Terlepas dari kehebohan beruang ajaib beberapa hari lalu, hari-hari di divisi pengendalian sihir ternyata masih bisa kembali damai. Apalagi karena hari ini Fiona dan Hana belum memperlihatkan batang hidung mereka, suasana di pondok sederhana ini jadi terasa agak sepi. Saking sepinya Alisa mungkin jadi ingin diserang beruang lagi.
Meski kalau memikirkan hal itu, dia jadi ingat lagi kejadian aneh yang waktu itu. Soalnya walaupun semua orang bilang kalau vudu Rei akan menyerap energi seseorang, Alisa lumayan yakin kalau tubuhnya baik-baik saja saat itu. Mungkin karena dia penyihir asli? Bisa jadi. Tapi yang justru paling mengganjal adalah sikap Rei, yang Alisa ingat malah seperti berusaha memaksakan situasi tersebut. 'Apa itu hanya perasaannku…?'
"Alisa, apa obatnya masih panas?" Tanya Arin.
"Oh? Ah, benar." Sahut Alisa yang setelah itu langsung memeriksa ramuan yang sejak tadi dia dinginkan. Baru setelah memastikan suhunya sudah normal, dia pun memasukkan selembar daun kering ke dalamnya, yang seketika langsung terburai. "Kak Ruri, daunnya langsung hilang." Lapornya pada Ruri yang ada di ujung meja.
"Oh, yasudah. Berarti sudah jadi." Sahutnya singkat yang setelah itu langsung kembali membaca tumpukan catatan di depannya.
"...Sepertinya yang ini juga tidak akan ada efeknya." Celetuk Arin pelan, meski dia tetap meminumnya. Sebenarnya sejak awal Arin sudah tidak begitu berharap karena ini merupakan ramuannya yang kesekian. Tapi melihat Ruri yang acuh seperti itu, tidak perlu ditanya lagi. "Yep, kabutnya masih banyak."
Bahkan Alisa juga tertawa pelan mendengarnya. "Tapi yang ini aromanya wangi kan? Mirip teh." Katanya.
Arin tadinya kembali menyeruput tehnya dalam diam, tapi kemudian dia memutar kepalanya ke arah Alisa sampai Ruri tidak akan bisa melihat wajahnya. "Aku tahu Aku tidak ada di posisi yang bisa mengeluh, tapi bukankah mereka yang bilang akan going all-out untuk membuat ramuanku?"
"Kak Ruri juga sudah berusaha sebisanya kok." Jawab Alisa agak tertawa. "Makanya dia terus baca semua catatan itu. Aku bahkan khawatir kalau-kalau kak Ruri jadi kurang tidur."
"Hh, tentu. Kak Ruri memang yang paling berusaha." Balas Arin yang langsung mengiyakan. "Tidak seperti yang lain…" Lanjutnya sambil memandang ke arah laki-laki yang sedang asik menyusun miniatur kapal.
"Hei, Aku dengar." Sahut Hazel.
"Yaa Aku memang mengatakannya supaya kakak dengar." Gumam Arin pahit. "Yah, tapi setidaknya kak Fiona tidak datang hari ini. Kak Hana juga."
"Kak Hana? Tapi kak Hana kan baik." Balas Alisa heran.
"Yaa, tapi sejujurnya kak Hana agak berisik." Balas Arin dan Alisa akhirnya hanya bisa terkekeh lagi. Soalnya walaupun tidak sampai mengganggu dan menyebalkan seperti Fiona dan Hazel, Hana itu… Bagaimana menggambarkannya… Gampang panikan? Iya, itu.
"Apalagi karena Mary juga tidak ada, hari ini jadi damai sekali." Kata Arin lagi. "Hhh, Aku jadi tidak mau kembali ke asrama." Gerutunya.
Tapi si pemilik pondok punya telinga yang tajam saat mendengar itu. "Pondokku tidak terbuka untuk penginapan." Protesnya duluan. "Lagipula Aku juga berencana menginap untuk merakit ini." Tambahnya senang. Soalnya semenjak pondoknya disabotase, mainan kapal baru itu adalah satu-satunya hal yang masih bisa menghiburnya.
Tidak membalas, Arin hanya memajukan bibirnya dan kembali meminum tehnya. Jadi kemudian Alisa berkata lagi, "Kalau begitu mau coba tanya ke Nina? Aku dengar ekskul film mau mengadakan acara menginap di gedung mereka. Siapa tahu kita bisa ikutan." Usulnya.
Arin kelihatan diam untuk mempertimbangkan pilihan itu, tapi Hazel yang mendengarnya jadi agak heran. Bahkan Ruri juga akhirnya menoleh. "Kau segitunya tidak mau kembali ke asrama? Kenapa?" Tanya Ruri. "...Jangan-jangan ada murid yang mengganggumu?"
"Iya." Jawab anaknya langsung. Tapi karena merasa agak ambigu, Alisa pun mengoreksinya. "Sebenarnya tidak sampai mengganggu. Hanya saja belakangan ini anak-anak yang lain suka banyak tanya pada Arin, jadi…"
"Banyak tanya?" Ulang Hazel. "Tanya apa?"
"Tentang kemampuan sihirnya."
"Oh? Ahh…" Sahut Hazel dan Ruri bersamaan.
Karena memang jarang terjadi, mereka juga tadinya sudah lupa. Tapi kalau ada anak yang terus-terusan mengunjungi divisi ini, tentu saja semua orang akan mulai penasaran. 'Seberapa bermasalah sihirnya sampai dia harus terus ke sini', kira-kira begitu yang dipikirkan orang lain.
"Padahal Aku sudah bilang kalau Aku tidak punya sihir apapun dan hanya bisa lihat energi sihir saja. Tapi teman sekelasku yang lain terus saja curiga kalau Aku punya sihir bermasalah yang lain." Keluh Arin akhirnya. "Gosipnya mulai menyebar sejak kemarin. Pasti karena Mary yang menyebarkannya."
Alisa kelihatan ingin membuka mulutnya untuk menyanggah itu. Tapi mungkin karena dia tahu itu akan memperburuk perasaan Arin, dia pun kembali melipat bibirnya.
Tapi Hazel tiba-tiba saja mendengus. "Pfft, hal seperti itu mau disembunyikan bagaimanapun juga pasti akan tersebar tahu." Katanya. "Palingan sejak awal teman-teman sekelasmu juga sudah tahu kan kalau kau disuruh ke sini oleh kak Heka? Makanya mereka bisa tahu kalau kau masih ke sini--Ah, benar! Daripada si cerewet itu, kak Heka sejujurnya lebih pantas disalahkan. Iya, iya."
"Bukannya kakak saja yang memang tidak suka Aku ke sini terus?" Balas Arin.
"Tentu, itu juga." Sahutnya cepat. "Tapi yah, setidaknya masih lebih baik daripada waktu kak Rei yang kemari."
"...Iya, kak Rei agak menyeramkan." Balas Arin setuju yang diikuti anggukan Alisa.
=============================================
Karena cup mi instannya sudah matang, tadinya mereka bertiga sudah akan mulai makan. Hanya saja begitu baru mau duduk, Alisa baru sadar kalau ada satu mi instan yang tidak ada pemiliknya. "Kak Ruri mana…?"
Walaupun saat akan dicari, orangnya ternyata sudah kelihatan dari jendela pondok. Soalnya karena di luar sudah mulai gelap, Ruri jadi pindah ke dalam pondok begitu matahari terbenam. "Aku bawa ini ke kak Ruri dulu ya." Kata Alisa akhirnya sambil langsung lari ke dalam pondok. "Kak Ruri, ini mi-nya sudah jadi."
"Iya, taruh saja di situ." Sahut Ruri yang masih sibuk membaca. Tapi karena dia menyadari kalau Alisa tidak menurutinya, dia pun menoleh. "Akan kumakan nanti."
"Tapi kalau kakak makannya habis selesai baca itu, nanti mi-nya jadi tidak enak."
Ruri cemberut tidak senang, tapi akhirnya dia melempar catatan yang dipegangnya ke meja. "Kau terdengar seperti Hilda, meski dia tidak akan senang kalau tahu kita makan mi." Gerutunya pelan sambil mulai mengaduk-aduk mi-nya.
Senang, Alisa pun duduk di sampingnya. "Habisnya kakak cuma baca catatan yang sama berkali-kali. Bahkan Aku jadi iri."
"Maksudnya kau ingin baca juga?"
"Eh? Tidak, maksudku dengan kakak…" Tapi begitu sadar dia baru saja mengatakan sesuatu yang memalukan, Alisa pun buru-buru ikutan mengaduk-aduk mi-nya juga. "Ta-Tapi itu catatan yang waktu itu dikatakan kak Rei ya? Apa benar petunjuk untuk buat ramuannya ada di situ?"
"Yaa, harusnya dia bukan tipe yang akan bohong…" Jawab Ruri, meski anehnya dia malah mengerutkan alisnya setelah mengatakan itu. "Aku baru tahu kalau Rei memang menyebalkan…" Katanya kemudian.
Tidak begitu paham, Alisa tadinya hanya diam sambil menyuap mi-nya. Tapi kemudian dia pun berkomentar. "Tapi kak Rei juga tahu cara buat ramuan ya? Makanya dia kelihatan tahu sesuatu."
Ruri memandangi Alisa seakan tidak yakin harus menjawabnya, tapi tetap saja akhirnya dia membalas. "Yaa, bahkan sebenarnya dia lebih pandai dariku. Lebih cepat juga." Katanya. Tapi karena Alisa hanya mengangguk-angguk, Ruri pun jadi sedikit heran. "Ah, apa kau penasaran kenapa Rei tidak ikut bantu meski dia juga bisa buat ramuan?"
Dan kali ini Alisa yang diam sejenak terlihat tidak yakin bagaimana membalasnya. "Itu, kak Hana bilang kak Rei sibuk dengan hal lain." Jawabnya. Walaupun Ruri tahu kalau dilihat dari ekspresinya, anaknya pasti tahu kalau Hana berbohong, atau setidaknya tidak mengatakan semuanya. Mengingatkannya akan keluhan Hana kemarin.
"Ahh! Aku tidak bisa menyembunyikannya dari Alisa lagi!" Teriaknya begitu Alisa dan Arin pulang dari pondok. "Arin hanya cemberut saat Aku bilang tidak bisa menjelaskannya. Tapi melihat Alisa hanya tersenyum seakan berusaha mengerti situasi kita membuatku merasa bersalah--tolong."
Merahasiakan isi perjanjian mereka harusnya tidak ada di daftar hal yang harus dikhawatirkan. Tapi sepertinya tidak akan jadi hal yang mudah juga, terutama pada Alisa yang kelihatannya selalu berusaha memahami posisi mereka, Arin, bahkan sampai Hazel.
Walaupun sebenarnya karena ketajaman dan kesinisan Hazel, sebenarnya semua orang sudah tahu kalau mereka bertiga bertengkar dengan Rei, entah karena apa. Lalu entah bagaimana juga, event membuat ramuan untuk Arin ada hubungannya dengan itu.
Tapi selain itu, bahkan Hazel juga belum punya bayangan apapun lagi.
"Tapi apa gosip Arin sangat merepotkan? Benar dia hanya ditanya-tanya saja?" Tanya Ruri kemudian.
Mengulum bibirnya dengan getir, Alisa sempat terdiam sejenak. "Arin tidak begitu mengeluhkannya, tapi karena ada yang bilang dia bisa menggunakan sihir yang berbahaya, beberapa orang ada yang jadi menjauhinya." Jelasnya sambil memandang ke luar jendela. "Dan sebaliknya, grup murid yang suka mengumpulkan murid dengan sihir tingkat tinggi juga jadi suka bicara dengannya…"
"Hm..." Setelah bertahun-tahun jadi anggota Vip dan nongkrong di kebun terus, Ruri hampir lupa kalau murid-murid Aviara memang seperti itu.
"Kalau sedang dengan Mary sih tidak ada yang mengganggu. Tapi karena kami beda kelas, jadinya tidak bisa bareng terus." Kata Alisa lagi.
"Kalau denganmu memangnya masih ada yang suka ganggu?"
"Yah, Aku tidak populer seperti Mary sih." Balas Alisa agak tertawa.
'…Padahal kalau semua orang tahu kami sedang berusaha membuatnya jadi Vip, dia bukan cuma akan jadi populer.' Celetuk Ruri dalam hati.
"Baiklah, oke!" Kata Ruri tiba-tiba. "Kalau begitu Aku akan tanya lagi pada Rei siapa tahu dia akan memberitahu hal yang lain lagi. Lagipula dia tidak pernah bilang kalau dia tidak boleh ditanya." Lanjutnya sambil merogoh-rogoh saku cardigannya untuk mengambil handphone.
Ikut deg-degan, Alisa ikutan serius menunggu sampai teleponnya diangkat.
"Apa?" Terdengar suara samar di telepon.
"Rei, apa kau tahu kalau Arin jadi kesulitan karena gosip belakangan ini?" Kata Ruri langsung. "Bahkan dia juga jadi sering diganggu murid lain. Jadi berikan Aku petunjuk lain."
GRATAK-GRATAK. Tapi anehnya cuma ada suara-suara aneh yang terdengar di telepon. "Rei?" Kata Ruri lagi.
"Apa? Ah, Aku sudah beritahu Hana. Jadi tanya saja padanya—" Dan teleponnya pun langsung diputus. Atau terputus.