"Umi! U- uhuk, a- air.."
"Berhenti bicara saat makan. Sudah berapa kali aku memberitahumu?"
"Minumlah minumlah."
"Umi. Aku mau itu."
"Biar aku ambilkan."
"Hm.. ...terimakasih, paman."
Keenam orang yang tengah berlibur itu berada di aula makan hotel. Mereka duduk melingkari sebuah meja bundar. Dengan urutan tempat duduk Adrian, Arlyn, Abi, Riel, Azel, dan Leta.
Yang sebelumnya tersedak adalah Riel. Yang menggerutu adalah Arlyn. Yang tertawa sembari menuangkan air adalah Leta. Yang meminta untuk diambilkan telur omelet adalah Abi. Lalu yang mengambilkannya menggantikan Arlyn adalah Adrian.
Arlyn mengerutkan kening. Bertanya-tanya kenapa dirinya merasa seolah mereka adalah sebuah keluarga yang sedang berlibur.
Adrian kembali menoleh ke arah Arlyn. Perempuan itu sedang mengelap mulut Abi yang memiliki banyak noda saus.
"Bukankah aku sudah sering memberitahumu untuk makan pelan-pelan? Lihatlah mulutmu. Kau terlihat seperti kau baru saja memasukkan mulutmu ke dalam makanan dan bukannya makanan yang masuk ke mulutmu."
Abi hanya tersenyum kecil tanpa suara. Membiarkan Arlyn membersihkan mulutnya. Entah kenapa Adrian merasa justru itu adalah hal yang sengaja dilakukan oleh Abi. Anak itu senang ketika Arlyn memperhatikannya. Dia ingat ketika mereka masih di tempat makan sunda siang tadi. Ketika mereka makan bersama. Abi tidak sengaja menjatuhkan makanan. Mengotori kakinya. Arlyn langsung membersihkan kaki anak itu.
Riel melihatnya. Lalu Adrian melihatnya dengan terang-terangan menjatuhkan makanan ke kakinya juga. Memanggil Arlyn untuk membersihkannya. Tapi Azel lebih dulu memasukkan sepotong daging lobster pada mulut anak itu. Membersihkan kaki adiknya. Berkata.
"Jangan merepotkan umi."
Riel saat itu memelas. Mengundang tawa dari Leta. Dari reaksi Leta, Adrian menebak bahwa hal seperti itu sudah biasa terjadi. Riel dan Abi berlomba-lomba menarik perhatian Arlyn. Dan Arlyn selalu memberikannya. Meski diiringi gerutuan. Adrian bertanya-tanya apakah perempuan itu sadar bahwa dirinya sedang dikerjai atau dia benar-benar memandang anak-anak itu sebagai anak ceroboh biasa.
Adrian melihat Arlyn yang tidak banyak makan. Dia selalu mengambilkan makanan untuk Riel Abi dan Azel tapi dia hampir tidak pernah mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Hal itu membuat tubuhnya cenderung kurus dan ramping. Adrian ingin Arlyn makan lebih banyak, tapi tampaknya perempuan itu memang bukanlah orang yang suka makan. Tidak ada yang bisa memaksanya.
Ketika mereka hendak mengambil kartu kunci kamar hotel, Riel dan Abi melihat keberadaan taman lampu. Sebuah taman hotel yang memiliki banyak lampu dengan beragam warna. Menjadikannya salah satu objek wisata di kawasan pantai dan juga ciri khas dari hotel itu. Lampu-lampunya menyala di malam hari dan menjadi penarik perhatian para pengunjung. Terutama anak-anak seperti Riel dan Abi. Juga Azel. Yang melihat keberadaan taman bunga berpendar. Tanah bunga yang diberi lampu gemerlap di tanah. Membuat bunga-bunga di atasnya tampak seperti bunga yang menyala.
Setelah mereka selesai makan malam, mereka akan ke sana. Arlyn mengeluh tapi paksaan dari Riel dan Leta untuknya bergabung membuatnya tidak bisa memisahkan diri ke kamar.
Di dalam kepalanya Arlyn sudah merencanakan waktu satu hari penuh dimana dia bisa berdiam diri di kamar tanpa diganggu oleh siapapun
Makan malam berlangsung dengan cukup ricuh. Riel dan Abi bersahut-sahutan memanggil Arlyn. Mengharapkan perhatian dari perempuan itu. Entah untuk menyuapi mereka-atau sekedar mengambilkan mereka sepotong makanan. Arlyn mungkin menolak untuk menuruti permintaan menyuapi, tapi dia akan menuruti permintaan mereka untuk mengambilkan makanan. Juga membersihkan mulut mereka.
Adrian tersenyum.
Kemudian dia melihat Leta yang melihat ke arahnya. Memberikan jempol.
Adrian tersenyum canggung dan mengangguk.
"Ayo ke taman!!" Riel melompat turun dari bangkunya. Melompat-lompat tidak sabar. Dia juga menarik Abi turun dari bangkunya. Sebelum kemudian menarik tangan Arlyn yang masih duduk. Menolak untuk diusik.
"Umi ayo!!" Riel menarik-narik tangan Arlyn tapi Arlyn yang tubuhnya lebih besar tentu tidak terkena efek tarikan Riel.
Arlyn mengerutkan kening.
Tidakkah mereka lelah? Berbeda dengan Arlyn yang hanya duduk di atas tikar, menikmati kedamaian-yang tidak damai, kelima orang lainnya banyak bergerak.
Terutama Riel. Anak itu. Tenaganya tidak pernah habis. Dia mengajak Abi dan kakaknya Azel untuk bermain kejar-kejaran di atas pasir. Leta hanya berdiri diam tapi dia banyak tertawa melihat tingkah Riel. Sedangkan Adrian, berdiri di samping Leta dengan kamera di tangannya. Mengambil foto gerak-gerik ketiga anak yang tengah bermain. Juga foto Leta, foto pemandangan laut,
bahkan foto Arlyn. Yang tidak disadari oleh perempuan itu.
Hanya dengan duduk diam di atas tikar saja Arlyn merasa lelah. Dia merindukan kamarnya. Dimana dia bisa tenggelam dalam lelapnya tidur.
Arlyn terdiam. Sebelum berdiri menuruti kemauan Riel. Juga Abi.
Kelompok berisi enam orang itu tiba di taman lampu. Mata Riel langsung berbinar melihat gemerlap lampu lebih dekat. Dia melihat tubuhnya yang juga disinari lampu dengan berbagai warna. Membuat tangan kanannya berwarna kuning. Tangan kiri berwarna merah. Kaki kanan berwarna hijau. Dan kaki kiri berwarna biru.
Banyak sekali warna. Dia mengagumi warna tubuhnya sendiri. Begitupun Abi dan Azel yang belum pernah mengalami fenomena seperti itu.
Arlyn mengernyit dalam kegemerlapan taman itu. Juga keramaian yang berlangsung di sekelilingnya.
Tempat itu sungguhlah bukan tempat untuknya. Tempat untuk Arlyn adalah sebuah ruangan berukuran sedang dimana dirinya bisa berdiam diri hanya dengan dirinya sendiri.
Perhatian Riel tertarik pada sesuatu. Itu adalah sebuah layar monitor yang menjadi kunci utama taman. Layar monitor yang memberikan gambar lampu-lampu bergerak. Lampu yang membentuk seekor kuda dari ribuan kunang-kunang. Kuda itu tengah berlari. Sebelum bentuknya berubah menjadi seekor kelinci. Kemudian berubah lagi menjadi seekor singa. Gambarnya terus berubah. Menarik perhatian anak seumuran Riel untuk melihat gambar apa lagi yang akan muncul.
"Kakak! Abi! Ayo ke sana!" Dia menarik tangan kedua saudaranya.
Azel membiarkan tangannya ditarik. Tapi di saat yang bersamaan dia menoleh ke belakang. Melihat Adrian yang berdiri di samping Arlyn. Orang dewasa itu memandangi umi nya yang tengah mengerutkan kening melihat Riel lagi-lagi berlarian tanpa bilang-bilang.
Arlyn baru akan mengatakan sesuatu, tapi Leta menepuk bahunya.
"Aku akan mengawasi mereka. Kamu sama Mas Adrian saja." kekehnya.
Arlyn tidak menyadari Leta yang memberi kedipan mata pada Adrian. Wanita itu memberikan kedipannya. Membuat Adrian sempat terperanjat tapi tetap mengangguk.
Leta pergi menyusul ketiga anak yang perhatiannya tertarik penuh oleh monitor bergerak sebagaimana anak-anak lainnya. Bahkan perhatian Abi begitu teralihkan hingga dia tidak sadar bahwa dia baru saja membiarkan Arlyn hanya berdua dengan Adrian.
Arlyn menghela nafas lelah. Raut wajahnya frustasi. Berpikir entah apakah dia harus bersyukur ada Leta bersamanya. Dia tidak punya tenaga mengawasi ketiga anak itu.
Di belakangnya, sebuah suara familiar terdengar. "Arlyn."
Alis Arlyn terangkat. Dia melupakan keberadaan pemuda itu. Dia memberikan gumaman.
"Hm."
"Kita, bisa pergi ke tempat yang lebih sunyi. Kalau kau mau." suara ragu-ragu Adrian terdengar dari belakang. Hal itu menarik perhatian Arlyn. Dia berbalik untuk bisa melihat sosok pemuda itu.
"Apakah hal seperti itu ada di tempat seperti ini? Atau yang kau maksud adalah kembali ke dalam hotel?" tanya Arlyn. Karena kalau memang yang Adrian maksud adalah kembali ke dalam hotel, Arlyn tidak bisa melakukan itu. Meskipun sudah ada Leta yang berkata akan membawa ketiga anak itu, Arlyn tidak bisa melempar tanggung jawabnya begitu saja. Bagaimanapun Arlyn lah wali mereka. Sebagaimana mereka mamandang Arlyn sebagai wali dan umi mereka.
Adrian menggeleng. "Tidak. Ada tempat yang lebih sepi pengunjung. Tapi kita masih bisa melihat Riel Azel dan Abi dari sana." jelasnya dengan senyum lembut. Meyakinkan Arlyn.
Arlyn menimbang-nimbang. Jika benar begitu, maka Arlyn ingin pergi ke tempat sepi pengunjung itu.
"Baiklah. Tunjukkan jalannya." ucapnya. Adrian tersenyum. Menuntun perempuan itu untuk pergi bersamanya.
Itu adalah sisi barat taman. Dimana lampu yang menyala bukanlah lampu warna-warni melainkan lampu jalan biasa. Ada jejeran tempat duduk di sana. Dan semuanya kosong. Semua orang berkumpul dimana lampu warna-warni berada. Tidak tertarik untuk pergi ke pinggiran taman yang terkesan tidak menarik. Puji Tuhan untuk Arlyn.
Dia mendudukkan dirinya di tempat duduk. Menumpahkan semua beban tubuhnya pada bangku taman itu.
Adrian tidak kunjung duduk bersamanya. Dia justru berdiri di samping Arlyn. Dua tangan berada di belakang punggungnya. Arlyn tidak memiliki ketertarikan untuk menyuruh laki-laki itu untuk duduk bersamanya. Pemuda itu sudah dewasa dan dia bisa duduk jika dia memang mau.
Di tengah kesunyian yang hanya dilatarbelakangi oleh gemerlap samar lampu penuh warna di kejauhan, juga keramaian tipis di pusat taman, suara Adrian terdengar.
"Arlyn.."
Arlyn yang tengah berpikiran kosong menaikkan alisnya tanpa memberikan tolehan sedikitpun. Menunggu pemuda itu melanjutkan kalimatnya.
"Aku, ingin menyampaikan sesuatu."
Dahi Arlyn berkerut samar. Bertanya-tanya apa.
"Menyampaikan apa?" tanyanya acuh. Tidak tertarik untuk memberikan perhatiannya pada laki-laki itu di kala dirinya sedang ingin berlelah diri di tempat duduknya.
Sosok Adrian berpindah posisi ke depannya. Dirinya yang sebelumnya berdiri di samping Arlyn kini sudah ada di depan perempuan itu. Perlahan membuat pose berlutut dengan satu kaki. Dua tangan berada di depan dada. Memegang sebuah kotak beludru merah. Sebuah kotak beludru merah berisi sebuah cincin.
"Aku ingin menikah denganmu." Pemuda itu bersuara. "Bersediakah kau menikah denganku?"
Benak Arlyn yang kosong perlahan terisi. Wajahnya yang sebelumnya datar dan hanya memiliki kerutan samar di dahi perlahan berubah. Dia yang sebelumnya hanya duduk dengan pikiran kosong kini tidak bisa berpikiran kosong lagi. Adrian berlutut di depannya. Menunjukkan sebuah cincin dan melamarnya. Adrian melamarnya. Hal yang paling dikhawatirkan Arlyn sejak pertama pemuda itu mengajaknya pergi.
Dia terlalu lelah dan frustasi ingin pergi ke kamar hotel sampai dirinya melupakan fakta masih adanya kemungkinan pemuda itu melakukan sesuatu yang tidak akan dirinya sukai.
Sekarang hal itu sudah terjadi. Arlyn membiarkan dirinya lengah. Kini pemuda itu sudah berlutut di depannya. Dengan wajah yang dipenuhi kesungguhan. Telinganya berwarna merah tapi pemuda itu sungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia memberikan ajakan menikah pada Arlyn.
"..." Arlyn yang masih linglung tidak bisa memperkerjakan otaknya untuk berpikir. Wajahnya membeku hingga lidahnya kelu.
Dia mengepalkan tangannya.
"Tidak. Kita tidak bisa melakukan itu."
Arlyn memberikan jawabannya.
Kesedihan mengisi wajah Adrian. Ujung bibirnya turun. Alisnya juga membentuk garis curam. Kegetiran memenuhi matanya. "Bolehkah aku tau kenapa?" tanyanya.
Arlyn mulai mencemberutkan bibirnya. Dia sedang memikirkan jawaban. Ketika dia merasa dirinya melihat penampakan sosok familiar.
Itu Leta. Juga Riel, Azel, dan Abi. Leta terlihat menahan senyum di kejauhan. Azel berwajah datar. Tapi senyum tipis membentuk bibirnya. Riel tersenyum lebar. Sedangkan Abi, bermata kosong.
Arlyn melihat itu. Dia memejamkan matanya. Dia menggerakkan tangannya. Menggenggam kotak cincin di depannya dengan kedua tangannya, dan menutup kotak cincin itu perlahan. Menimbulkan suara sebuah kotak berat yang ditutup. Menyembunyikan keberadaan benda di dalamnya. "Kita tidak bisa melakukan itu, Adrian. Aku tidak punya rencana untuk menikahi siapapun. Aku harap kau mengerti."
Dia berdiri. Menepuk-nepuk tangan Adrian yang menggenggam kotak cincin. Memandangi pemuda itu. Memberinya titah untuk berdiri melalui tatapan matanya. Adrian dengan mata kosongnya melihat itu dan akhirnya bangkit berdiri dengan gerakan pelan. Melihat Adrian sudah tidak lagi berlutut, Arlyn menepuk bahunya dan berlalu meninggalkan pemuda itu. Arlyn berjalan menghampiri Leta dan ketiga anak lainnya yang kini sama-sama memiliki wajah syok. Leta terlihat mendesak dirinya untuk mengucapkan sesuatu tapi Arlyn tidak membiarkannya.
"Ayo kita masuk. Waktu bermain sudah cukup." perintahnya. Dia menoleh ke arah Abi. Melihat anak itu memandanginya dengan wajah tertegun. Arlyn mengabaikannya dan pergi meninggalkan semua orang. Masuk ke dalam bangunan hotel seorang diri. Pergi ke kamarnya tanpa siapapun. Meninggalkan Adrian masih berdiri diam di tempatnya dengan mata kosong.
04/06/2022
Measly033