Semenjak kepulangan Aster, jika bukan bersekolah maka Lily akan tetap berada didalam rumahnya membantu adiknya yang belum sepenuhnya bisa berjalan.
Bukan! Tepatnya Lily hanya dijadikan pesuruh. Mengambil minum, remot, antar ke kamar, atau bahkan keliling rumah.
Seperti sekarang bahkan saat terburu-buru berangkat sekolah, Lily sedang menyendokkan sayur kedalam mangkuk, untuk diantar ke kamar adiknya. Lebih mudah dari pada harus membantu Aster berjalan, bisa-bisa bahu Lily remuk karena badan adiknya yang lebih besar darinya.
Kenapa tidak ditolak saja? Sudah, bahkan berulang kali. Sedetik setelah Lily atau mamanya menolak maka Aster akan berkata, "Mama sama kakak tega." dengan mata yang berkaca-kaca.
Kalaupun terpaksa maka Aster akan menjatuhkan semua barang yang dilaluinya. Tentu itu membuat Lily dan mamanya geram, karena harus membereskan barang yang berserakan berulang kali. Padahal maksud mereka kan baik, supaya Aster tidak terus-terusan berada di atas kasur.
"Ini sayurnya." Ucap Lily setelah meletakkan semangkuk sayur di meja kecil khusus disiapkan saat Aster akan makan.
"Lah nasinya mana?"
"Lo bilangnya sayur aja."
"Ya maksudnya nasi pake sayur. Kan aku makan kak. Masa gak pake nasi?"
"Ngeselin banget sih lo, gue kalau telat gimana ini?"
"Ya telat aja." Lily mendesis, ingin rasanya meninju kaki adiknya yang diperban hingga berlapis-lapis itu. Lily segera pergi kedapur, mengambil nasi kedalam sebuah piring.
"Nah gini dong, tempenya mana?" Saat Aster menatap pintu kamarnya, kakaknya sudah menghilang.
"Untung di nakas disediain minuman sama mama." Kemudian Aster membuka mulutnya lebar-lebar memasukkan makanan dalam mulutnya.
*
Lily berlari-lari dengan cepat menuju bus yang sedang terhenti didepan halte. Berharap dalam hati agar bus itu tidak segera berangkat.
Hanya tinggal beberapa meter saja bus itu terlihat memajukan badan secara perlahan.
"Loh eh, bentar pak!" Lily berteriak dengan kencang, memberi tahu jika dirinya juga ingin naik. Namun suaranya tidak sekencang saat berada diruangan tertutup. Suaranya tertumpuk oleh suara mesin-mesin kendaraan yang berlalu lalang.
Lily mengatur nafasnya yang tak beraturan. Bulir-bulir keringat yang turun terlihat seperti berlian saat terkena sinar matahari pagi.
Ada untungnya juga punya rambut pendek, tidak perlu susah-susah menguncir jika kegerahan seperti ini.
Suara mesin sepeda motor yang berhenti di sampingnya membuat Lily menoleh.
"Angkasa." Lily tidak percaya dengan penglihatannya saat ini, bukannya Angkasa sedang marah padanya?
Lily mengernyit tidak mengerti saat Angkasa menyerahkan sebuah helm padanya. Lily masih bertanya-tanya di dalam kepalanya.
Jantungnya hampir copot ketika Angkasa menarik tangannya untuk mendekat dan memakaikan helm ke kepalanya. Dengan langkah ragu-ragu Lily menaiki motor Angkasa. Membonceng dibelakangnya.
Jika biasanya Lily berpegangan pada pundak atau bahkan memeluk Angkasa, tapi saat ini Lily benar-benar tidak tahu harus berpegangan kemana. Pilihannya jatuh pada pinggiran motor.
Oh Ya Allah, izinkan Lily untuk segera keluar dari situasi canggung ini.
*
Baru saja Lily dan Angkasa turun dari motor, Bu Santi sudah meneriaki mereka dari kejauhan. Lily hanya bisa menghela nafasnya sabar, mengikuti langkah Angkasa menuju ruang bk.
Lily menatap keheranan pada Angkasa yang nampak mengambil jarak sedikit lebih jauh padanya.
"Kalian terlambat lagi?"
"Iya bu." Jawab Lily dan Angkasa hanya mengangguk.
"Huh, ibu sudah pernah bilang belum, kalau kalian terlambat lagi uang transport kalian akan dihentikan."
"Saya lupa bu. Ibu pernah bilang seperti itu atau tidak." Lily mengangguk setuju.
"Ya sudah, mungkin ibu yang lupa bilang. Jadi uang transport kalian diberhentikan ya. Kalian bisa kembali ke kelas." Lily dan Angkasa segera bangkit berniat meninggalkan ruang bk.
"Untuk Angkasa perhatikan nilai kamu. Akhir-akhir ini katanya menurun. Jangan terlalu fokus pada karir kamu sebagai model." Lanjut Bu Santi sebelum Lily dan Angkasa benar-benar keluar dari ruangan.
Lily menutup pintu secara perlahan, menoleh ke arah Angkasa yang sudah berjalan jauh didepannya. Lily segera berlari menghampirinya.
"Sa, makasih ya tadi udah mau nebengin."
"Gak apa-apa. Telat juga kan."
"Iya sih." Lily tertawa hambar menyadarinya.
"Kamu masih marah sama aku?"
"Marah? Gak kok."
"Kok diem aja?"
"Ya gak apa-apa kan?"
Langkah Lily yang berjalan dengan cepat, mencoba menyamai langkah besar Angkasa kini melambat. Membiarkan Angkasa berjalan mendahuluinya.
Lily berhenti berjalan dan melihat dengan sedih kepergian Angkasa yang sama sekali tidak menyadari Lily sudah tidak berjalan disampingnya lagi.
Angkasa sudah berubah, jika dulu Lily berjalan dibelakangnya maka Angkasa akan menoleh dan memberikan tangannya untuk digenggam dan berjalan bersama.
Sedih, saat orang yang kita ketahui sangat dekat dengan kita menjadi jauh. Lily bisa merasakan perubahan Angkasa.
Caranya menjaga jarak, caranya berbicara dan caranya bertindak sangatlah berbeda.
Marah, tentu saja Lily marah. Hanya karena sekali mengucapkan bahwa mereka hanya berteman Angkasa menjadi seperti itu. Padahal Angkasa yang mengucapkannya terlebih dahulu dan itu memanglah suatu kenyataan.
Rasanya Lily ingin menarik dan menjambak rambut Angkasa hingga rambutnya terlepas sampai ke akar-akarnya.
"Ssssst. Ly, sini." Lily menoleh mendapati Yuli sedang berdiri di ujung koridor. Dengan lantai gontai Lily menghampiri Yuli.
"Ngapain disini?"
"Gue disuruh ambil buku lks bahasa indo di mejanya Bu Sana, tapi seumur-umur gue belum pernah masuk ruang guru, jadi gak tau mejanya dimana."
"Ya tanya aja sama guru yang disana."
"Anterin ya, plisss. Lo kan udah bolak-balik masuk ruang guru pasti tahu. Sekalian bantu bawa, tuh buku gedhe-gedhe yang disuruh ambil satu orang, cewek lagi."
"Emang member Twes satu itu ngeselin banget sih."
"Jangan disamain napa? Namanya aja yang mirip, mukanya beda jauh."
"Iya."
"Terus tadi Angkasa kenapa? Masih marah ya?"
"Gak apa-apa. Lagi pms aja. Udah cepet mau ambil gak nih bukunya." Lily segera menyeret Yuli menuju ruang guru, sebelum mulutnya bertanya lebih dan Lily juga sedang malas membahasnya.
*
Ruang kelas sudah tidak seramai saat sebelum bunyi bel tanda pulang sekolah dibunyikan. Lily masih berada didalam kelas, walaupun hampir semua penghuninya sudah meninggalkan kelas.
Sengaja keluar bernanti-nanti agar tidak perlu bertemu mata yang menatap matanya malas itu. Tidak ingin berhadapan dengan Angkasa, karena Lily tidak tahu akan mengatakan apa lagi jika bertemu dengannya.
Hari ini adalah hari yang panjang menurut Lily. Salah satu alasannya adalah Angkasa. Siapa lagi yang mampu membuat hati Lily terasa diobrak-abrik dan membuat Lily ingin meninju siapapun yang ada didepan matanya.
Lily melirik jam pada hpnya, merasa cukup mengulur waktu untuk segera pulang dan tidak ingin melihat rumahnya berantakan karena ulah adiknya.
"Temen-temen gue duluan ya." Pamit Lily pada teman-teman sekelas yang masih tinggal disana karena beberapa hal.
"Yoi Ly."
"Hati-hati."
"Jangan ngelamun wae pas jalan."
Lily tersenyum dikala teman-temannya sudah tidak merasa sungkan atau tidak enak untuk dekat dengan Lily, ya karena Lily dulu dicap sebagai anak bandel.
TIN!
Lily memejamkan matanya sembari mengontrol jantungnya yang berdebar dengan keras karena terkejut mendengar klakson mobil yang terparkir dengan rapi di pinggir jalan raya, dekat dengan pintu gerbang sekolah.
Seorang lelaki keluar dari mobilnya membuat semua siswa dan siswi yang masih berlalu lalang menatapnya terpana.
Tapi tidak untuk Lily.