Setelah berpisah dengan Mary yang perlu pergi ke gedung Osis, Alisa dan Arin pun akhirnya pulang ke asrama. Tapi karena merasa tidak bisa kembali ke kamarnya begitu saja, Arin akhirnya memutuskan untuk menahan pintu lift-nya dan menarik lengan Alisa untuk ikutan keluar di lantainya.
"Ke-Kenapa?" Tanya Alisa, meski Arin malah terdiam dengan ragu. "Arin...?"
"Itu, Aku juga bukannya mau menyembunyikannya." Balas Arin akhirnya.
"Apanya…?"
"Sihir yang kudapat." Jawab Arin. "Tapi kak Rei bilang Aku tidak boleh mengatakannya, jadi…"
JLEB. Merasa kalau perasaannya yang justru ditusuk, Alisa pun langsung menggeleng-geleng. "Sama sekali tidak!" Balasnya.
"Aku paham kalau kak Rei yang suruh. Dan itu juga pasti ada alasannya. Pokoknya Aku sama sekali tidak marah atau semacamnya!" Jelas Alisa cepat-cepat.
"Benar tidak?" Tanya Arin lagi memastikan dan temannya masih menggeleng-geleng dengan keras. "...Ahh, untung deh kalau begitu." Celetuknya lega kemudian.
"Sejujurnya Aku pikir Aku bisa tahan tidak mengatakannya pada siapapun. Tapi saat kak Fiona memergokiku begitu, tiba-tiba saja Aku jadi merasa bersalah, jadi…"
Alisa jelas memahami itu jadi dia pun kembali mengangguk-angguk. "Aku juga…!" Dia sudah spontan akan mulai ikutan cerita juga. Tapi karena panik harus mulai dari mana, lidah Alisa pun mengkelu sejenak. "..."
Dan ternyata Arin memahami itu. "Tidak apa, kau tahu." Balasnya kemudian. "Hanya karena Aku cerita, bukan berarti kau harus ikut cerita juga." Lanjutnya, yang spontan membuat Alisa melebarkan matanya agak kaget.
"Anu, itu..." Alisa cuma bisa menceletuk dengan suara yang kaku.
Arin terdiam sejenak, tapi kemudian dia pun bercerita. "Mm… Sebenarnya dulu Aku pernah lihat kau menyembuhkan kelinci yang terluka di belakang asrama." Katanya kemudian.
Sebenarnya itu terjadi sebelum Arin pergi ke divisi pengendalian sihir--yang artinya saat itu dia juga belum mengenal Alisa. Apalagi karena pandangannya yang buram, kemampuannya untuk membedakan orang juga jadi tumpul.
Hanya saja saat beberapa waktu lalu dia main ke kamar Alisa, dia melihat sandal karet warna kuning yang punya telinga kelinci--sandal yang sama dengan yang waktu itu dia lihat pada orang yang menyembuhkan kelinci di belakang asrama.
Setelah itu Arin berencana menanyakannya kapan-kapan. Tapi karena dia juga punya rahasia baru belakangan ini, dia jadi merasa tidak enak sendiri dan kehilangan momentumnya untuk bertanya.
"Kelinci..." Ulang Alisa yang terdiam lumayan lama setelah mendengar itu. Soalnya kalau ingatannya benar, dia juga tahu kalau kejadian itu sudah terjadi sangat lama. Bahkan sebelum dia mengenalnya—
"Sihir penyembuhan? Wah!"
Tiba-tiba saja terlihat ada kepala yang muncul dari luar pagar koridor.
"Hana pasti senang kalau mendengarnya." Katanya lagi sambil melompat ke dalam.
"Kak Fiona, bagaimana…" Alisa sudah akan bertanya. Tapi karena langsung sadar kalau itu bukan hal yang harus dibingungkan, Alisa pun mencari pertanyaan lain. "Apa yang kakak lakukan di situ?"
"Sembunyi dari Hana." Jawabnya cepat. "Aku akan diam di sini, jadi kalian lanjutkan saja percakapan kalian." Lanjutnya.
Tapi karena keduanya langsung terdiam kaku, Fiona pun menceletuk lagi. "Ah, kalian lupa sudah sampai mana? Tadi sudah sampai Alisa yang pernah menyembuhkan kelinci."
'Ba-Bagaimana ini…?' Pikir Alisa dan Arin yang sama-sama mulai digerogoti perasaan gelisah.
Dari semua orang, bisa-bisanya mereka ketahuan oleh makhluk paling berbahaya di sekolah!
"Ah, tapi Rei pasti tidak akan senang." Kata Fiona lagi. "Kalau tahu orang yang sudah repot-repot dia sembuhkan sebenarnya bisa sihir penyembuhan. Mungkin Hazel juga." Lanjutnya.
"..." Tapi tiba-tiba saja senyum di bibir Fiona mulai pudar setelah mengatakan itu. Sehingga yang sekarang terlihat cuma tatapan serius dan bibirnya yang terlipat dengan ragu seakan sedang menimbang-nimbang apa yang harus dia katakan pada dua anak yang gemetar di depannya.
"Hm, itu, kalau begitu, Aku cuma penasaran dengan satu hal…" Kata Fiona memulai. "Apa jangan-jangan kau masih bisa sihir yang lain?" Tanyanya kemudian.
"...I-Itu..."
"Ha!" Potong Fiona yang langsung mulai tertawa lagi. "Jadi apa? Maksudmu kau bisa lebih dari 2 sihir, tapi malah cuma lari-lari seperti kecoa kemarin? Seriusan?"
Senyumnya masih melebar, tapi suara tawanya sudah mulai terdengar mengerikan. "Haha, kenapa harga diriku rasanya jadi agak terluka…" Gumamnya sendiri.
Makanya saat Fiona tiba-tiba memandangnya dengan tajam, jantung Alisa mulai berdegup takut. "A-Anu, kak Fio--"
"Aku, kau tahu, rasanya agak merasa kesal." Potong Fiona. "Bagaimana ini?"
"A-Aku minta maaf!" Balas Alisa langsung. "Aku bukannya ingin… Maksudku Aku hanya tidak yakin bagaimana—"
Tapi tanpa mendengar penjelasannya lebih lanjut, tanpa sadar Fiona sudah menarik kerah Alisa dan melemparnya ke luar bangunan.