"Each step contains the meaning of the heart."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Setelah berbaring di kamar tamu yang dipersiapkan, Apo benar-benar meringkuk seperti kucing. Dia menarik selimut hingga menutupi wajah. Campuran malu dan tidak menyangka. Sumpah dia benar-benar di sini? Rasanya masih seperti mimpi.
Tapi, memang hanya Paing yang terpikirkan otaknya ketika di titik paling mengerikan.
Apo tadinya juga ingin membawa baby Er, tadi benar-benar sudah tidak kuat. Badannya sakit semua. Gamparan dan gebukan seorang Alpha itu di luar nalar, karena mereka pasti lebih bertenaga.
"Gulf ... Gulf ...." sebut Apo dalam hati. Dia lagi-lagi tremor karena ingat, kemungkinan dirinya jadi Gulf yang kedua bila tidak melawan Mile Phakpum. Jadi, apakah seperti ini yang dirasakan sahabat kecilnya dulu? Beda-nya Gulf dikerubung ramai-ramai. Dia tidak hanya melawan satu Alpha, tidak heran jika berakhir meninggal dunia.
Tapi, sebenarnya sangat-sangat disesalkan. Apo yakin Mile tidak begini sebelum berubah. Karena Alpha itu selalu memukul barang daripada menyakitinya. Dia hanya--apa ya ... terpengaruh orang lain atau sesuatu? Lagipula sejak kapan dia memakai obat-obatan separah itu?
Dan yang terpenting ... apakah Paing juga seperti Mile kalau stress dan terpengaruh obat-obatan? Bagaimana kalau nanti yang terjadi malah sama saja? Apo takut sekali.
"Tapi, Phi dan Mile memang berbeda jauh ...."
Karena selama Apo mengenal Paing, Alpha itu lebih senang melampiaskan emosi dengan olahraga gila-gilaan (dulu anggar bersamanya), boxing, seni berpedang, menembak, demo politik, dan Taekwondo. Bukannya melipir tidak jelas ke teman-teman, meskipun punya banyak sekali (Apo sendiri belum bisa begitu, padahal dia punya keahlian yang mirip. Oh--terakhir Apo stress malah pergi mabuk-mabukan ke klub malam waktu itu).
Yang lebih mengherankan adalah ... setelah kematian Fay Aaron dan Paing masuk kuliah, seniornya itu lulus dua kali lipat lebih cepat. Dia masuk kelas akselerasi. Wisuda cumlaude dengan umur sangat-sangat muda. Tes masuk ke Oxford. Lalu meninggalkan rekan-rekan sejawat di tanah air.
Singkatnya, semakin tertekan dia, semakin Paing keras kepada diri sendiri. Kenapa ada orang yang seperti itu? Apo belum pernah menemukan yang melebihinya.
"Sudah siap?" tanya Paing pada sore hari. Pukul 6, Apo benar-benar ikut masuk ke mobilnya, tapi mengenakan penampilan kasual. Dia tidak rapi-rapi berjas seperti Paing. Malahan ber-hoodie dengan masker hitam. Bagaimana pun, rupa-nya buruk sekali. Maka, jangan sampai masuk terang-terangan ke dalam restoran.
Miri, sang ibu pun terkejut saat melihat dirinya ikutan duduk. Lalu melepas masker yang menutupi seluruh luka. Wanita itu langsung menangis, karena baru tahu anak tunggalnya dihajar separah itu. Namun, Apo segera memeluk Miri agar dia semakin tenang.
Beberapa saat kemudian, diskusi yang sebenarnya pun langsung dimulai. Namun, meski Romsaithong dan Wattanagitiphat kini berpisah total ... Apo tetap meminta Paing menyambung kerja sama mereka berempat. Apalagi Luhiang sudah ikut turun tangan. Pasti ini akan menguntungkan mereka.
Paing sendiri tidak mengatakan apa-apa. Dia paham Apo ingin berterima kasih, karena bagaimanapun Mile juga mengurus perusahaannya selama hamil. Jangan sampai omongan Songkit menjadi nyata, karena Apo tidak mau jadi sosok yang dibilang "Tidak tahu cara menghargai usaha." itu.
"Sayang, Apo ... sebaiknya kau tidak memaksakan diri," kata Miri sebelum mereka pulang. "Biar Ma saja yang turun ke kantor mulai besok, hm? Nanti malah banyak omongan muncul kalau orang-orang melihat wajahmu."
"Tapi, Ma--"
"Tadi Tuan Takhon sedang mengusahakan bantuan, walau belum diberitahu detailnya." Wanita itu melirik Paing yang sibuk menelpon beberapa orang di parkiran. Setelah si A, si B. Lalu berganti lagi. Dia mondar-mandir seperti hantu Poltergeist tahun 90-an, tampak pusing juga karena sampai memijit kening. "Dan ... Ma mungkin tidak paham betul tentang company, tapi kau bisa membantu di rumah. Toh badanmu sehat kan? Soal file-file akan Ma kirimkan padamu saja. Tapi kalau survei-survei, tentu ... Ma akan gantikan nanti."
Apo pun menghela napas panjang. Memang susah sekali kalau sudah demi nama baik keluarga. Apalagi wajahnya yang terkena cukup parah. "Oke." Ah, padahal dirinya baru masuk kantor lagi kemarin.
"Terus, apa lagi ... hm, Er? Bisa tolong jaga dia saja? Di rumah sudah tidak ada orang. Dan kalau Ma hanya tinggalkan ke babysitter, no. It's bad. Kita tidak pernah tahu bagaimana tangan orang lain. Apalagi tinggal dia satu-satunya."
DEG
Tinggal dia, ya ....
Padahal secara perjanjian, ketiga baby akan jatuh ke tangan Mile andaikan mereka bercerai. Tapi, kalau ayahnya segila itu, mana bisa Apo tenang meninggalkan mereka?
"Oke, Ma. Nanti kutanya ke Phi dulu bagaimana baiknya."
"Yeah, of course. Do it," kata Miri. Lalu mengusap pipi lebam Apo sayang. Tatapan wanita itu kembali berkaca-kaca. Dan sebagai seorang ibu, dia tak perlu mempertanyakan kenapa Apo lari kepada seorang Paing Takhon. Dia bisa meraba hati putera tunggalnya. Kegelisahannya, ketakutannya, dan penolakan keras akan hadirnya trauma lama.
Oh, Miri takkan melarang, asal Apo tidak ikut pergi meninggalkannya.
Jangan seperti Gulf, Sayang. Jangan pula seperti ayahmu yang kini menjadi debu.
"Tapi Ma jangan menangis, I'm ok," kata Apo coba meyakinkan. Tapi dengan kondisi seperti itu? Miri mana mungkin benar-benar yakin. "Trust me. Alles wird gut, Ma. Alles wird wieder so wie es war." (*)
(*) Bahasa Jerman: Semua akan baik-baik saja, Ma. Semua akan kembali seperti semula.
Miri pun mengangguk, lalu memeluk Apo erat. "Sicher. Weil du mein Sohn bist. Es wird Dir gut gehen."
(*) Bahasa Jerman: Tentu. Karena kau adalah puteraku. Pasti kita kembali lagi.
Apo pun berpisah dengan Ma-nya pukul 9. Dia masuk ke mobil Paing lagi dengan langkah sulit. Lalu dibawa pergi. Oh, lihat dia. Puteranya, yang tak lagi takut bergerak di luar zona nyaman. Dia jadi semakin kuat, padahal kecilnya dulu sering sembunyi di balik kaki sang Ayah.
"Ganz ruhig, Schatz. Das sind Opa und Oma," kata Miri waktu membawa Apo pertama kali ke Heidelberg, Jerman. Untuk menemui kakek dan neneknya. Namun, sampai akhir bocah 8 tahun itu tak berani mendekat. Mungkin karena dua orang sepuh di depannya sudah berambut putih semua. (*)
(*) Bahasa Jerman: Tidak apa-apa, Sayang. Itu kakek sama nenekmu.
"Ha ha ha, Ya Tuhan. Walau aku masih tidak menyangka," kata Miri sambil memijit hidung. Dia mendadak mengingat Paing versi muda-nya. Bingung karena pernah menganggapnya sebagai putera, tapi mungkin ... suatu hari benar-benar jadi puteranya.
"Owalah. Tapi aku tidak ingat jalannya," kata Paing, begitu Apo bilang mereka harus mengambil Er di rumah dulu. Lelaki itu pun tersenyum segan, tapi tetap fokus pada jalan raya. "Hmp, maaf ya. Hampir 8 tahun aku di England, jadi kau harus memberitahu."
"Tidak apa-apa, Phi. Aku maklum kok," kata Apo. Toh itu juga alasan Paing dulu membawanya ke rumah Nodt. "Setelah ini belok kiri. Nanti kukasih tahu lagi."
"Oke."
Apo tidak tahu bagaimana isi pikiran Paing, tapi dia pribadi merasa rikuh. Bagaimana pun Alpha itu melarangnya tinggal di hotel, karena alasan keamanan dan lain-lain. Apalagi Apo dalam kondisi sekarang. Dia harus banyak-banyak dibantu pelayan. Setidaknya agar fokus ke perusahaan dan kesehatan. Namun, membawa bayi sekaligus ke rumah dia? Apa Paing sadar baru memungut kucing dengan seluruh masalahnya?
"Phi ...."
"Ya?"
Perlahan, Apo pun menyentuh jemari Alpha itu di setir. "Boleh kita berhenti sebentar?" pintanya. "Aku ingin membicarakan hal penting."
DEG
"Oke, wait," kata Paing. Lalu mengarahkan mobilnya ke tepi jalan. "What's wrong?" tanyanya setelah mengerem. "Apa ada yang terlewatkan?"
"...."
"Atau, mungkin barang tertinggal? Ponselmu?"
Apo menatap Paing dengan perasaan bercampur aduk. "Phi kenapa menyukaiku?" tanyanya. Yang langsung membuat atmosfer berat. "Maksudku, I'm a mom. Bayiku tiga. Dan sekarang wajahku seperti ini. Tidakkah Phi ingin membicarakannya? Aku tidak masalah kalau ada sesuatu."
Paing pun mengusap hidung. Pertanda dia tertekan dengan pertanyaan itu. "Kau mau aku menjawab seperti apa?" tanyanya.
Apo pun menggigit bibir. "Bis zu dir, Phi. Es tut mir wirklich leid für diesen Fall," katanya. "Aku hanya merasa kau terlalu sempurna dari segala segi." (*)
(*) Bahasa Jerman: Terserah, Phi. Aku hanya merasa buruk sekali tentang ini.
"...."
"Dan kapan hari, kau bilang akan melanjutkan perjodohan dengan Bie Hsu. Tidakkah aku hanya mengganggu? Dia juga sangat-sangat tampan. Kau pantas dapat yang terbaik diantara yang terbaik."
Paing pun menghela napas panjang. "Aku tidak tahu apakah jawabanku memuaskanmu, tapi ..." katanya, kalem. Dan pusara dalam matanya berkata dia benar-benar bingung sekali. ".... I don't know."
"...."
"Dan soal Bie Hsu, kau lebih tahu aku seperti apa. Sejak dulu, kuanggap semua orang datang dan pergi," kata Paing. "Kita dekat hari ini, belum tentu besok masihlah sama. Jadi, aku merasa ... kapan pun itu harus siap untuk sendiri."
Napas Apo tertahan karena mendengar perkataan tersebut. "...."
"It's not bad for me, Apo. Tapi ketika seseorang membutuhkanku, dan aku bisa memberikannya? Why not?" kata Paing. "Kau tidak harus merasa bersalah padaku."
"Phi ...."
"Apo--"
"But it's not fair for you, ever ...." kata Apo dengan suara goyang. "Tidakkah kau ingin mengambil apa yang benar-benar maumu? Kenapa harus memperhatikan orang lain? Kau lama-lama bisa gila, Phi!"
DEG
Paing pun menegang karena melihat betapa emosionalnya Apo Nattawin. "...."
"Stop being sincere! Apa kau tahu itu makin membuat seseorang terbebani? Ini akan lebih mudah jika kau bilang--'Apo, kau harus cepat sembuh, setelah itu menikahlah denganku. Apa kau paham?'" kata Apo. Tanpa sadar dia menjambak jas depan Paing Takhon. Kesal sekali dengan lelaki ini. Tapi jawaban Paing justru membekukannya.
".... Apa kau senang kalau aku benar-benar mengatakannya?"
DEG
"Eh?"
"Kalau pun one day kau tetap memilihku, Apo. Lakukan itu benar-benar atas maumu. Persis seperti hari ini," kata Paing. "Tapi misal semuanya selesai, dan ternyata kau masih ingin kembali padanya--just do it."
"...."
"Dengan begitu, di masa depan aku pun mungkin baru sadar, betapa beruntungnya aku pernah diinginkan seseorang yang juga kuinginkan."