Jakarta,
"Kalau dilihat dari peta sih, Jl. Pak Batu ada di belakang gedung ini."
Masih sekitar jam 10 pagi. Mobil Sin berhenti di pinggir jalan. Menunggu aba-aba dari Ben yang masih sibuk melihat peta. Mata Rei menjelajah ke gedung-gedung tinggi yang ada di pinggir jalan. Hanya mereka bertiga yang bisa ke Pal Batu.
"Oke. Mobilnya saya parkir di gedung depan saja ya. Sepertinya kita harus jalan kaki."
Mobil Sin diparkir di gedung yang tidak terlalu tinggi, tapi punya tempat parkir cukup luas. Mereka masuk menyusuri gang kecil dan bertemu jalan agak lebar. Sempat tengok kanan dan kiri. Bingung karena tidak ada orang yang bisa ditanya.
Hanya pakai insting saja, mengikuti kaki melangkah. Lalu entah kenapa kembali lagi ke tempat awal mereka datang. Syukurlah ada orang lewat. Berkat petunjuk orang itu (yang sulit dicerna), mereka sampai juga di gang-gang yang temboknya dipenuhi batik.
Lumayan cantik buat foto-foto. Tapi Rei tidak bergairah untuk foto. Apalagi Ben. Bahkan Sin si fotografer turun dari mobil tanpa bawa kamera. Grafiti dengan berbagai ornamen batik itu hanya membuat mereka kagum sebentar.
Biarpun tembok digambar batik, tapi tidak ada orang yang sedang membatik. Dua galeri yang menjual batik tertutup rapat. Pun hari ini sedang tidak ada workshop di Rumah Batik Palbatu. Jadi ya suasananya lengang saja. Sempat Rei berpikir mereka sudah salah datang ke sini.
Tapi Ben tidak putus asa. Masih juga dia ngotot ingin mengitari kampung itu. Satu rumah dengan pagar terbuka menarik untuk dikunjungi. Lelaki berusia 50 tahunan sedang mengobrol dengan tamunya. Rumahnya nyaman sekali. Ada beberapa meja dan kursi warna diletakkan di halaman. Rei kira tadinya tempat itu kafe.
Begitu tamu si lelaki pulang, Ben masuk saja ke tempat laki-laki itu tanpa merasa sungkan. Untung lelaki itu menyambut ramah. Biar kata sudah berumur, bisa Rei lihat jejak ketampanan di wajahnya. Kulitnya putih, hidung mancung dan agak bule. Hanya memang tidak terlalu tinggi dan sedikit berisi. Tapi tidak bisa dibilang gemuk.
Lelaki itu dulunya pembatik. Tapi sekarang dia lebih senang membatik di media selain kain. Dia kasih lihat kursi dan meja yang sedang dibatik. Belum sepenuhnya jadi. Paling istimewa ya motor miliknya yang penuh dengan motif batik.
Motor yang tidak jelas lagi warna aslinya itu tampak meriah dengan berbagai ragam hias. Lelaki itu cerita pandangannya tentang batik dan fesyen di Indonesia. Termasuk tentang pagelaran busana.
"Dulu saya sempat jadi model. Bingung kan? Kok saya yang pendek ini bisa jadi model di atas catwalk? Nah ini... pakaian itu kan tidak hanya dibuat untuk orang-orang tinggi dengan kaki jenjang. Tapi juga untuk orang gemuk, pendek atau kurus. Ada banyak pakaian yang tampak bagus saat difoto dan dipakai model. Tapi kok pas kita beli malah jadi kebesaran atau kekecilan. Itulah...bahkan fesyen pun kadang diskriminatif."
Menyenangkan sebenarnya mendengar lelaki itu cerita pengalaman hidupnya. Ketahuan sekali sudah banyak makan asam dan garam kehidupan. Tapi waktu sudah berlalu dan Sin mulai gelisah. Rupanya dia punya janji dengan orang lain. Sedang batik Jakarta yang dicari Rei belum juga jelas adanya.
Atas saran lelaki itu, mereka pergi satu toko yang menjual desain undangan. Sempat bingung juga, cari batik kok di tempat bikin undangan dan cinderamata pernikahan? Ternyata di dalam toko itu memang ada tumpukan batik Jakarta alias batik Betawi yang dijual.
"Batik-batik ini tidak dibuat di sini. Kami hanya menjual. Pembatiknya sendiri ada di Marunda. Ini kartu namanya," ujar pelayan toko.
Kadung sudah sampai di situ, mereka beli dua batik yang dijual dalam toko. Satu kain batik tulis berwarna merah bermotif Monas--karena benar-benar ada gambar Monas di kain itu. Sebenarnya Rei tidak terlalu suka dengan motif batik yang seperti ini. Tapi yang tersedia hampir semuanya berbentuk seperti aslinya.
Satu kain batik lagi berwarna hitam dan putih. Motif Pucuk Rebung. Seperti yang sering dipakai None Jakarta. Nah, kain batik yang ini, meskipun batik cap, tapi lebih menarik hati Rei. Sepanjang yang Rei sempat pelajari tentang batik Betawi--setelah bertemu Mbak Elsa, Rei langsung cari tahu--ya motif Pucuk rebung inilah yang jadi motif khas dan klasik Jakarta.
Pucuk rebung mengacu pada bagian tengah atau tumpal. Bila dipakai, biasanya tumpal ini ada di bagian depan. Badan kain sendiri dihias motif banji yang dipengaruhi budaya Tionghoa.
Tidak adanya pembatik kain di tempat ini malah membuat Rei penasaran. Ingin disambanginya pembatik di Marunda. Ah, tapi melihat wajah Sin yang panik dan tergesa-gesa, Rei rasa tidak mungkin Sin mau mengantar.
Siapa sih yang menelpon dan janji bertemu Sin? Kekasihnya? Tapi kayaknya waktu launching tidak ada gadis yang dekat dengan Sin. Sudahlah, urusan pribadi Sin bukan masalah Rei.
Mobil Sin meluncur seperti ngebut. Ya pasti Ben dan Rei tidak ikut dalam mobil itu. Dua orang ini ditinggalkan Sin di pinggir jalan raya.
***
Rasa penasaran masih menumpuk di kepala Rei. Di kantor, matanya sibuk menjelajah dunia maya untuk mencari info tentang pembatik di Marunda.
"Rei ini buku batiknya. Aduuuh.... motif batiknya cantik-cantik." Mbak Sani, si kolektor kain, mengembalikkan buku tentang batik peranakan.
Berita tentang Rei jual batik sudah tersebar di kantor. Ada beberapa pesanan yang masuk. Pertama sekali pesanan dari Mbak Zia. Tidak tanggung-tanggung, Mbak Zia pesan seragam keluarga untuk lebaran. Rei harus cek stok kain di rumah Sin.
"Rei, aku mau pesan batik yang kayak gini dong." Mbak Sani menunjuk satu motif klasik batik peranakan dengan gambar bunga dan Noni Belanda yang sedang dansa.
Mata Rei melotot. Batik-batik di buku ini sebagian besar adalah karya Van Zuylen dan Frankemon, ratusan tahun lalu. Kain aslinya sudah disimpan di museum yang ada di Amerika dan Eropa.
"Yah, itu kan batik peranakan jaman dulu, Mbak. Paling kalau mau repro alias bikin ulang. Tapi kalau batik tulis mah gak bisa sama persis."
Mbak Sani berkeras. "Tidak apa-apa, yang mirip-mirip saja."
Rei merasa sangsi. "Nanti aku tanya pembatikku dulu ya, Mbak."
Rei coba hubungi beberapa pembatik di daerah yang pernah ditemuinya. Semuanya menyerah dan tidak ada yang bisa bikin. Terlalu beresiko menerima pesanan yang tidak pernah mereka kerjakan.
Di sisi lain, batik tulis motif Pisan Bali yang pernah dipesan di Bayat (Klaten) sudah selesai. Rei minta nomor rekening pembatk dan minta pembatik mengirim kain melalui jasa pengiriman barang. Tapi katanya, bank, ATM dan pengiriman barang sangat jauh dari desa.
Terpaksa Rei minta tolong Rintis (temannya yang tinggal di Klaten) untuk mengambil kain dan mengirim ke Jakarta. Ah, ternyata berurusan dengan pembatik di daerah tak semudah yang dibayangkan.
Masih ada satu pembatik lagi yang bisa dijadikan harapan. Pembatik di Marunda. Rei hubungi nomor telepon yang pernah dia dapat di Pal Batu beberapa hari lalu. Mujur nasib Mbak Sani, pembatik di Marunda menerima tantangan membuat ulang batik Noni Belanda.
Sudah beres masalahnya? Belum. Rei kan belum pernah bertemu dan melihat langsung proses pembuatan batik di Marunda. Harus cek dulu biar tidak mengecewakan konsumen. Tapi, apakah ini harus melibatkan Sin dan yang lainnya?
Ingatan Rei kembali saat Ben cemberut ketika mereka tersasar di Kebumen dan Bayat. Juga Sin yang tergesa-gesa waktu mengantar ke Pal Batu. Rana dan Distya pasti sibuk di kampus. Ah, Restu kan kerja, mana bisa diharapkan?
Dan Rei terlalu malas untuk mendengar dengan keluhan. Entah tentang jalan yang tidak jelas atau pembatik yang tidak bisa ditemui. Rei putuskan pergi sendiri saja.
Pagi-pagi, Rei harus naik bus ke arah Jakarta Utara. Sekitar Tanjung Priuk dan Koja. Perjalanan yang mengembalikannya pada ingatan masa kecil. Tentang kapal-kapal besar dan truk yang bongkar muatan di sekitar pelabuhan.
Tentang perempuan-perempuan Madura dalam truk—yang hendak ke pelabuhan setelah Maghrib. Mereka memburu hasil tangkapan nelayan untuk dijual di pasar, esok pagi. Perempuan-perempuan itu, walau tampak kurus, tapi punya nyali yang besar.
Tentang nyanyian sakral pengantar tidur:
"Kelap-kelip lampu di kapal, anak kapal main sekoci, air mata jatuh di bantal, aduh, yang dinanti belum kembali…."
Tak jauh dari sini memang ada pelabuhan besar. Tempat lampu kapal berpendar. Sunda Kalapa. Siapa tak kenal? Kalapa dalam bahasa Sunda lama berarti bandar atau pelabuhan. Sunda Kalapa bisa dibilang pelabuhan utama Kerajaan Sunda Padjajaran. Dahulu, pelabuhan ini ada di bawah kontrol Kerajaan Tanjung Barat—yang merupakan bagian Kerajaan Padjadjaran.
Putri Kinawati, anak Raja Tanjung Barat adalah istri Suryawisesa, Raja Padjadjaran. Di manakah kini sisa Kerajaan Tanjung Barat? Ah, Tanjung Barat yang selalu macet dan berdebu itu sama sekali tidak menunjukkan bekas komplek istana.
Sunda Kalapa yang dikuasai Kerajaan Padjadjaran sangat vital. Sampai-sampai ketika Kerajaan Padjajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis, Kerajaan Demak menjadi resah.
Raja Demak yang masih punya kekerabatan dan secara keyakinan sama dengan Cirebon, bersekutu untuk menyerang pelabuhan utama Kerajaan Padjajaran. Maka diutuslah Fatahillah.
Pertempuran terjadi. Fatahillah berhasil merebut Sunda Kalapa dan menamakan kota tempat pelabuhan ini dengan Jayakarta, yang berarti kota kemenangan.
Kini Sunda Kalapa dipenuhi kapal-kapal besar yang berlabuh dari Borneo. Kapal besar ini menggunakan kayu ulin, semakin terendam air, katanya semakin kuat. Sementara di atas kapal, Merah-Putih berkibar pasti. Menyatu dengan jemuran pakaian ABK yang juga ikut berkibar dengan gagah.
Ah, perjalanan yang mengembalikan kenangan. Perjalanan ini, barangkali bukan tentang batik atau SEMI. Perjalanan ini adalah tentang diri Rei sendiri. Dalam hati, Rei bersyukur, dia tak harus membagi perjalanan ini dengan siapa pun.
Termasuk juga keajaiban yang terjadi dari sebuah perjalanan. Jalanan adalah tempat di mana ilmu di sekolah belum tentu berlaku. Jalanan adalah tempat pertarungan terbaik untuk bertahan hidup.
Seperti saat ini, setelah naik metromini, Rei berganti naik angkot. Sialnya supir angkot bahkan tidak tahu tempat yang dituju Rei. Duh, ini Jakarta sebelah mana sih? Atau sudah masuk Bekasi? Mau tak mau Rei harus turun angkot di pemberhentian terakhir.
Orang-orang bilang, mungkin pembatik yang Rei cari ada di sekitar Rumah Pitung dan ini artinya sudah terlewat. Rei naik angkot yang sama dan berhenti di Rumah Pitung. Tempat itu terkunci, sepi dan nyaris tak ada kehidupan. Hmmm...coba kalau Ben ikut, mulutnya pasti benar-benar manyun.
Balik lagi ke tempat pemberhentian terakhir angkot. Ini hanya mengandalkan insting saja. Rei tidak tahu harus ke mana? Rasa haus tak tertahankan mengantar langkahnya untuk duduk di warung. Mereguk minuman dalam kemasan bersama tukang ojek. Omong punya omong, ternyata salah satu tukang ojek berasal dari kampung yang Rei cari.
Pucuk dicinta ulam tiba. Kata tukang ojek, tempatnya sudah dekat. Tukang ojek itu mau mengantar. Rasa senang membuat Rei lupa untuk tidak percaya pada orang kampung dalam urusan jarak. Tempat yang katanya dekat itu memakan waktu tempuh lebih dari 30 menit dengan menggunakan motor.
Harus lewat jalanan licin, berkelok dan kadang berbatu. Juga menerabas jemuran warga yang digantung melintang seperti pita 17 Agustus yang menghiasi atas gang.
Rei menyebut tempat ini dengan Betawi Udik. Masyarakat Betawi yang tinggal di pesisir dan paling dekat pantai. Hei, jangan lupa, Ibukota Indonesia ini daerah pesisir.
Pantai Cilincing yang ada di dekat sini, pada masanya adalah tempat wisata terkenal. Tak percaya? Silahkan tonton film Tiga Dara yang berjaya di era 1950-an. Film yang dibintangi Chitra Dewi itu merekam keindahan ombak di Cilincing.
Sayang, tak ada debur ombak di dekat Rei. Yang tampak hanyalah kuburan. Dan setelah perjalanan yang bikin otak mumet, Rei sampai di sebuah rumah. Akhirnya...inilah tempat para pembatik di Marunda berkumpul dan berkarya. Tinggal beberapa pembatik saja yang ada. Sebagian sudah pulang ke rumah masing-masing.
Rei melihat-lihat proses pembuatan batik dan koleksi kain batik dalam berbagai warna yang meriah. Khas batik pesisir. Ada motif petani, Ciliwung, Pitung, ondel-ondel dan Monas. Semuanya termasuk batik kontemporer. Ragam hias yang dibuat hampir sama dengan aslinya.
Salinan gambar batik motif Noni Belanda yang dibawa Rei diserahkan pada pembatik. Terbayang perjalanan pulang yang pasti sangat epik. Terlebih lagi hujan turun dan kilat menyambar. Lengkap sudah. Namun, dingin hanya melekat di kulit. Hati tetap hangat merawat mimpi.
Duhai renjana, jangan beranjak dari jiwa. Untuk semua hasrat yang tumbuh dan menggeliat, pengorbanan ini terasa begitu remeh. (bersambung)