Arsen mengintip ponsel itu dari balik bahu Tony, dan langsung berseru riang saat melihat wajah yang familiar di layar.
"Paman!! Aku lulus!"
Tony sedikit menjauhkan diri dari Arsen yang tanpa sopannya berteriak di samping telinganya. Agak sedikit heran dengan ayahnya yang tampak berpenampilan begitu rapi. Meskipun jas yang ia kenakan adalah yang biasa dikenakan untuk kerja, tapi entah kenapa bahkan rambutnya tampak ditata.
"Halo ayah, ada apa? Apa kau tidak sibuk?". Melihat ayahnya yang duduk di meja kerja dengan tumpukan kertas di depannya membuatnya yakin jika ayahnya ini sedang bosan di tempat kerja karena pekerjaan yang tidak ada habisnya.
"Tidak. Sama sekali tidak sibuk", kali ini ayahnya berdiri dan mulai berjalan mendekati jendela, dimana pemandangan kota London dengan berbagai gedung tingginya tampak dari sana.
"Ya..ya..tidak usah berbohong paman. Jika kau tidak sibuk, tentu saja kau akan ada disini bersama kami,kan?". Beliau tak bisa menampik lagi, jujur saja, ia memang ingin sekali menghadiri acara wisuda anaknya tapi apa daya, pekerjaan yang menumpuk tak bisa dihindari.
"Baiklah. Maafkan aku, nak. Untuk saat ini aku benar-benar tak bisa pergi. Aku hanya bisa mendoakanmu dari sini, dan ikut melihat ramainya acara dari layar ponsel saja. Ah! Tapi tenang saja, ayah mengirimkan sebuah hadiah untukmu"
Hadiah?
"Tentu saja! Aku hadiah, kan?"
Sebuah lengan mengalung begitu saja di bahu Tony dan Arsen yang memang sedang berdiri bersampingan. Lengan yang ramping, dengan kain brukat menempel di atasnya, seorang wanita.
Mata Tony membesar melihat jemari itu, jemari yang sering dilihatnya dulu.
"IBU?!"
Dengan cepat ia berbalik, meninggalkan Arsen yang masih terkejut. Benar, sosok itu adalah ibu Tony yang datang untuk menghadiri wisuda Tony.
Wanita cantik dengan rambut yang ditata apik semakin memancarkan kecantikannya. Dengan senyum lebar kemudian ia memeluk anak semata wayangnya.
Arsen yang melihat itu kemudian mengambil ponsel yang tadi di genggam Tony, menyelamatkan paman yang seakan terabaikan di seberang sana. Meski begitu, beliau tampak ikut merasakan bahagia mereka karena sudah bertemu lagi.
Ya, meski bisa dibilang mereka berpisah tak begitu lama, tapi sang ibu yang bisa dibilang setiap hari tiada absen menelfon anaknya itu membuatnya agak pusing juga.
"Paman, kenapa bibi bisa disini dan kau tidak?"
Lelaki paruh baya itu hanya bisa tersenyum mendengar pertanyaan Arsen.
"Kau tau jawabannya", jawaban singkat ayah Tony itu membuat senyum kecil terbit di bibir kecilnya.
Tentu saja.
Arsen tentu mengetahui hal itu. Pekerjaan sibuk paman membuatnya tak bisa datang, tapi itu sama sekali bukan berarti ia tak menyayangi Tony.
Arsen tau benar bagaimana paman sangat menyayangi sahabatnya itu. Setiap hari meski sibuk dan terkadang harus begadang, paman akan menelfon atau mengirim pesan pada Arsen di malam hari.
Jika kalian berfikir bahwa ayah Tony lebih menyayangi Arsen karena sering menelfonnya, salah. Ayah Tony sudah mempercayai Arsen sebagai sahabat anaknya. Dan karena sudah begitu mempercayainya, ia sering menanyakan kesehariannya.
Terkadang, ada beberapa hal yang tak bisa kita ceritakan pada orang tua. Entah karena merasa tak perlu atau malu untuk menceritakannya.
Apalagi untuk orang seperti Tony yang tak ingin menceritakan kehidupan sehari-harinya pada orag tuanya. Maka Arsen lah satu-satunya cara agar orang tuanya tetap bisa memantau kehidupan anaknya.
Terkadang Tony berkata bahwa ia baik-baik saja, tapi perasaan orang tua memang tak bisa dibohongi. Malam itu Arsen menceritakan jika Tony baru saja diserempet sepeda motor saat pulang sekolah dan tentu saja ia tak ingin menceritakan apapun, bahkan pada Arsen sekalipun.
Jika saja saat itu Arsen tidak main ke rumah Tony sepulang sekolah, ia tak akan pernah tau.
"Hey! Arsen!"
Sebuah tepukan di pundak menyadarkan Arsen yang terlihat melamun dari tadi. Melupakan kehadiran bibi, ibu Tony yang saat ini juga sedang berada disini.
"Apa yang sedang kau lamunkan? Hm? Ah! Apakah sedang menunggu kekasihmu?"
"Tidak. Apa yang bibi katakan? Aku tak punya kekasih, tapi teman wanita banyak", Arsen langsung menyeringai sambil menaik turunkan alisnya setelah mengucapkan kata-kata itu.
Ibu Tony tertawa terbahak-bahak dengan tangan yang tak lupa memukuli Arsen dengan sayang. Sedangkan Tony menggelengkan kepala dan menatap Arsen dengan jijik, tentu saja karena kalimat yang baru saja diucapkannya tadi.
Candaan itu memang sering Arsen lakukan hanya sekedar untuk memecah keheningan agar tidak canggung.
Bibi, ibu Tony tampak begitu cantik di usianya yang sudah menginjak 50 tahun. Meski dandanannya sederhana ia masih tampak lebih muda dari usianya. Terkadang Arsen berfikir kenapa ibunya tidak bisa secantik ibu Tony. Ia tidak iri. TIdak. Hanya bingung saja padahal usia mereka juga tidak terlalu jauh jaraknya.
Berbanding terbalik dengan ayah Tony, usianya yang terpaut 2 tahun lebih muda dari istrinya itu, ibu Tony, justru terlihat lebih tua dari usianya. Mungkin karena pekerjaan lah yang membuat ia tampak selalu kelelahan. Rambutnya sudah mulai memutih, tapi bukannya disemir ia justru tampak sangat membanggakan rambut putihnya itu.
Tampak seperti orang luar negeri katanya.
"Kenapa kok hobi sekali melamun?", suara tante Risa, ibu Tony kembali menyadarkan Arsen dari lamunannya.
Entah kenapa sejak tadi ia seperti diingatkan kembali tentang masa-masa lalu bersama keluarga Tony.
"Bibi sudah datang jauh-jauh kesini dan berdandan cantik untuk melihat Tony wisuda. Sayang sekali paman tak bisa ikut"
Wajah cantik wanita itu tampak sedikt sedih mendengar ucapan Arsen, tapi kemudian dengan cepat ia kembali tersenyum. "Benar. Sayang sekali dia tak bisa ikut kemari. Tapi taka pa, sebentar lagi kita akan berkumpul lagi"
Tangan kirinya meraih tangan kanan Tony yang bebas, menggenggamnya dengan erat.
****
"Kamu masih kefikiran Nadya?"
Arsen sudah sejak tadi melihat Tony duduk tanpa melakukan apa-apa di teras rumahnya.
Hari cepat sekali berganti malam, udara dingin tak bisa menyingkirkan Tony agar segera masuk ke dalam rumah.
Ponsel hitam itu diputar berkali-kali di genggamannya, terkadang dibuka hanya untuk menelefon nomor yang sama. Yang sampai kapan pun tak akan bisa tersambung.
Arsen kini duduk di kursi kosong disamping Tony yang tak juga membalas pertanyaannya. Meski begitu, Arsen paham jika sahabatnya ini sedang bingung dan memikirkan banyak hal.
"Apa yang harus aku lakukan?", suara lirih itu akhirnya terdengar.
Tony akhirnya menyerah, kepalanya terasa begitu pusing, seakan semuanya berputar. Ia ingat sejak pagi belum memasukkan makanan apapun ke perutnya. Rasanya tak ada makanan yang bisa menggugah seleranya. Selain itu, ia akan merasa mual setiap melihat nasi ataupun roti, jadi dia hanya memilih untuk minum air mineral saja.
Kini Tony memilih bersandar di kursi, setidaknya posisi ini akan membuat pusingnya sedikit berkurang. Bayangan Nadya terlintas lagi di benaknya. Fikiran buruk yang tak pernah bisa lepas dari dugaannya.
"Apa yang harus aku lakukan?", pertanyaan itu terulang lagi.
Arsen menghembuskan nafas berat, ia tau pasti berat untuk Tony meninggalkan Nadya, meninggalkan pencariannya tentang Nadya. Satu-satunya orang selain orang tua dan Arsen sendiri, yang berhasil membuat Tony memikirkannya begitu dalam.
"Aku akan membantumu selama kamu jauh nanti. Aku akan coba cari semampuku keberadaan dia"
Tony menatap Arsen dengan harap, "Kamu yakin?"
Kali ini Arsen mengangguk mantap. "Ya. Aku yakin"
Tak ada yang di inginkan olehnya saat ini selain melihat senyum Tony sebelum ia pergi.
***
tbc