Sore itu Hanna telah membuat janji dengan Bella, untuk bertemu di sebuah pantai tempat di mana mayat Annie di temukan. Bella menyarankan agar bertemu di tempat itu, karena semasa Annie masih hidup mereka kerap menghabiskan waktu di pantai tersebut, hanya untuk sekedar menikmati embusan angin dan birunya laut. Bella ingin sedikit bernostalgia dengan kenangan bersama sahabat karibnya itu.
04.10 p.m. Hanna telah berada di tempat, Bella mengatakan jika ia menunggu di ujung pantai tersebut, di sebuah pondok kecil tempat pengunjung bersantai.
"Bella?" tegur Hanna pada wanita yang sedang duduk sendiri di pondok itu.
"Kau pasti Hanna!" tebak wanita itu.
Hanna sedikit membungkukkan badannya untuk memberi salam, wanita itu membalas perlakuan Hanna dengan cara yang sama.
"Jadi apa yang ingin kau ketahui dariku tentang Annie?" tanpa basa-basi wanita itu segera menuju ke topik utama mereka.
Bella adalah wanita yang manis, namun terlihat sedikit kurang bersahabat, walaupun itu hanya kesan pertama Hanna semata. Terlihat dari bagaimana wanita itu tampak seolah tidak ingin basa-basi, mungkin ia hanya tidak ingin membuang-buang waktu saja, pikir Hanna.
Hanna menjelaskan sedikit tentang kematian Annie pada sahabatnya itu, ia menerangkan jika hanya Annie yang memiliki perbedaan yang cukup mencolok dalam pembunuhan berantai itu, tidak sempat Hanna menyelesaikan penjelasannya, mata wanita itu mulai memerah dan berkaca-kaca.
"Maafkan aku!" Hanna sedikit kebingungan bagaimana cara mengatasi situasi itu.
Sejenak suasana canggung sangat terasa di antara mereka.
"Ya, tidak. Ini bukan salahmu, aku hanya ... ." wanita itu menyapu air matanya yang tanpa sadar telah mengalir.
Hanna memberikannya waktu agar ia bisa sedikit menenangkan diri. Hanna dapat melihat dengan jelas bagaimana wanita itu sangat menyayangi sahabatnya.
"Aku hanya tidak habis pikir, bagaimana bisa ada orang yang tega melakukan hal seperti itu pada Annie!"
"Aku tidak akan pernah memaafkan pelaku pembunuhan ini, meski ia bersujud di depanku sekalipun!" tegas wanita itu.
Hanna menatap jauh ke arah langit, ia menghembuskan nafasnya panjang.
"Yah, begitulah kehidupan, sebaik apa pun kita menjalaninya, kenyataannya ada saja orang-orang yang tidak mempunyai hati nurani!" Hanna mendekati wanita itu dan duduk membelakanginya.
"Kau tahu mengapa aku mengambil pekerjaan ini?" tanya Hanna pelan.
Wanita itu tidak menjawab. Ia hanya terdiam, matanya menerawang jauh ke lautan.
"Pada dasarnya aku sangat membenci mereka, mereka yang merenggut nyawa orang lain hanya karena keegoisan mereka semata, seakan-akan mereka adalah Tuhan yang berhak mencabut nyawa hambanya-hambanya," tambah Hanna.
"Aku selalu berpikir andai saja orang-orang seperti mereka tidak pernah terlahir ke dunia ini. Namun nyatanya hal seperti itu sangat mustahil, kejahatan selalu ada, sama halnya dengan kebaikan. Tuhan telah menciptakan semuanya dengan sangat baik, hanya saja manusia selalu mementingkan kehendaknya sendiri, hal itulah yang merubah kita menjadi makhluk yang sangat egois."
"Setidaknya itulah yang selalu kupikirkan!" tukas Hanna.
Mereka berdua terdiam sesaat, berusaha memahami hati mereka masing-masing, mencoba menerima kenyataan jika dunia memanglah sangat kejam.
"Lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya Bella. Ia menatap lekat mata Hanna, mencoba menaruh harapan padanya.
"Tentu saja aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memecahkan kasus ini!" jawab Hanna tegas. Ia menatap tajam mata Bella tanpa keraguan.
Bella seketika tersenyum. Ia merasa Hanna adalah orang yang dapat di andalkan.
Bella menjelaskan jika selama ini Annie menjalani hidupnya dengan sangat baik, Annie berjuang untuk kehidupannya sendiri tanpa pernah berpangku tangan pada orang lain, ia yakin jika tidak mungkin ada yang menaruh dendam pada orang seperti Annie. Namun ada satu hal yang sedari dulu selalu menjadi pertanyaan bagi dirinya, entah mengapa Annie sering sekali mengganti nomor teleponnya secara berkala, Bella merasa itu bukan hal yang wajar di lakukan.
"Yang menjadi pertanyaan adalah, apa tujuan Annie melakukan hal itu?" tutur Bella.
"Ada kemungkinan Annie di teror oleh seseorang lewat telepon!" tukas Hanna.
"Itulah mengapa ia selalu mengganti nomor teleponnya secara berkala," lanjut Hanna.
"Apa Annie pernah bercerita tentang hal seperti itu padamu?" tanya Hanna.
"Hmmmmnn ... seingat ku tidak pernah, setiap kali aku menanyakan perihal mengapa ia selalu mengganti nomor teleponnya, Annie hanya tersenyum dan enggan menjawab!" terang Bella.
"Jelas Annie berusaha menghindari sesuatu!" tukas Hanna lagi.
Bella mengangguk, setuju dengan pernyataan Hanna.
"Untuk wanita sepertinya bukan tidak mungkin banyak lelaki yang mencoba mendekatinya, aku melihat dari fotonya, Annie adalah wanita yang sangat cantik!" tutur Hanna.
Seketika Bella tersentak, ia seakan mengingat sesuatu yang sangat penting tentang Annie.
"Kau tahu, selama aku berteman dengannya, Annie tidak pernah terlihat sekalipun dekat atau berpacaran dengan siapa pun."
"Itu karena traumanya di masa kecil!" tukas Bella.
"Trauma?" tanya Hanna mengambang.
"Apa Ibu dari Annie tidak menceritakannya padamu?" Bella balik bertanya.
Hanna menggelengkan kepalanya.
"Dulu sewaktu Annie berusia sekitar 7 tahun ia pernah terluka cukup parah!" terang Bella.
"Maksudmu?" tanya Hanna lagi, kali ini ia sangat penasaran.
"Ia pernah tertabrak sebuah mobil ketika sedang bermain, hal itu di sebabkan oleh teman lelakinya yang saat itu tiba-tiba saja mendorongnya dari belakang!"
"Kedua orang tuanya bahkan sempat melaporkan kejadian itu pada pihak Kepolisian."
"Aku tidak tahu pasti, tapi Annie berkata jika akhirnya kedua orang tuanya mencabut laporan itu karena suatu alasan tertentu!" jelas Bella.
"Sejak saat itu Annie menjadi trauma dan memilih untuk tidak berteman lagi dengan anak yang mendorongnya sewaktu itu!" tambahnya.
Hanna segera mencatat semua keterangan dari Bella ke dalam note nya. Ia yakin jika hal itu adalah sebuah petunjuk penting.
"Apa anak itu bernama Davine?" tanya Hanna cemas. Ia punya perasaan buruk tentang itu.
"Sayangnya Annie tidak pernah memberitahuku mengenai hal itu!" jawab Bella.
"Apa Annie mengenal seseorang yang bernama Davine?" Hanna mengganti pertanyaannya.
Bella berpikir sejenak, ia mengerutkan keningnya.
"Aku rasa tidak, teman lelaki Annie hanyalah sebatas teman kuliah dan teman kerjanya saja, setahuku ia tidak mempunyai teman bernama Davine, aku mengetahuinya karena aku satu kampus dengannya!" jelas Bella.
"Sial!" maki Hanna. Sedari awal ia sudah merasa ada hal aneh dari Davine, ia tahu itu dari bagaimana Davine memperlakukan Siska, ia tahu ada yang tidak beres dari orang itu.
Setelah mendapat informasi itu dari Bella, Hanna segera menghubungi Sersan Hendrik, ia meminta Sersan Hendrik untuk mencari berkas tentang laporan yang pernah di ajukan oleh pihak keluarga Annie beberapa tahun yang lalu, ia yakin itu bisa menjadi kunci untuk menyelidiki kasus ini ke tingkat selanjutnya.
Setelah sedikit berbincang dan berjalan-jalan di pinggiran pantai, Hanna memohon pamit pada Bella. Hari itu sudah mulai gelap, tidak lupa Hanna mengantar Bella untuk mencari angkutan umum, sebelum akhirnya ia meninggalkan tempat itu.
"Kau bisa menghubungiku jika membutuhkan hal lainya!" tawar Bella, wanita itu tersenyum pada Hanna.
"Tentu saja, aku berjanji akan menyelesaikan kasus ini!" jawab Hanna.
Sekali lagi Bella tersenyum pada Hanna, sebelum akhirnya ia memasuki angkutan umum tersebut.
Entah mengapa Hanna merasakan sesuatu yang membuatnya lebih bertekad lagi dalam menyelesaikan kasus ini, senyuman Bella seakan memberinya dorongan lebih.
Keesokan harinya Hanna diperintahkan Sersan Hendrik untuk ke kantor Kepolisian guna melihat berkas yang di minta Hanna sebelumnya. Sersan Hendrik membawa Hanna menuju ruangannya dan menunjukkan berkas itu.
"Cukup sulit mendapatkannya, kau membuat kami bekerja lebih keras!" terang Hendrik.
Hanna segera membaca dengan saksama berkas yang diberikan oleh Sersan Hendrik padanya, ia bahkan sedikit mengacuhkan Sersan Hendrik yang saat itu sedang berbicara padanya kala itu.
"Hanna, apa kau mendengarkan?" tegur Hendrik.
"Iya Kak, maafkan aku!" Hanna merasa tidak enak karena tanpa sadar mengacuhkan Sersan Hendrik.
"Tak apa aku tahu kau sedang fokus," jawab Hendrik.
"Biar aku terangkan padamu!" tawar Hendrik.
"Baiklah!" Hanna meletakan berkas yang sedari tadi di pegang olehnya.
Sersan Hendrik menjelaskan jika saat itu pihak keluarga Annie memang benar mengajukan laporan tentang kejadian yang menimpa anaknya pada pihak Kepolisian. Namun belum sempat pihak Kepolisian memproses kasus tersebut lebih lanjut tiba-tiba saja pihak keluarga Annie menarik kembali laporannya, dengan alasan memilih menyelesaikan masalah itu dengan cara kekeluargaan dengan pihak yang terkait.
"Itu adalah keluarga Harris!" terang Hendrik.
Hanna mengangguk paham, sebelum Hendrik kembali melanjutkan perkataannya.
"Mereka adalah keluarga terpandang yang dulu tinggal di sebuah rumah yang cukup mewah di sudut bagian utara kota ini, berdekatan dengan tempat tinggal Annie!"
"Anak angkatnya diketahui kerap melakukan kekerasan pada Annie, awalnya pihak keluarga Annie hanya menganggap jika itu hanyalah kenakalan anak kecil semata, hingga kejadian yang sangat buruk itu menimpa Annie, sang anak angkat dari keluarga Harris itu mendorong Annie dengan tiba-tiba hingga menyebabkannya tertabrak sebuah mobil dan terluka cukup parah!" terang Hendrik.
Hal itu tepat seperti yang di beritahukan Bella pada Hanna.
"Lalu siapa nama anak itu?" tanya Hanna sangat penasaran.
"Menurut data, anak itu bernama Davine!" jawab Hendrik.