webnovel

Sikap Defensif

"K—kamu ... kamu Elio?!"

Deg ...

Jantung Xavier tiba-tiba saja berhenti berdetak demi mendengar kalimat tanya itu. Ada sesuatu di dalam diri Xavier yang mulai berdesir tak nyaman, seolah-olah ia seperti seorang maling yang terpergok mencuri saat menjalankan aksinya.

Lidah Xavier terasa begitu kelu, sampai ia tidak bisa memeras barang satu patah kata pun untuk keluar dari bibirnya.

Ada satu pertanyaan besar yang kini sedang bergaung di dalam kepala Xavier. Yakni ... dari mana perempuan itu mengetahui nama Elio?!

Siapa perempuan di depan Xavier ini sebenarnya?!

Tidak mungkin kalau perempuan itu menemukan nama 'Elio' di suatu tempat di unit apartemen ini. Xavier tidak pernah mencatat nama itu baik di tembok atau pun selembar kertas!

"Jangan mendekat! Katakan kepadaku ... katakan kepadaku apakah kamu ... Elio?" tanya perempuan itu dengan nada semakin kecil di akhir kalimat.

Enam meter jauhnya di depan perempuan itu, Xavier tetap bergeming di tempatnya. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana.

Ini terasa sangat tiba-tiba, dan Xavier tidak terlalu siap untuk menerima kejutan seperti ini.

Jadi ... apakah getaran aneh yang Xavier rasakan belakangan ini hingga membuat Xavier memutuskan untuk datang ke tempat pasar pelelangan budak itu sebenarnya berasal dari perempuan ini?

Apakah perempuan ini ... merupakan 'klien' yang harus Xavier bantu? Xavier ... Xavier tidak tahu.

"Elio Morgansen. Itu adalah nama lengkap Elio. Tapi, bagaimana mungkin bisa?"

Bagai tersambar petir, kesadaran Xavier hampir terangkat tertarik hilang.

Sudah dapat dipastikan bahwa perempuan di depannya ini mengenal sosok Elio Morgansen di masa lalu. Lalu, sejauh apa sosok itu mengenal pribadi Elio Morgansen?

Hubungan macam apa yang terjalin di antara keduanya?

Apakah sahabat?

Atau mungkin teman?

Atau malah kerabat dekat yang memiliki hubungan darah?

Tes ...

Air mata jatuh dari pelupuk mata perempuan itu, membuat Xavier berdiri tertegun di tempatnya. Kantong plastik berisi berbagai camilan dan juga mie yang sebelumnya Xavier pegang kini telah mendarat telak di lantai.

"Elio Morgansen ... apakah itu benar-benar kamu?" tanya perempuan itu berbisik menahan pedih.

"Jangan menangis," kata Xavier pada akhirnya.

Ingin rasanya Xavier berjalan mendekat dan menenangkan perempuan itu. Namun, dia meminta Xavier untuk tidak mendekat.

Xavier tidak pernah menyangka bahwa perempuan yang ia bawa keluar dari tempat pelelangan budak merupakan seseorang yang terhubung dengan Elio Morgansen. Apakah mungkin bahwa perjalanan dan juga misi Xavier di bumi akan segera dimulai?

"Tidak mungkin ... ini tidak mungkin ... hiksss. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Aku tidak mengerti dengan semua ini," racau perempuan itu semakin tak terkendali.

Jika Xavier boleh menelisik lebih jauh lagi, dapat dilihat dari gerak-gerik perempuan itu bahwa dia tampak tidak percaya jika sosok Elio ada di hadapannya. Dari sini, Xavier bisa mengambil satu kesimpulan besar dan juga membenarkan prasangka dirinya selama ini terhadap sosok Elio, bahwa sebenarnya Elio sudah mati.

Dan sekarang, ketika melihat sosok Elio muncul di depan matanya, bagaimana mungkin perempuan itu tidak terkejut?

Itu terdengar sangat masuk akal, 'kan?

Setelah menimang-nimang selama beberapa saat, Xavier memberanikan diri untuk melangkah mendekat.

Satu langkah ...

Dua langkah ...

Tiga langkah ...

Tepat di langkah kaki ketiga, telapak kaki Xavier menginjak air teh yang masih panas. Hal ini spontan saja membuat Xavier mendesis pelan.

"SUDAH AKU KATAKAN UNTUK TIDAK MENDEKAT! JANGAN MENDEKAT! KAMU ... KAMU BUKAN ELIO!" Raung perempuan itu dengan keras dan juga panik tatkala melihat Xavier berjalan mendekat.

Tangan perempuan itu sudah meraih sebuah vas bunga transparan yang memiliki ukiran elegan. Vas itu sudah terangkat tinggi-tinggi di udara, bersiap melemparkannya kepada Xavier jika Xavier berjalan mendekat lagi.

Mau tak mau, karena kakinya kini telanjang sebab sepatunya sudah ia lepaskan tadi, pun di bawah sana ada banyak pecahan beling berserakan di mana-mana, Xavier memutuskan untuk kembali mundur beberapa langkah. Ia memberi ruang di antara dirinya dan juga perempuan itu, berharap bahwa perempuan itu tidak lagi menjadi histeris seperti ini.

"Demi Dewa ... apa yang harus aku lakukan? Bagaimana cara menghadapi hal-hal seperti ini?" tanya Xavier frustasi kepada dirinya sendiri.

Xavier tidak memiliki banyak pengalaman. Ia belum berinteraksi dengan banyak manusia semenjak ia diturunkan ke bumi. Jadi, Xavier sangat bingung tindakan macam apa yang harus dirinya ambil.

Tiba-tiba saja, di saat-saat seperti ini, Xavier mengingat dengan ucapan Dewa Tur tentang 'manusia memiliki banyak emosi di dalam diri mereka.' jadi ... apakah kasus seperti ini sudah termasuk dengan emosi?

"Jangan mendekat ...!!! Aku bilang jangan mendekat!!!" lirihnya. "Hiksss ... jangan sakiti aku. Jangan bunuh aku ...."

Kedua sorot mata perempuan itu tetap menatap Xavier, di mana pria itu memiliki wajah dan juga perawakan yang sama seperti Elio Morgansen yang dirinya kenal. Namun, meskipun begitu, perempuan itu tidak mau serta merta percaya begitu saja. Ia takut bahwa ini hanya sekadar ilusi. Yang paling parah, seseorang telah memanipulatif dirinya sendiri untuk menjadi sosok Elio Morgansen yang baru.

Ada jejak rasa sakit yang terpancarkan pada manik mata sendu perempuan itu. Rindu, takut, was-was, sedih, bahagia, semuanya bercampur di dalam dirinya demi melihat sosok di depan sana.

Ada satu hal yang berbeda di antara Xavier dan Elio, yakni suara. Hal ini juga lah yang membuat perempuan itu meminta agar Xavier tidak mendekat padanya. Dia takut bahwa pria di depannya ini merupakan orang yang sedang menyamar menjadi sosok Elio Morgansen dan ingin memperdayainya.

Perempuan itu tampak sangat takut dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi, seolah-olah ia tidak bisa berpikir hal-hal positif barang seujung kuku pun.

Dengan menggunakan vas bunga sebagai perisainya, perlahan namun pasti, perempuan itu mulai mengambil langkah mundur sedikit demi sedikit.

Air mata yang berlinang tidak menghalangi dirinya untuk tetap siaga memantau pergerakan Xavier di depan sana.

Dalam rentang waktu ini, Xavier hanya mampu menggaruk tengkuk lehernya yang sama sekali tidak gatal.

Sedikit demi sedikit, perempuan itu mulai menjauh dari Xavier. Dari jarak yang awalnya hanya berkisar enam meter kini bertambah menjadi sepuluh meter.

Perempuan itu berjalan pelan menuju satu-satunya kamar tidur di unit apartemen ini.

Xavier diam-diam mulai mengambil langkah kaki juga. Dia khawatir bahwa perempuan itu akan melakukan hal yang nekat.

Hingga tak lama kemudian, jarak satu langkah dari pintu kamar, dengan gerakan tergesa-gesa, perempuan itu masuk ke dalam kamar setelah membanting keras vas bunga tepat di depan pintu itu—berharap bahwa pecahan kaca itu akan menjadi rintangan tersendiri bagi sosok pria di depan sana tatkala ingin mendobrak pintu ini.

Clack ...

Clack ...

Pintu kamar tidur dikunci dari dalam.

Mendengar hal ini, Xavier menghentikan langkahnya. "Aih, apakah aku terlihat sangat menyeramkan untuknya sampai-sampai dia ketakutan seperti ini kepadaku?" tanya Xavier kepada dirinya sendiri.

Xavier menghembuskan napas lelah. Dia memilih mengabaikan perempuan itu sejenak dan beralih memandang ceceran pecahan kaca yang berserakan di lantai.

"Lalu siapa yang akan membereskan semua kekacauan ini?" gumam Xavier kecut.

"YA TENTU SAJA AKU!"