Azizah berbalik, menatapku dengan wajah tak bisa kuartikan. "Aku tidak mungkin meninggalkanmu setelah menikah, Ain. Aku tidak bisa mengabaikanmu, sahabatku yang sudah menghabiskan waktu selama lima tahun untuk berjuang mempertahankan hidup. Aku tahu, suatu saat kita akan berpisah dan memiliki keluarga sendiri, kita akan menikah. Tapi aku tak ingin jauh dari kamu. Biarlah di madu, aku rela asalkan tetap bersamamu, bisa terus melihatmu dan memantau perkembangan penyakitmu. Aku tidak bisa membayangkan untuk jauh dan meninggalkanmu, tidak bisa, Ain."
Aku masih tak percaya mendengar ucapannya. Kulihat Azizah yang sudah mulai menangis, sesenggukannya membuatku merasa sesak.
"Aku tidak punya siapa-siapa di dunia ini selain kamu, Ain. Bersama kamu hidupku mulai berwarna lagi, aku tidak bisa meninggalkanmu demi apapun itu. Aku sudah menganggapmu adikku. Aku ingin, kamu bahagia agar aku juga punya alasan untuk merasakannya. Jadi, apakah kamu bersedia untuk melakukannya?" tanya Azizah, dia menggenggam tanganku.
Mataku mulai berkaca-kaca. "Aku tidak tahu, entah terbuat dari apa hatimu. Bagaimana bisa kamu memikirkan aku di saat hubunganmu bahkan baru akan di mulai?" Aku bertanya, tak paham akan pola pikirnya.
Azizah terdiam, dia menatapku lurus. "Aku ingin kamu menjadi seorang yang selalu ada dalam hidupku juga, Ain. Aku yakin Ustadz Ahmad akan setuju, kita akan bersama-sama melakukan ibadah seumur hidup ini. Bagaimana?"
"Az," ucapku sambil menatapnya serius. "Kenapa kamu mau di madu? Tidak ada wanita yang bersedia membagi cinta. Apakah kamu pernah memikirkan perasaan Ustadz Ahmad? Dia hanya menginginkan kamu, bukan aku, Az!"
Azizah tak menjawab lagi, dia justru memelukku dengan erat. Menangis dan membiarkan air matanya membasahi pundakku. Aku tahu, usia kami masih muda, baru dua puluh dua tahun. Tapi Azizah sudah sedewasa ini dalam bertindak dan juga berpikir. Kejamnya kehidupan membuat siapapun dapat menjadi dewasa, bahkan sebelum waktunya.
"Aku menyayangimu, Ain. Bagiku tidak masalah membagi cinta dari siapapun, asalkan kita tetap bersama. Aku tidak mau meninggalkanmu, apalagi saat aku menyadari bahwa Ustadz Ahmad tak main-main dalam hal ta'aruf ini. Beliau bahkan sudah mulai memperkenalkanku pada ibunya. Apa yang bisa kulakukan selain ini?" Azizah sesenggukan, membuatku ikut meneteskan air mata.
Kami diam beberapa saat, sebelum akhirnya aku mengurai pelukan. "Aku belum mau menikah, Az." Ku tatap wajahnya, lalu mengusap air matanya yang sudah membanjiri wajah. "Aku masih ingin sendiri, mengobati penyakitku sendiri, bekerja, kuliah dan mencari pengalaman. Aku tidak mau menikah dulu, Az. Usiaku masih sangat muda, aku takut malah mengecewakan kamu dan Ustadz Ahmad."
Sulit, namun aku akhirnya mengucapkan kata-kata terakhir. Aku tidak mungkin menerima permintaan Azizah, ini tidak bisa kulakukan.
"Kamu masih bisa melakukannya setelah menikah, Ain. Kamu hanya menikah dan ada di sekitar kami, aku yang akan menjalankan peran sebagai istri. Kita bisa bergantian melakukannya, tidak harus setiap hari."
Kupijit kepalaku yang terasa pusing. Bagaimana bisa Azizah berpikir seperti ini? Apa yang dia bayangkan hingga rela berbagi kasih?
Melihatku yang menundukkan kepala, Azizah langsung menarik tanganku menuju ranjang. Dia mendudukkanku di sana dengan wajah panik.
"Sakit, ya?" tanyanya cemas, meraih botol obat di dekat meja.
"Az," ujarku lirih, menahan tangannya yang baru akan membuka botol obat. "Jangan bahas itu lagi, Az. Aku tidak sanggup mendengarnya."
"Ain," ucapnya, menatapku dengan perasaan bersalah. "Aku tidak bermaksud apa-apa selain untuk kebahagiaanmu. Maafkan aku kalau terlalu memaksakan untuk kamu menerimanya." Azizah menggenggam tanganku, membiarkanku membaringkan tubuh.
"Jangan, Az. Jangan hancurkan kebahagiaan yang bahkan belum kamu genggam. Apa jawaban Ustadz Ahmad saat kamu mengatakan syarat itu?" Aku bertanya, menatap langit-langit.
Azizah tertunduk. "Dia bersedia. Tapi, dia meminta waktu untuk mengurus aku dulu. Maksudnya, karena dia menginginkanku untuk menjadi istrinya. Ustadz Ahmad meminta waktu untuk menebalkan hubungan kami dan membicarakannya dengan keluarganya."
Aku terdiam, menahan rasa pusing yang menderaku setiap hari. "Aku tidak bisa menyetujuinya sekarang, Az. Bagaimanapun, harapanku saat ini adalah sembuh. Aku tidak mau terus menerus merepotkanmu."
Azizah mengangguk, mengusap kepalaku yang tertutup hijab. "Aku yakin Ustadz Ahmad bersedia membagi perhatian dan kasih sayangnya untuk kita berdua. Aku juga yakin, beliau akan bisa membangun rumah tangga dengan dua orang istri." Azizah tersenyum, lalu bangkit dari jongkoknya.
"Istirahatlah, aku akan melanjutkan memasak. Kamu jangan pikirkan ucapanku barusan. Jangan pikirkan apapun yang bisa menambah rasa pusingmu, Ain. Kita akan menghadiri kajian bersama, ya?"
Aku memilih untuk memaksakan senyum, lalu mengangguk pelan. Di tinggal Azizah, tanpa sadar air mataku mengalir. "Begitu banyak hal yang di lakukan Azizah untukku, tapi aku masih belum bisa membalas yang mana pun." Bergumam menatap keatas, tanganku memijit kepalaku yang terasa pusing.
"Apakah aku hidup hanya untuk menjadi beban dan juga makhluk yang selalu merepotkan, Ya Allah? Bahkan karena penyakitku, Azizah rela membagi kebahagiaan yang bahkan baru akan di raihnya."
Air mataku semakin deras, tak dapat kusembunyikan bahwa aku tengah sedih sekaligus terharu. Namun, permintaannya amat mustahil untuk di terima. Bagaimanapun juga, aku tak mungkin menjadi istri kedua Ustadz Ahmad. Bukankah Allah menciptakan manusia dengan jodoh dan pasangannya sendiri? Aku yakin, Allah akan mengirimkan jodoh yang lain juga untukku.
Suara air terdengar dari dapur, Azizah tengah sibuk memasak. Saat menggerakkan kepalaku kearah kiri, rasanya pusing langsung menderaku. Kulihat bayangan Azizah yang sudah berjongkok di dekat meja dapur, lalu menghela napas perlahan.
"Maafkan aku, Az. Bahkan membantumu memasak saja aku tidak mampu," ujarku pelan, mengusap air mataku dengan telunjuk kanan.
"Entahlah aku bisa sembuh atau tidak. Tapi, aku berharap suatu saat nanti, aku tidak akan merepotkan wanita yang di rindukan syurga itu. Hatimu seperti permata, jiwamu hampir semulia para Ummul Mu'minin. Kelak, aku akan berusaha untuk membalas semua yang telah kamu lakukan, Az. Dengan semua cara dan kemampuan yang aku bisa."
Menahan pusing yang semakin bertambah, aku memejamkan mataku lemah. Hingga akhirnya terseret ke alam bawah sadar dan pusing itu tak lagi terasa.
***
"Ain, sudah setengah sepuluh. Bangun, Ain!" Bahuku terasa di guncang pelan, membuat mataku mengerjab sebelum akhirnya terbuka. "Bangun, Ain. Kamu jadi ikut kajian?" Azizah berkata, menatapku dengan wajah segar, dia sudah mandi.
"Ah, jam berapa ini?" Aku beringsut duduk, memperbaiki hijabku yang berantakan karena tidur.
"Jam setengah sepuluh, kamu masih pusing? Kalau pusing tidur saja lagi, aku berangkat sendiri saja." Azizah tersenyum, mengusap lenganku lembut.
Aku menggeleng, lalu menurunkan kaki. "Aku ikut, ingin mendampingimu menemui camermu!" ungkapku sambil tertawa kecil.
Azizah ikut bangkit, dia memegang bahuku sambil berjalan ke kamar mandi. "Iya, lumayan ketemu sama Ibu dari Ustadz kondang. Kapan lagi coba? Gratis tanpa janji pula!" Azizah tertawa, seakan tak pernah terjadi apa-apa di antara kami.
Aku ikut tertawa, lalu menatapnya serius. "Sepertinya ucapanmu tadi hanyalah mimpi buruk ya, Az."
Azizah balas menatapku. "Ucapan yang mana?"
Bersambung!