"Sebenarnya antivirus itu udah ditemuin."
Sarah buka suara, memberitahu kelima orang yang sekarang sedang berkumpul di ruang tengah. Membahas sesuatu yang perlu dibahas. Rencana menghentikan kebijakan benteng yang tak berperikemanusiaan dan menyelamatkan calon penyumbang kekebalan sebelum mereka tak terselamatkan.
"APA?!" Biru dan Arival berseru bersamaan.
Sarah menghela napas. Ini pasti sangat mengejutkan. Pasalnya ini menyangkut antivirus yang akan membersihkan dunia dari kekacauan. Antivirus yang nyaris 20 tahun lamanya dicari dan diteliti oleh banyak orang di dunia.
"Antivirus virus Moscow maksudnya?" Merapi bertanya. Sarah mengangguk membenarkan.
Arisa hanya diam mendengarkan, sama seperti Susan di sebelahnya. Mereka berdua juga terkejut, tapi memilih tidak berkomentar apapun.
"Sejak kapan antivirus itu ketemu?" Kini ganti Arival yang bertanya.
"Tiga bulan yang lalu. Antivirus itu awalnya formula yang dibuat Bibi Arin," jawab Sarah. Dia menelan saliva.
Arisa langsung menegakkan badan ketika nama ibunya disebut.
"Ibu pernah buat formula?" Arival bertanya lagi.
Sarah mengangguk, "Formula itu disimpan di laboratorium."
"Dua setengah tahun ini, para ilmuwan di benteng berusaha nyempurnain kinerja formula tersebut. Tiga bulan yang lalu, percobaan antivirus itu dilakuin. Ada sepuluh infected yang ditaruh di ruang kaca tertutup. Setelah itu antivirus tadi disemprotin. Penyebarannya lewat udara. Dan kurang dari sedetik, infected itu langsung tumbang. Mereka mati."
Semua menatap tak percaya mendengarnya.
"Setelah itu ruangan kaca tadi dinetralin. Antivirus itu hilang nggak berbekas," lanjut Sarah.
Sarah berhenti berbicara sejenak. Ia menarik napas, menelan ludah susah payah. Arisa yang sedari tadi memperhatikan Sarah mengerutkan dahi samar. Ia memang tidak tahu apa-apa. Tapi mencermati tatapan gadis itu, ia tahu ada beban berat yang sedang dipikulnya. Ada sesuatu yang sedang Sarah sembunyikan.
"Penggunaan antivirus itu ditunda. Para ilmuwan diminta tutup mulut tentang penemuan antivirus ini. Dia bilang masih banyak orang yang harus disembuhin. Misalnya Papa Mama Blue yang baru ditemuin dua minggu yang lalu. Jadi proyek pengambilan kekebalan masih terus berjalan. Ada nyaris 45 orang yang dia korbanin tahun ini, termasuk kalian bertiga. Dan kita nggak bisa biarin 42 nyawa lainnya melayang karena dia." Sarah melanjutkan bicaranya. Arisa bisa mendengar Arival tak jauh darinya menggumamkan kata sial.
"Dia? Dia siapa maksudnya?" Susan bersuara.
Sarah terdiam. Dia ingin menjawab, tapi Biru di sebelahnya lebih dulu menyela. "Paman Arktik, pamanku," katanya. Biru menatap kosong meja di depannya. Rahangnya terkatup kuat, berusaha menelan bulat-bulat rasa sedih dan kecewa yang sedang ia rasakan.
Arival hanya menghela napas, sedangkan Sarah mengulurkan tangannya menyentuh pundak Biru, nampak berusaha menguatkan. Gadis itu ikut menatap sedih ke arah Biru. Dan astaga... Arisa sekali lagi benci perasaan yang sedang menghampirinya sekarang. Ia tidak suka sama sekali pemandangan di depannya. Rasanya ia ingin sekali menggantikan posisi Sarah yang berada di samping Biru.
Apa-apaan itu?
Sarah menghela napas panjang, "Maka dari itu, kita nggak bisa kabur gitu aja. Kita harus buat rencana dan pergi ke benteng. Misi kita ambil antivirus itu dan selamatin 42 orang lainnya. Mereka perlu bantuan kita," ucapnya. Kelima orang lain di ruangan mengangguk takzim, menyetujui ucapan Sarah. "Dia juga harus kita lumpuhin lebih dulu," lanjutnya mantap. Tanpa bertanya lagi, semua tahu jika 'dia' yang dimaksud Sarah adalah Paman Arktik atau paman Biru.
"Gimana kalau bunuh sekalian?" tanya Merapi dan langsung dihadiahi sikutan oleh Susan di sebelahnya. Merapi mengaduh pelan. Sikutan Susan tidak main-main.
"Payah. Jangan gitu, Merapi. Dia itu paman Blue. Jaga perasaan Blue dong." Susan berucap pelan ke Merapi, lebih tepatnya berbisik. Namun masih bisa didengar penghuni satu ruangan.
Biru tersenyun getir. Ia tidak peduli dengan perasaannya sekarang. Ia lebih mengkhawatirkan perasaan seseorang lain di ruangan ini.
"Kita lihat aja akhirnya, Lang. Takdir nggak ada yang tahu," ujar Sarah.
Arisa menghela napas, berusaha mengalihkan topik. "Apa Riva ma Fadilah termasuk 42 orang itu?"
Arisa teringat dengan teman satu basecamp-nya saat di permainan pikiran. Riva, Fadila, Nabila, Lulu, Ziza, Santi, Ali, Teguh, dan temannya yang lain. Ia yakin itu pasti bukan nama asli mereka, juga bukan ingatan asli mereka.
Apa mereka masih di permainan pikiran? Apa mereka baik-baik saja?
Sarah mengangguk, "Setengah dari calon penyumbang kekebalan itu umur 15 sampai 25 tahun. Sisanya bervariasi, 26 sampai 60 tahun paling tua. Maka dari itu kita nggak bisa ngebiarin nyawa mereka ditukar gitu aja. Itu sama sekali nggak adil. Bukan berarti kalau mereka punya kekebalan, mereka harus kasih kekebalan mereka untuk orang lain terus mati. Apalagi dalam kasus ini mereka dipaksa kasih hal itu. Semua orang berhak hidup. Kalau seseorang nggak kebal dan akhirnya kalah dan mati, kenapa orang yang kebal dan nggak tahu apa-apa harus jadi korbannya? Menukar takdir? Itu sama sekali bukan sesuatu yang bener. Setiap manusia punya takdir terbaiknya."
Semua mengangguk takzim. Perkataan Sarah sungguh benar. Takdir semua manusia telah ditentukan.
Susan bertanya, "Apa kita bertiga juga harus pergi ke benteng?"
Itu pertanyaan penting yang tak terpikirkan oleh Arisa. Pasalnya sekali mereka bertiga tertangkap di benteng, pemanenan akan dilakukan saat itu juga. Dan itu juga berarti nyawa mereka akan melayang tanpa menunggu.
"Kalian harus ikut." Sarah yang menjawab. "Pasukan benteng lebih mudah deteksi kalau kalian menetap di satu tempat. Iya kan, Val?" Ia menoleh ke Arival, meminta pendapat.
Arival mengangguk, "Kalian harus ikut."
Arisa, Susan, dan Merapi mengangguk paham mendengarnya.
"Aku denger pemanenan dilakuin kurang dari waktu 6 jam ini." Kini Biru yang berbicara.
"Enam jam lagi? Itu sebentar banget." Susan berucap tak percaya, agak terkejut. Dalam hitungan kematian, enam jam itu terlalu cepat.
"Maka dari itu, kita harus cepet-cepet pergi ke benteng. Kita cuma punya waktu sedikit sebelum pemanenan itu dilakuin," terang Biru.
Sarah mengangguk menyetujui, "Antivirus itu juga disimpen di tempat rahasia. Kita harus cari lebih dulu tempat penyimpanannya. Kemungkinan besar ada di gedung lab. Butuh waktu cukup lama cari antivirus itu," jelas Sarah.
Ia berucap lagi, "Banyak yang bakal bantu kita di sana. Ada beberapa ilmuwan yang aku kasih tahu tentang kebusukan Paman Arktik diam-diam. Mereka pasti bakal bergerak bantu kalau aku minta. Blue juga bilang ada beberapa tim pasukan benteng yang udah tahu dan berpihak ke kita. Jadi kita bakal lebih mudah masuk dan ambil alih," katanya.
"Lagipula kebanyakan ilmuwan di divisi yang ngurusin proses pemanenan kekebalan sebenarnya nggak setuju kebijakan yang dibuat Paman Arktik. Mereka terpaksa. Mereka juga merasa nggak aman. Keselamatan keluarga mereka bahkan diri mereka sendiri kadang nggak terjamin. Paman Arktik bisa pilih siapa pun orang-orang benteng yang bakal jadi calon penyumbang kekebalan. Nggak peduli itu orang penting atau orang biasa. Buktinya, dia pilih Elang, Arisa, dan Susan yang jelas-jelas keahliannya punya manfaat besar buat benteng," lanjut Sarah.
"Aku jadi mikir," Biru berucap, "mungkin karena antivirus itu bakal digunain dan musnahin semua infected, Paman Arktik pengen habis-habisan ambil orang-orang kebal di benteng buat nyelamatin nyawa orang yang jadi infected lebih dulu sebelum mereka ikut mati karena antivirus. Lagipula Bibi juga belum ditemuin."
"Aaaah, aku paham. Mungkin maksudnya dia mau jual serum kebal itu ke Presiden Rusia atau Amerika Serikat lebih dulu. Biar kaya dan keliatan berjasa bagi dunia." Merapi berucap penuh sarkasme. Sejak tahu apa yang sebenarnya terjadi, ia jadi sangat membenci seseorang yang disebut-sebut Paman Arktik oleh Biru dan teman-temannya. Tentu saja Merapi benci. Arktik-lah satu-satunya sebab mengapa nyawanya dan nyawa orang lain hampir melayang.
Arival menghela napas, "Biru bener. Kemungkinan besar karena itu."
Semua di dalam ruangan hanya ikut mengangguk menyetujui.
"Sarah, emang kamu nggak kebal? Kenapa kamu nggak kepilih kayak kita?" Arisa berucap tiba-tiba. Pertanyaan itu mengganjalnya sejak tadi. "Arival juga. Dia kan kebal dan nggak terlalu penting. Kenapa nggak kepilih?" Arisa melirik Arival tak jauh darinya dan langsung dihadiahi pelototan.
"Dasar, adik nyebelin," ujar Arival.
Arisa terkekeh.
"Arival itu bisa dibilang anak emas Paman Arktik. Dia itu jenius," ungkap Sarah. Arival melirik ke arah Arisa, menyeringai sembari menaikkan kedua alisnya membanggakan diri. Arisa yang melihatnya hanya bisa mencibir dalam hati.
"Ada banyak ahli komputer dan peretas di benteng. Tapi nggak ada yang sekeren dan selihai Arival. Bahkan beberapa sistem keamanan yang ada di benteng dibuat sama dia. Mungkin karena itu, Arival nggak dipilih Paman Arktik meskipun dia kebal." Sarah menerangkan.
Arisa mengangguk mengerti, ber-oh ria dalam hati, lalu kembali bertanya, "Kalau kamu?"
"Hmmm... aku nggak kebal. Di antara kita berenam, yang nggak punya kekebalan cuma aku." Sarah tersenyum getir.
Arisa malah terkagum. "Wow, kamu masih bisa bertahan hidup selama ini tanpa keinfeksi? Itu keren banget! Berarti kamu masih terus suntuk vaksin sampai sekarang?"
Arisa teringat cerita Biru tadi malam. Tentang vaksin yang ditemukan untuk memberi kekebalan sementara. Vaksin yang disuntikkan beberapa minggu sekali agar virus Moscow tidak mudah menjangkiti.
Sarah mengangguk membenarkan. Ada perasaan tak enak yang ia rasakan. Pertanyaan Arisa sungguh menghantamnya. Membuatnya harus berbohong sekian kalinya untuk menutupi kabut abu-abu tentang dirinya.
"Tahu dari mana tentang vaksin itu?" Arival bertanya.
"Blue yang cerita," jawab Arisa. Arival ber-oh ria.
"Blue kebal kan? Kenapa nggak dipilih?" Tanya Merapi tiba-tiba.
Susan di sebelahnya menghela napas lelah. "Apa itu perlu dipertanyakan? Mana mungkin paman Blue ngorbanin nyawa keponakannya."
Merapi nyengir di tempatnya.
"Dasar! Katanya ganteng, tapi suka nggak mikir." Arisa ikut mencibir.
"Oke-oke, langsung aja. Jadi apa rencananya?" Merapi langsung bertanya pokok pembahasan.
Arival menghembuskan napas. "Aku, biru, sama Sarah sebenernya udah buat rencana," jawabnya. "Nah, rencana kita adalah—"
Dor!
Ucapan Arival terhenti karena suara letusan tembakan terdengar, disusul lengkingan Thor yang berlari masuk ke rumah. Arisa reflek menutup telinga, bergerak mendekat ke arah teman-temannya. Suara memekakkan itu sungguh mengejutkannya. Susan dan Merapi juga tampak panik di tempat.
Suara bising terdengar dari luar. Arisa menoleh ke jendela di sampingnya, melebarkan mata. Ada beberapa helikopter yang mengangkut pasukan bersenjata terbang ke rumah kayu tempatnya berpijak. Arisa yakin itu pasti pasukan dari benteng. Bagaimana bisa mereka tertangkap terlebih dulu sebelum rencana dibicarakan?
Ini sungguh buruk.
"Angkat tangan!"
Jantung Arisa berpacu dua kali lebih cepat ketika banyak pasukan memasuki rumah, menodongkan senjata ke arahnya dan kelima temannya. Para pasukan itu mengambil posisi di sepanjang jalan masuk, menunggu aba-aba. Biru dan Arival yang berada di paling depan mengangkat kedua tangan mereka. Thor di paling ujung juga diam tak berkutik.
"Turuti aja permintaan mereka," ujar Arival di depan Arisa. Arisa dan temannya yang lain hanya bisa ikut mengangkat tangan.
Arisa sungguh takut sekarang. Ya, dia takut mati. Mengingat dirinya akan menjadi objek pertama yang akan dipanen membuat perasaannya bercampur aduk. Ketakutan, itu hal yang paling ia rasakan sekarang.
"Ini gimana...?" cicit Arisa, masih mengangkat tangan di posisi yang sama.
"Jangan takut, Arisa. Kamu tetep aman." Biru bersuara pelan, menjawab tanpa menoleh.
Arival di sebelah biru ikut menimpali, "Justru ini rencananya."
Dahi Arisa berkerut. Tapi ekspresi itu langsung tergantikan dengan tatapan terkejut ketika melihat sesosok pria bertubuh besar dan tegap masuk ke ruangan. Sosok yang sepertinya merupakan komandan dari pasukan-pasukan di belakangnya. Sosok yang sangat Arisa kenali.
"The Rock?" Susan berucap tak percaya di samping Arisa.
Ya, pria itu The Rock. Dia melangkah mendekat ke arah Arisa dan teman-temannya, memandang satu persatu keenam orang yang berada di dalam ruangan, mengabsen dalam hati.
"Bawa mereka semua!" titahnya, lalu balik kanan meninggalkan rumah kayu.
Arisa menelan ludah. Dia benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.