''Hei ... Manis, kenapa lo ada di sini?'' celetuk Oppo, ''apa kau sudah mengambil surat pengumumannya?'' imbuhnya.
''Belum.''
''Gak usah diambil. Lo sudah pasti lulus. Gue yakin itu.''
''Hehehe ... Aamiin!''
''Oppo kau mengenal anak ini?'' ujar Papah Oppo memotong pembicaraan kami.
''Iya, Pah ... dulu dia teman sebangku Oppo di kelas XI.''
''O, gitu ... siapa namanya?''
''E ... Bro, kenalin ini bokap gue, Mr. Iphone!'' bisik Oppo di kupingku. Aku meringis.
''Hai ... Om!'' sapaku malu-malu.
''Iya, Nak ... siapa namamu? Kenapa kamu begitu mirip dengan anakku?''
''Nama saya, Vivo, Om!''
''Vivo?'' Mata Mr. Iphone mendadak menyipit. Keningnya mengernyit.
''Ya, Vivo Noviandro.''
''Hah???'' Mr. Iphone ternganga. Mulutnya terbengong. Beliau menatapku dengan pandangan mata kosong. Sikapnya benar-benar aneh. Seperti Bagong.
''Papah ...Papah kenapa?'' cetus Oppo menyadarkan ayahnya yang berdiri terdiam cukup lama. Seperti orang yang tercengang hebat mendengar namaku.
''Tidak apa-apa ... kalau saya boleh tahu siapa nama ibumu, Nak?''
''Xi-xiomi, Om!''
''Apa? Subhanallah ...'' Kembali Mr. Iphone tercengang. Tubuhnya bergetar seolah terserang angin kencang. Membuat dirinya mundur beberapa langkah.
''Papah ... ada apa, Pah?'' Oppo jadi kebingungan. Aku juga.
''Maaf, di mana orang tuamu?''
''Ibuku sudah meninggal, Om ...''
''Innalillah ...'' Tiba-tiba tubuh Mr. Iphone terhuyung. Lemas dan terduduk di lantai.
''Papah, kenapa?'' Oppo mendekati papahnya dengan mimik yang cemas.
''Tidak apa-apa, Po ... mungkin darah tinggi Papah kambuh lagi. Tiba-tiba badan papah lemas begini.''
''Papah ... Papah minum dulu aja, Pah!'' Dengan sigap Oppo mengeluarkan botol air mineral dari dalam tasnya. Kemudian ia meminumkannya ke mulut Mr. Iphone. Pelan-pelan. Hingga laki-laki itu bersikap tenang kembali.
Ketika Mr. Iphone mulai tenang. Saat itulah aku dipanggil oleh Hua Wei dari kejauhan.

Mr. IPhone
''Vivo!'' seru Hua Wei dengan suara keras seperti menggunakan toak. Tanpa ragu aku pun menghampiri Hua Wei dan meninggalkan Oppo bersama Papahnya.
''Guru wali kelas memanggilmu ...'' ujar Hua Wei pas aku berada di hadapannya.
''O, ya?''
''Ya, buruan gih, masuk ke kelas!''
''Baiklah!''
Dengan langkah yang berat. Aku menyeret kakiku ke dalam kelas. Di depan pintu kelas aku berhenti. Jantungku berdebar-debar hebat saat menangkap sesosok bayangan makhluk yang sudah sangat familiar di indra visualku. Sesosok laki-laki gagah dan tampan. Siapa lagi kalau bukan Bang Sam. Tak kusangka, ternyata dia sudah berada di sini. Menungguku. Mengambilkan surat pengumuman untukku. Sulit dipercaya. Benar-benar kejutan.
''Selamat kamu lulus, dan mendapatkan nilai tertinggi di kelas sekaligus di sekolah ini, Vivo!'' Bang Sam menyalami tanganku lalu memelukku. Cipika-cipiki. Kemudian disambut tepukan gemuruh oleh seluruh manusia yang berada di dalam kelas ini. Para orang tua murid dan guru wali kelas. Aku jadi terharu. Tersipu dan senyum malu-malu. Aku bahagia sekaligus berduka. Bahagia karena mendapatkan prestasi yang terbaik, berduka karena tak ada ibu lagi.
''Aku pikir Abang tak bisa datang mengambil pengumuman hasil ujianku,'' ujarku saat di luar kelas.
''Maafkan saya, Vo ... tadi Baby El agak rewel, minta digendong terus. Jadi saya datang agak terlambat,'' jawab Bang Sam menjelaskan.
''Tidak apa-apa, Bang ... yang penting Abang sudah datang, aku sudah sangat senang sekali.''
''Hari ini, mungkin akan menjadi hari yang paling bersejarah dalam hidupmu. Dan saya ingin menjadi bagian dari sejarah itu.''
''Hehehe ... Bang Sam ... terima kasih, Abang memang bagian dari sejarah dalam hidupku yang tak akan mungkin kulupakan. You are my hero, Ayah Tiriku, Idolaku.''
'' Hehehe ... Sama-sama!'' Bang Sam mencubit gemas pipiku, lalu mengacak-acak rambutku.
Kami jadi tersenyum bersama. Ketawa-ketiwi bahagia.
''Sam ....'' Tetiba seseorang menyebut nama Bang Sam dari arah belakang kami. Seketika itu kami menoreh ke arahnya. Ada Oppo dan Papahnya, Mr. Iphone.
''Om Iphone ...'' sahut Bang Sam sembari menjabat tangan Mr. Iphone. Mereka bersalaman sambil melepaskan senyuman.
''Aku sudah mendengar kau menikahi seorang janda, tapi aku tidak tahu kalau kau ternyata menikahi ibunya Vivo.''
''Hehehe ... iya, Om.''
''Dulu aku tidak sempat menghadiri pernikahan kalian. Dan maaf, aku juga turut berduka cita atas musibah yang terjadi di keluarga kalian.''
''Tidak apa-apa, Om. Saya memang waktu itu melaksanakan pernikahan yang sangat sederhana. Soal kematian ibunya Vivo, terima kasih atas ucapan bela sungkawanya.''
''Sam ... aku lihat Vivo anak yang baik dan cerdas, jagalah dia dengan sebaik-baiknya.''
''Iya, Om ... Vivo adalah berlian, dan aku pasti akan selalu menjaganya.''
''Jika kau memerlukan sesuatu, bilang saja padaku, Sam ...''
''Oke ...''
Entah, apa yang sedang mereka bicarakan selanjutnya. Setelah mengobrol dengan Bang Sam, Mr. Iphone mendekatiku. Ia memandangiku dengan tatapan yang mengharu biru.
''Vivo ... setelah kau lulus dari SMA apa rencanamu, Nak?'' tanyanya.
''Belum ada. Mungkin saya akan bekerja mengelola konter pulsa peninggalan ibuku," jawabku.
''Apa kau tidak ingin kuliah?''
''Belum ada biaya, Om.''
Mr. Iphone jadi bergeming. Tatapannya berubah menjadi nanar. Kemudian tanpa banyak kata lagi, dia bersama Oppo pamit kepada kami. Mereka pergi menjauhi kami.
__***__
Pada sore harinya. Aku dan teman-teman mengadakan konvoi motor mengelilingi kota. Untuk merayakan kelulusan kami. Sambil konvoi kami juga main coret-coretan seragam sekolah dengan piloks warna-warni. Tradisi kelulusan semacam ini mungkin sama dengan anak-anak di daerah lain. Begitulah kisah masa SMA-ku di daerah Comal, Pemalang, Jawa Tengah. Semoga dapat diambil hikmahnya. Terima kasih.