"I'm here, if you were."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Apa yang Apo khawatirkan ternyata terjadi juga. Baru 30 menit film diputar, triplets mulai jengah dengan suasana ruangan. Mereka merengek-rengek minta pulang, terutama Edsel yang sudah mampu duduk sendiri. Baby itu sedikit ribut melebihi yang lain. Dia menepuk tepian stroller dan mengoceh protes ke Apo, bahkan menjambak syal ketika dipeluk duduk.
"Mm ... mnnn ... oee!" jerit Edsel.
Kaylee di pelukan Archen juga mulai tantrum. Baby cantik itu menggeliat terus menerus. Tidak nyaman, bahkan Blau Er melempar dot-nya dari dalam stroller.
Prakh!
"Ya ampun, kalian ini kenapa? Dasar ...." omel Apo. Untung dia sudah sempat menyapa Thanawat dan Sanee. Jika belum, sungkan sekali rasanya kalau pulang cepat.
Dibantu beberapa orang sekaligus, Apo pun membawa triplets keluar dari dalam gedung. Paing menggendong Blau Er, Archen mendekap Kaylee, Apo mengelus-elus punggung Edsel, sementara Luhiang di sebelah bodyguard yang mendorong stroller. Namun, meski berhasil keluar cepat ... ketiga bayi tetap menggila di tempat parkir. Mereka menangis kencang bersamaan. Heboh. Sampai-sampai Luhiang ikutan panik.
"Astaga, astaga, astaga ... tadi baik-baik saja kok. Kenapa mendadak begini?"
Untung parkiran gedung itu letaknya cukup tertutup. Desainnya dua lantai dan atapnya beton. Sehingga tangisan triplets tidak terlalu ricuh sampai ke luar.
"Aku juga tidak tahu, tapi ini benar-benar masih pagi," kata Apo. "It's okay kalau langsung pulang, Phi? Mereka sepertinya tidak mau masuk lagi."
Paing yang kupingnya berdenging karena jeritan Blau Er, langsung memutari mobil dengan kunci bergemerincing. "Tentu, ayo. Mereka mungkin sudah capek."
Capek? Tidak mungkin. Seharian tadi triplets cuma tidur dan makan. Sebelum berangkat gala juga tidur lagi. Bangun-bangun waktu baru sampai gedung--tapi mungkin ini ada hubungannya dengan Mile, pikir Apo. Bagaimana pun Ayah mereka resepsi lagi. Mungkin ikatan batin yang terjalin kini sedang tergoyahkan.
"Ah ...." desah Apo tak nyaman.
Luhiang dan Archen pun ikut mengantar karena Apo tidak membawa babysitter. Mereka duduk di jok belakang, sementara Paing menyetir dengan laju normal. Ya, tentunya suasana tetap kacau di dalam sana. Lamborghini LP-750 pun tidak lagi kelihatan elegan. Sebab selain suara tangisan bayi, Kaylee mengompol dan Edsel muntah susu di dalam sana.
"OEEEEEEEEEEEEEEEEEE!!"
"OEEEEEEEEEEEEEEEEEE!!"
"OEEEEEEEEEEEEEEEEEE!!"
Sampai rumah, Apo tidak sempat meminta maaf karena bingung mengurus yang mana dulu. Triplets kompak mengamuk, meski Blau Er tetap paling mudah ditenangkan. Dia digendong Paing ke teras saat dua saudaranya masih jejeritan. Dan Alpha itu mengajak si baby untuk melihat air mancur.
Ikan-ikan kolam berenang cepat saat langkah kakinya mendekat. Awan malam agak mendung karena memang musim hujan, tapi masih lebih baik daripada Blau Er tertular Kaylee dan Edsel.
"Mmhh, mhh, mmh ...." lenguh Er di gendongan Paing. Dia sebenarnya agak tidak nyaman, tapi kedipan matanya fokus saat melihat wajah sang Alpha.
"Kau tahu? Kau mungkin takkan bisa menggantikan ayah mereka dalam beberapa segi," kata Luhiang yang mendadak muncul dari belakang. Wanita itu kelihatan agak santai. Sebab outer gaunnya sudah dicopot setelah dihadiahi muntahan Edsel.
Paing pun diam sejenak sebelum menjawab pelan. "Aku tahu."
".... really?" tanya Luhiang selidik. "Tidak sedih jika suatu hari mereka membenci dirimu?"
"...."
".... karena kulihat-lihat dua yang tadi keras kepala," kata Luhiang sambil tersenyum tipis. "Mereka mungkin merindukan Tuan Romsaithong. Pelukannya. Dan itu tak bisa didapatkan darimu."
Paing pun tertawa kecil meski suaranya hambar. "Luhiang, bisa tolong jangan bahas soal ini lagi?" pintanya. "Atau setidaknya beri aku saran harus bagaimana."
Luhiang pun menghela napas panjang. Dia tahu situasi Paing juga sangat sulit. Apalagi Apo belum lepas juga dari suaminya. "Bretha bilang kau ingin menemukan Amaara dulu," katanya. ".... tapi, menunggu sidang apa tak terlalu lama? Aku tidak tega melihat bayi-bayi lucu Apo hilang arah karena hubungan orangtuanya."
Paing pun menatap kedua mata sang rekan selidik. "Menurutmu berhadapan dengan suaminya akan berpengaruh?" tanyanya. "Kami sudah pernah bicara langsung, Luhiang. Dan dia hampir mengajakku berkelahi andai waktu itu Bie Hsu tak ada."
...
....
"Oh, serius?" tanya Luhiang setelah napasnya sempat tercekat. "Kupikir hubunganmu dengan Apo masih seumur jagung."
Paing pun menatap ikan-ikan kolam seperti merenung. "Ya, karena memang kejadiannya sebelum itu," katanya. "Lagipula kita belum memastikan apa orang-orang itu ada hubungannya. Mulai dari obat yang ada di Oslo--kenapa Mile sampai memilikinya? Apa Amaara yang memberikannya. Belum lagi siapa pelaku penembakanku ...."
Luhiang pun menatap Blau Er yang entah sejak kapan sudah tidur pulas. Dia tampak nyaman di lengan Paing, bahkan mulutnya terbuka tanda merasa aman sekali. "Hahh ... rumit, rumit ...." katanya ikutan pusing. "Tapi, selain baby semuanya baik-baik saja? Maksudku, Apo tidak bilang apa-apa soal perceraiannya?"
Paing pun menjawab apa adanya. "Tidak. Dia ikut apapun caraku nanti," katanya. ".... walau sejujurnya aku tetap berharap mereka bicara secara kekeluargaan."
Sampai sini, Luhiang rasa dia paham apa yang Paing pikirkan. Sebab sidang hanya akan menimbulkan kekacauan. Keluarnya aib ke media. Perebutan kuasa hukum secara paksa, padahal bisa diselesaikan lebih sederhana.
Seperti cerai baik-baik, mungkin? Lalu anggap saja masalah ini selesai ....
"Hahhh ... Takhon, Takhon ...." desah Luhiang sekali lagi. "Kau menyebalkan tapi tidak bisa kusalahkan juga," katanya. "Padahal, seandainya aku di posisimu. Kudatangi saja Mile Phakpum ... ayo solo leveling sebentar. Toh makin bagus kalau kalian saling seret ke pengadilan."
Membayangkan betapa ributnya hal itu, Paing pun langsung mendecih kesal. "Cih ... Luhiang ...."
"Ya kan biar cepat selesai," kata Luhiang yang sudah gemas. "Toh akhirnya terlihat juga siapa yang salah. Dari berkelahi, masalah lainnya ikut diusut. Sudah. Mereka cerai, terus kalian menikah ... done. Kau menang dan game over sudah untuk si Romsaithong."
"Ya Tuhan ...."
"Ha ha ha ha. Kenapa sih? Aku bilang begini kan sebenarnya serius," kata Luhiang yang berubah tak ada sungkan-sungkannya. "Lagipula, kau tidak kurang teknik berkelahi. Kenapa tidak sembelih saja lehernya dengan samuraimu? BUAHAHAHAHAHA!"
"OEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE!!" jerit Er yang langsung terbangun kaget.
Paing pun ingin menoyor Luhiang andaikan tega, tapi dia hanya segera melipir. Alpha itu meninggalkan rekannya tertawa sepuas hati. Toh Luhiang memang brutal kalau sudah disenggol. Biarlah dia tetap seperti itu. Setidaknya Paing memiliki penyeimbang, meskipun mereka kadang berbeda cara.
"Eh? Phii--? Apa Er menangis lagi? Sini ...." kata Apo setelah menenangkan dua bayinya yang lain. Omega itu keluar dari kamar yang dijaga Archen. Memburu Blau Er, lalu mengambil alih gendongannya perlahan-lahan.
"Iya, semua gara-gara Luhiang ...."
"Eh?"
"OEEEEEEEEEEEEEEEEEE!!!"
Apo pun tidak bertanya karena Er terlanjur tantrum. Dia membawa si baby pergi sambil menyanyikan sesuatu. Tanpa sadar dipandangi kekasihnya begitu lekat.
Mulai dari mondar-mandir di balkon. Turun tangga untuk dapat susu dari babysitter, lalu duduk di ruang makan karena tempat itu paling dekat.
"Ei ... sudah, jangan menangis lagi, hmm ... Er kan anak pintar," kata Apo sambil mengusapi pipi Blau Er. Dia juga melepas sarung tangan si baby agar lebih lega. Lalu menggenggam erat telunjuk Apo seperti takut ditinggalkan.
"OEEEEEEEE!! OEEEEEE!! OEEEEEE!!" tangisnya sambil menendang-nendang. Paing pun meremas pinggiran tangga melihat hal itu. Sampai-sampai tidak sadar Archen memperhatikannya dari belakang.
"Tuan Takhon, permisi ...." kata Archen hati-hati. Omega itu tersenyum saat Paing menoleh, lalu menunjuk belakang dengan jempolnya. "Anu, aku sudah dipanggil Nona keluar. Pamit dulu, ya. Lagipula ini makin larut ...."
Paing pun memperhatikan perut Archen sekilas, lalu ke ekspresinya yang keibuan. "Oh, iya. Maaf juga sudah merepotkanmu," katanya. "Ayo kuantarkan sampai ke depan ...."
"Umn."
Namun, setelah bicara dengan Luhiang ... entah kenapa langkah Paing serasa melayang-layang. Dia kepikiran hingga Archen dan Luhiang pulang. Dan mobil yang mengantarkan mereka tenggelam di kelokan gerbang.
SRAAAAAAAAAAAKHH!
BRAKHHHH!
Para satpam pun langsung mengurus keamanan karena hampir pukul 11. Mereka menutup gerbang depan sekaligus belakang. Beberapa bodyguard ikut menata mobil-mobil dari teras ke garasi. Tapi sumpah--pemandangan apapun yang Paing lihat, itu sama sekali tidak mendistraksi pikirannya dari topik barusan.
...
....
Lama sekali Paing menimbang bagaimana baiknya. Suara tangisan Blau Er sampai tidak terdengar lagi di dalam. Barulah menelpon Miri yang kemungkinan sudah stay di rumah.
"Halo, Oma? Maaf mengganggu selarut ini," kata Paing. "Tapi apa kita bisa bicara sebentar?"
Miri yang bersiap tidur pun duduk lagi di seberang sana. Ibu Apo itu bahkan batal menarik selimut, lalu segera fokus pada pembicaraan. "Oh, iya, Nak? Apa ada sesuatu yang bisa kubantu? Bilang saja jika Oma kira-kira sanggup."
Paing pun mengangguk pelan. "Hm, ini soal pertemuan keluarga," katanya. "Antara Wattanagitiphat dan Romsaithong. Maksudku khusus untuk membahas masalah diantara kalian."
DEG
"Eh?"
"Itu belum dilakukan, kan Oma? Tapi menurutku kita harus mencobanya dulu," kata Paing. "Karena tidak baik langsung menggunakan hukum, tapi akan kutemani kalau Oma merasa butuh dukungan."
Miri pun meremas ponsel di seberang sana. ".... ah, itu ... bagaimana ya ...." gumamnya penuh keraguan. "Apo sendiri apa sudah bersedia? Oma iya-iya saja kalau dia tak masalah."
Suara Paing pun menjadi kian tegas. "Tentu, bisa. Nanti akan kudiskusikan langsung dengannya," katanya. "Dan sebelumnya maaf kalau dariku jadi ikut campur. Tapi, kupikir ... diam di situasi ini juga kurang tepat."
"Oh, iya, Nak. Baguslah ... kau tinggal kabari kalau ada kelanjutannya,"
kata Miri. "Mungkin kita akan bahas persiapannya di lain hari? Kau hubungi Oma saja kalau punya jadwal yang free, oke?"
"Iya, Oma."
"Bagus. Dan menurut Oma malah kami yang harus meminta maaf," kata Miri. "Kau sudah banyak kurepotkan, Sayang. Salamkan juga untuk kedua orangtuamu."
"Baik, Oma. Jangan khawatirkan kalau soal itu," kata Paing. "Ma dan Pa pasti mau hadir. Tinggal bagaimana kita mengaturnya nanti."
"Iya."
"Terima kasih, Oma. Selamat malam dan selamat beristirahat."
"Hm, kau juga, Nak."
Setelah panggilan telepon berakhir, Paing pun menatap layar dengan mata tegang. Dia agak gentar, tapi hanya diam saja. Tanpa tahu Apo mendadak menggenggam tangan kirinya.
DEG
"Apo--"
"Phi ...." kata Apo saat sang Alpha berbalik. "Apa Phi baik-baik saja ....?"
.... aku akan ikut denganmu, jika kau pun ada bersamaku.