BAB 27
Angin pagi hari dan sinar mentari yang lembut sedikit menerpa wajah Felisha Aurelia ketika Boy Eddy menggandeng tangannya dan mereka keluar dari rumah besar.
"Apakah aktingku sudah keren tadi?" tampak Boy Eddy sedikit cengengesan.
Felisha Aurelia menyeringai nakal sembari mengacungkan jempol kanannya ke sang pangeran pujaan.
"Bahkan cerita karanganmu juga sangat mengagumkan. Dalam sekejap kau berhasil mengalihkan perhatian Ayah dari Hengky Fredieco ke dirimu, Boy."
Felisha Aurelia bergelayut manja di lengan sang pangeran pujaan. Boy Eddy meledak dalam tawa renyahnya.
"Sejak kehidupan lampau sampai dengan kehidupan sekarang, Ayah selalu begitu, Boy. Sama sekali tidak pernah berubah…"
"Selalu menilai segala sesuatu dari harta kekayaan dan jabatan semata… Itu kan maksudmu? Tapi, sebagai Roberto Fang di kehidupan lampau, dia cukup kejam juga tidak mau mengasuh dan membesarkan Xavier. Harus merepotkan ibunya Jacky yang mengasuh dan membesarkannya. Hitung-hitung kan Xavier cucunya juga kan?"
"Tidak, Boy… Kau mungkin sudah salah paham. Saat itu, aku sudah merasa kematian kita sudah dekat, jadi aku tidak bisa bercerita banyak kepadamu lagi. Ayah dan Ibu menerima Xavier ketika aku menitipkan Xavier kepada mereka. Aku segera ke klub 3P untuk mencarimu. Tak tahunya Ayah dan Ibu juga menyusulku dengan maksud mencegahku sampai ke gedung klub 3P. Tak disangka-sangka, mereka kecelakaan dan meninggal seketika di jalan. Pas pada saat itu mungkin saja ibunya Jacky kebetulan lewat dan menyaksikan kejadian itu. Xavier yang berada dalam dekapan neneknya selamat dan tidak mengalami luka sedikit pun. Maka dari itu, ibunya Jacky yang mengambil alih Xavier dan membesarkannya setelah kita berdua tiada."
Boy Eddy menghela napas panjang.
"Begitulah takdir manusia ya… Sorry banget, Fel… Aku tidak tahu di kehidupan lampau, ayah ibumu juga meninggal dalam kondisi tragis."
Felisha hanya menggeleng lembut.
"Memang kita semua meninggal dalam kondisi mengenaskan di kehidupan lampau. Anggap saja itu adalah hukuman untuk karma kita masing-masing. Mereka mungkin saja ada karmanya juga. Dan kita… Mungkin itu adalah hukuman untuk cinta terlarang kita ketika kita menghuni taman surgawi di atas sana."
Boy Eddy mengangkat dagu sang putri pujaan.
"Setelah kehidupan ini lewat, kita akan kembali ke taman surgawi di atas sana. Kali ini, aku pastikan cinta kita tak lagi terlarang dan akan mendapat restu dari Maha Dewa dan Maha Dewi."
"Pasti…" senyum Felisha sejenak. "Aku akan membawamu ke suatu tempat, Boy."
"Lho…? Bukannya mau ke kantor?" Boy Eddy sedikit melebarkan kedua bola matanya.
"Ke tempat ini dulu… Habis itu, kau bebas membawaku ke mana saja, bukan hanya ke kantor…" bisik Felisha Aurelia dengan lemah lembut.
Senyuman sumringah merekah di sudut bibir Boy Eddy dan menghiasi wajahnya yang ganteng.
***
Tanah Deli, pertengahan Maret 1934
Angin berhembus dan menerobos masuk ke dalam rumah abu. Tampak Bu Olivia berdiri di depan nisan anak perempuannya yang telah berpulang. Sesekali rintik-rintik air mata masih menggenang di pelupuk mata. Tak kuasa membendung air matanya lagi, Bu Olivia membiarkan saja air matanya bergulir turun.
"Ivana sudah beristirahat dengan tenang di sana. Kalau kau masih menangis sesenggukan di sini, kau takkan bisa memberinya ketenangan di sana. Biarkanlah ia pergi… Relakanlah kepergiannya…" kata Pak James berdiri di belakang istrinya.
"Iya… Dia sudah pergi… Dia sudah tidak ada di samping kita lagi… Sejak awal kita sudah menasihatinya untuk tidak bersama-sama dengan si Jacky itu, James. Sejak awal kita sudah memperingatkannya bahwa Jacky Fernandi Yiandra itu adalah seorang pemberontak. Dia tetap bersikukuh ingin bersama-sama dengan si Jacky itu, menikah dengannya dan bahkan sekarang mereka meninggalkan seorang anak laki-laki yang diasuh oleh ibu si Jacky itu. Jika saja sejak awal Ivana mendengarkan nasihat kita, semuanya ini takkan terjadi."
Kembali terdengar isakan tangis Bu Olivia Pangdani. Pak James Pangdani meletakkan kedua tangannya di bahu sang istri.
"Mungkin saja ini sudah menjadi takdir mereka berdua. Memang ada beberapa hubungan percintaan yang sejak awal sudah ditakdirkan harus mengalami duka dan nestapa yang tak kunjung henti. Semuanya sudah berakhir sekarang… Jacky dan Ivana takkan mengalami rasa sakit lagi. Mereka takkan menderita lagi. Mereka sudah beristirahat dengan tenang di sana."
Masih terdengar beberapa isakan tangis Bu Olivia. Takdir Jacky dan Ivana memang harus berakhir dalam kematian dan keabadian. Benarkah begitu? Benarkah ada beberapa tali-temali takdir dan hubungan antarmanusia yang harus berakhir dengan kejam? Lalu, bagaimana dengan takdirku dengan Ambrose? Ambrose sekarang juga sudah meninggal. Dan dia juga meninggal dalam kondisi yang mengenaskan… Apakah tali-temali takdirku dengan Ambrose sekarang juga sudah berakhir?
Dan tali-temali takdirku dengan James masih belum berakhir. Oh, James… Entah kenapa aku mulai merasa aku sangat bersalah pada lelaki yang memelukku kini, lelaki yang menjadi ayah dari anakku yang sudah berpulang, dan lelaki yang telah menemaniku selama puluhan tahun ini. Aku menjadi merasa bersalah karena aku masih berbohong padanya hingga kini walau Ambrose sudah tiada. Aku merasa bersalah karena sampai sekarang James masih mencintaiku dan tidak pernah tahu-menahu soal perselingkuhanku di belakang punggungnya.
Di kehidupan mendatang, mungkin aku akan mencintaimu, James. Maafkan aku… Maaf… Untuk kehidupan sekarang, sesungguhnya aku hanya mencintai Ambrose. Dalam ketiadaannya kini, hatiku masih sakit setiap kali mengingat detik-detik kebersamaan dan kedekatan kami dulu. Di kehidupan mendatang, mungkin aku akan mencintaimu James – mencintaimu tanpa pamrih… Gantian kau yang tidak mencintaiku dan aku harus mengupayakan berbagai cara untuk mempertahankan kau di sisiku. Jika seandainya itu memang terjadi, aku akan menerima hukuman itu dengan lapang dada. Itu semuanya menjadi utangku di kehidupan sekarang yang harus aku bayar kepadamu di kehidupan mendatang.
"Habis ini, kita ke rumah Jacky saja ya… Aku ingin bercengkerama sebentar dengan cucuku. Mau kan, Olivia?" bisik sang suami lembut di belakang telinga Bu Olivia.
Bu Olivia mengangguk ringan. Beberapa tetesan air mata masih bergulir turun dari kelopak matanya.
"Harus merepotkan Nyonya Gladys juga harus mengasuh dan membesarkan cucu kita, James. Dia juga harus mengasuh dan membesarkan cucu Tuan dan Nyonya Fang itu. Tuan dan Nyonya Fang sudah meninggal dan tidak ada yang membesarkan cucu mereka."
Pak James Pangdani mangut-mangut. "Iya… Aku dengar bisnis besar dan masa kejayaan keluarga Fang sudah tidak ada lagi. Runtuh sudah semua masa-masa keemasan yang berhasil mereka bangun di masa lalu. Semua rumah, pabrik, tanah, dan aset kekayaan mereka sudah diambil alih oleh pemerintah Belanda. Mmm… Begitulah hidup, Olivia… Ketika ada saatnya kita tertawa karena mendapatkan sesuatu, maka ada saatnya kita akan menangis karena kehilangan sesuatu."
Bu Olivia hanya berdiri dengan kaku dalam pelukan sang suami. Angin sepoi-sepoi kembali berhembus dan menerobos masuk ke dalam rumah duka. Gundah dan gulana menyelisir di tepian pantai sanubari Pak James dan Bu Olivia Pangdani.
***
Medan, 4 Juni 2018
Angela berdiri di depan sebuah nisan nama di dalam sebuah rumah abu. Dia menyempatkan diri mengunjungi nisan sang sahabat terlebih dahulu sebelum ia berangkat kuliah pagi itu.
Ada di mana kau sekarang, Cindy? Apakah kau sudah menemukan ketenangan dan kedamaianmu sendiri? Apakah kau sudah terbebaskan dari api kebencian?
Sekelebat sinar biru berpendar-pendar masuk ke dalam ruangan rumah abu. Sinar biru berubah menjadi sosok sang pangeran tampan yang melayang-layang di udara, dan kemudian perlahan-lahan turun menginjak lantai.
"Aku ke rumahmu mencarimu tadi. Kata ayah ibumu kau sudah berangkat pagi-pagi sekali – jam tujuh lewat begitu. Mereka bilang kau ada sedikit tugas di kampus. Namun, aku tebak kau pastilah berada di sini," tampak senyuman tipis menghiasi wajah Kenny Herry yang ganteng.
Angela menoleh ke sumber suara tersebut dan tersenyum imut kepada sang pangeran pujaannya.
"Memang kaulah yang paling mengerti isi hatiku, Ken… Iya… Aku datang menengoknya. Mudah-mudahan ia sudah mendapatkan ketenangan dan kedamaiannya sendiri, tidak peduli di mana ia dilahirkan."
Angela berpaling kembali ke nisan nama sahabatnya.
"Kau sama sekali tidak sakit hati dan membencinya balik karena diam-diam di kehidupan ini ia juga mengkhianatimu, Gel?" celetuk sang pangeran pujaan yang kini berdiri di samping Angela.
Angela hanya menggeleng lembut. "Aku tidak ingin seperti dia, Ken. Aku tidak mau hidup dalam kebencian dan menyiksa diriku sendiri. Dalam peristiwa yang terjadi pada Cindy ini, aku belajar melepas baru bisa mendatangkan kelegaan dan kebahagiaan."
Kenny Herry meraih sang putri cantik jelita ke dalam sebuah pelukan.
"Sejak menjadi Belinda Yapardi di kehidupan lampau, memang begitulah dirimu. Hal itulah yang membuatku tak henti-hentinya mencintaimu."
"Thanks banget karena selama ini terus berada di sisiku, dan tidak pernah meninggalkan aku, Ken… Thanks karena selama ini terus menemaniku melewati berbagai rintangan dan halangan."
"Meninggalkanmu sama saja dengan meninggalkan hidup dan nyawaku sendiri. Bagaimana mungkin aku sanggup melakukannya?" Kenny Herry mempererat pelukannya.
Terdengar tangisan seorang anak kecil di belakang mereka. Begitu Kenny Herry dan Angela berpaling, mereka tahu anak itu bukanlah anak manusia.
"Ada apa, Adik Kecil? Hal apa kira-kira yang membuat Adik Kecil menangis sesedih ini?" Tangan Angela naik dan membelai-belai kepala si anak kecil.
"Aku ditabrak mobil minggu lalu, Kak… Ibuku juga, tapi dia selamat dan sekarang masih di rumah sakit. Aku ingin ke rumah sakit menengok ibuku. Namun, aku tidak tahu di rumah sakit mana ibuku dirawat."
Kenny Herry dan Angela saling berpandangan sesaat. Kenny Herry menelusuri semua papan nisan yang ada dalam rumah abu tersebut. Akhirnya, ia menemukan papan nisan anak kecil itu.
"Namanya Brian Putra Willius. Baru masuk ke sini dua hari yang lalu… Mungkin saja dalam kecelakaan yang menewaskannya itu, ibunya koma dan sekarang lagi di rumah sakit, Gel. Kita akan mencari ibunya nanti," bisik Kenny Herry pada Angela.
Angela menghampiri Brian Putra Willius lagi. "Namamu Brian Putra Willius kan?"
Brian Putra Willius mengangguk.
"Kakak akan membantumu mencari di rumah sakit mana ibumu dirawat, Brian. Brian jangan menangis lagi ya… Sekarang Kakak ada urusan penting yang harus Kakak selesaikan terlebih dahulu. Nanti setelah urusan Kakak selesai, Kakak akan membantu Brian mencari ada di rumah sakit mana ibu Brian dirawat. Oke ya…?"
Brian Putra Willius mengangguk, "Terima kasih ya, Kak…"
Angela tersenyum mantap dan menganggukkan kepalanya. Bayangan Brian Putra Willius perlahan memudar dan menghilang.
"Oke… Nanti akan aku urus masalah si anak kecil ini, Gel. Sekarang aku akan mengantarmu ke kampus. Kau mau berangkat ke kampus kan?"
"Tidak… Aku akan mengajakmu ke suatu tempat," kata Angela sedikit meringis.
"Lho…? Bukankah pagi ini mau ke kampus? Lagipula, bukankah ini terlalu pagi untuk kencan?" Kenny Herry mengangkat alisnya beberapa senti.
"Ada sedikit urusan penting nih… Dan ini harus kutunjukkan kepadamu. Habis itu, kau baru antar aku ke kampus saja, Ken." Angela masih terlihat sedikit meringis.
"Mau ke mana memangnya?" tanya Kenny Herry mulai diberondong oleh rasa penasarannya.
"Ikut aku saja, Ken… Nanti sesampainya di sana, kau akan tahu dengan sendirinya kok…"
Angela menarik tangan sang pangeran pujaan dan keduanya berlalu dari rumah abu.
Asap dupa masih membubung tinggi hingga ke langit-langit rumah abu – suatu dunia ketenangan dan pendiaman bagi mereka yang telah berpulang. Ada yang sudah pergi selamanya dan terlahir ke kehidupan yang berikutnya. Ada yang masih melekat dengan kehidupan sekarang, masih melekat ke badan jasmani mereka, dan masih berdiam diri di samping papan nisan mereka – seperti Brian Putra Willius tadi.
***
Jacky Fernandi dan Carvany sedang dalam perjalanan mereka ke kompleks perumahan Cemara Asri. Kereta api bergerak dengan kecepatan sedang karena Carvany bilang dia ingin lebih lama sampai ke tempat tujuan.
"Apa yang sedang kaupikirkan?" tanya Jacky Fernandi sembari mengibaskan tangannya. Muncullah sebuah meja lengkap dengan dua gelas susu cokelat di atasnya.
"Thanks…" kata Carvany langsung mengangkat gelas dan menyesap susu cokelatnya.
Carvany meletakkan kembali gelasnya di atas meja.
"Aku jadi bertanya-tanya… Bagaimana reaksi Ayah jika dia tahu aku bukanlah anak kandung Ayah dan Ibu? Bagaimana reaksi Ayah jika ia tahu selama ini Ibu membohonginya?"
"Memang begitulah cinta… Seseorang akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan orang yang dicintainya di sisinya." Jacky Fernandi berkata dengan sorot mata menerawang.
"Bagaimana denganmu, Jack? Apakah kau juga akan mengupayakan berbagai cara untuk mempertahankan keutuhan cinta kita?" Carvany merebahkan kepalanya ke bahu sang pangeran pujaan.
"Tentu saja akan… Karena aku tahu betul cintaku ini adalah cinta yang berbalas…" tampak sebersit senyuman imut Jacky Fernandi.
"Tentu saja berbalas, Jack… Aku sudah lama menantikan datangnya hari ini. Di masa lalu, bahkan untuk meraih kedekatan dan kebersamaan saja terasa begitu sulit, kini aku sudah bisa dekat dan bersama-sama denganmu tanpa terpisahkan lagi. Aku akan menghargai detik-detik ini. Aku akan mengupayakan supaya detik kebersamaan ini tak lagi terbang tertiup angin."
Jacky Fernandi juga merebahkan kepalanya ke kepala sang putri pujaan. Kereta api magis terus melaju dan melaju. Akhirnya, mereka sampai di tempat tujuan. Mereka menghabiskan susu cokelat mereka dan turun dari kereta api magis.
"Lho…? Kau mau ke mana, Carvany? Bukan ke sekolah Oliver Plus? Ini sudah lewat jam masuk kerjamu loh…" kata Jacky Fernandi merasa sedikit heran karena sang putri pujaan mengambil arah yang berbeda.
Carvany menarik tangan Jacky Fernandi dan mereka memasuki sebuah wihara besar di kompleks perumahan Cemara Asri. Baru saja mereka hendak melangkah masuk ke dalam wihara ketika sekonyong-konyong terdengar ada yang memanggil nama Carvany dari belakang.
"Carvany…? Ini Carvany kan?" Devina Lowin menghampiri Carvany dan Jacky. Dia tersenyum kepada Jacky dan sedikit menundukkan kepalanya kepada Jacky.
"De… Devina?" Carvany tampak tersenyum cerah. "Wah! Kebetulan sekali bisa bertemu di sini…"
"Lagi sembahyang sebentar dengan Derry. Derry hari ini masuk siang. Jadi, ini habis sembahyang, mau bawa dia pergi berenang sebentar. Habis itu, baru antar dia ke sekolah."
"Hai, Derry… Apa kabarnya?" Carvany sedikit merunduk dan mengelus dagu Derry Erito.
Derry Erito mengangguk dengan antusias. "Baik, Kak Carvany… Aku sekarang rajin belajar tiap hari."
"Wah! Pintarnya…" Carvany tersenyum kegirangan.
"Iya… Karena aku sudah berjanji pada Bang Denny aku akan rajin belajar dan kelak setelah aku dewasa, aku akan melanjutkan usaha apotek keluarga Lowin, Kak…" Antusiasme benar-benar terpancar dari sorot mata Derry Erito.
"Oke deh… Kelak jika kau sudah besar, Kakak akan ke apotekmu beli obat ya ketika Kakak sakit. Oke…?"
Derry Erito mengangguk antusias.
"Kalian mau ke mana?" tanya Devina Lowin.
"Kami mau ketemu dengan teman lama di kafe vegetarian yang ada di dalam," ujar Carvany singkat.
Jacky Fernandi sedikit mengerutkan dahi. Bertemu dengan teman lama? Kok aku tidak tahu Carvany mau bertemu dengan teman lama hari ini? Teman yang mana ya…?
"Oke deh… Sampai jumpa lagi nanti… Ada waktu, ke rumah saja, Carvany. Kita bisa mengobrol tentang banyak hal," kata Devina Lowin dengan sebersit seringai lebar pada wajahnya.
Carvany mengangguk mantap dan kemudian melambaikan tangannya. Devina Lowin dan Derry Erito Lowin berlalu.
"Anak itu terlihat antusias, Jack… Aku rasa dia sudah bisa mengatasi kesedihan dan rasa bersalahnya setelah ditinggal pergi oleh abangnya."
"Iya… The show must go on kan? Jalan-jalan ke Padang Bulan… Lihat pohon pinus dan anak panah… Hidup ini 'kan terus berjalan… Menyesal terus tiada guna… Iya kan?" Jacky Fernandi hanya tampak tersenyum simpul.
Carvany membalas pantun tersebut, "Malam dingin, tubuh bergelugut… Nyalakan api terasa hangat… Ada cinta, tiada takut… Jalani hidup dengan penuh semangat…"
Jacky Fernandi dan Carvany terlihat menyeringai nan meringis lebar.
Carvany menarik tangan sang pangeran pujaan lagi dan mereka melangkah masuk ke dalam wihara besar, bergerak menuju ke kafe vegetarian yang diceritakan oleh Carvany tadi.
"Ngomong-ngomong, mau bertemu siapa sih di sini?" Jacky Fernandi kembali mengerutkan dahinya.
"Nanti setelah kau masuk, kau akan tahu…" kata Carvany terus menarik tangan Jacky Fernandi.
Jacky Fernandi dan Carvany bergabung dalam kerumunan beberapa anak muda di kafe vegetarian tersebut. Jacky Fernandi langsung mengerti ada pertemuan apa pagi itu. Wilsen Yono menghampirinya dengan seringai lebar di wajah dan memberinya sebuah pelukan. Masih agak kaku dan belum begitu terbiasa, Jacky Fernandi membalas pelukan tersebut.
Jacky Fernandi melarikan sinar mata ke sekelilingnya. Tampak Xavi Ximena, Xava Ximela, dan Anton Ximenes yang duduk berdekat-dekatan dengan Boy Eddy dan Felisha Aurelia. Tampak juga Gabriel Andreas yang duduk berdekatan dengan Kenny Herry dan Angela. Jacky Fernandi hanya bisa mengulum senyumannya. Sementara itu, Kenny Herry dan Boy Eddy yang masih belum begitu mengerti situasi apa yang tengah berlaku, hanya bisa mengerutkan dahi mereka.
"Ada apa sih ini, Jack?" tanya Boy Eddy masih mengerutkan dahinya – tidak mengerti.
"Mereka bilang tunggu sampai kau datang dulu, baru diumumkan ada pertemuan apa sebenarnya pagi ini," tukas Kenny Herry juga dengan dahi yang berkerut dalam. "Angela dan Felisha saja tidak mau cerita mereka ini siapa…"
"Mereka adalah…"
Belum sempat Jacky Fernandi menyelesaikan kalimatnya, cicit-cicit itu sudah lebih dulu menyelanya,
"Kakek Buyut!"
Xavi, Xava dan Anton memeluk Boy Eddy secara tiba-tiba. Gabriel Andreas memeluk Kenny Herry tanpa aba-aba terlebih dahulu. Jacky Fernandi, Carvany, Angela dan Felisha Aurelia meledak dalam tawa nyaring mereka.
Kenny Herry dan Boy Eddy terperanjat bukan main dengan sepasang mata yang membelalak lebar dan mulut yang menganga.
Keriap atmosfer keceriaan kembali menyelangkupi kafe vegetarian wihara besar tersebut.
SELESAI