webnovel

An Empty World (END)

Pernahkan kalian membayangkan bangun di pagi hari dan mendapati dunia kosong tanpa seorangpun? Itu yang Arina Rahmawati rasakan. Gadis 17 tahun yang kebingungan mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan buminya, dunianya. Kejadian yang tidak bisa dinalar dan mengerikan muncul satu per satu. Bertemu beberapa teman yang juga ia rasakan setelah mengembara mencari orang yang tersisa. Tidak hanya itu, kesakitan demi kesakitan menghantamnya. Hal mengerikan muncul tidak kenal lelah. Sampai puncaknya, ia membunuh keluarganya sendiri dengan tangannya. Tapi bukan itu masalah terbesar Arina. Bukan dunianya yang jadi masalah. Ada hal yang lain yang menunggunya. Di dunia lain. Di dunia yang tak tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kebenaran satu per satu muncul. Dunia kosong tidaklah nyata. Itu hanya sebuah percobaan semata. Fresh and original. Start: Mei 2018 End: Desember 2019

IamBlueRed · 科幻言情
分數不夠
57 Chs

28-She Was Kidnapped

Arina mengusap wajahnya, menghela napas panjang. Ia baru saja bangun dari mimpinya. Mimpi yang sama seperti sebelumnya. Entahlah. Arina terlalu penat untuk memikirkan mengapa mimpi itu terus mendatanginya. Berubahnya seluruh manusia di dunia beberapa jam yang lalu telah merenggut separuh pikirannya. Sesuatu yang mengerikan sekaligus menyedihkan. Sesuatu yang tak pernah Arina bayangkan sebelumnya.

Arina menoleh ke sekat di sampingnya. Sejenak teringat percakapan terakhirnya dengan Biru di dapur. Biru mungkin sudah terlelap sekarang.

Waktu menunjukkan pukul 02.45 dini hari di jam dinding. Arina baru tidur dua jam kurang. Dan sekarang kerongkongannya terasa kering. Ia butuh air putih.

Arina menyibak selimut, beranjak turun dari ranjang tingkatnya. Baru akan turun tangga, tak sengaja matanya menatap kamera serta tripod yang tergeletak di atas lemari pakaian. Dia belum mengambil video dokumenter hari ini-lebih tepatnya kemarin, karena jam ini sudah pergantian hari. Dan Arina tidak akan mengambilnya kali ini. Mengingat kejadian tadi malam saja sudah cukup membuatnya menderita, apalagi jika ia harus menceritakannya di depan kamera.

Tidak. Arina tidak akan melakukannya. Dia tidak akan mengambil video dirinya yang bersedih. Meskipun Arina berjanji dalam hati akan menjadi seseorang yang lebih kuat, tetapi tetap saja. Bagaimana jika di tengah-tengah video ia menangis, banjir air mata? Itu memalukan. Lagipula tidak baik jika kesedihan selalu diingat.

Arina kembali turun, mengabaikan kamera dan tripodnya yang sudah tidak dipakai sehari.

Keadaan kamar remang. Hanya ada satu lampu yang hidup. Sisanya dimatikan. Semua teman sekamarnya yang jumlahnya hampir dua puluh sudah tertidur. Seperti yang Ausans ceritakan sebelumnya, mereka semua menangis sampai tidur. Membawa kesedihan yang mereka rasakan ke alam mimpi.

Arina menutup mata sejenak, mengontrol diri agar tidak kembali larut dalam kesedihan. Benar adanya jika wanita selalu membawa perasaan dalam keadaan apa pun. Beruntung Arina bisa mengontrolnya dengan baik-sedang belajar menjadi orang tangguh. Jadi tidak terlalu merepotkan.

Arina menarik napas, membuka pintu logam, berjalan keluar kamar. Keadaan lorong menuju dapur sama remangnya seperti di kamar. Hanya beberapa lampu yang dinyalakan. Sisanya dimatikan untuk menghemat daya. Lorong ini lebih sepi daripada yang ia lewati terakhir kali. Mungkin karena semua orang telah kembali ke kamar masing-masing.

Arina melangkah cepat. Suara sandalnya menggema. Sampai dapur, ia langsung mengambil gelas, mengisinya dengan air, lalu meneguknya sampai habis. Kerongkongannya kembali basah.

Arina menoleh ke pintu dapur, terdiam. Suara seseorang melangkah terdengar. Arina menajamkan pendengarannya. Suara itu menghilang, muncul kembali beberapa detik kemudian. Apa masih ada orang yang belum tidur? Atau terbangun seperti dirinya?

Ingin memastikan, Arina beringsut bangkit dari duduknya. Ia berjalan ke pintu, menoleh ke kanan kiri. Tidak ada siapapun. Hanya ada lorong yang lenggang.

Arina menelan salivanya. Suara langkah kaki kembali terdengar. Bukan dari lorong tempat Arina berpijak. Suaranya dari lorong lain. Beberapa saat kemudian, suara itu kembali menghilang, tidak terdengar. Dan entah mengapa otak Arina jadi berpikir yang tidak-tidak.

Apa itu zombie? Hantu? Atau memang manusia?

Belum selesai Arina menduga-duga, suara Brownie menciap terdengar sangat kencang. Mirip seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Brownie tidak akan menciap sekeras itu kecuali jika ada sesuatu yang tidak beres terjadi. Arina tertegun sejenak. Buru-buru ia pergi ke ruang kandang hewan, ingin memastikan apa yang terjadi dengan Brownie.

Arina pergi ke lorong sebelah kiri, lalu belok ke kanan setelah beberapa meter. Arina langsung mendekat ke pintu yang ia ketahui tempat Brownie berada, membukanya. Pintu logam berdecit pelan. Arina menyapu pandang ke ruangan lumayan sempit itu. Tertegun. Seseorang dengan hoodie hitam berdiri di depan kandang Brownie.

Brownie masih menciap. Ndeso dan Ndesit di sebelahnya yang berbeda kotak kandang masih tidur, tidak terganggu oleh ciapan Brownie sedari tadi.

Arina melangkah ke depan, ingin tahu. Seseorang itu hanya diam, tidak bergerak sedikitpun. Entah ia laki-laki atau perempuan.

Mengapa ada orang di kandang malam-malam seperti ini? Apa yang ingin orang itu lakukan?

Pikiran-pikiran negatif segera memenuhi kepala Arina.

"Kamu siapa?"

Seseorang depan Arina berbalik ke arahnya perlahan. Arina menunggu dengan jantung berdetak dua kali lebih cepat, khawatir.

Arina membelalakkan mata, terkejut melihat wajah seseorang di depannya. Seseorang itu menyeringai kejam, mengerikan. Arina ingin berteriak saat itu juga. Terlambat. Gerakan seseorang di depannya lebih cepat. Seseorang itu mendekat, menutup hidung dan mulut Arina dengan sapu tangan. Itu bukan sapu tangan biasa. Baunya menyengat, seperti eter. Arina yakin sapu tangan itu telah diberi sesuatu. Triklorometana atau kloroform. Anestesi yang penggunaannya telah dilarang karena bersifat karsinogen. Ya, cairan itu yang Arina hidu baunya.

Beberapa detik kemudian penglihatannya memburam. Hitam. Gelap. Kesadarannya mulai menghilang. Saat itu juga Arina sadar. Hal yang mengerikan telah menunggunya di depan mata.

Seseorang di depannya tidak akan bermain-main dalam menyakitinya.

***

Esok hari.

Kamar Ausans dan kawan-kawan ramai. Menghilangnya Arina nyaris membuat panik seluruh basecamp. Terutama Biru. Seluruh sudut basecamp telah didatangi, tetapi Arina tetap tidak ditemukan. Malah ada yang berniat mencari di atas, di luar basecamp. Tapi The Rock dan Ivan menolak, bilang tunggu keputusan Jenderal Joko karena suasana di luar basecamp tidak kondusif.

Merapi berlari cepat menuju kamar Ausans, mengetuknya. Pintu dibuka. Merapi tersengal, membungkukkan badan. Lari di lorong panjang basecamp membuatnya lelah.

"Ada apa?" Ausans bertanya, terkejut melihat Merapi yang mengetuk pintu.

Merapi berdiri tegak, berusaha menormalkan napasnya. Fadilah, Riva, serta yang lain ikut mendekat, juga ingin tahu mengapa Merapi datang.

"Tadi Biru turun ke sel bawah. Terus," Merapi berhenti sejenak, mengambil napas, masih tersengal, "Arival nggak ada. Semua penjaga sel terbunuh. Ada penyusup datang tadi malam dan ngebebasin Arival. Dan kemungkinan terbesar ... Arival juga yang culik Arina."

Semua yang mendengarnya membelalakkan mata. Ini berita buruk. Arival kejam. Tidak bisa dibayangkan jika Arina ada di tangan Arival sekarang. Belum selesai kejadian menyedihkan tadi malam menghilang dari pikiran, kejadian menyedihkan lain datang dengan tiba-tiba dan tanpa ampun.

Begitulah manusia. Entah manusia bumi atau mars. Mereka semua tidak pernah puas membalas dendam dan menyakiti. Mereka selalu ingin lebih. Tak peduli akibat dan rasa sakitnya.