang jelas bukanlah manusia biasa. Namun, begitu Bertha Tulas berbisik dengan mengatakan bahwa keempat tamu asing yang datang itu adalah temannya, anjing-anjing itu tidak lagi menggonggong.

Kenny Herry melarikan pandangannya ke seisi rumah. "Kalian bilang tadi si suami kira-kira sepuluh tahun lebih muda daripada si istri kan? Sudah tampak dari rumah ini sih… Laki-laki tipe demikian biasa mengincar harta perempuan-perempuan kesepian dan setelah itu, mencampakkan mereka dengan kejam."

"Jadi penasaran aku bagaimana rupa lelaki itu. Dia tidak bakalan setampan kita kan, Ken, Jack…! Aku akan memastikan dia mempertanggungjawabkan perbuatannya ketika aku bertemu dengannya nanti!"

"Tenangkan dirimu, Boy! Kau selalu saja tampak emosian, apalagi jika itu sudah berhubungan dengan uang, harta kekayaan, jabatan, status sosial, dan tetek bengek sebangsanya," tukas Kenny Herry.

Jacky Fernandi meledak dalam tawa santainya. "Pengalaman pahit dulu mungkin masih membekas sampai sekarang, Boy."

"Sekarang kalau ketemu dengan Pak Erwan Viraluo itu saja, aku masih teringat bagaimana dulu ia meremehkan dan memandangku dengan sebelah mata! Kendati sudah terlahir menjadi Pak Erwan Viraluo dan sudah tidak ingat dengan kehidupan lampaunya, dia tetap saja sama – tidak berubah. Tamak, materialistis, dan hanya menimbang segala sesuatu itu dari untung rugi."

"Emosian lagi dia nanti, Jack… Jangan dipancing… Dia itu mudah terpancing emosinya…" Kenny Herry menggoda Boy Eddy lagi.

"Kau sendiri juga mudah terpancing emosimu, Ken… Masih mau bilangin aku lagi…" gerutu Boy Eddy sembari mendengus ringan dan merapatkan sepasang bibirnya.

"Ya, sama kita… Hanya saja, ketika tersulut emosiku, aku tidak sepertimu yang bisa langsung menerjang ke depan dengan gagah berani, tanpa memiliki sedikit pun perhitungan dan perencanaan…" tampak Kenny Herry tersenyum kecut memandangi sang sahabat hijaunya.

"Akkhh, tidak perlu semua itu! Asalkan ada keyakinan kita lebih tangguh dan lebih kuat dari pihak lawan, kita pasti menang."

Kenny Herry dan Jacky Fernandi saling bertukar pandang sesaat. Keduanya sudah sangat mengenal Boy Eddy luar dalam. Keduanya hanya tertawa renyah sesaat.

"Tidak ada apa-apa di sini…" Boy Eddy menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal sebenarnya. "Bagaimana kalau kita cek saja ke dalam?"

"Siap, Pak!" kata Kenny Herry menirukan seorang tentara yang baru saja menerima perintah dari sang komandan.

"Berhentilah menggodaku ya, Ken… Nanti kalau aku sudah emosian, akan kucium kau ya!" Boy Eddy setengah berseloroh.

Kenny Herry dan Jacky Fernandi terbahak. Ketiganya berubah menjadi sinar masing-masing dan terbang masuk ke bagian dalam rumah.

Di luar rumah, di taman depan, tampak Carvany yang masih menemani Bertha Tulas bermain-main dengan kedua anjingnya.

"Jam berapa biasanya Ayah dan Ibu sampai di rumah, Bertha?" tanya Carvany sembari melihat jam pada ponselnya sebentar; sudah pukul empat lewat.

"Jam lima si ayah jahat sampai rumah duluan. Jam enam, dan terkadang bahkan sudah malam Ibu baru sampai rumah. Setiap kali selalu bilang ada rapat, sibuk, dan banyak kerjaan," jawab Bertha Tulas sedikit cemberut.

"Begitu ya…" Carvany tampak mereka-reka sesuatu dalam pikirannya.

"Tapi, apa yang terjadi pada Ibu tadi… Apakah… Apakah… Apakah Ibu masih bisa pulang dengan selamat, Bu Carvany?" Bertha Tulas kembali menampakkan raut wajah masam.

"Jangan khawatir, Bertha… Tiga Bang Malaikat itu pasti akan bisa menyelamatkan ibumu. Ibumu pasti akan selamat. Tenanglah…" Carvany membelai-belai kepala Bertha Tulas.

Bertha Tulas kembali mengangguk antusias dan kembali bermain-main dengan dua ekor anjingnya. Carvany mengamati Bertha Tulas yang bermain kejar-kejaran dengan dua ekor anjingnya dari kejauhan dengan sebersit senyuman kecut menghiasi bibirnya.

Sementara itu, tiga malaikat sudah sampai di dalam kamar suami istri Tulas. Tampak foto pernikahan mereka dalam ukuran besar terpajang di dinding kamar, di atas tempat tidur. Melihat foto pernikahan itu, kembali Kenny Herry mengangguk-ngangguk.

"Ahah…! Tidak seganteng kita deh, Ken, Jack…" tukas Boy Eddy dengan senyuman skeptis pada wajahnya.

"Jelas terlihat suaminya sepuluh tahun lebih muda daripada istrinya. Hmm… Suaminya bisa dibilang biasa-biasa saja… Istrinya cantik, karier mapan, penghasilan oke, dan aku jadi curiga apakah rumah ini milik si istri atau si suami. Kok si istri ini mau ya menikah dengan laki-laki yang bisa dibilang sudah pasaran ini?" sahut Kenny Herry.

"Menurutmu, dia memakai guna-guna?" Jacky Fernandi memandangi sang sahabat dengan santai.

"Kurang lebih begitulah, Jack…" Kenny Herry masih melarikan pandangan matanya ke seisi kamar. Seluruh perabotan yang ada dalam kamar tersebut bisa dibilang sangat mewah.

"Sekarang aku baru mengerti kenapa makhluk itu bisa mengincar arwah anak perempuan itu, Ken, Boy…" kata Jacky Fernandi membuat suatu prediksi.

"Hah? Jadi makhluk itu mengincar arwah anak perempuan itu?" Boy membesarkan matanya dan mengerutkan dahinya pada saat yang bersamaan.

Jacky Fernandi mengangguk mantap. "Begitulah… Katanya sudah ada empat anak. Anak perempuan itu akan menjadi yang kelima."

Kenny Herry juga mengangguk mantap. "Oke… Jadi sebelumnya sudah ada empat anak yang menjadi korban. Tentu saja si suami ini menggunakan arwah keempat anak yang sebelumnya untuk menyempurnakan ilmu hitamnya yang digunakannya kepada si istri ini. Baginya, arwah keempat anak ini akan menjadi suatu properti yang begitu berharga. Menurut kalian, di mana si suami ini akan menyembunyikan keempat properti yang begitu berharga ini?"

"Pastilah di rumah ini – tempat yang begitu dekat dengannya bukan?" Boy Eddy sedikit membesarkan matanya dan membuat suatu tebakan.

Ketiga-tiganya mengangguk mantap. Memang tidak salah lagi… Arwah empat anak itulah yang akan mereka cari sekarang. Mendadak terdengar gonggongan anjing dari tempat parkir mobil di samping rumah. Ketiganya melongokkan kepala mereka ke bawah melalui jendela kamar. Dari jendela kamar, memang bisa langsung memandang ke tempat parkir yang ada di bawah sana.

"Ada apa? Kenapa anjing itu menggonggong sedemikian kerasnya? Ada pencuri masuk?" tanya Jacky Fernandi kepada Carvany yang berdiri di tempat parkir mobil.

Carvany mengangkat kedua bahunya. "Entahlah… Kandang dua anjing ini tadinya ada di bagian taman di sebelah sana."

Ketiga malaikat mendengarkan dengan saksama. Memang di bagian kiri rumah ada taman yang cukup luas, sementara di bagian kanan rumah ada tempat parkir mobil dan kendaraan lainnya yang cukup luas juga.

"Bertha bermain dengan kedua anjingnya sampai ke sini. Mendadak setelah sampai sini, kedua anjing ini terus menggonggong seperti ini dan tak mau berhenti. Sudah kuajak kembali ke sana, tapi mereka tetap tidak mau," Carvany terpaksa harus membesarkan volume suaranya agar tiga malaikat yang ada di lantai dua bisa mendengarnya.

Tampak kedua anjing terus menggonggong tiada henti. Carvany dan Bertha sampai harus menutupi kedua telinga mereka. Beberapa pembantu datang dan mereka juga kewalahan mendiamkan kedua ekor anjing tersebut. Gonggongan anjing tersebut memancing anjing-anjing yang lain berdatangan dan semua anjing yang dipelihara dalam rumah tersebut juga ikut menggonggong dengan keras.

Tiga malaikat turun dari lantai atas. Mereka sampai ke tempat parkir mobil tersebut. Mobil Sandy Austeen Tulas dan mobil istrinya sedang tidak berada di tempat, sehingga tempat parkir mobil itu menjadi cukup luas. Terdapat tiga pintu di sana. Tiga malaikat mencoba membukanya. Pintu pertama terhubung ke ruang dapur dan ruang makan yang ada di bagian belakang rumah. Pintu kedua adalah sebuah toilet. Saat mereka mencoba pintu ketiga, ternyata pintu ketiga itu terkunci.

"Itu adalah ruang kerja Pak Sandy. Pak Sandy sudah berpesan dia sendiri yang akan membersihkan ruang kerjanya itu, Pak. Tidak ada seorang pun yang boleh masuk ke ruangan itu," kata salah seorang pembantu.

Tiga malaikat dan Carvany saling berpandangan sesaat. Dengan sekali menyapukan tangannya ke udara, Jacky Fernandi berhasil menidurkan semua pembantu dan anjing yang berada di rumah itu. Kini hanya tinggal Bertha, Carvany, dan ketiga malaikat.

"Akan kita buka sekarang ya…" kata Kenny Herry memberi sebuah isyarat.

Bertha Tulas semakin takut. Dia bersembunyi dalam pelukan Carvany.

"Aku yakin arwah empat anak yang sebelumnya itu disembunyikan di dalam ruangan ini," Boy Eddy juga ikut-ikutan merasa tegang.

Dengan sekali sapuan tangan mereka, tiga malaikat berhasil membuka pintu tersebut. Pintu terkuak dan mereka semuanya pelan-pelan melangkah masuk ke dalam suatu ruangan misterius.

Benar saja… Dalam ruangan tersebut, ada tujuh hingga sepuluh boneka yang dibuat dengan tinggi badan dan penampilan yang menyerupai manusia dewasa asli. Ada lima boneka perempuan dan ada lima boneka laki-laki. Masing-masing boneka mengenakan pakaian laki-laki dan pakaian perempuan dengan model yang berbeda-beda.

Mulai terdengar suara anak-anak yang berdengung hingga ke seisi ruangan tersebut. Harumnya buah-buahan tropis mulai menyapa indera penciuman.

"Hai…" Kenny Herry menyapa. Carvany dan Bertha Tulas memandangi Kenny Herry dengan sorot mata tidak percaya.

"Mana nih yang berpenghuni? Tunjukkan tanda-tandanya dong…" kata Boy Eddy dengan santai.

"Kami tahu ada kalian berempat di dalam sana. Mana kalian?" tukas Jacky Fernandi santai sembari menutup rapat pintu di belakang punggungnya.

Carvany memandang ke sekelilingnya. Takut mulai menggeliat. Ngeri mulai berselarak di pesisir pantai pikiran Carvany.

Sekonyong-konyong, angin kencang mulai bertiup. Barang-barang yang ada dalam ruangan tersebut mulai berjatuhan. Terdengar suara pecahan kaca dan gelas. Bertha Tulas memekik beberapa kali dan terus menyembunyikan diri dalam pelukan Carvany.

"Itu semua mainanku yang dulu hilang, Bu Carvany!" tunjuk Bertha Tulas ke beberapa benda yang beterbangan dan melayang-layang di udara.

Ada mainan alat-alat memasak, mainan boneka kecil, baju-baju boneka kecil, mainan kereta api, mainan kolam pancing mini, dan ada mainan huruf-huruf plastik seperti yang dijumpai Kenny Herry dalam kamar Audina Ivander tempo hari.

"Ternyata si Sandy Austeen Tulas itu mencuri semua mainan anak ini untuk diberikan kepada empat arwah anak yang telah dimasukkan ke dalam boneka berukuran orang dewasa ini!" Boy Eddy membuat suatu tebakan.

Angin kencang terus bertiup. Bertha Tulas tetap menyembunyikan diri dalam pelukan Carvany. Carvany melarikan pandangan matanya ke seisi ruangan. Takut kian mengeriap. Panik kian menggelimuni lereng pikirannya.