Perlahan aku membuka kelopak mataku. Seketika itu hidungku mencium aroma minyak wangi yang tajam menyengat. Aku mendapati tubuhku berada di atas kasur. Di kamar tidur. Masih lengkap mengenakan seragam sekolah. Hanya kancing kemeja bagian atas yang terlepas satu. Dan gesper celanaku lepas dari pengaitnya. Aku memperhatikan seisi ruangan. Tak ada siapa-siapa. Sunyi. Hanya suara detak jarum jam beker saja yang berbunyi. Tak ... Tik ... Tak ... Tik. Di mana Bang Sam, ayah tiriku? Saat aku hendak beranjak dari tempat tidur ini, tiba-tiba pintu kamarku terbuka dan muncullah sosok tubuh laki-laki gagah dan tampan dengan membawa segelas air dan sekotak obat. Dia orang yang kucari. Bang Samsung. Idolaku.

''Vivo ... kamu sudah siuman.'' Bang Sam meletakan minuman dan kotak obat itu di atas meja, lalu ia buru-buru mendekatiku. Memeriksa seluruh kondisiku. Seperti perawat yang memeriksa pasiennya. Teliti dan penuh kehati-hatian.
''Apa yang terjadi pada Vivo, Bang?'' ucapku masih linglung. Bingung. Kepalaku juga masih terasa keliyengan.
''Kamu tadi sempat pingsan di meja makan, Vo ... kemudian saya menggendongmu dan membawamu masuk ke kamar,'' terang Bang Sam.
''Kenapa aku pingsan?'' Aku mengkerutkan keningku.
''Entahlah, saya rasa kamu sedang sakit, Vo ... mungkin efek tadi malam karena kau terkena air hujan.'' Telapak tangan Bang Sam memeriksa leher dan keningku, ''Badanmu juga panas. Kau pasti terkena demam,'' imbuhnya.
''Iya, aku memang merasa sedikit tidak enak badan. Badanku terasa lemas. Tak bertenaga. Aku meriang.''
''Kalau begitu kau istirahat saja, Vo ... tapi sebelumnya kau minum dulu obat anti demam untuk menurunkan suhu badanmu!'' Bang Sam mengambil segelas minuman dan setablet obat di atas meja, lalu ...
''Ini ... minumlah!'' Bang Sam menyodorkan obat tersebut ke tanganku.
''Maaf, aku jadi merepotkan Abang,'' ujarku sembari menerima obat itu.
''Hehehe ... saya tidak merasa repot, Vo ... ayo, segera minum obatnya!''
Aku mengangguk. Kemudian dengan cepat aku menenggak pil jenis paracetamol itu dan mendorongnya dengan segelas air hingga tertelan.
''Sekarang, kamu istirahat saja, Vo ...'' Bang Sam mengusap-usap rambutku. Lembut. Menenangkan dan membuatku merasa nyaman.
''Bagaimana dengan sekolahku?''
''Saya tadi sudah minta ijin pada guru wali kelasmu, bahwa kamu jatuh sakit, jadi kamu tidak bisa berangkat sekolah.''
''Bagaimana dengan Abang sendiri, apa kau tidak mengajar hari ini?''
''Saya juga sudah minta ijin ... tidak bisa hadir hari ini.''
''Kenapa?''
''Karena saya ingin menjagamu, Vo ...''

Aku jadi termangu mendengar ucapan Bang Sam. Sejauh itukah pengorbanannya? Sungguh tak dapat dipercaya. Laki-laki ini memang selalu membuatku terbawa perasaan.
''Maaf, gara-gara aku, Abang jadi tidak bekerja.''
''Tidak apa-apa, kamu tidak perlu memikirkan hal itu!'' Lagi-lagi Bang Sam mengusap rambutku. Syahdu. Membuatku tersipu.
Aku jadi terdiam. Bang Sam juga. Namun tidak lama. Hanya beberapa saat saja.
''Bang Sam ...'' ungkapku pelan.
''Iya ...'' Sahut Bang Sam.
''Apa kau memberitahukan pada Ibuku tentang kejadian ini?''
''Belum ...'' Laki-laki beralis tebal ini menggeleng.
''Sebaiknya jangan, Bang! Berjanjilah bahwa kau tidak akan memberitahukannya!''
''Emang kenapa?'' Laki-laki berkumis tipis ini mengernyit.
''Aku takut ... bila Ibu mengetahuinya ibu akan mengkhawatirkan aku.''
''Hehehe ... kalau begitu aku tidak perlu memberitahukannya.''
''Bagus ... terima kasih, Bang.''
''Vivo ... saya sudah berjanji pada Ibumu untuk selalu menjaga dirimu. Saya juga tidak akan membuat ibumu jadi khawatir.''
''Sungguhkah itu?''
''Iya ... makanya, sekarang kamu istirahat saja. Jangan memikirkan apa pun, oke!'' Bang Sam mengusap pipiku, lalu ia membantu membaringkan aku di atas kasur. Kemudian ia menyelimuti tubuhku dengan selembar kain selimut.
''Tidurlah, semoga demammu lekas menurun.'' Bang Sam membalikkan badannya dan hendak melangkahkan kakinya.
''Bang Sam!'' seruku menahan langkahnya. Bang Sam langsung menoreh.
''Emmm ...'' sahut Bang Sam.
Mataku dan Mata Bang Sam saling berpandangan. Saling menjerat. Saling memancarkan gelombang. Namun aku tak memahami arti gelombang yang dipancarkan. Asmara atau bukan, aku tak tahu kepastiannya.
''Ada apa, Vo?''
''Mengapa ... kau ... kau baik padaku, Bang?''
''Hehehe ...'' Bang Sam terkekeh, ''karena kau anak Xiaomi, dan Xiaomi itu istri saya. Anak Xiaomi berarti anak saya juga.''
Aku langsung speechless. Mulutku seakan teborgol dengan berbagai macam kunci pengaman. Tak bisa dibuka. Tak bisa dibobol. Pandanganku jadi berkaca-kaca. Lamur. Mendadak mengkristal. Sungguh, aku terharu sekaligus terpana. Aku semakin sadar bahwa perasaanku selama ini hanya bertepuk sebelah tangan. Aku telah salah berprasangka. Harusnya aku tidak pernah menaruh hati kepadanya. Bila aku tidak ingin mendapatkan luka.
''Saya menyayangimu, Vo ... dan saya harap kamu juga bisa menyayangi saya.''
''Iya ... a-ku ... aku juga menyayangimu, Bang ...''
''Bila kau sayang pada saya ... maka tidurlah, beristirahatlah!''
''Ba-baiklah ...''

Aku mulai memejamkan mataku. Karena mataku juga terasa sangat berat. Mungkin ini efek dari obat yang kuminum. Di mata ini seolah ada bandulan yang menggantung di kelopak mata. Membuatku riyep-riyep, enggan terbuka. Makin lama mata ini semakin kehabisan daya. Hingga akhirnya aku pun terlelap. Tidur. Kembali ke negeri buaian kasur.