Jakarta,
Puluhan guci keramik berjejer. Nyaris berhimpitan. Ada yang hampir setinggi orang dewasa. Meja kaca kayu dipenuhi ukiran rumit dan berbagai barang antik. Lampu bertingkat-tingkat menggantung di langit-langit. Tak sampai menyentuh sofa besar yang kiri dan kanannya juga dipenuhi ukiran kayu. Pemilik rumah ini dulunya pasti senang menghias dan punya selera tinggi. Meski kini, rumah serupa kastil ini tetap terasa dingin.
"Sebentar ya Rei, Sin masih tidur. Tapi tadi sudah aku bangunkan."
Mbak Kania menghampiri sambil membawa secangkir teh. Perutnya sudah semakin besar.
Lima belas menit kemudian, Sin datang ke ruang tamu. Dia duduk di sofa dengan mata merem. Entah apa yang dilakukannya semalam, Sin tak kuasa membuka matanya.
Tenang, Rei amati sosok Sin. Kaus berwarna putih dan celana pendek membalut tubuhnya. Ah, rumah memang tempat paling pas mengenal seseorang. Bisa saja manusia memakai topeng dalam berbagai interaksi sosial. Tapi mereka tak mungkin bisa berpura-pura di rumahnya sendiri.
Distya datang sebelum teh di cangkir Rei habis. Disusul Ben dan Rana. Saat yang lain datang, mata Sin sudah sedikit terbuka. Meski tak membulat. Tak mungkin, mata Sin tidak terlalu lebar dan alisnya sedikit menukik. Seperti wajah seorang aristokrat.
"Nanti kalau Mas Sin jadi S2, kami ambil barang-barang SEMI yang ada di sini bagaimana dong? Kan Mas Sin ada di Bandung." Rasa khawatir meliputi pikiran Distya.
Mata Sin sudah segar dan pikirannya tak lagi di alam mimpi. "Tidak ada apa-apa. Saya sudah bilang sama Bapak dan orang-orang di rumah. Nanti kan juga ada Mbak Siti, ART di rumah ini. Tinggal telepon Mbak Siti saja kalau ada perlu."
Rei hanya diam mendengar percakapan mereka berdua. Tangannya sibuk merapikan batik yang akan dipajang esok hari. Teringat kembali makan malam dadakan bersama keluarga Sin beberapa waktu lalu. Bukan momen yang terlalu menyenangkan buat Rei. Bukan, bukan karena Rei tak suka diajak makan malam. Tapi peristiwa malam itu membuat Rei merasa dirinya begitu kecil.
"Hueee...." Distya menutup mulutnya. Perutnya terasa sangat mual.
"Kenapa?" Rei panik melihat Distya ingin muntah
"Hueee..ini...ini bahan apa?"
Sehelai kain tipis halus yang ada di tangan Distya diambil oleh Rei. Diraba sebentar. Tidak halus benar. Biar mengkilat tapi malah agak kasar dan keset.
"Ini sutra alam."
Distya lari menuju ke toilet. "Huaaa....kayaknya aku alergi sutra."
Mata Rei mengikuti Distya dari belakang. Lalu tertuju pada sutra di tangannya. Kembali lagi mencari Distya yang sudah ada di dalam kamar mandi.
"Ada ya alergi sutra sampai begitu?" Rei bergumam sendiri.
Celetukan Sin terdengar pelan saja. "Ada tuh, Distya."
Ternyata sutra cantik tidak selalu membuat perempuan terpesona. Bagi Distya, kilatan mewah sutra alam adalah musibah. Kain yang berkilau di tangan Rei itu membuat Rana (yang mantan perawat) melakukan terapi singkat dan dadakan pada Distya yang hampir tak bisa bernapas. Distya bukan sekedar alergi. Lebih tepatnya, Distya phobia.
Aneh, biasanya phobia terhadap sutra dialami penjahit. Bahan sutra yang licin dan sukar dijahit membuat penjahit takut menjahit sutra atau bikin bahan jadi rusak. Kadang ketakutan ini disebut silkaphobia. Tapi kan Distya bukan tukang jahit. Kenapa dia harus takut saat menyentuh sutra?
Loncatan pikiran Rei tidak bisa dijawab dengan mudah. Sebab Dara sang psikolog tak ada di tengah-tengah mereka. Biasanya urusan begini, Rei dan Rana sangat mengandalkan Dara.
Setengah jam kemudian, Distya baikan. Si lincah itu mulai melompat-lompat lagi. Tidak bisa diam. Malam itu, Ben si pewaris tahta Kerajaan Sunda mendapat tugas maha penting: menyikat dua kamar mandi yang terletak di dekat ruang tamu dan ruang keluarga.
Apa boleh buat? Rumah Sin sangat besar. Kalau hanya mengandalkan Mbak Siti, tidak mungkin urusan beres-beres rumah bisa selesai malam ini. Sedang besok sudah launching SEMI.
Isi kepala Rei jadi tambah ruwet. Dua hari lalu Rei dipanggil keluarga Sin. Diminta menghadap Bulik (adik Ibunya Sin) yang tinggal tak jauh dari rumah Sin. Bapak juga ada di sana. Bulik mencatat dengan cermat persiapan untuk launching.
"Setelah Ibunya Sin wafat, Bapaknya Sin menitipkan anak-anak pada saya. Jadi saya yang mengurus kalau ada acara di rumah ini."
Rei hanya bisa mesem-mesem menghadapi keluarga Sin. Tak pernah dibayangkan acaranya jadi seruwet ini. Pakai potong tumpeng dan undang tamu-tamu. Padahal tadinya Rei hanya berpikir acara kumpul kecil saja.
Keruwetan semakin menjadi-jadi dengan turun tangannya keluarga Rei. Kakak Rei yang mengurus kue. Keluarga Rei juga minta ada souvernir untuk tamu undangan yang datang. Rei semakin bingung, kenapa acara ini jadi serius sekali?
"Ini kenapa keluarga Sin dan keluargamu jadi turun tangan? Ini acara keluarga? Sebenarnya kalian itu mau launching usaha atau mau lamaran sih?" Protes Dara saat Rei mencurahkan isi hatinya melalui telepon selular.
Sekarang, Rei harus konsentrasi menghias rumah Sin dengan beragam kain batik. Ada beberapa pilar besar bundar di rumah. Pilar-pilar ini dililit kain batik warna sogan dengan motif yang beda-beda. Ada cakar ayam, kawung, parang, ceplok dan semen. Tangga dan lantai 2 juga ikut dihias.
Rana masih merapikan meja saat Rei dan Distya sudah pindah ke dapur untuk membuat puding.
"Siiinn....loyang puding ada di mana?"
Sin datang dengan dahi berkerut. "Mana saya tahu? Harusnya tadi Kamu tanya Mbak Siti. Sekarang Mbak Siti pasti sudah tidur. Sebentar saya cari."
Satu per satu lemari dan laci di dapur dibuka Sin. Belum juga bisa ditemukan yang dicari. Mata Rei tertuju pada rak tertutup yang ada di atas kepala Sin. Setengah jinjit, dibukanya pintu rak itu.
"Sekali buka langsung ketemu. Sudah Sin, aku sudah lihat loyangnya?"
Mata Sin memicing. "Bagaimana Kamu tahu isi dapur ini? Saya saja tidak tahu."
Loyang di rak bagian atas diturunkan ke dekat kompor. Rei mengangkat kedua bahunya. "Hanya feeling..."
Bibir Sin ditekuk ke depan. "Bagus sekali feelingmu."
"Ini pudingnya sudah matang. Kamu mau coba?"
Rei menyendok puding encer yang masih agak panas. Menyodorkan persis di depan mulut Sin. Tapi Sin menghindar.
"Kamu tidak suka puding?" Dua alis Rei hampir bertemu karena heran.
"Suka. Tapi yang sudah matang."
"Ini kan sudah matang...cuma belum beku saja."
Rei bergumam saat punggung Sin sudah hilang dari pandangannya. Sin sibuk mengurus manekin yang harus dipajang buat besok. Manekin-manekin ini juga peninggalan toko Ibunya Sin. Satu manekin membuat Sin bingung karena bagian lehernya hilang. Manekin itu seperti dimutilasi.
"Katanya di gudang masih ada manekin?" Seloroh Rei saat berdiri di sebelah Distya yang tengah memegang badan manekin.
Sin menjawab tanpa menoleh ke arah Rei. "Ada. Tapi kotor."
"Ya copot saja lehernya, pasang ke sini."
Baru Sin menoleh. "Memang bisa? Kan lehernya menempel."
Kening Rei berkerut. "Harusnya sih bisa ya. Dicoba saja dulu. Kita gak akan tahu sesuatu kalau tidak dicoba kan?"
Sin berpikir sejenak. Beranjak dan meninggalkan manekin yang masih dipegang Distya
"Rei, ayo kita ke atas."
Mereka melewati dapur. Menaiki tangga di belakang. Dan sampai di satu ruangan yang sangat gelap. Tiba-tiba saja, jantung Rei berdebar. Sin mencari manekin. Berusaha mencopot lehernya. Dan bisa.
"Eh kok bisa ya?"
Senyum puas melintas di wajah Rei. Pertanda kemenangan. Lagi-lagi feeling-nya tepat.
"Itu namanya jodoh."
Cepat Rei tinggalkan tempat itu. Menuruni tangga masih dengan senyum yang sama. Di belakang Rei, Sin mengekor sambil bersiul. Leher manekin yang diambil Sin dimasukkan ke manekin yang masih dipegang Distya. Berkali-kali dicoba sulit sekali masuknya. Baru setelah Rei mencoba ikut membantu, leher itu bisa terpasang. Meski tidak rekat betul.
"Huff... ibarat jodoh, ini namanya kawin paksa."
Distya mengelap keringat di wajahnya setelah lelah dengan urusan manekin. Kata-kata Distya membuat Rei merasa ada sesuatu. Meski dia sendiri tak mengerti.
Ketika matahari kembali terbit, harapan pun dipancang lagi. Tamu-tamu sudah berdatangan. Juga keluarga Rei yang ada di ruang tamu. Ada juga keluarga Ben dari Subang. Belakang baru Rei mengerti, kedatangan keluarga Ben ini khusus untuk mengenal sosok Rana.
Restu yang semalam tak ikut beres-beres datang lebih awal sambil cengar-cengir. Lihat saja, setelah ini dia yang harus bersihkan semuanya. Sepasang pengantin baru tampak mesra. Ya, ada Dara yang sedang hamil muda.
Kak Gigih, sahabat yang dianggap Rei sebagai kakak angkat pun menampakkan batang hidungnya. Rei senang sekali. Hanya kurang Aksara. Hah, lelaki itu sedang banting tulang untuk kedai kopi barunya. Apa namanya? Hmmm Coffee Dewevrei.
Ketika tamu datang Rei masih kucel. Sin sampai menegur Rei untuk cepat bersiap-siap. Rei keluar dari kamar dengan dandanan rapi saat Sin sudah duduk di depan para tamu. Bisa Rei lihat mata Sin yang menatap ke arah Rei. Tak berkedip. Adakah yang salah dengan baju atau dandanannya?
Tak sempat Rei melihat lagi ke kaca. Hanya ada sedikit waktu untuk menyapa beberapa tamu sebelum video diputar dan tumpeng dipotong. Tumpeng? Astaga, syukurlah tumpeng itu sudah ada di tempatnya. Hampir Rei lupa. Pasti Buliknya Sin yang mengurus semua ini. Dan acara yang dinanti-nanti ini resmi dibuka.
"Kami membayangkan kita masuk ke dalam satu dimensi ruang dan waktu yang unik. Mari berhenti dan duduk sejenak di sana. Mendengar kembali kisah yang didengung sejak ratusan kurun, hingga mendewasa di hari ini. Kita masuk dalam runutan cerita yang digerai pada sehelai mori. Batik. Berasal dari kata mbatik yang dapat diartikan sebagai amba atau menulis dan titik.
Batik dapat juga didefinisikan dengan melukis/menggambar di atas kain. Tentu bukan sembarang gambar yang dilukis. Setiap motif dalam batik memiliki makna dan filosofinya sendiri.
Meski merupakan peninggalan di masa silam, batik tak kehilangan eksistensinya. Terutama, setelah batik dinobatkan sebagai warisan budaya dunia khas Indonesia oleh UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009. Sekejap saja kebanggaan mencuat. Batik kembali menjadi idola, setelah sebelumnya sempat menghilang.
Sayangnya popularitas batik tidak serta merta mengangkat kesejahteraan para senimannya. Kami memang lebih senang menggunakan istilah seniman batik daripada pengrajin batik. Bagaimana pun juga batik adalah hasil olah rasa dan pikir yang mewujud dalam satu karya seni budaya di Indonesia.
Tidak dapat dinafikan, bahwa untuk membuat satu helai saja kain batik, dibutuhkan jiwa seni dan tingkat akurasi yang tinggi. Pantas jika batik dihargai dengan harga yang tidak sedikit. Hal ini dikarenakan proses pembuatannya sendiri memang memakan waktu yang cukup lama, selain (tentu saja) juga dibutuhkan keahlian khusus.
Namun, para seniman batik semakin terpinggirkan, terutama setelah pasar dibombardir dengan produk batik cetak. Harganya memang jauh lebih murah, tapi kualitasnya pun jauh berbeda. Lagipula, batik cetak tidak digolongkan dalam warisan budaya dunia.
Tidak populernya batik tulis dikalangan masyarakat Indonesia bukan hanya disebabkan tingkat daya beli masyarakat, tetapi juga ketidakpahaman masyarakat tentang batik itu sendiri. Mereka juga minim pengetahuan akan proses pembuatan dan motif-motif batik tulis.
Untuk itulah SEMI pertama kali digagas. Terinspirasi dari keindahan batik dan keluhuran kisah dibaliknya, SEMI hadir untuk kembali mengangkat cerita menarik dari satu helai kain yang merangkum filosofi motif dan karya para senimannya.
Kehadiran SEMI juga merupakan kampanye yang digarap untuk melestarikan dan mengajak masyarakat untuk menggunakan batik sebagai bagian identitas Indonesia. SEMI diharapkan mampu berpartisipasi dalam memasarkan hasil karya para seniman batik. Dengan demikian, produk SEMI akan disalurkan langsung dari pembatik di berbagai daerah di Indonesia.
Mengambil filosofi batik motif truntum dan semen (yang bisa berarti juga semi atau tumbuh), melalui SEMI kami berharap mampu menghidupkan kembali kecintaan masyarakat Indonesia terhadap keindahan dan keistimewaan batik.
Melalui SEMI kami bermimpi melihat anak-anak Indonesia bisa bangga menggunakan batik dalam berbagai kesempatan, acara, situasi dan kondisi.
Melalui SEMI kami memancang angan untuk bisa menuntun generasi bangsa ini mengenal budayanya sendiri, melihatnya dengan lebih arif dan seksama. Melalui SEMI kami ingin terus bekerja dan berkarya. Semoga...
Dan lintasan catatan perjalanan ini dimulai....
Bismillah.....
Menelungkup wajah, merangkai doa....
Menyimpan harap dalam restu semesta...."
Pidato pembukaan yang sangat panjang dari putra mahkota pewaris Kerajaan Sunda diamini tamu yang datang. Sin dan Rei didaulat untuk memotong tumpeng. Tiga potongan pertama dihadiahkan untuk orang tua Sin, Rei dan Ben.
Tamu-tamu jadi lega. Sebab waktunya makan siang sudah datang. Enam rekan kerja baru itu terpisah. Sibuk meladeni pertanyaan para tamu sambil menyantap hidangan. Tanpa sengaja, Rei memergoki Sin yang sedang menatapnya dari jauh. Begitu mata mereka bertemu, Sin melemparkan pandangannya ke arah lain.
Di waktu yang berbeda, giliran Rei yang mencuri pandang wajah Sin dari samping. Lelaki itu sedang khusyuk bicara dengan sepupunya. Entah dari mana datangnya? Selintas pikiran menyusup di benak Rei:
"Aku bisa bertahan hidup lama dengan lelaki ini."
Astaga. Rei tidak mengerti suara nakal itu. Apa ini? Kenapa muncul tiba-tiba?
"Rei...hai...Rei...."
Tanpa disadari Restu sudah ada di depan matanya. Rei tergagap.
"Bengong terus. Keluargamu kayaknya mau pulang."
Butuh waktu lima menit bagi Rei mencerna kata-kata Restu. Begitu kesadarannya sudah kembali, Rei mencari Sin untuk pamit ke Bapak.
Tanpa diduga, Bapaknya Sin malah sudah mengobrol dengan Ibunya Rei. Mereka saling mendoakan kesuksesan usaha anak mereka. Sin berdiri di sebelah Bapaknya dan Rei berdiri di sebelah Ibunya. Mereka terlihat canggung.
"Mas Daksina, Ibunya Mbak Areta mau pulang. Coba bantu cari mobilnya."
Bapak mengeluarkan titahnya pada Sin. Lekas Sin beranjak ke depan dan mencari mobil keluarga Rei. Mereka bertemu di halaman. Keluarga Rei pulang.
"Rei, ayo saya kenalkan dengan seseorang."
Sin menggiring Rei kembali ke ruang utama acara launching SEMI. seorang perempuan berusia lebih dari 40 tahun menunggu di sana.
"Ini Mbak Elsa. Senior saya di luar negeri. Tapi Mbak Elsa kuliah di Jerman. Kami hanya satu forum diskusi diaspora. Satu grup dengan Ben juga. Mbak Elsa ini suka budaya dan wisata."
Mbak Elsa mengulurkan tangannya pada Rei. "Sin bilang Rei suka jalan-jalan ke daerah untuk meneliti tentang batik ya? Sudah lihat-lihat batik Jakarta?"
Mata Rei melirik ke Sin. Lalu kepalanya menggeleng. "Belum. Seperti apa batik Jakarta?"
Mbak Elsa tersenyum ramah. "Wah Kamu keliling daerah tapi tidak singgah di kota sendiri. Jakarta juga punya kampung batik. Ada di Pal Batu, Tebet. Bahkan tembok jalanan pun dihias batik. Kalian harus ke sana."
"Infonya menarik sekali Mbak Elsa. Terima kasih. Sin, kita akan ke sana?" Lagi, Rei melirik ke arah Sin.
"Boleh. Besok atau lusa?"
Singkat jawaban Sin sudah cukup membuat Rei merasa senang. Takdir mereka rupanya sedang berada di rute yang sama. (bersambung)