Sarolangun, Jambi,
Terik menghimpit tanpa ampun. Mengoyak wajah yang perih disengat matahari. Masih harus ditambah udara di atas gambut yang membuat muka merah dan bentol. Di tengah panas perkebunan kelapa sawit, Rei bernapas.
Satu jam kemudian, harus dilewatinya sungai lebar untuk bisa sampai ke seberang. Tak cuma manusia. Motor yang menemani Rei keliling perkebunan sawit pun ikut naik ke atas perahu. Sepanjang sungai, masyarakat lokal mendulang emas dengan peralatan tradisional.
Meninggalkan suara mesin perahu berderu, Rei masuk ke dalam mobil. Syukurlah, penelitian konflik yang terjadi di perkebunan sawit itu sudah hampir rampung. Sekarang Ia bisa kembali hotel bersama Mbak Pijar, salah satu peneliti senior.
Mobil berjalan pelan. Jalanan naik-turun dengan pinggiran tebing, membuat supir harus berhati-hati. Belum lagi antrean truk pengangkut batu bara yang berbaris seperti semut di tembok. Tak ada jeda sama sekali. Ada yang bilang, seluruh tanah Sarolangun berisi batu bara.
Sayang, meski hampir semua bangunan berdiri di atas tanah yang menyimpan batu bara, tapi urusan energi listrik masih jadi kendala. Sampai-sampai di lift hotel harus ada pemberitahuan agar penghuni hotel tidak panik saat lift mati mendadak setiap 30 menit sekali. Lift dipastikan akan segera menyala.
Di dalam kamar hotel, Rei merebahkan tubuhnya sejenak. Mendinginkan wajah yang panas dan merah karena alergi. Sembari menanti makan malam datang, Rei membuat syal rajut untuk lelaki yang sungguh disayang. Ya, Lintang Daksina. Beberapa hari lagi Sin akan pergi ke London.
"Kapan Sin berangkat?" Mbak Pijar melihat Rei yang masih serius merajut syal.
"Dua hari setelah kita pulang. Aku harap aku masih punya waktu untuk menemuinya sebelum berangkat dan memberikan syal ini. Tapi kalau tidak sempat, aku ke rumahnya saja. Kutitipkan pada kakaknya. Sin masih harus mengurus banyak dokumen untuk berangkat."
Mbak Pijar, perempuan lajang yang sangat berpengalaman. "Kamu yakin dengannya?"
"Apanya?"
"Kamu ingin bersama Dia seumur hidup?"
Rei terdiam sejenak. Pertanyaan yang terlalu membingungkan. Rei dan Sin tidak punya ikatan. Lagipula mereka ada di kota yang berbeda.
"Aku bertemu dengannya dalam suatu perjalanan. Tidak ada rasa sama sekali saat itu. Buat gadis pemimpi sepertiku yang selalu percaya pertanda datang pada kilasan pertama, peristiwa pertemuanku dengan Sin terlalu biasa. Kupikir hanya akan jadi cerita basi. Tapi pertemuan-pertemuan itu belanjut, karena kami terlibat dalam satu proyek bersama. Takdir tampaknya punya rencana lain. Hingga di suatu masa yang aku lupa tepatnya, aku tanpa sengaja melihatnya dari samping. Dan tiba-tiba, aku berpikir kalau aku bisa hidup dengan lelaki itu dalam waktu yang lama. Datang begitu saja."
Mbak Pijar tertawa keras. "Hahaha…Kamu pasti berpikir kalau Dia adalah jodohmu. Perempuan selalu menafsir terlalu jauh."
Rei tidak bisa ikut tertawa. Ia tidak mengerti perasaannya sendiri. Mbak Pijar, perempuan berambut cepak yang banyak membuat laki-laki dewasa tergila-gila itu tersenyum. Dia jauh lebih berpengalaman.
"Cinta bukan pilihan ganda. Tidak ada benar dan salah. Pikiranmu bisa ragu, tapi hatimu tahu jawabnya dan waktu akan menuntunmu. Kita ganti topik saja, kenapa wajahmu jadi merah-merah begitu?"
Rei berhenti memainkan stik rajut. Melihat ke kaca. "Alergi gambut tampaknya. Panas sekali di sini. Sejak sampai di sini, pipiku seperti kepiting rebus. Merah, panas dan gatal. Untung aku tidak alergi udang. Kalau tidak, aku bisa sangat menderita."
Tepat saat itulah kamar diketuk. Capcay, udang tepung dan dua piring nasi. Entah lapar atau memang enak. Semua makanan itu mereka habiskan tidak sampai satu jam. Bagi Mbak Pijar, ini adalah udang goreng tepung paling nikmat yang pernah dia makan.
Mbak Pijar terlelap dengan perut kenyang. Rei terjaga. Kembali menguntai benang demi benang menjadi cukup padat. Hingga berharap dapat melindungi leher Sin dari dingin saat dia di London.
Ah, Sin, malam ini Rei rasa rindu mengepak-epak. Menjangkau khayal alam buaian. Angan yang ditambat telah larut dari genggaman. Tara menggunung menunggu harap di penghujung. Lukisan senja sudah lewat dari dinding kesunyian.
Dari semua yang yang tertinggal, Rei melarung kidung di lautan Asmaradhana. Sasmita, mohon rengkuh hembusan nafas yang terlewat. Menutur kisah para penghulu nan elok rupawan. Epik masa lalu tersungging di sudut senyum. Terngiang petuah Hanoman pada Gatot Kaca:
"Seringkali benar dan salah hanya dibatasi oleh sesuatu yang tak tampak."
Tetapi siapakah yang bisa mengukur jenak-jenak hati? Diantara garis tipis buram yang nyaris tidak terlihat. Serupa panah sakti Srikandi yang menghujam tubuh Bisma. Hanoman lupa, cinta dan dendam juga memiliki batas yang tidak tampak.
Ingin Rei tulis satu puisi saja untuk Sin. Bukan tentang kematian atau kelahiran. Hanya sebait sampiran untuk disimpan. Pengganti paragraf baku yang memenuhi kepala. Tak perlu banyak pikir untuk bisa menyelami.
Lalu hati Rei akan terserak di pelataran dini hari. Mengucap doa pelepas petang.
Sebab seorang penyair pernah berkata, setiap jiwa adalah kamar gelap. Dan Rei pahami bila setiap kamar ada pintunya. Tidak akan Ia ketuk pintu tertutup, jika bunyi yang hadir membekas bising.
Pada kesunyian alam, Rei berujar. Biar hempas udara yang menyusup melalui sela. Membisik pesan pengantar mimpi menyambut fajar. Selamat malam, Sin.
Ketika gulita menghilang dan terang masuk dari balik tirai, Rei dan Mbak Pijar sudah bersiap. Kembali ke Jambi untuk pulang ke Jakarta malam nanti. Masih dengan mobil yang sama, perjalanan ke Jambi ditempuh tanpa banyak drama.
Urusan selesai setelah bertemu beberapa orang. Masih ada sedikit waktu sebelum pesawat tinggal landas malam nanti. Bersama Mbak Pijar, Rei menyusuri keindahan batik Jambi. Sebelumnya harus lebih dulu menyusuri Sungai Batanghari. Sebab kampung batik yang dituju ada di sisi Sungai Batanghari seberang pusat Pemerintahan Daerah Jambi.
Menyebrangi Sungai Batanghari harus naik perahu motor. Ada rasa was-was juga. Sebab perahu motor kecil itu harus adu balap dengan tongkang yang membawa batu bara. Duh provinsi batu bara.
Sampai di seberang, mata Rei dimanjakan rumah-rumah kayu berbentuk rumah panggung. Cantik sekali. Di sinilah para pembatik berkarya. Setia meneruskan warisan moyang untuk merawat keunikan batik Jambi.
Rei dan Mbak Pijar masuk ke salah satu rumah panggung. Seorang perempuan tua berhias tengkuluk (penutup kepala perempuan Jambi) menyambut ramah. Mereka memanggil perempuan tua itu dengan sebutan Bu Saliha.
Bu Saliha jadi salah satu pembatik yang mulai renta, tapi masih semangat berkarya. Sambil memainkan canting bertetes lilin malam, Bu Saliha bercerita.
"Semua barang-barang untuk membatik dibeli dari Jawa. Sulit didapat di sini. Maka harga produksinya jadi lebih mahal."
Bu Saliha berhenti menggores canting di sebidang kain mori putih. Beranjak ke lemari kaca yang menyimpan beberapa batik buatannya. Dikeluarkan satu per satu koleksinya. Ada berupa kain, ada yang sudah jadi kemeja.
Rei tertarik dengan kemeja batik tulis warna biru dan abu-abu. Paduan warna kesukaan Sin. Ya, lelaki itu sangat suka warna biru, abu-abu dan hitam. Katanya simpel dan elegan.
"Kemeja itu motifnya Angso Duo. Diambil dari legenda yang hidup di masyarakat Jambi. Ada beberapa versi tentang Angso Duo. Yang pasti, dalam semua riwayat, dikabarkan ada dua angsa yang dilepas mengarungi Sungai Batanghari untuk menemukan lokasi kerajaan baru. Di mana angsa itu bersarang, maka itulah tempat yang tepat, yang kini menjadi Jambi," ujar Bang Zaki, putra sulung Bu Saliha.
Sehari-hari memang Bang Zaki yang melayani pelanggan dan menjual batik-batik. Bu Saliha sudah terlalu tua. Hanya sanggup membuat batik saja. Urusan pemasaran sepenuhnya tanggung jawab Bang Zaki.
Dari lemari kaca, Bu Saliha mengeluarkan lagi kain batik tulis warna merah. Kali ini Bu Saliha sendiri yang menjelaskan motifnya.
"Lihatlah ini kain batik khas Jambi. Gabungan tiga motif: bunga melati, angso duo dan kapal sanggat. Bunga melati sering ditemui dalam kain batik dan songket Melayu. Mencerminkan kesucian dan nama yang harum. Angso duo bergambar angsa yang berhadapan, seperti Zaki bilang, diambil dari legenda Jambi dahulu. Kapal sanggat berarti kapal karam. Konon, pernah ada kapal besar yang tenggelam di Sungai Batanghari. Kain ini menggunakan pewarna alam. Warna merah dibuat dari kayu ramelan."
Terdiam, Rei pandangi sehelai kain bermakna banyak kisah. Tatapannya jatuh pada gambar kapal sanggat. Memanggil ingatan kala Sungai Batanghari menjadi jalur perniagaan sejak Kerajaan Sriwijaya hingga Kerajaan Pagaruyung. Seluas dan sedalam apa sungai itu dulunya? Hingga kapal besar bisa tenggelam.
Kini, meski tetap luas, tapi Sungai Batanghari tak sevital dulu. Selain perahu penumpang, hanya tongkang batu bara yang hilir mudik. Punah sudah kisah para saudagar dan peradaban Koto Royo di tepi Sungai Tabir—anak Sungai Batanghari.
Dan sehelai kain batik yang direndam dalam air kayu ramelan menjadi milik Rei. Juga satu kemeja batik, hadiah untuk Sin. Ketika senja tak tampak, Rei sudah tak lagi berpijak di tanah warisan Kerajaan Melayu. Hanya dari angkasa, Sungai Batanghari samar terlihat. Memanggil ingatan kejayaan bahari Swarna Dwipa ratusan tahun lampau.
Di udara, Rei berdoa, semoga Sin belum mengudara. Semoga masih ada secercah waktu menatap lelaki itu, sebelum terbang ke benua lain. (Bersambung)