BAB 15
Tanah Deli, awal Juni 1932
Pagi ini, mendadak Kenny Herry dan Belinda kedatangan tamu – kedua orang tua Kenny Herry, Pak Dennis Wangdinata dan Bu Eugine Nerissa Wangdinata. Kenny Herry terlibat pembicaraan yang cukup serius dengan kedua orang tuanya, sementara Belinda menyibukkan diri di dapur bersama dua orang pembantu menyiapkan dua gelas minuman cokelat dan dua potong kue tar rasa blueberry untuk kedua mertuanya.
Belinda mulai membatin dalam hati. Apakah Ayah & Ibu menyukai kue tar yang rasa blueberry? Tapi, di rumah tidak ada persediaan kue tar rasa yang lain lagi. Ayah & Ibu juga datangnya mendadak sehingga aku tidak sempat berbelanja ke pasar. Oke deh… Aku sajikan apa saja yang ada – kue tar dengan rasa kesukaan Kenny saja…
Dua gelas minuman cokelat dan dua potong kue tar diletakkan di atas baki. Pas saat Belinda mengangkat baki ke ruang tamu di depan, dia mendengar pembicaraan antara suaminya dan kedua mertuanya.
"Jadi benar selama ini Melva hanya tinggal di rumah sebelah? Kok bukannya tinggal di rumah ini bersama denganmu dan dengan Belinda?" Bu Eugine Nerissa sedikit membesarkan bola matanya.
"Aku rasa kurang bijak menempatkan Melva ke dalam rumah ini. Ibu bukannya tidak tahu Melva itu orangnya seperti apa…" Kenny Herry merapatkan bibirnya sebentar dan mendengus ringan setelah itu.
"Dia adalah temanmu sejak kecil, Ken. Dia sudah mengidam-idamkan untuk menjadi istrimu, Ken. Dia sudah cukup menelan kekecewaan ketika Ayah dan Ibu menjodohkanmu dengan Belinda. Sayang sekali tanggal lahirnya tidak cocok dengan tanggal lahirmu sehingga dia tidak bisa menjadi istri pertamamu. Hanya tanggal lahir Belinda yang cocok untuk menjadi istri pertamamu. Namun, kendati demikian, dia tetap rela hanya menjadi istri kedua. Kau seharusnya bisa membagi jatah waktu dan perhatianmu antara Belinda dan Melva dong…" tukas Bu Eugine Nerissa lagi merasa sedikit lirih.
Kenny Herry menggeleng ringan dengan sebersit senyuman kecut. "Aku sudah memberinya uang yang cukup, Bu. Selama ini toh dia tidak pernah kekurangan makanan, pakaian, perhiasan, dan uang untuk berbelanja. Selama ini toh juga ada beberapa pembantu di rumah sebelah yang membantunya menjaga dan membersihkan rumah. Terkadang, biaya yang harus aku keluarkan untuk rumah sebelah jauh lebih besar daripada yang untuk rumah utama ini."
Kenny Herry tampak merapatkan kedua bibirnya dan mendengus ringan.
"Memang Melva itu suka pakai perhiasan, suka berdandan, dan suka mengenakan pakaian yang bagus-bagus. Selera masing-masing orang kan berbeda, Ken. Lagipula, selera masing-masing orang kan tergantung dari latar belakang mana orang itu berasal."
Pak Dennis menepuk ringan tangan istrinya. Dia tahu anaknya adalah orang yang emosional nan temperamental. Jangan dipancing atau pembicaraan ini akan berbuntut pertengkaran.
"Jika Ayah dan Ibu datang hanya untuk mengatur aku bagaimana mengurus rumah tanggaku, aku rasa kalian akan buang-buang waktu saja. Aku tahu jelas bagaimana mengurus kedua rumah tanggaku ini." Raut wajah Kenny Herry berubah menjadi dingin dan agak kaku.
"Maksud ibumu adalah, Ken… Sesekali kau ajaklah si Melva ke pesta-pesta kerabat besar Wangdinata kita. Setiap kali menghadiri pesta kerabat besar kita, kami selalu melihatmu membawa Belinda saja. Sesekali ajak si Melva ikut atau kau juga boleh bawa kedua istrimu. Semua kerabat dekat sudah tahu apa alasanmu memperistri Belinda. Mereka takkan menggunjingkan apa-apa di belakangmu kok… Zaman sekarang di Tanah Deli ini satu laki-laki dengan lebih dari dua gundik takkan menjadi masalah lagi kok…" Pak Dennis meledak dalam tawa renyahnya.
Kini gantian Bu Eugine Nerissa yang menepuk tangan suaminya. Tawa renyah sang suami kontan berhenti seketika. Awas kalau kau berani membawa gundik lain ke dalam rumah kita. Akan kupatahkan batang lehermu ya, Dennis…
"Belakangan ini aku takkan punya waktu lagi untuk menghadiri pesta-pesta, Ayah… Pesta apa pun itu… Selain yang di Tanah Jawa, aku sudah memperluas jaringan bisnis sawit kita sampai ke Tanah Aceh dan Tanah Padang sana. Aku sibuk mengurus kedua jaringan ini. Untung ada Belinda yang membantuku dalam proses surat-menyurat dan proses pengiriman barang-barangnya. Jika tidak ada Belinda, bisa kewalahan aku mengurus kedua jaringan baru ini," kata Kenny Herry dengan sedikit nada menyindir. "Beda dengan Melva yang hanya bisa membeli pakaian baru, perhiasan baru, dan setiap hari selalu makan enak dan selalu mengadakan pesta di rumah sebelah."
"Jelas karena kau jarang memperhatikannya, tak ada salahnya dong dia mengadakan pesta dan bergaul dengan teman-temannya. Lagipula, apa kau tidak salah Belinda bisa membantumu dalam proses surat-menyurat dan proses pengiriman kelapa sawit kita ke Tanah Aceh dan Tanah Padang sana? Kita sama-sama tahu bagaimana kondisi keluarga Yapardi sebelum kau menikahi Belinda. Belinda itu bahasa Indonesia saja hanya pintar dalam ngomong; tulis tentu saja ia tidak bisa! Belum lagi bahasa Inggris dan bahasa Belanda… Kau yakin semua surat-menyurat dan semua proses pengiriman itu benar yang diurusnya selama ini?" Bu Eugine Nerissa sedikit mengerutkan dahinya.
Bukan main sakitnya relung sanubari Belinda. Tangannya yang memegangi baki mulai terasa sedikit gelugutan. Tidak apa-apa… Aku sudah terbiasa direndahkan dan disepelekan orang… Aku tidak pernah mempedulikan semua itu… Asalkan Kenny tetap mencintaiku, tetap menomorsatukan aku dalam hati dan perasaannya, aku tak pernah mempedulikan hal-hal yang lain lagi… Belinda berusaha untuk tetap menampilkan senyumannya.
Belinda masuk ke ruang tamu membawa sebuah baki. Pak Dennis menepuk tangan istrinya lagi ketika disadarinya Belinda sudah memasuki ruang tamu. Bu Eugine Nerissa mau tak mau berhenti membicarakan Belinda untuk sementara.
"Silakan dicicipi suguhan kecilnya, Yah, Bu... Maaf… Ayah dan Ibu datangnya mendadak, jadinya aku tidak sempat berbelanja ke pasar," senyuman Belinda memang terpancar secara menawan.
Pak Dennis mau tak mau ikut tersenyum juga melihat senyuman menantunya. "Tidak apa-apa, Belinda… Memang kami ke sini mendadak, jadinya merepotkanmu dan merepotkan Kenny…"
"Tidak apa-apa, Bel…" sahut Bu Eugine Nerissa. "Memang kami ke sini mendadak kok dan tanpa ada pemberitahuan sebelumnya." Astaganaga…! Kendati tanpa berdandan dan tampil apa adanya, Belinda ini tetap cantik dan sangat menawan, terutama ketika ia tersenyum itu. Selama ini aku jarang memperhatikannya dari jarak dekat seperti ini… Pantasan saja anakku ini bisa langsung jatuh hati pada pandangan pertama dan semenjak hari pernikahan mereka itu, tak pernah sedetik pun Kenny keluar dari rumah ini tanpa ditemani oleh Belinda ini… Sekarang aku mulai mengerti…
Belum sempat Bu Eugine Nerissa membuka mulutnya, Kenny Herry sudah mendahului ibunya,
"Belinda… Ini ada satu surat dari orang Inggris yang bermukim di Tanah Aceh sana. Dia meminta tambahan stok lagi dari kita sebanyak dua ton. Uang juga sudah dikirimkan ke bank yang ada di Tanah Deli sini. Bisa tolong kaubalas mereka dengan mengatakan dua ton itu akan aku kirimkan besok dan akan sampai di sana Selasa depan?"
Belinda terperanjat kaget sejenak. Mesin ketik ada di atas meja di sudut ruang tamu. Dengan demikian, dia akan mengetikkan surat balasan itu di hadapan kedua mertuanya. Kenny ingin aku menunjukkan kemampuanku di depan kedua orang tuanya. Aduh… Mendadak aku menjadi gugup… Biasanya aku tidak pernah segugup ini… Bagaimana nanti jika terdapat salah pengetikkan dalam beberapa kata-kataku karena aku terlalu gugup seperti ini? Aku takut aku justru akan membuat Kenny malu di depan kedua orang tuanya…
Belinda berpaling dan menatap sang suami dengan sorot mata cemas. Pak Dennis dan istrinya saling berpandangan sesaat dengan penuh arti. Kenny Herry menatap balik istrinya dengan sebersit senyuman ringan. Dia mendekatkan bibirnya ke telinga istrinya dan mulai berbisik,
"Jangan khawatir… Aku yakin kau bisa, Belinda… Lakukan saja seperti yang kaulakukan biasanya. Kau sudah satu tahun belakangan ini mengetikkan semua surat keluar kita. Ini juga salah satu surat keluar yang sama seperti surat-surat keluar sebelumnya. Takkan ada masalah… Ayolah… Aku yakin kau bisa…"
Belinda mengangguk mantap. Dia mulai bergerak ke meja di sudut ruang tamu. Belinda duduk dan memasukkan selembar kertas ukuran A5 ke dalam mesin ketik. Sejurus kemudian, mesin ketik mulai berbunyi dengan lancar. Pak Dennis dan Bu Eugine Nerissa kembali saling bertukar pandang dengan penuh arti. Mesin ketik terus berbunyi berkepanjangan nan berkesinambungan. Kenny Herry melemparkan sebersit senyuman sinis ke ayah ibunya.
Tak lebih dari satu menit, surat sudah selesai. Belinda mencabut kertas dari mesin ketik dan menyerahkannya kepada suaminya. Belum sempat surat itu mencapai tangan Kenny Herry, Bu Eugine Nerissa merampasnya terlebih dahulu dan menyerahkannya pada suaminya,
"Coba kami lihat dulu, Belinda… Surat bisnis seperti ini harus hati-hati… Tidak boleh sembarangan tulis. Kalau bersalahan, pihak pelanggan sana akan marah dan jaringan bisnis bisa terputus. Bisa rusak nama baik Kenny nanti ya…" masih terdengar nada sinis di sini. Aku tidak yakin istri Kenny ini bisa mempelajari bahasa asing dengan begitu cepatnya – hanya dalam waktu satu tahun belakangan ini.
Mata Pak Dennis menelusuri tulisan hasil ketikan Belinda dengan cepat.
Dear Mr. O'Connor,
Thanks for having a cooperation with our business network these times. It's very glad to hear that your palm oil business has been running well in Aceh for the recent one year.
Via this letter, I'd like to state that your request for two more tons of palm coconut has been received. Your payment from the bank has also been received here. Therefore, I'm writing you to inform that the two tons of palm coconut will be sent from our harbor here tomorrow morning and will have reached Aceh over there by next Wednesday.
Thanks very much for your kind attention and cooperation these times. I hope to have a great business again with you in the future.
Sincerely yours,
Kenny Herry Yanto Wangdinata
Pak Dennis mengangkat matanya. Dia mau tidak mau menganggukkan kepalanya di hadapan istrinya. Bu Eugine Nerissa hanya bisa menelan ludah. Dia bagai orang bisu disengat lebah, tidak bisa berbunyi dan berujar apa-apa lagi. Dia mengembalikan surat itu kepada anak laki-lakinya. Kenny Herry menandatangani surat tersebut. Kini ia memandangi kedua orang tuanya dengan senyuman penuh kemenangan dan kepuasan.
"Oke, Yah, Bu… Aku dan Belinda mau ke pabrik kita dulu di Belawan sana. Kami akan mengurus proses pengiriman dua ton sawit ini yang besok pagi. Maaf, Yah, Bu… Kami akan sangat sibuk hari ini…" Kenny Herry memulangkan kedua orang tuanya secara halus. Padahal dia siang nanti baru akan ke Belawan.
Pak Dennis memandangi istrinya sejenak dan memberinya isyarat mata bahwa sudah saatnya mereka beranjak dari sana. Mau tak mau Bu Eugine Nerissa berdiri dan meninggalkan anak dan menantunya tanpa berucap sepatah kata pun. Mukanya tampak merah padam bak kepiting rebus.
"Oke… Kami permisi dulu… Senang melihat kalian suami istri hidup rukun dan saling mencintai…" kata Pak Dennis seraya memberikan satu tepukan ringan ke bahu anaknya.
"Kau hebat, Ken… Istrimu sudah hamil? Ayah sudah tidak sabar ingin menimang cucu soalnya…" bisik Pak Dennis.
Kenny Herry tersenyum lebar, "Segera, Yah… Segera akan ada kabar menggembirakan dari kami berdua. Ayah dan Ibu tunggu saja di rumah."
"Oke… Ayah tunggu kabar menggembirakan itu darimu ya…" Pak Dennis mengedipkan sebelah matanya kepada anaknya dan berlalu kemudian.
"Oke… Ayah pulang dulu, Belinda. Jaga Kenny baik-baik ya…" Pak Dennis sedikit berkelakar.
Belinda tersenyum ramah. "Hati-hati di jalan, Ayah…"
Pak Dennis keluar dari pintu depan rumah utama anaknya dan bergabung dengan istrinya yang sudah lebih dulu masuk ke mobil. Mobil bergerak perlahan meninggalkan rumah besar Kenny Herry.
"Aku kurang yakin Belinda bisa menguasai bahasa Inggris hanya dalam satu tahun belakangan ini, Den… Apa kau sudah periksa surat tadi dengan teliti? Dia mengetikkan semua kata bahasa Inggris dalam surat itu dengan cepat dan tepat? Masih tidak bisa kupercaya sampai sekarang!"
"Sudah kuperiksa dengan teliti kok… Surat sependek itu masa aku perlu waktu berjam-jam untuk memeriksa struktur bahasa dan ejaannya. Ada-ada saja kau ini… Sudah kubilang sebelumnya… Belinda itu memang anak yang pintar dan cekatan. Kudengar dia juga tergabung ke dalam klub korespondensi milik Ivana Pangdani itu. Sejak menikah dengan Kenny kita, dia sudah bergabung ke dalam klub itu. Tidak heran dong Belinda bisa menguasai bahasa Indonesia dan bahasa asing dalam waktu setahun belakangan ini. Kau sendiri yang terlalu menyepelekan dan meremehkan orang…"
"Iya… Iya… Iya… Aku yang salah… Aku telah salah menilai Belinda. Puas kau?" tampak Bu Eugine Nerissa merapatkan sepasang bibirnya.
Pak Dennis mengulum senyumannya. Mobil terus melaju di jalanan yang mulai ramai di pagi hari itu.
Sementara itu, Belinda merapikan kembali meja tamu dan membawa nampan masuk kembali ke dalam. "Lho…? Tidak bersiap-siap, Ken…? Kan tadi bilang mau ke pabrik sekarang kan?"
Kenny Herry meraih sang istri ke dalam pelukannya. "Aku hanya memulangkan mereka secara halus, Bel. Masa kau tidak mengerti sih…"
Belinda mencubit hidung sang suami dengan halus. "Kau membuatku sangat gugup tadi. Untung isi suratnya pendek saja. Jika tidak, bakalan ada kesalahan ejaan di mana-mana jika aku mengetik dengan kecepatan seperti tadi."
"Aahh… Kau terlalu merendah, Bel… Tapi, aku mencintaimu dengan karakter dan kepribadianmu yang seperti itu," Kenny Herry mendaratkan satu ciuman romantis ke dahi dan kemudian ke bibir istrinya.
"Aku juga mencintaimu, Ken… Lebih dari apa pun…" balas sang istri. "Jadi kau tidak ke pabrik sekarang?"
"Siang nanti saja baru kita ke sana… Sekarang aku ingin bersantai dan menonton televisi dulu…" kata Kenny Herry mulai menghidupkan televisinya. Acara komedi masih dalam warna hitam putih mulai ditampilkan di layar kaca.
"Oke… Aku bersihkan dulu meja tamu dan habis itu menyiapkan bahan-bahan untuk makan siang nanti, Ken…" kata Belinda.
"Masaklah yang enak, Sayang…" kata Kenny Herry melemparkan sebersit senyuman cerah.
Mendadak Belinda merasa sedikit mual dan dia mulai merasa pusing. Langkah-langkahnya terhenti. Dia berusaha mempertahankan keseimbangannya. Hampir saja nampan beserta isinya terjatuh ke lantai.
"Ada apa, Belinda? Ada apa? Mendadak wajahmu menjadi pucat…" kata Kenny Herry sembari menghampiri istrinya dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
Seorang pembantu datang menghampiri. Kenny Herry menyerahkan baki beserta segala isinya kepada si pembantu dan menuntun istrinya duduk kembali di ruang tamu.
"Kau kurang sehat… Akan kupanggilkan dokter…" kata sang suami.
"Tidak usah…" tahan sang istri. "Kemarin-kemarin aku juga merasa mual-mual dan pusing-pusing begitu. Aku sudah panggilkan dokter dan dokter sudah memberiku obat kok, Ken. Aku baik-baik saja. Jangan khawatir…"
Kenny Herry sedikit membesarkan bola matanya, "Hah? Kau sudah merasa mual dan pusing sejak hari-hari kemarin dan aku tidak tahu? Kapan dokter datang ke sini? Kok aku bisa sampai tidak tahu?"
"Kemarin siang kau kan sibuk seharian di luar, Ken. Ada Ivana dan Valencia di sini kok… Mereka yang panggilkan dokter ke sini. Malamnya kau bahas-bahas soal klub dengan Boy dan Jacky sampai jam satu jam dua dini hari bukan? Mana sempat aku memberitahumu soal siangnya ada dokter ke sini memeriksaku. Lagipula, sekarang memberitahumu kan belum terlambat."
Belinda sedikit tersenyum.
"Oke… Oke… Aku yang terlalu sibuk. Aku yang salah…" kata Kenny Herry menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal. "Lalu dokter bilang apa? Apakah sakitmu serius?"
"Dokter bilang… Dokter bilang…" rona merah mulai terbit di wajah Belinda. Dia malu dan tidak sanggup menatap mata sang suami ketika hendak mengatakan hal itu.
"Astaga, Belinda… Sebegitu sulitkah bagimu untuk mengatakan apa sakitmu kepadaku?" Kenny Herry benar-benar tidak sabar mendengar apa sebenarnya penyakit yang diderita oleh istrinya.
Belinda menggeleng lembut. "Aku tidak sakit apa-apa kok, Ken… Kau tidak usah khawatir."
"Tapi jelas-jelas kau merasa mual dan pusing tadi. Kalau bukan sakit, itu adalah…"
"Aku hamil… Dokter memastikan usia kandunganku sudah tiga minggu. Dokter sudah berikan berbagai obat dan vitamin untuk anak kita. Sebentar lagi, kau akan menjadi seorang ayah, Ken…" kata Belinda meremas lembut kedua belahan pipi sang suami.
Tentu saja Kenny Herry meledak dalam kegirangan dan kegembiraan yang tiada tara. Dia memeluk istrinya dan mereka berdua berputar-putar terus di ruang tamu laksana pengantin baru. Kegembiraan Kenny Herry benar-benar tidak terukurkan lagi. Dia merasa dia bagaikan pemilik alam semesta. Tiada kebahagiaan lain yang bisa menandingi kebahagiaannya pada saat itu.
"Aku merasa aku telah menjadi laki-laki yang paling bahagia di muka bumi ini, Bel. Astaganaga…! Kenapa tadi pagi kau tidak langsung memberitahuku?" Kenny Herry memeluk istrinya dengan cinta yang semakin meluap-luap.
"Anggap saja ini sebagai kejutan buatmu, Ken…" senyum sang istri.
"Mulai hari ini, kau jangan mengerjakan segala kerjaan rumah yang berat-berat ya… Jika tidak cukup pembantu, aku akan menggaji beberapa pembantu tambahan."
"Tidak usah, Ken… Pembantu sudah cukup. Pekerjaan mengepel, mencuci pakaian, dan memasak tetap ada Mak Ijah dan Mak Siti yang mengerjakan. Sisanya hanya kerjaan-kerjaan kecil; aku bisa mengurusnya. Kau tidak usah khawatir."
"Janji padaku kau tidak boleh terlalu lelah. Oke…?" Kenny Herry sedikit mengeraskan raut wajahnya. Belinda menjadi sedikit geli menatap raut wajah sang suami.
"Oke… Aku berjanji, Sayang… Takkan selelah hari-hari kemarin lagi…" kata Belinda tersenyum geli.
Kembali Kenny Herry meraih sang istri ke dalam pelukan kehangatan. Asa bahagia kembali menggelincir di rangkup batin keduanya.
***
Valencia juga kedatangan dua orang tamu yang tidak disangka-sangkanya siang ini. Begitu ia membuka pintu, tampak raut wajah Pak Roberto Fang dan Bu Fernanda Fang yang menatapnya dengan dingin di luar. Valencia terperanjat kaget sejenak. Sungguh dia tidak menyangka kedua orang tuanya akhirnya bisa menemukannya di rumah Boy siang ini.
"Tidak berniat untuk mempersilakan kami masuk?" sindir Bu Fernanda.
Valencia melebarkan daun pintu dan menyingkir sebentar ke samping. Pak Roberto dan Bu Fernanda melangkah masuk. Terdengar bunyi mesin ketik yang berkepanjangan dan berkesinambungan dari dalam kamar Boy Eddy di bagian dalam rumah. Pak Roberto dan Bu Fernanda langsung berjalan ke ruang tamu tanpa menanggalkan sepatu mereka. Tampak Bu Fernanda berkali-kali mengibaskan tangannya dan menutup hidungnya. Tampak dengan sangat hati-hati, Bu Fernanda mendaratkan pantatnya di sofa supaya kotoran pada sofa tidak mengotori pakaiannya.
"Ada minum, Valencia?" tanya si ibu mengipas-ngipasi dirinya dengan sapu tangan yang dibawanya.
"Kalian datangnya mendadak seperti ini, jadi aku mana sempat berbelanja ke pasar," jawab Valencia singkat. Dia duduk di depan kedua orang tuanya dengan wajah dingin dan kaku.
"Tidak tahu pulang ke rumah lagi kau?" hardik ayahnya.
Boy Eddy menghentikan ketikannya di kamar. Dia keluar dari kamar dan langsung berhadapan dengan kedua orang tua Valencia.
"Siang, Pak, Bu… Aku Boy… Boy Eddy Wangsa…" kata Boy Eddy sembari mengulurkan tangannya dengan sebersit senyuman ramah. Namun, uluran tangannya sama sekali tidak mendapat sambutan.
"Kau tahu kau sedang menyimpan anak siapa di rumahmu ini, Anak Muda?" suara si ayah mulai berdentum.
"Menyimpan? Aku rasa Bapak telah salah memilih kata-kata deh, Pak… Aku tidak pernah memaksa Valencia tinggal di sini. Valencia tinggal di sini karena keinginannya sendiri. Valencia sudah dewasa dan aku rasa ia sudah bisa membedakan mana tempat yang benar-benar merupakan rumah baginya." Nada sinis terdengar dari suara Boy Eddy.
"Kau bisa menghidupi Valencia, Anak Muda? Siapa namamu tadi? Boy…? Jadi begini, Boy… Valencia itu adalah anak kami dan sejak kecil ia sudah terbiasa tinggal di tempat yang bersih, tidur di tempat tidur yang mewah, mau makan apa dapat apa, mau pakai baju apa tetap tersedia. Tapi, tinggal di rumahmu ini yang ukurannya tak lebih dari kamar mandi yang sering dipakainya dulu, aku rasa kau telah membuat seorang putri turun pangkat menjadi seorang pengemis jalanan. Iya tidak sih?" Bu Fernanda mengerutkan dahinya dan melemparkan sebersit senyuman skeptis yang menghina.
Tampak Boy Eddy menundukkan kepalanya dan mengepalkan kedua tangannya erat-erat.
"Dan terlebih lagi… Seorang laki-laki dan seorang perempuan tinggal bersama tanpa adanya ikatan pernikahan, apa kata orang-orang nanti? Kau sih enak karena kau adalah laki-laki! Laki-laki selamanya tak pernah dirugikan! Valencia yang bakalan rugi karena dia adalah perempuan! Sudah kaucicipi dia dan dia sudah menjadi barang bekas begini, kelak bagaimana aku bisa menikahkan dia kepada laki-laki lain! Memang kurang ajar kau! Tidak tahu diri! Berani-beraninya pula kau bersanding dengan Valencia Fang anakku ini! Apa sudah bercermin kau sana, Anak Muda!" sambung Pak Roberto Fang dengan suara keras.
"Aku bisa menikahi Valencia jika itu yang kalian inginkan!" Boy Eddy berusaha menahan kegeraman dan kemarahan yang sudah bergejolak dalam batinnya.
Pak Roberto Fang mendengus dengan sebersit senyuman skeptis yang menghina. Bu Fernanda meledak dalam tawa penghinaannya yang menjengkelkan.
"Berapa modalmu memangnya sehingga kau berani buka mulut untuk menikahi anak kami, Anak Muda! Kau kira dengan modal tampang saja sudah bisa menikahi Valencia! Kau kira dengan modal rumah sederhana seperti ini, kau sudah bisa menjadi menantu keluarga Fang! Kusarankan padamu untuk berhenti bermimpi saja ya, Boy…"
Bu Fernanda berjalan mendekati Boy sekarang. Dia mengangkat dagu anak muda itu dan menatapnya dengan sorot mata merendahkan.
"Wajahmu memang oke… Sangat oke malahan… Seandainya uangmu juga oke, aku takkan pikir dua kali untuk menikahkan Valencia kepadamu. Sayang sekali, tampangmu tidak berbanding lurus dengan uangmu. Dan pakaianmu ini, Boy… Aduh…! Benaran deh…! Pakaian ini dikenakan oleh sopir dan tukang kebun kami, Boy… Tidak ada baju lain lagi yang bisa kaukenakan meski kau sedang berada di rumah saat ini? Aduh! Bisa kubayangkan bagaimana kelak pesta pernikahanmu dengan Valencia! Semuanya pasti serba ala kadarnya… Sini ala kadarnya… Sana ala kadarnya… Aduh! Malunya aku jika seandainya nanti Valencia jadi menikah denganmu, dan aku harus membagikan undangan pernikahan kalian yang ala kadarnya kepada kerabat-kerabat dekat kami! Astaganaga! Mau dikemanakan mukaku ini, Anak Muda! Jangan bercanda deh…!"
Bu Fernanda menepiskan dagu Boy Eddy ke samping. Tampak Boy Eddy berupaya menahan segala emosi yang sudah berkecamuk di dalam. Aku harus sabar… Aku harus sabar… Aku tidak boleh membuat posisi Valencia semakin sulit di sini. Aku tidak boleh membuat posisi Valencia menjadi serba salah…
"Valencia! Ayo pulang!" kata Pak Roberto hendak menggandeng tangan anak perempuannya. "Terry sudah menunggumu di rumah. Ayah telah menjodohkan kau dengan Terry sekarang. Jika kedua orang tuanya sudah oke, kami akan sama-sama menentukan tanggal pernikahan kalian. Hentikan candaanmu sekarang dan ikut Ayah pulang!"
Valencia menepiskan tangan ayahnya. Dia membuang muka ke arah lain.
"Apa-apaan kau ini, Valencia! Kau benaran ingin tinggal terus bersama-sama dengan laki-laki miskin ini dan menyia-nyiakan masa depanmu dengannya?" hardik si ayah lagi.
"Kau dulu menjodohkan aku dengan si Dedrick de Groot itu karena ia berjanji akan melunasi semua utangmu ke bank bukan? Sekarang kau juga menjodohkan aku dengan si Terry Liandy ini tanpa menanyakannya terlebih dahulu kepadaku. Aku boleh tahu ada perjanjian apa lagi antara kau dan keluarga Terry Liandy ini?" Tampak kedua mata Valencia yang mendelik tajam. Air mata tampak gelingsir di kedua bola mata yang mendelik tajam tersebut.
"Kau adalah anakku. Kau hanya perlu mendengarkan dan mengikuti arahanku. Kau tidak perlu bertanya yang macam-macam!" tampak gigi-gigi Pak Roberto Fang bergemelutuk.
"Punya hak apa kau mengurusi hidupku, Ayah? Apakah kau sudah melaksanakan tugas dan kewajibanmu sebagai ayah yang baik? Jika kau adalah ayah yang baik, kau takkan menyerahkan aku kepada Dedrick de Groot hari itu. Jika kau adalah ayah yang baik, kau sendiri yang akan menyelesaikan segala soal utang-piutangmu tanpa melibatkan anak istrimu ke dalamnya. Iya kan? Tapi, apa yang kaulakukan waktu itu? Kau benaran menyerahkan aku kepada Dedrick de Groot itu. Kau tahu apa yang dilakukannya terhadapku malam itu! Dia menjualku ke rumah bordil! Dia menjualku ke rumah bordil sebagai seorang wanita penghibur!" masih terlihat kedua bola mata Valencia yang mendelik tajam dan beberapa tetes air mata yang gelingsir di sana.
"Dan bagaimana ceritanya sehingga kau bisa berakhir di rumah ini?" kedua mata Bu Fernanda sedikit membesar menantikan jawaban dari anak perempuannya.
"Boy membeliku dan menyelamatkanku dari rumah bordil itu. Jika tidak ada dia, mungkin sekarang aku sudah berakhir menjadi sampah di sana. Sekarang sudah jelas kan? Kalian sudah tidak mempunyai hak apa-apa untuk mengurusiku lagi, Ayah, Ibu. Sejak kalian menyerahkan aku kepada Dedrick de Groot hari itu, kalian sudah kehilangan hak kalian terhadapku. Sekarang, pergilah dan jangan pernah menggangguku lagi. Anggap saja… Anggap saja aku memang sudah menjadi sampah di rumah bordil itu dan kalian sudah tidak memiliki anak perempuan sepertiku…"
Sambil menyeka ekor matanya, Valencia terisak sebentar dan ia berpaling berdiri membelakangi kedua orang tuanya.
"Apa yang terjadi denganmu sebenarnya, Valencia? Dulu kau tidak begini! Dulu kau itu sangat patuh dan penurut! Kenapa sekarang kau menjadi pembangkang seperti ini?" teriakan Bu Fernanda berkumandang ke seisi rumah. Satu tangannya naik hendak mendaratkan satu tamparan ke wajah anak perempuannya.
Boy Eddy menahan tangan Bu Fernanda.
"Jangan main kekerasan di sini, Bu!"
"Aku sedang memberi pelajaran kepada anakku. Apa hakmu atur-atur aku boleh pakai kekerasan atau tidak!" tampak sepasang mata Bu Fernanda yang mendelik tajam.
Boy Eddy tidak menjawab. Dia menepiskan tangan Bu Fernanda ke samping dengan sebersit senyuman sinis. Bu Fernanda mundur beberapa langkah ke samping secara sempoyongan.
"Dengarkan aku, Valencia! Kau ikut aku pulang sekarang atau kalau tidak…" desis Pak Roberto Fang dengan nada ancaman yang intens.
"Apa memangnya yang akan Ayah lakukan terhadapku? Beberapa bulan belakangan ini aku sudah mengandalkan kedua tangan dan kakiku. Aku sudah tidak lagi bergantung pada Ayah. Jadi, apa rencana Ayah sekarang untuk menghancurkanku?" Valencia masih berdiri membelakangi kedua orang tuanya.
"Aku akan menghancurkan hidup dan masa depan laki-laki ini, Valencia! Aku tidak main-main! Berapa banyak dari hidup dan masa depan laki-laki ini yang harus aku porak-porandakan supaya kau mau mendengarkanku!" tampak gigi-gigi Pak Roberto Fang kembali bergemelutuk.
"Oke… Dengan demikian, aku akan semakin membangkang dan memberontak. Seberapa jauh aku harus membangkang dan memberontak supaya Ayah mau mendengarkanku?" Valencia berpaling dan dengan pandangan yang mendelik tajam, ia menatap Pak Roberto Fang.
"Kau… Kau… Kau…" mulai terasa nyeri yang tak terperikan pada dada kiri Pak Roberto Fang. Ia tampak terus memegangi dada kirinya.
"Roberto! Roberto! Apa yang terjadi padamu, Roberto?" teriak sang istri mulai panik melihat apa yang terjadi pada suaminya. "Pengawal! Bawa Bapak ke dalam mobil! Bawa Bapak ke dalam mobil!"
Valencia dan Boy Eddy sama sekali tidak bergeming ketika beberapa pengawal masuk ke dalam rumah dan membawa Pak Roberto Fang kembali ke mobilnya. Sesaat sebelum keluar dari rumah Boy Eddy, Pak Roberto Fang sempat melirik ke anak perempuannya sekali lagi dengan pandangan tajam.
Suami istri Fang keluar. Pintu ditutup oleh Boy Eddy secara perlahan. Saat berjalan kembali ke dalam rumah, dia melihat Valencia sudah meledak dalam suatu isakan halus.
"Jika kau merasa menyesal, kembalilah… Aku takkan menahanmu di sini… Dengan pulang kembali ke rumah, dengan kembali menjadi seorang tuan putri yang patuh dan penurut, aku rasa masa depanmu akan lebih cerah…" kata Boy Eddy dengan segenap kesedihan yang kian menggelimuni.
Valencia menatap Boy Eddy dengan pandangan nanar. "Setelah beberapa bulan kita tinggal bersama, setelah beberapa bulan aku terbiasa dengan kebersamaan kita, kini kau juga mengusirku, Boy. Kau juga tidak menginginkanku lagi. Begitukah?"
"Setidaknya kau lebih terjamin di rumah, Valencia… Mau apa dapat apa… Masa depanmu lebih pasti dan lebih terjamin jika kau pulang, Valencia…" Boy Eddy tidak ingin beradu pandang dengan sang putri pujaan hati. Semakin lama dia beradu pandang dengan sang putri pujaan hati, ia semakin tidak yakin ia bisa melepas kepergiannya atau tidak.
"Baru beberapa bulan mengenalku, kau merasa kau sudah tahu apa yang menjadi kebahagiaanku, Boy. Kau tahu apa yang menjadi kebahagiaanku sekarang?" masih terdengar beberapa kali isakan Valencia.
"Apa itu?" Boy bertanya dengan sedikit keraguan.
"Aku bisa terbebas dari penjara sangkar emas yang selama ini mengungkungku. Itulah kebahagiaanku sekarang. Selama ini aku hanya bisa diam menerima segala perlakuan kedua orang tuaku, tak bisa menuntut apa-apa. Sekarang aku bisa menyuarakan pendapat dan pandanganku, bisa menjadi diriku sendiri. Itulah kebahagiaanku sekarang. Sekarang kau ingin aku kembali ke sangkar emas yang selama ini mengungkungku, kembali ke jati diriku sebelumnya yang bukan diriku sendiri, dan ingin aku kembali menderita. Tidakkah kau mengerti apa yang benar-benar menjadi sumber kebahagiaanku sekarang, Boy?"
Perlahan-lahan, Boy berpaling dan ia mendapati sorot mata Valencia yang nanar dan berair. Sungguh trenyuh perasaan Boy melihat sinar mata sang putri pujaan yang seperti itu. Pelan-pelan, Boy meraih sang putri pujaan ke dalam pelukan. Sungguh ia tidak bisa melepas kepergian sang putri pujaan lagi sekarang. Sungguh ia tidak bisa menjauh dari Valencia lagi sekarang.
"Aku sudah memberimu kesempatan untuk meninggalkan aku, Valencia. Aku sudah memberimu kesempatan untuk kembali ke rumah, kembali ke kehidupanmu yang dulu. Namun, kau sendiri yang menolaknya. Jangan salahkan aku jika kau tak bisa lepas dariku lagi… Jangan salahkan aku jika kau tak bisa meninggalkan aku lagi… Jangan salahkan aku jika kau akan menjadi bagian dari hidupku mulai dari detik ini…"
Perlahan-lahan, tangan naik dan membelai-belai kepala sang putri pujaan. Tangisan sang putri pujaan bertumpah ruah dalam pelukan Boy Eddy.
"Jangan tinggalkan aku, Boy… Jangan biarkan aku sendiri… Jangan biarkan aku sendiri kembali ke masa lalu… Jangan juga biarkan aku sendiri menyongsong masa depan… Aku tak ingin menjalani hari-hari tanpamu. Bisa kan…? Bisa kan terus menemaniku seperti beberapa bulan belakangan ini?" sang putri pujaan menaikkan kedua tangan dan mengelus-elus kedua belahan pipi sang pangeran pujaan.
"Aku takut aku tidak bisa membahagiakanmu… Aku takut aku tidak bisa memberimu kebahagiaan yang selama ini kaunikmati. Aku takut aku justru akan membuatmu menderita, Valencia…"
Sekonyong-konyong, Valencia mendaratkan satu kecupan mesra ke bibir sang pangeran pujaan. Sang pangeran pujaan kontan terdiam pada saat itu. Dia terbuai ke dalam ciuman dan kelembutan yang diberikan oleh sang putri pujaan.
Valencia menatap sang pangeran pujaannya lekat-lekat. "Aku mencintaimu, Boy… Aku mencintaimu… Asalkan kau juga memiliki perasaan yang sama terhadapku, asalkan kau juga mencintaiku, bagiku itu sudah lebih dari cukup. Asalkan kau juga mencintaiku, aku akan memperjuangkan kebersamaan dan kebahagiaan ini bersamamu. Maukah kau…?"
Akhirnya Boy Eddy mengangguk. Dia mempererat pelukannya. Kembali Valencia mendaratkan satu kecupan mesra ke bibir sang pangeran pujaan.
Bilur-bilur cinta segera menyeruak ke relung-relung sanubari Boy Eddy dan Valencia.