"The beasts ...."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Sebenarnya Apo ingin menanyakan sisa diskusi barusan. Namun, jika Paing seperti ini, mana mungkin dia mengabaikan? Sang Alpha bahkan menyebut kata "selesai" tiga kali, mendekapnya sampai sesesak ini, juga mimpi buruk pada pukul 2 pagi.
Brakh!
"Apo! Hahh ... hahh ... hahh ...."
Entah apa yang mengaduk isi otaknya. Teriakan Paing membuat Apo ikutan duduk. Memijit kening yang berdenyut-denyut, tapi Paing sudah pergi sebelum dia bertanya.
Brakh!
"Phi, kenapa--"
"Maaf, Apo. Kurasa aku harus menemui seseorang," sela Paing. Alpha itu langsung turun dari ranjang. Masih berpiama, tapi mengambil sembarang long coat, masker, topi, kunci mobil. Lalu keluar kamar begitu saja.
SRAAAAAAAAKKHH!
BRAKHHHH!
BRRMMMMMMM!
Saat menginjak gas mobil, para satpam ikut panik membukakan gerbang untuknya. Suara gaduh itu mungkin membangunkan Thanawat dan Sanee. Namun, Apo hanya menyaksikan dari balkon kamar.
"Phi ...." gumam Apo di antara tirai-tirai yang berkelebat. Dia menyentuh dada yang berdebar gelisah, tapi memilih bertahan di tempat. Bagaimana pun ini kediaman utama Keluarga Takhon. Sangat tidak sopan kalau Apo ikut menyusul Paing. Toh belum paham duduk perkaranya juga.
"Aku harus bertanya langsung ke Mama besok," batin Apo tak sabar. Sebab ini masih waktu istirahat, tapi kakinya ingin berlari saja. Sayang rencana tinggal rencana. Pagi itu Apo tidak bisa langsung mewujudkannya. Apalagi dia ditemui Sanee setelah sarapan.
"Sayang, kemari," kata Sanee. Wanita itu membuat Apo meninggalkan triplets. Lalu menitipkan mereka ke babysitter.
"Iya, Oma?"
"Coba ikut aku sebentar ...." kata Sanee lagi.
Apo pun mengekori Sanee ke lorong rumah yang lebih dalam. Dia diajak memasuki ruang rahasia di balik rak-rak. Lalu dipertemukan dengan berbagai foto lawas pajangan. Mereka adalah leluhur Keluarga Takhon. Isinya rata-rata orang beruban, tapi per generasi hanya memiliki sedikit saudara (ini bisa dilihat dari family shoot hitam putih yang sepi). Kini, Apo baru tahu mereka dulu hanyalah pekebun saja.
.... kebun kelapa sawit lebih tepatnya. Luasnya mungkin hanya beberapa hektar, tapi lama-lama merintis usaha mebel. Dari generasi ke generasi, ada perubahan semenjak lahir satu dokter diantara mereka. Alpha itu kemudian menikahi perawan Inggris. Menetap di Bangkok. Dan anaknya mulai membangun klinik.
Dari klinik cucunya membangun RS, tapi di awal hanya kualitas bintang satu--oke, apapun kelanjutan kisah mereka, yang pasti itu tidak aneh bagi Apo. Keluarganya pun punya sejarah sendiri. Mirip-mirip, jadi dia hanya diam sambil menyimak tenang.
"Tahu tidak kenapa kutunjukkan semua ini padamu?" tanya Sanee setelah bercerita.
Apo pun balas memandang lekat. Lalu menggeleng pelan pada wanita itu. "Tidak, Oma," katanya jujur apa adanya.
"Kami memang lambat dan tak pernah besar. Baru sukses, Nak. Dan itu beberapa tahun terakhir," kata Sanee sopan, tapi entah kenapa nadanya terdengar dingin. "Meskipun begitu, soal kehormatan dan lain-lain, Keluarga Takhon benar-benar mempertahankannya hingga sekarang."
Tenggorokan Apo mendadak serasa kering. "...."
"Kami belum pernah menerima istri orang dan perselingkuhan, apalagi membelanya sejauh ini," kata Sanee lagi. "Tapi Paing--anak itu ... kau tidak tahu berapa kali dia bicara kepada kami."
"...."
".... meyakinkan ini dan itu, menerima bayi-bayimu, sampai suamiku memarahinya terus menerus," kata Sanee. "Dia permata keluarga, Nak. Dia putera kami satu-satunya, yang diharapkan jadi kebanggaan saat dia pulang ke tanah air."
"...."
"Mulai dari keterampilan, pendidikan, almamater, dan kepribadian yang dia miliki ...." Kali ini suara Sanee sedikit goyang. ".... aku senang karena baru Paing yang mirip kakek buyut kami yang dokter itu. Jadi keluarga benar-benar sempat berharap banyak."
"...."
"Dia seperti--ah ... apa, ya ... ha ha ha, anggaplah aku hanya ibu yang melebih-lebihkan anaknya sendiri," kata Sanee yang mendadak mengusap matanya. "Tapi, ya Tuhan ... dia memasukkan Omega orang ke dalam kamarnya--hiks ... itu pun tanpa memberitahu kami ...."
"...."
"Kemudian mereka bergandengan di acara besar, tiba-tiba ... bahkan suamiku ditemui Tuan Fang lusanya," kata Sanee. "Dia kecewa, Nak. Mereka berdua sempat membahasmu semalam suntuk. Lalu Bie Hsu disuruh kembali ke DC."
"...."
"Tapi, apa kau tahu apa yang Paing katakan? Tolong tunggu aku sampai "selesai", Ma. Tolong percaya padaku ...."
DEG
Apo pun refleks meremas baju. Kalut parah, tapi dia tidak dalam posisi benar jika memeluk untuk menenangkan Sanee. "Oma ...."
Sanee pun menggeleng pelan. "Aku iya-iya saja pada saat itu.
Mendukungnya. Hitung-hitung biar suamiku tenang," katanya. "Tapi tahu tidak apa yang justru terjadi? Besoknya Paing tertembak. Masuk RS. Lalu suamiku mengamuk--ha ha ha ... dia bilang, jangan jenguk dia, Ma! Jangan temui sampai pulang sendiri!"
Sampai sini, Apo benar-benar tidak bisa tak menangis. Dia sampai berlutut di depan Sanee. Minta maaf. Tapi wanita itu ikut berlutut memeluk dia.
"Hiks ... hiks ... hiks ... Oma ...."
"Hiks ... hiks ... hiks ... hiks .... aku benar-benar minta maaf jika mengatakannya, Sayang. Aku hanya tidak tahan lagi ...."
Mereka pun saling menguatkan. Berbisik dengan usapan punggung. Karena situasi ini sungguh genting sekali--sial ... bagaimana bisa Apo malah menggoda kekasihnya berkali-kali? Pantas saja Paing bermimpi buruk. Mulai hilang arah dan pergi, sampai-sampai Apo tidak paham jejaknya lagi.
"No, Oma. Aku malah terima kasih sudah diberi tahu," kata Apo setelah mereka tenang. Dia juga menemui Thanawat secara personal. Bicara hati ke hati, walau sang Alpha tidak tega juga pada akhirnya.
"Sudah, sudah ... kemari ...." kata Thanawat sambil memeluk Apo. "Opa juga minta maaf sudah kasar, walau bukan di depanmu secara langsung."
"Iya, Opa."
"Yang penting lanjutkan saja karena terlanjur, dan kalian harus melewatinya sebaik mungkin."
Kata-kata yang sakit, tapi berarti untuk Apo. Dan menguatkannya untuk menunggu, meski kepulangan Paing benar-benar larut sekali.
BRRRRRMMMMMMMMM!
DEG
Apo pun terbangun dari sofa, meski baru dengar suara mesin mobilnya. Omega itu berlari ke balkon untuk melihat sang Alpha. Lalu menjawab yakin ketika sosok itu menemuinya--
Cklek!
"Phiii--"
"Apo, kau siap untuk bertamu ke kediaman Romsaithong besok pagi?"
***
Izmir, Turki
_____________
Matahari belum keluar saat Mile terbangun tanpa alasan. Dia mendadak kaget dan membuka mata. Duduk. Lalu memijit kening yang terasa pening.
Deg ... deg ... deg ... deg ... deg ....
Jantungnya juga berdetak tak terkendali. Dia bingung untuk beberapa saat. Menoleh ke samping, dan ada wajah Nazha yang terlelap dengan cantiknya.
Wanita itu bergulung dalam selimut karena kedinginan. Di luar salju mengguyuri Kota Izmir. Dan tubuhnya berbalutkan benda itu setelah aktifitas seks semalam.
"Nazha ...." panggil Mile. Dia menyentuh hidung sang istri dengan punggung jemari. Membangunkan, tapi wanita itu hanya berkedip memandang.
"...."
"Kau sudah memutuskan akan pindah kapan?" tanya Mile. "Karena aku akan tetap pergi besok. Jadi, safe flight saja dengan Alan saat ke Bangkok."
Nazha justru memunggunginya. "Hm, berangkat saja, Mile. Hati-hati," katanya. "Masih ada hal yang harus kuurus di sini. Beberapa, terutama les dan sekolah Alan yang penting. Tinggal angkat telponku kalau sudah siap."
"Oke," kata Mile. "Kalau begitu kutunggu untuk bertemu keluarga di bawah ...."
Mile pun mandi dan rapi-rapi dengan parfum. Sebab keluarga Nazha 80% Beta, maka butuh pencitraan melebihi aroma murni kalau dirinya ingin dianggap tinggi.
Mereka menyapa baik di ruang makan. Sarapan pagi bersama dia, dan segalanya berjalan normal.
Namun, baru saja Mile diajak Alan bertemu dengan samoyed miliknya, dering telepon berani menginterupsi dari tanah air.
[Calling ....]
___ Mae
Oh, tentu saja. Siapa lagi yang sanggup mengganggu di hari pernikahan kecuali orangtuanya? Songkit dan Nathanee memang langsung pulang usai resepsi. Dan mereka meng-counter perusahaan 3 hari selama Mile masih di Turki.
"Ada apa, Mae--sebentar Alan, Daddy pergi dulu ke sana ...." katanya sambil melepaskan gendongan si bocah ke lantai. "Apakah sesuatu terjadi di rumah? Mae bilang saja kalau sesuatu bisa kulakukan ...."
Suara Nathanee terdengar tenang, tapi tidak dengan kegaduhan Songkit yang baru membanting sesuatu. (*)
(*) Fyi. Thailand waktunya 4 jam lebih cepat daripada Turki. Mungkin sekarang di sana sekitar pukul 11.
BRAKKKKHH!!
PRANNGG! PRANNNNG!
"BRENGSEK! MEREKA BENAR-BENAR MINTA DIHAJAR!! ARRRGHHH!"
Hal yang membuat kening Mile mengernyit dalam. Penasaran, tapi entah kenapa dia bereaksi lebih tenang.
"Apa kau sudah tahu, Sayang? Tadi pagi perwakilan Keluarga Takhon dan mertuamu bertamu ke rumah," kata Nathanee. "Mereka mengajukan pertemuan tiga keluarga kapan pun kau bisa. Dan ini soal keinginan Apo untuk bercerai.
Mile pun melirik samoyed putih yang tersenyum di sebelahnya. Dia merasa si doggy menunggu pertunjukan yang menarik, tapi ternyata Mile hanya menjawab pelan. "Bisa."
DEG
"Apa, Sayang? Kau serius menyanggupi permintaan mereka?" tanya Nathanee nyaris tidak menyangka.
"Tentu, aku juga ingin bicara dengan Apo secara langsung," kata Mile. "Kalau pun sendirian malah mengobrak-abrik kantorku, dia mungkin bisa jaga sikap kalau di hadapan mata orang lain."
Nathanee pun menutup mulut di seberang sana. Dia pikir, Mile akan murka atau semacamnya. Ternyata sang putera bungsu sedikit berubah. "Ya Tuhan, Sayang ... kenapa jadi seperti ini ...." katanya dengan mata berkaca-kaca. "Kau tahu kan mereka siapa? Sudah bagus menjadi penyambung dengan Keluarga Achara, tapi Luhiang mungkin akan ikut terpengaruh kalau kau sekarang berulah ...."
Tatapan Mile pun meredup perlahan. "Kenapa sampai sejauh itu?" tanyanya tak habis pikir. "Mae tahu ini sebenarnya urusanku dengan Apo saja, tapi mereka bahkan tidak berani datang sendiri."
DEG
"Ah, astaga ...."
Nada suara Mile jadi kian tegas saja. "Aku tidak tolol meski mereka menyebut soal pengadilan berkali-kali," katanya. "Datang dengan pasukan berarti lemah, padahal Apo bisa menyeretku langsung seandainya cukup bukti."
Nathanee pun hanya menangis selama Mile berbicara ini dan itu. Rupanya sang Alpha tahu CCTV di kamar sudah dirusak Apo sendiri. Tinggal bagaimana kelanjutannya jika mereka nanti bertemu.
"Oke, akan kusampaikan kepada mereka," kata Nathanee sambil mengusap basah pipinya. "Yang penting kau jaga diri di sana. Tinggal beritahu kapan kau bersedia."
"Hm, Mae."
"Tapi, hiks ... hiks ... apa kau sungguhan tidak mau melepas dia?" tanya Nathanee sekali lagi. "Apo mungkin juga salah, Nak. Tapi kulihat dia sekarang sudah berubah ...."
Mata Mile tampak menerawang ketika mengingat momen pertunangannya dengan Apo, pernikahan mereka di Denmark, atau tangan mereka yang bergenggaman.
.... sebab ini bukan tentang pecahnya pernikahan, tapi mengenai seberapa kuat keinginannya untuk mengikat hal itu--Mile sendiri ingin tahu seberapa lama bisa mempertahankannya, kalau pun mereka memang sama-sama keras kepala. Bisa aku bicara denganmu dengan pikiran yang lebih tenang? Kenapa sampai melibatkan orang lain ....
Mereka pun mengobrol lama sampai Alan terlolong bengong. Menunggu. Lalu berlari memeluk kakinya karena lama.
BRUGH!
"Daddy! Mau gi?" tanya Alan dengan tatapan mata tak rela. "Ma bilang Daddy besok terbang jauh. Apa Alan boleh kut uga?"
Mile pun membelai ubun putera pertamanya itu. Dia tersenyum dan terus menatap, tapi tetap fokus kepada sang ibu di seberang sana.
"Tidak, Mae. Tidak akan," katanya tanpa keraguan. Dan jawaban itu tetap tidak berubah, bahkan setelah sambungan mereka berubah dingin.
Entahlah, karena jika Apo memang pergi suatu hari, Mile tidak mau menjadi pihak yang melepaskan. Biarlah dia jauh, jika memang itu maunya. Dan Mile ingin melihat Apo melepaskan diri sendiri.
"Tapi ini bisa membuatmu terancam, Sayang. Ini juga cukup berbahaya bagi kita. Kau tidak berpikir sampai ke sana, kah?" tanya Nathanee mencoba mendesak. "Mae tidak ingin kau hancur dengan pilihanmu sendiri, oke? Mae ini sungguhan mengkhawatirkanmu."
"...."
Mile tidak bilang apa-apa setelahnya. Dia hanya diam memandangi layar ponsel dengan waktu yang berjalan. Lalu putus sendiri karena sinyal buruk di sekitar.
Click!
"Daddy!" panggil Alan sekali lagi. Bocah itu membuat Mile menoleh padanya, tapi sulit mengakui Alan tidak lahir dari benih orang lain.
"Hm?"
Kenapa kau begitu cerdas? Kenapa kau begitu baik? Kenapa senyummu begitu lucu? Aku tidak pantas menjadi ayahmu--
"Ma bilang aku punya 3 dede ayi ...." kata Alan sambil menunjuk Blau Er yang dilihatnya di wallpaper ponsel Mile. "Apa aku boleh ketemu dede a? Aku mau ajak dede main!"
DEG
Mile pun memberikan ponselnya saat Alan menggapai udara. Dia tertegun menatap Alan tertawa senang. Mungkin karena tidak tahan dengan betapa gemasnya sang langit biru. Ah, apa Apo mungkin memberi mereka kesempatan bertemu? Rasanya benar-benar mustahil ....
"Hm, kapan-kapan, jika bisa ...." kata Mile. "Tapi Daddy tidak akan janji, oke? Kau mungkin takut kalau lihat mereka menangis bersama-sama."
Alan pun manyun-manyun dengan muka cemberutnya. "Ihhh, tidak a! Alan suka!" katanya. "Pokoknya aku mau sama mereka--ya, Daddy? Pokoknya aku mau peluk mereka ...."
Deg ... deg ... deg ... deg ... deg ....
Saat itu, Mile pun menatap Nazha yang berdiri tidak jauh dari sana. Wanita itu terlihat datar, tapi matanya berkaca-kaca. Lalu memanggil si bocah dengan ayunan tangannya. "Alan, come here ....."
DEG
"Eh, Mama!" jerit Alan yang langsung lari kepada sang ibu.
BRUGH!
"Kau masih ingin es krim yang semalam? Ma bisa belikan untukmu sekarang ...."