"Mohon ampunan itu ke Tuhan. Bukan kepadaku dan tidak ditempat kotor seperti ini bukan? Jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa."
Mata Lily beralih kepada perempuan berambut ekor kuda yang masih berdiri dengan posisi yang sama. Perempuan itu masih kekeuh dengan pendiriannya.
"Kau, tidak ingin berlutut juga? Siapa tahu kalau kalian bertiga yang berlutut dan meminta maaf aku akan berbaik hati melepaskan kalian." Tidak mendapat jawaban, Lily menaikkan kedua bahunya acuh. Kedua perempuan berambut warna-warni itu yang kini berusaha membujuk perempuan berambut kuda untuk ikut berlutut.
"Kamu kejam. Sama seperti ayahmu." Lily tidak menghiraukan ucapan perempuan berambut ekor kuda itu. Like father like son. Right?
Lily memilih salah satu tongkat pel dan mematahkannya dengan mudah. Sialnya, perutnya yang masih bereaksi terhadap obat pencahar itu, membuat Lily tanpa sengaja menjatuhkan tongkat yang sudah dipatahkannya.
Bunyi kelontangan kayu itu membuat suasana menjadi mencekam. Haruskah Lily berhenti menakuti mereka sampai disini?
"Karena kalian berdua sudah meminta maaf aku akan berikan hukuman yang ringan untuk kalian." Sungguh Lily hanya ingin menakuti mereka, tak disangka reaksi mereka sampai seperti ini.
"Jangan sakiti kami Ly." Ucap salah satu dari perempuan berambut pelangi itu. Lily terdengar seperti penjahat sekarang.
"Kalian yang menyakitiku duluan. Aku tidak boleh membalas?" Lily terkejut saat mengakhiri perkataannya, perempuan berambut ekor kuda itu mendorong Lily hingga lengan Lily mengahantam pinggiran wastafel.
Tangan kiri Lily berdenyut dan hantaman itu membuat tangan Lily memiliki goresan yang cukup dalam hingga mengeluarkan darah segar. Dengan cepat Lily bangkit, mengabaikan rasa sakitnya dan menghampiri perempuan berambut ekor kuda yang mendobrak-dobrak pintu untuk berusaha kabur. Sedangkan kedua perempuan berambut warna-warni itu menyingkir dari hadapan Lily.
Lily menjambak rambut panjang perempuan itu dengan kencang hingga membuatnya hampir terjungkal kebelakang. Lily menarik rambut wanita itu mengikutinya, hingga Lily berhasil meraih tongkat kayunya yang terjatuh.
"Kau melukai tangan kiriku hingga berdarah."
Lily menggulung-gulungkan rambut panjang itu di tangannya hingga membuat perempuan itu menangis kesakitan. Lily melirik name tag milik gadis berambut ekor kuda itu.
"Gita, wah hebat. Wanita bernama Gita di dalam hidupku ternyata sampah semua." Namanya mirip dengan nama selingkuhan papanya. Suatu konspirasi terselubung.
Lily mengayunkan tongkat itu tinggi-tinggi sebelum akhirnya memukulkan tongkat itu ke lengan Gita dengan sangat keras, hingga Gita menjerit kesakitan.
"Bagaimana rasanya? Sakit bukan? Aku akan pastikan kalian akan masuk kerumah sakit jiwa sama sepertiku." Lily tersenyum sebelum akhirnya melepar Gita yang sudah lemas, beralih pada dua perempuan berambut warna-warni itu.
"Jesica, Fani." Lily terkekeh. Namanya saja yang cantik tapi tidak dengan kelakuannya.
"Kalian pasti masih punya obat pencaharnya bukan?" Fani mengangguk dan mengeluarkannya dari saku roknya.
"Bagus sekarang minum." Perintah Lily.
"Apa? Aku gak mau!" Tolak Fani dan Jesica bersamaan.
"Harus atau kalian akan kubuat seperti Gita?" Ucap Lily melirik kearah Gita yang kini sudah tidak sadarkan diri.
Katakan Lily gila! Lily memang gila akhir-akhir ini.
Dengan tangan gemetar Jesica membuka salah satu obat dan menelannya tanpa air. Fani yang melihatnya ikut melakukan apa yang dilakukan Jesica.
"Aku senang, kalau kalian berdua menurutiku. Aku rasa sudah cukup sampai disini." Lily bangkit dan hendak merusak pintu kamar mandi agar bisa keluar dari sana.
Namun belum sempat Lily merusaknya, pintu terbuka perlahan menampilkan Hana, Bu Santi dan Pak Ari guru olah raganya.
Hana bodoh.
"Apa yang kamu lakukan Lily?!" Bu Santi menghampiri Gita dan mencoba menyadarkan Gita. Sedangkan pak Ari dengan sigap membawa Jesica dan Fani keluar dari sana.
"Astaga tangannya berdarah." Pekik Bu Santi melihat lengan kiri Gita mengeluarkan darah segar. Lily melirik lukanya sendiri, sepadan.
"Pak Ari cepat gendong Gita ke UKS." Pak Ari yang kembali dari mengamankan Jesica dan Fani, langsung menggendong tubuh Gita, membawanya ke UKS dengan cepat.
"Ly, maafin aku. Aku gak bermaksud bikin kamu jadi tersangka. Aku akan jelasin ke Bu Santi. Aku cuma mau berniat nolongin kamu." Lily tersenyum kemudian menggeleng.
"Lily ikut ibu!" Tanpa perlawanan Lily segera mengikuti langkah Bu Santi yang mungkin akan memberikannya hukuman.
*
"Bu, saya sudah bilang Lily gak bersalah, dia cuma mau ngebela saya." Ucap Hana tidak menyerah. Saat ini Lily tengah dihukum berdiri menghadap tiang bendera di siang yang panas ini.
"Lily itu juga habis minum pencahar bu. Pasti gak punya energi buat berdiri bu. Ibu gak lihat lengannya Lily juga terluka?" Bu Santi menghela nafas kasar. Ini adalah hukuman teringan yang bisa diberikannya pada Lily.
"Ibu tahu, tapi gak seharusnya Lily membalas perbuatan itu." Bu Santi frustasi. Sedikit tak menyangka, Lily kembali melakukan hal-hal seperti ini lagi.
"Apa maksudnya Lily terluka bu?" Bu Santi dan Hana menoleh dikala sebuah suara menginterupsi mereka.
"Angkasa, sini ini formulir olimpiadenya." Angkasa tak menghiraukan perkataan Bu Santi. Hatinya berlarian dengan cepat ketika mendengar Lily terluka.
"Apa maksudnya Lily terluka?" Tanya Angkasa sekali lagi. Urat-urat di dahinya menonjol, menahan marah dan kekhawatiran. Angkasa kira Lily sudah berada di kelas sedari tadi.
"Lily, karena aku kasih dia obat pencahar dan mau lindungin aku. Lily dihukum Sa." Adu Hana. Bu Santi hanya bisa menyangga kepalanya yang pusing tujuh keliling.
"Apa maksudnya Lily dihukum? Lily pasti gak salah Bu." Ujar Angkasa tak terima, berniat mengambil formulir olimpiade, Angkasa malah berakhir mendengar Lily terluka dan dihukum. Angkasa ingin menyeret Lily pergi dari sana.
"Lily salah karena membalas perbuatan mereka dengan cara berlebih. Membalasnya saja salah." Hana menggeleng cepat.
"Enggak Bu. Mereka melukai lengan Lily, Lily juga melukai lengan mereka. Mereka memberi Lily obat pencahar, Lily juga membuat mereka meminumnya. Ini adil bu, seharusnya bukan Lily yang dihukum." Sorot mata Angkasa memancarkan kemarahan. Siapapun yang berani menyentuh Lily akan Angkasa buat tidak bisa menghirup udara lagi.
"Sekarang Lily dimana?"
"Di lap.." belum selesai berbicara, Angkasa berlari keluar dari ruang guru yang sepi karena jam pelajaran masih berlangsung.
*
Kaki Angkasa berhenti melangkah, ketika matanya menangkap sosok Lily sedang berdiri dan memberi hormat pada bendera merah putih, di siang yang terik ini.
Perlahan Angkasa mendekat.
Warna muka Lily memucat, rambut pendeknya melayang-layang terhembus angin panas. Peluhnya yang memenuhi dahinya, kakinya bergetar menahan berat tubuhnya. Terdapat noda darah dibagian lengan kirinya, kenapa Lily gemar sekali terluka?
"BERHENTI!" Teriak Lily. Angkasa kebingungan ketika Lily menyadari kehadirannya bahkan tanpa melihat kearahnya.
"Aku bilang berhenti Sa!" Hati Angkasa teriris melihat kondisi Lily yang seperti ini.
"Pergi Sa! Aku gak mau kamu lihat aku dalam kondisi seperti ini." Angkasa tidak peduli terus melangkah dikala melihat air mata Lily menetes. Angkasa ingin menarik Lily pergi dari sana.
"Aku bilang pergi. Aku baik-baik aja. Kamu bisa percaya perkataan aku." Teriak Lily lagi membuat beberapa kelas yang sedang pelajaran mengintip keluar.
"Nanti aku kerumah kamu ya? Aku beliin ayam sekalian ngobatin luka kamu." Ujar Angkasa begitu menyadari mereka menjadi pusat perhatian. Setelah memastikan keadaan Lily sekali lagi, akhirnya Angkasa pergi menjauh dari lapangan.