webnovel

Disangka Pacaran

Pemuda itu terus memegang telinganya walau saat ini posisinya sedang berada di meja makan. Bahkan ketika mandi pagi sekalipun, Arya terpaksa menggosok daun telinganya dengan sabun dingin. Sudah lama ia tak mendapat jeweran dari ibunya, sekalinya dapat luka di telinganya susah hilang dan terus membekas. Kebanyakan orang pasti berasumsi jika itu kekuatan cinta dari seorang ibu yang telah membesarkannya.

"Yak, dimakan sarapannya, dong. Katanya kamu nanti latihan pagi, kan? Jangan menunda dan terlalu banyak makan sarapanmu atau perutmu bisa bermasalah." Ayahnya tiba-tiba memberi saran walau Arya sendiri sebenarnya sudah sangat paham akan hal tersebut.

Tak ingin menggantungkan, Arya hanya mengangguk pelan lalu mulai memegang sendok kecil di sebelah kanan piringnya. Beberapa detik lalu, kursi di sebelah Arya kosong, hingga akhirnya tiba orang paling menyebalkan di rumah ini menurutnya. Sedangkan ibunya masih sibuk melepas celemek favoritnya lalu digantung di atas lemari.

Arya berdecak kesal begitu orang itu tiba, rasanya ingin sekali menuangkan bubur panas tersebut ke arah kakak sepupunya. Bagaimana tidak, belum menduduki kursi saja lagi-lagi Arya sudah mendapat cemooh dari Sherla. Tak ingin dirinya digunakan sebagai bahan hinaan saudaranya, Arya langsung menangkis tangannya lalu menutup mulut Sherla cukup cepat, membuat perempuan berumur 20-an tahun itu terbelalak.

"Pagi-pagi enggak usah berisik bisa enggak? Suasana hatiku sedang tak baik sekarang."

Ayah dan ibunya yang baru saja tiba di meja makan, spontan melihat aksi Arya yang sangat tidak terduga. Dengan cepat, ibunya menyuruh Arya agar bersikap tenang ketika sedang di meja makan sedangkan sang ayah hanya menganga ketika hendak bicara namun dipotong begitu saja. Tentu Arya melepaskan tangannya dari bibir kakaknya yang sudah dipenuhi lipstik.

Merasa sia-sia telah berdandan lebih dari setengah jam, Sherla menggerutu lalu menghapus semua lipstik di bibirnya dengan tisu di atas meja. Ada rasa ingin menampar wajah Arya namun saat ini ia sadar posisinya sebagai penumpang di rumah ini. Ingin melakukan hal kasar terhadap tuan rumah pun tentu ada batasannya.

"Ya ampun, Nak. Tanganmu penuh lipstik kakakmu, lho. Cepat dibersihkan lalu makan sarapanmu. Nanti buburmu keburu dingin."

Arya hanya mengangguk lalu juga mengambil tisu dengan jumlah dua kali lipat dari Sherla. Detik berikutnya suasana menjadi canggung, meninggalkan suara kecapan dari masing-masing mulut mereka, mengunyah kerupuk udang yang baru saja digoreng oleh ibunya Arya. Sesekali pemuda itu mendengar satu dua kalimat terucap dari mulut orang tuanya, namun itu semua hanya sebatas permasalahan ayahnya Arya selama di kantor.

Jujur Arya sebenarnya sedikit tertarik mendengarkan topik obrolan itu ketika makan, namun di luar itu ia sama sekali tak ingin melihat ayahnya curhat pada ibunya dan lebih memilih menghabiskan waktunya di belakang rumah atau berbicara dengan Amelia yang cukup sering melakukan beberapa hari ini.

Setelah keluarga kecil itu menghabiskan sarapan mereka, tak ada yang meninggalkan meja makan terlebih dulu. Ini semua kembali ulah kakak sepupunya yang tiba-tiba menanyakan. "Yak, kemarin kau ada pergi sama cewek, ya? Kemarin pas pulang baumu nyengak banget dan terlebih seperti parfum perempuan."

Sebenarnya ibunya ingat jika Sherla mencium aroma yang berbeda dari Arya. Namun sempat terlupakan setelah pertengkaran kecil beberapa menit lalu hingga menciptakan suasana canggung. Mereka semua memang berada di meja makan sekarang, namun semua itu ada sebab dimana Sherla seenak jidat bertanya tentang penasarannya kemarin malam.

Arya sendiri sama sekali tak terkejut, sebab Amelia sendiri memang memakai parfum yang mampu menusuk hidung orang di sekitarnya. Sudah sewajarnya jika bau itu meresap ke pakaiannya mengingat jarak mereka kemarin sangatlah dekat.

"Kalau dekat, kenapa? Kalau enggak dekat, kenapa?" Arya menawarkan dua pertanyaan yang sangat mirip. Ia sudah menduga salah satu keluarganya menanyakan hal tersebut.

"Oh, berarti kau kemarin memang dekat dengan cewek, ya? Kenapa kau tak bilang pada keluargamu kalau kau sudah punya pacar?" Sherla balik bertanya.

Arya mendadak menatap mata kakak sepupunya dengan dahi sedikit mengerut. "Kenapa pola pikir Kak Sherla selalu saja menuju ke situ? Kalau aku sedang bersama cewek, berarti aku harus punya pacar gitu? Pemikiran orang bodoh memang beda." Arya menyeruput minumannya sedikit tanpa mengalihkan pandangannya.

"Kau yang bodoh. Sejak kapan kau dekat dengan perempuan yang punya bau parfum sangat nyengak di hidung. Aku yakin kau pasti melakukan 'hal itu' bersamanya, kan?"

Arya paham betul makna kata "hal itu" namun dirinya sendiri pura-pura bertingkah bodoh layaknya seorang remaja yang baru saja memasuki masa puber. "Aku tak tahu maksud Kak Sherla. Lagi pula teman-temanku di UKM basket tak hanya laki-laki, tapi perempuan juga banyak."

"Enggak usah banyak alasan. Kau sendiri sudah lebih dari 6 bulan ikut UKM Basket tapi baru kali ini aku mencium aroma itu. Susahnya jujur sama keluarga apa, sih?"

Ibu dan ayahnya hanya menyimak pembicaraan mereka yang semakin panas. Ibunya Arya memang penasaran bagaimana anaknya menjalani kesehariannya di kampus, bermain bersama teman, dan sesekali menghabiskan waktunya bersama gadis yang disukainya. Namun melihat Arya menolak mentah dirinya memiliki kekasih, ada sedikit kekecewaan jauh di lubuk hati ibunya.

Arya tertegun sejenak, sejauh ini memang tak ada parfum gadis manapun di pakaiannya. Spontan keringat dingin nampak di pelipis Arya sedangkan cuaca dan angin di luar masih cukup segar untuk suhu di pagi hari. "Ah… mungkin hidung Kak Sherla bermasalah. Lagi pula baru berapa kali bertemu denganku ketika aku pulang dari latihan basket? Bahkan dihitung dengan jari sambil menutup mata aku juga ingat."

"Jangan mengelak. Kau saja yang tak mau jujur pada keluargamu sendiri. Padahal Tante sangat mengharapkan kau bisa punya pacar secepatnya." Sherla mengatakan semua itu dengan keras, namun cepat-cepat ia menutup mulutnya sendiri dengan tamparan keras.

Arya dan ayahnya menganga lebar lalu detik berikutnya melemparkan pandangan mereka ke ibunya. Tak terduga perkataan itu keluar dari mulut Sherla, mengakibatkan ibunya Arya juga tak bisa banyak bicara selain menolak ucapannya. "Haa? Kamu jangan mengada-ngada Sherla. Tante enggak pernah berkata seperti itu.

"Ka-Kalian berdua jangan pernah mempercayai itu. Ibu selalu menerima keputusan Arya, entah ia akan punya pacar atau tidak, apapun itu selalu mendapat dukungan penuh dari ibu. Kamu tak perlu khawatir, Nak." Ibunya tersenyum pada suami dan anaknya, namun mereka tak bisa membedakan apakah senyuman itu tulus atau menyembunyikan sebuah fakta yang dikatakan Sherla.

Tak ingin memperpanjang masalah, Arya hanya mengangguk sedangkan ayahnya kembali menyeruput tehnya. Di lain sisi Arya merasa lega jika ibunya memang demikian, pasalnya ia tak ingin mengatakan secepat ini jika dirinya sudah menjadi pacar teman kecilnya… yang selalu dipaksa ibunya untuk melupakan Amelia.