webnovel

Part 20 : Cemburu

Angin siang membelai kulit wajahku, walau agak panas namun terasa lembut. Seperti sentuhan tangan ibu. Memberi kedamaian dalam sanubari. Senyumku merekah, langkahku penuh gairah meninggalkan ruang kelas yang semakin menyepi. Sebagian penghuni sekolah ini telah membubarkan diri. Meninggalkan gedung almamater tempatnya menimba ilmu untuk memperluas wawasan diri.

Langkahku terhenti tepat di gerbang sekolah. Berdiri tegap menggendong tas. Menghadap lalu lalang orang. Menanti jemputan. Siapa yang menjemput? Bang Sam__Ayah Tiriku, Idolaku. Tidak bawa sepeda? Sejak Ibu menikah dengan Bang Sam, aku tidak pernah naik sepeda lagi ke sekolah. Karena selalu berangkat dan pulang bersama Bang Sam. Apakah aku senang? Senang sekaligus bimbang. Pasalnya setiap berdekatan dengan Bang Sam aku seolah sedang menghadapi ujian. Gugup, tidak tenang karena harus menahan perasaan.

Tet ...Tet ... Tet!!!

Itu suara klakson sepeda motor Bang Sam. Dia telah tiba, pas pada jarak 1 meter di depanku. Laki-laki berparas rupawan ini duduk gagah di atas motor matic-nya. Selanjutnya lelaki berperawakan tinggi besar ini memerintahkan aku untuk segera naik ke jok belakang motornya. Aku mematuhi perintahnya. Aku segera berjingkat dan duduk manis di belakangnya. Melingkarkan tanganku di pinggangnya. Merapatkan tubuhku di punggungnya. Dan semua itu membuatku jadi super deg-degan. Rasanya seperti bernapas dalam ruang yang sempit. Terasa sesak dan terhimpit. Hatiku menjerit. __Ya, Tuhan, godaan apa lagi ini? Hanya duduk berdekatan seperti ini saja, kontolku langsung terangsang hebat. Ngaceng tak terkendali.

Tak lama kemudian kendaraan roda dua ini pun bergerak cepat seperti anak panah yang terlepas dari busurnya. Melaju kencang menindas jalanan aspal. Mengalihkan pikiranku dari rasa konyol yang tak terkontrol.

''Vivo ... apa kamu bisa bawa motor?'' tanya Bang Sam di tengah laju kendaraan ini. Suaranya yang berat cukup kencang teringang di telingaku.

''Tidak ... aku belum bisa bawa motor,'' jawabku malu-malu.

''Apa kau ingin bisa mengendarainya?''

''Tentu, aku ingin sekali.''

''Bagaimana kalau nanti sore, kita mulai latihan bersama?''

''Mmm ... maksudnya?''

''Saya akan bantu mengajari kamu mengendarai sepeda motor. Bagimana? Apa kamu setuju?''

Aku jadi terdiam. Lebih tepatnya termangu. Cukup kaget dan juga gembira mendapat tawaran ini.

''Vo ... kok, diam. Gimana kamu mau, gak?''

''Eh, i-iya ... aku mau, Bang ... eh, Pak ... hehehe,''

''Hahaha ... kenapa kamu masih kikuk begitu sih, Vo? Kalau kamu belum terbiasa memanggil saya dengan sebutan Bapak, Ayah atau apalah itu ... kamu boleh, kok, panggil saya,  Abang ... bagi saya itu tidak masalah!''

''Hehehe ... i-iya, baiklah!''

Benar, aku memang masih canggung. Embel-embel apa yang paling cocok buat menyebut laki-laki di hadapanku ini. Walau dia sudah resmi menjadi ayah tiriku, tapi aku masih kaku untuk menyebutnya dengan istilah Ayah. Dia masih teramat muda bila kupanggil Ayah. Namun akan terasa janggal pula jika aku memanggilnya, Bang. __Ah, bikin aku pusing! Tetapi bila aku menuruti kata hati, aku akan lebih nyaman bila memanggilnya Bang Sam.

Tanpa terasa kami pun tiba di rumah.

Tak kusangka ternyata Ibu sudah ada di rumah. Beliau menyambut kepulangan kami dengan wajah yang berseri-seri. Tanpa segan beliau menghampiri kami, lalu memeluk kami bergantian. Ada hal yang membuatku tersentak saat Ibu tanpa ragu mencium bibir Bang Sam di depanku. Mereka tak risih melakukan adegan itu. Mereka seolah menganggapku benda mati. Ada, tapi tak perlu dipeduli. Hmmm ... aku jadi iri sama Ibu. Beliau bisa bebas menjamah dan melakukan apa saja terhadap Bang Sam. Sedangkan aku hanya bisa menontonnya sambil berpura-pura tidak melihatnya. Nyesek sekali, bukan?

Usai makan siang bersama. Ibu dan Bang Sam langsung masuk ke kamar. Sebagai pengantin baru, mereka pasti ingin melepas rindu. Walau hanya tak berjumpa beberapa jam saja, tapi mereka seakan tak berjumpa sekian lama. Sehingga mereka perlu bercumbu mesra untuk menuntaskan sebuah rasa.

Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam kamar itu. Namun aku yakin mereka pasti sedang berbulan madu. Berhaha-hihi. Saling memberi dan menerima. Saling menjamah dan meraba. Memainkan musik gelora bercinta. Menyusun not seirama. Memetik senar keindahan. Dan menabuh gendang pertempuran. Dua insan. Laki-laki dan perempuan. Satu kamar. Satu tujuan. Kemesraan. Jeritan dan erangan membaur jadi satu kesatuan dalam sebuah makna kenikmatan. Membelah lautan. Menerjang gelombang. Hingga mereka meletus seperti balon hijau. Dor! Hatiku jadi kacau ... mengapa ada rasa curiga, api cemburu yang berkecamuk dalam dada? Aneh!

Aaaahhh ... gila! Apa yang aku pikirkan? Mengapa aku memiliki pemikiran yang sekonyol ini. Apa pun yang dilakukan oleh Ibu dan Ayah Tiriku itu sah-sah saja. Wajar-wajar saja. Mereka sudah halal. Tak perlu dikhawatirkan. Tak perlu di-kontra-kan. Biarkan mereka bebas. Lepas. Seperti burung besi yang tinggal landas. Terbang bersama awan ke negeri nirwana.