Davine kembali ke apartemennya, setelah lelah berurusan dengan Siska, yang belakangan selalu saja marah dan merasa tidak senang dengan apa yang dilakukan Davine. Bagaimana tidak setelah kematian Annie, Davine benar-benar seperti mengabaikannya. Siska bukanya tidak mengerti dengan rasa berduka yang dialami Davine, hanya saja hal ini sudah terlalu berlebihan.
Semenjak dulu Siska memang kerap cemburu pada Annie, karena Davine terlalu memperlakukannya dengan spesial. Terlepas Annie adalah sahabat Davine, namun tetap saja rasa cemburu itu kerap terlintas di pikirannya.
Setelah menggantung hoodie yang dikenakan nya di sudut ruangan, Davine menyadari sesuatu yang janggal di kamar apartemennya itu. Beberapa barang terlihat sudah tidak pada tempatnya, Davine ingat benar semua tata letak barang barangnya sebelum ia meninggalkan tempat itu tadi pagi. Jaket yang harusnya tergantung di sudut ruangan kini berada di sofa yang berada di pojok kamar, laptopnya yang seharusnya berada di meja kini berada di atas kasurnya. Davine mengingat ingat kembali apakah ia yang melakukan semua itu, keningnya sedikit mengerut dan matanya menerawang ke arah langit-langit, "Sudahlah," gumamnya, ia tidak mau terlalu memikirkan hal itu.
Pukul 02.30 a.m. Davine merasa seperti mendengar suara cekikikan di dalam kamarnya. Ia masih belum benar benar sadar, sulit membedakan apa kah itu mimpi atau kenyataan. Hingga ia memaksakan untuk membuka matanya, namun tidak ada apa pun di sana, suara cekikikan juga itu tidak terdengar lagi. Kamar itu benar-benar hening hanya suara nafasnya yang masih tidak beraturan terdengar samar mengambang di udara.
Davine beranjak dari tempat tidurnya, berjalan gontai menuju wastafel untuk membasuh wajahnya, ketika ia sedang menyekanya dengan handuk sepintas di ujung matanya, ia seakan melihat sekelebat bayangan yang berlalu dan hilang dengan sangat cepat, Davine segera berlari menuju arah bayangan itu, tapi tidak ada apapun di sana, kamar itu benar-benar kosong dan hanya dirinyalah yang berada di tempat itu, "Sial apa-apaan ini," makinya kesal.
Beberapa hari belakangan Davine semakin merasa paranoid. Ia merasa seperti ada yang mengikutinya dan selalu memperhatikannya, walaupun ia tau jika itu hanya perasaannya saja. Namun semakin hari ia semakin merasa jika hal itu nyata, walau di satu sisi ia juga tidak bisa membuktikannya bahkan pada dirinya sendiri.
Dengan tergesa-gesa Davine memasukan beberapa lembar buku kedalam ranselnya. Hari ini kelas pertama akan dimulai tepat pukul 08.30 am, saat ini masih tersisa 20 menit lagi sebelum kelas akan dimulai, dan itu tidak cukup banyak, mengingat perjalanan menuju kampusnya kurang lebih akan memakan sekitar waktu 30 menit. Davine berlari menyusuri lorong apartemennya, hingga tanpa sengaja ia menabrak seorang pria paruh baya yang merupakan tetangganya.
"Aduh, maaf Pak Drian saya kurang hati hati," mohon Davine pada pria paruh baya yang baru saja ditabraknya itu.
"Oalah, tidak apa-apa Nak, Davine," jawab pria paruh baya itu ramah.
"Sekali lagi maaf ya Pak, saya sedang terburu buru, 20 menit lagi kelas pertama saya akan di mulai," mohon Davine sekali lagi.
"Nak Davine pasti semalam bergadang ya? Saya dengar beberapa kali Nak Davine keluar masuk kamar apartemen tengah malam."
Davine yang mendengar hal itu tersentak kaget. Semalam ia merasa benar-benar tidak sekalipun keluar dari kamar apartemennya.
"Aahh, maaf Pak, maksud Bapak?" tanya Davine yang masih bingung dengan pernyataan Pak Drian.
"Iya sekitar jam jam 02.00 a.m. Bapak dengar Nak Davine beberapa kali keluar masuk kamar. Kebetulan bapak lagi nonton siaran sepak bola semalam."
"Memangnya Nak Davine pergi kemana tengah malam begitu?" tanya Pak Drian
"Waaah, maaf Pak, saya harus segera pergi ke kampus!" Davine tersentak melihat jam di tangan kirinya sudah menunjukan pukul 08.15 a.m.
Secepat kilat Davine meninggalkan Pak Drian bersama pikirannya yang sangat bercampur aduk setelah mendengar perkataan dari pria paruh baya itu. Ia berani bersumpah dengan dirinya sendiri jika semalam ia tidak sekalipun meninggalkan kamar apartemennya, "lalu siapa?" pikirnya.
******
Davine mendapatkan beberapa foto korban korban yang telah terbunuh sampai saat ini dari Kevin. Tentu saja sekali lagi dengan sedikit imbalan yang cukup mengiurkan, itu foto yang polos tanpa editan, tanpa blur tidak seperti yang terpampang di dalam surat kabar dan berita-berita yang beredar. Bisa di bilang foto itu sangat ekslusif dan hanya reporter lah yang memilikinya.
Adrenalin Davine terpacu melihat kesadisan yang terlihat dari foto-foto tersebut, entah rasa marah ataukah perasaan yang lainnya Davine sendiri tidak mengerti. Sampai ketika jarinya terhenti di slide pada foto mayat Annie, matanya mulai berair, dan tangannya gemetar, "Aku bersumpah akan menemukanmu bajingan," makinya dalam hati.
Malam hari Davine sedang dalam perjalanan pulang, tinggal beberapa ratus meter maka ia akan sampai di apartemen miliknya. Langkahnya semakin dipercepatnya, entah mengapa sedari tadi ia merasa sedang diikuti oleh sesuatu. Beberapa kali Davine mencoba menengok ke belakang, namun tidak ada apa-apa di sana, hal itu membuat bulu kuduknya berdiri hebat. Suara langkah kakinya seakan diiringi oleh sesuatu yang tidak terlihat, terkadang terdengar samar suara nafas yang sangat perlahan mengiringi langkahnya, dan semua perasaan itu menghilang seketika Davine sampai tepat di depan apartemennya. Sebelum masuk Davine sekali lagi menerawang ke segala arah untuk memastikan jika tidak ada apapun yang mengikutinya malam itu. Kini kota kecil itu terasa tidak begitu ramah lagi bagi Davine.