Saat tiba di ruang tamu, aku melihat Fatimah tengah menangis dalam pelukan seorang wanita yang pastinya bukan bunda. Ketika melihatku, Fatimah langsung mengulurkan tangannya meminta untuk beralih ke dalam gendonganku.
"Fatimah kenapa tante?"
"Kayaknya udah bosan main. Mungkin dia ngantuk."
Tidak heran. Memang sudah waktunya Fatimah tidur siang.
"Ya udah, sini biar Furqan antar Fat ke kamar. Tante istirahat aja dulu."
"Okey deh."
Sebelum kalian bertanya, akan kuperkenalkan. Dia adalah tante Andara, adik kandung bunda. Usianya baru menginjak 23 tahun namun ia sudah membantu bunda mengelola bisnis sejak duduk di bangku SMA. Awalnya tante Andara agak keberatan dengan panggilan tante yang disematkan padanya karena ia merasa usianya masih sangat muda. Tapi, atas dasar kesopanan, pada akhirnya dia pasrah.
Seperti biasanya, Fatimah selalu tertidur dengan menggenggam jemariku. Seragam sekolahku masih lengkap, hanya ranselku saja yang sempat kuletakkan di sofa ruang tamu. Aku memperhatikan lekat wajah teduh yang tengah pulas itu. menggemaskan. Sadar atau tidak, bibirku membentuk lengkung tipis hingga aku tersadar akan sesuatu yang membuatku buru-buru bersiap.
Setelah mengganti seragamku dengan kaos dan celana jeans, aku segera menuju mobil. Pak Arya, sopir pribadiku sudah bersiap di sana. Hari ini adalah Ulang tahun Savana, adikku yang saat ini tengah bermain bersama para malaikat di tempat yang belum bisa kujangkau.
Langkahku terhenti di sebuah pusara mungil dengan batu nisan bertuliskan nama indah yang kuberikan beberapa 2 tahun silam, Savana Fahrani. Sejak hari terakhir aku memandang wajah Vana kala itu, ini adalah kali pertama aku memberanikan diri untuk datang kembali.
"Vana, Selamat Ulang Tahun sayang. Maaf yah karena kakak baru datang sekarang. Maaf karena nggak ngasih ucapan di ulang tahun pertama kamu. Waktu itu kakak takut.. kakak takut kalau kamu benci sama kakak. Kakak takut kalau kamu nggak maafin kecerobohan kakak yang udah buat kamu terbaring di sini sekarang.
Kamu tau kan kalau kakak sayang banget sama kamu, tapi maafin kakak yah, karena sekarang perasaan itu kakak bagi sama orang lain. Dia anak yang manis kok. Dia juga nggak nakal dan nggak pernah nyusahin kakak. Tapi kamu tenang aja. Kamu tetap punya tempat tersendiri di hati kakak. Kamu akan tetap jadi adik pertama kakak, nggak ada yang bisa ngubah itu.
Istirahat yang tenang yah di sana. Jangan khawatirin kakak lagi. Kakak janji akan hidup dengan baik dan jaga Fatimah dengan baik juga. Maaf karena kakak gagal jadi kakak yang baik buat kamu. Tapi kakak janji, untuk menebus kesalahan kakak, kakak akan jadi kakak yang baik buat Fatimah. Doakan kakak yah dari sana.
Oh iya, ayah sama bunda mungkin belum datang. kakak yakin nanti mereka pasti datang kok. Kakak nggak bilang ayah sama bunda kalau kakak mau datang ke sini. Nggak apa-apa kan? Ayah masih sibuk di rumah sakit. Pasiennya lagi banyak banget, jadi ayah jarang pulang.
Bunda juga lagi sibuk di butik. Tadi aja bunda titip Fatimah ke tante Andara. Kamu ingat tante Andara kan? Itu loh, yang sering bawain kamu boneka barbie dulu. Masa tadi waktu dijagain sama tante Andara, Fatimah nangis kencang banget. Tante Andara sampai kebingungan loh tadi. Kelihatan mukanya panik gitu.
Fat emang nggak suka digendong sembarangan orang. Cerewet yah? Nggak kayak kamu yang selalu senyum digendong siapapun. Coba kamu bisa ngajarin Fat biar dia nggak cengeng lagi. Tapi jangan panggil dia buat temenin kamu yah. Kakak masih mau jagain dia di sini. Nanti kalau waktunya tiba, kakak berdoa supaya bisa ketemu lagi sama kamu. Tunggu kakak yah di sana.
Vana, kakak pulang dulu yah. Udah hampir sore. Nanti Fat keburu bangun dan nangis ke tante Andara lagi. Istirahat yang tenang sayang. Nanti kakak datang lagi yah. Good bye"
Wajah polos yang tengah tertidur itu menarik atensiku. Ternyata sejak kutinggalkan hingga aku kembali dari makam Vana, Fatimah masih belum terbangun. Mungkin ia sangat lelah setelah bermain dengan tante Andara. Menatap wajahnya yang tengah terlelap menjadi candu tersendiri bagiku. Seakan hal itu mampu menjadi oase di padang pasir ketika luka dalam hati ini kembali terbuka.
"Peri kecil, jangan cepat tumbuh dewasa yah. Kakak masih mau temani tidur kamu seperti hari ini. Kakak takut kalau nantinya waktu justru jadi musuh kedekatan kita. Kelak kamu akan punya kehidupan dan dunia kamu sendiri seiring kamu tumbuh dewasa. Tapi, dunia kakak akan selalu jadi milik kamu sampai kapanpun. Kakak janji nggak akan pernah tinggalin kamu sendirian lagi."
Aku mengecup kening peri kecilku sebelum akhirnya menyusulnya ke alam mimpi.
Lelapku terganggu ketika kurasakan tangan mungil tengah menepuk pipiku dan menjambak lembut rambutku. Ulah siapa lagi jika bukan Fatimah? Ia tengah duduk seraya tersenyum ke arahku ketika aku membuka mata.
"Fat kok udah bangun?"
"nyeum...nyeum..." Suara imut dengan bahasa alien itu meluncur dari bibir mungilnya. Ternyata dia sedang kehausan.
"Ya udah. Yuk kita ke dapur. Kakak bikinin susu yah"
Aku membawa Fatimah ke dalam gendonganku karena tidak mungkin meninggalkannya di kamar sendirian ketika terbangun seperti ini. Setelah meletakkannya di atas kursi khusus yang sering ia gunakan untuk makan, aku menuju dapur. Ini bukan pertama kalinya aku membuat susu untuk Fatimah sehingga aku sudah sangat hafal dengan takarannya.
"Kamu ngapain Fur?"
"Lagi mau buatin susunya Fat tante."
"Emang bisa?"
"Bisalah. Orang udah biasa"
"Emang yah, buah jatuh nggak jauh dari pohonnya?"
"Kenapa?"
"Dulu, bunda kamu juga sama. Tante bisa ada di posisi ini sekarang karena bunda kamu. Ngerawat tante dari kecil, sampai bunda kamu kuliah sambil kerja buat biaya sekolah tante. Ngeliat kamu sesayang itu sama Vana, dan sekarang Fatimah, buat tante sadar kalau kamu mirip banget sama bunda kamu. Dan kelak, seperti bunda kamu yang akhirnya jadi kakak dan bunda terbaik, kamu juga pasti bakalan jadi kakak dan ayah terbaik buat Fat dan anak kamu nanti."
"Tante mikirnya kejauhan. Aku nggak masalah jadi kakak yang baik tapi jadi ayah yang baik masih terlalu jauh tante."
"Yah kan nantinya kamu juga bakal nikah Fur."
"Aku bakalan nikah kalau Fat udah nikah aja. Biar ada yang bisa gantiin aku jagain dia"
"Susah yah ngomong sama pengidap Sister complex."
Aku tersenyum melihat tante Andara yang menggelengkan kepala sambil memijat keningnya sendiri. Tante Andara kemudian sibuk memberikan susu yang sudah kubuat kepada Fatimah. Sepertinya mood peri kecilku cukup baik. Ia bahkan tak segan tertawa saat Tante Andara mengajaknya bercanda.
"Fur, tante tau kamu sayang banget sama Fatimah. Tapi kedekatan saat kecil dan dewasa itu kan beda. Suatu saat Fatimah akan punya dunianya sendiri. Kamu mungkin nggak akan lagi jadi prioritasnya. Dia bakalan punya teman, pacar, atau orang yang dia suka. Gimana kalau saat itu tiba, kamu nggak bisa kasih kebebasan itu ke dia dan malah jadi over protective?"
"Aku nggak tau apa yang akan terjadi ke depan tante. Tapi yang pasti, aku nggak akan halangi apapun keinginan dia. Kalau aku nggak bisa jaga dia dari dekat, aku bisa kan jaga dia dari jauh? Tugasku memastikan dia baik-baik aja, bahagia, dan selalu punya tempat untuk pulang. Yang jelas dia nggak boleh pacaran, itu hanya akan bawa dampak buruk buat dia. Nggak ada yang boleh sentuh dia kecuali aku, ayah, dan suaminya nanti."
Apa yang diucapkan tante Andara sama sekali tidak salah. Aku sering mendengar cerita Navya ketika mengeluhkan kakaknya. Katanya saat kecil ia sangat dekat dengan sang kakak, namun semenjak kakaknya menikah, ia mulai merasa ada dinding tak kasat mata yang menghalangi keakraban mereka. Aku tidak ingin hal yang sama terjadi pada Fatimah. Jika boleh, selamanya Fatimah tidak boleh merasa kehilangan sosok kakaknya. Bahkan jika suatu saat nanti aku harus menikah, ia akan tetap menjadi tanggung jawabku dan akan tetap menjadi yang utama bagiku. Semoga aku bisa menepati janji ini.
TO BE CONTINUED