Siang ini Olivia keluar dari gedung gereja dengan senyuman yang tak luput dari wajah manisnya, setelah keluar dari kawasan gereja Olivia tampak sedang menunggu seseorang.
"Hey Oliv, sudah lama menunggu?" Aditya menyapa Olivia, tidak lupa dengan senyumannya
"Engga kok Dit, kamu ga bawa motor?" Olivia celingukan mencari kendaraan Aditya
"Ohh aku bawa mobil kok tapi ku parkir di masjid yang biasanya" Olivia mengangguk
"Udah jam segini, kamu gak sholat?" tanya Olivia lagi
"Ya habis ini lagian belum adzan kok, ke mobil yuk biar gak kepanasan nunggu aku sholat"
Mereka berjalan beriringan menuju masjid yang dimaksud Aditya tadi, kini Olivia sedang duduk di mobil sambil memainkan Hpnya. Tak sengaja Olivia melihat sebuah foto yang terdapat di casing Hp milik Aditya, Olivia tersenyum membaca tulisan yang ada difoto itu.
'Semoga Tuhan tidak memisahkan kita:)'
"Semoga aja Dit, tapi kayaknya kita udah berjalan terlalu jauh aku gak yakin Tuhan bakal terus mempertahankan kita" Olivia tersenyum miris
Tak lama kemudian Aditya masuk dengan rambut yang lumayan basah, dia memperhatikan Olivia yang masih memperhatikan foto tersebut.
"Kita berjuang bersama ya, kalau memang Tuhan tidak menghendaki aku bakalan mengalah" ucapan Aditya membuat Olivia menatap tajam ke arahnya
"Dit kita udah pernah janji soal ini, ga ada yang mengalah. Agamamu ya agamamu, dan agamaku ya agamaku. Aku gamau kamu ninggalin Tuhanmu hanya untuk sebuah rasa cinta yang bisa berubah kapan aja"
Inilah yang membuat mereka bertahan walau ada jarak agama, walaupun jarak mereka tidak terhitung jauhnya, mereka tetap menjaga ajaran yang telah mereka ikuti sejak masih kecil.
Aditya tersenyum, "Iya baiklah, kalau gitu kita cari makan siang aja yuk"
.
.
.
Saat Olivia turun dari mobil milik Aditya, dirinya disambut oleh ayahnya yang sedang duduk sambil membaca koran.
"Ohh nak Adit, gak mampir dulu nak" ayah Olivia melipat koran yang dibacanya
"Enggak om, Adit mau langsung pulang aja" setelah mencium tangan ayah Olivia, Aditya langsung kembali ke mobilnya
"Kalau gitu hati-hati dijalan nak"
"Iya om makasih"
Mobil Aditya sudah tidak terlihat, Olivia melihat ayahnya yang juga melihat ke arahnya. Saat hendak masuk ke rumah, tangan Oivia di tahan oleh ayahnya.
"Ayah gak pernah melarang kamu berpacaran dengan siapapun, hanya saja kamu harus ingat Tuhan kita berbeda dan ayah tidak ingin kamu meninggalkan Tuhan kita hanya karna sebuah cinta kepada sesama manusia"
Olivia tersenyum, "Tenang aja yah, mungkin nanti akhirnya kami berpisah, biarkan kami merasakan manisnya hubungan ini. Nanti setelah kita berpisah aku mau pergi jauh dari sini"
"Ayah akan selalu mendukung pilihanmu, asalkan dirimu tidak akan menyesal nantinya" ayahnya mengelus kepala Olivia, "Udah sana masuk, besok kamu libur kan, kita ketemu sama ibumu ya"
Olivia mengangguk sebagai jawaban, dan masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan sama sekali.
Malam harinya selesai makan malam Olivia mendekam dikamarnya, dirinya tampak sangat serius menuliskan sesuatu. Olivia tidak menyelesaikan tulisannya, dan lebih memilih untuk berbaring dikasurnya, dia memandangi langit-langit kamarnya
"Andai saja kita ga pernah ketemu, semuanya ga bakal serumit ini. Aku berharap keputusan yang kita ambil nantinya tidak akan melukai diri kita sendiri ya"
.
.
.
Sudah terhitung 3 tahun Olivia dan Aditya menjalin hubungan, dan selama itu pula Aditya menyembunyikan hubungan mereka dari orang tuanya. Aditya hanya tidak ingin Olivia dihina oleh orang tuanya, karna dirinya lahir di sebuah keluarga dengan ajaran agama yang sangat ketat.
Saat ini Aditya dan kedua orang tuanya sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius, dinilai dari wajah Aditya yang datar sekali.
"Abi berencana menjodohkanmu dengan putri teman abi" bagai tersambar petir Aditya sama sekali tidak bisa mengubah ekspresinya
"Abi sama umi tau kalau kamu sedang berpacaran dengan Olivia, tapi kamu tau sendiri itu tidak akan bisa bertahan hingga ke tahap yang serius"
Rasanya hati Aditya seperti tersambar ratusan petir, dia menghela nafas sebelum menjawab abinya "Boleh beri Adit kesempatan untuk memikirkan hal ini, karna Adit rasa ini juga mempertaruhkan masa depan Adit" Aditya hendak beranjak dari ruang keluarga
"Baiklah abi beri waktu 3 hari untuk memikirkannya"
.
.
.
Aditya memanfaatkan waktu 3 hari untuk berpergian dengan Olivia, mereka sudah mengunjungi banyak sekali tempat wisata yang diinginkan oleh Olivia. Mereka benar-benar menikmati waktu mereka berdua, dan hari ini rencananya Aditya akan memberitahu Olivia.
Saat perjalanan menuju rumah Olivia, Aditya menepikan mobilnya lalu menatap Olivia dengan wajah yang sanat serius
"Aku mau ngomong tentang sesuatu hal sama kamu"
Olivia tersenyum, "Boleh mau ngomong apa?"
Tapi belum sempat Aditya berbicara dirinya menangis, hal itu membuat Olivia terkejut dan berusaha menenangkan Aditya yang tangisannya semakin membuat dada Olivia sesak. Karna Olivia merasa bahwa Tuhan akan mengakhiri semua ini.
Setelah tangisan Aditya mulai mereda, Aditya mulai berbicara "Maafkan aku, seandainya saja waktu itu aku gak membuat kamu terluka mungkin kita ga bakal sejauh ini"
Olivia memeluk Aditya, dadanya terasa sesak sekali dan Aditya melanjutkan perkataannya, "Maafkan aku, mungkin setelah ini kita tidak akan pernah bisa bertemu lagi. Abi menjodohkanku dengan putri teman dekatnya, dan aku tidak bisa menolaknya"
Kini giliran Olivia yang menangis, tapi dia masih mencoba untuk membalas perkataan Aditya, "Sudah kuduga hal ini akan terjadi, tapi tenang saja aku sudah janji untuk pergi jauh setelah hubungan ini berakhir, jadi kau tidak perlu takut kalau kau tidak akan bisa mencintai calon istrimu nanti"
"Maafkan aku Olivia, andai saja waktu itu aku tidak keras kepal mengajakmu berpacaran, mungkin kau tidak akan terluka seperti ini"
"Tidak ada yang perlu disesali karna ini adalah kemauan kita berdua, tidak perlu merasa bersalah karna kita menjalankan hubungan ini berdua. Aku akan segera pergi setelah ini, sekarang berhentilah menangis dan menyalahkan dirimu karna masa lalu tidak akan bisa diubah"
Tangisan mereka mulai mereda, malam sudah semakin larut, dan sepanjang perjalanan pulang suasana mobil yang biasanya di isi nyanyian mereka, kini sunyi sekali.
Sampai di rumah Olivia, seperti biasanya ayah Olivia kan menunggu di teras untuk menyapa Aditya yang mengantar pulang anaknya. Tetapi malam ini terasa berbeda, karna Olivia langsung berlari masuk ke dalam rumah tanpa menunggu Aditya meninggalkan kawasan rumah mereka.
Ayah Olivia juga terkejut saat Aditya tiba-tiba berlutut di hadapannya, "Nak, berdirilah jangan berlutut seperti itu"
Aditya tidak mendengarkan perkataan ayah Olivia dan masih berlutut didepannya, "Om maafkan saya tidak bisa membuat anak om bahagia selama ini, maafkan saya karna telah menyakiti hatinya" Aditya menangis untuk kesekian kalinya
Ayah Olivia menghela nafas, seolah mengetahui jika hal ini akan terjadi "Berdirilah om tidak akan menghajarmu kok, karna om juga tidak bisa menghalangi Olivia untuk mencari kebahagiannya.
"Kalau boleh om tau apa alasan kalian berpisah?"
Aditya berdiri tapi matanya menatap ke arah bawah, "Saya di jodohkan om"
"Sudah om duga, kalau begitu kau harus bahagia setelah ini karna pasti keputusan orang tuamu adalah yang terbaik bagimu. Setelah ini om dan Olivia akan pergi jauh dari sini, jadi kau tidak perlu khawatir soal Olivia nantinya"
"Maafkan saya om, saya sangat menyesal"
"Sudahlah ini sudah malam, pulanglah sekarang dan hati-hati di jalan"
"Saya pamit om" Aditya meninggalkan kawasan rumah Olivia, dan ayah Olivia segera masuk kerumahnya untuk memastikan bahwa putrinya baik-baik
.
.
.
Sudah berjalan 1 bulan sejak Olivia dan Aditya berpisah, hari ini Olivia akan menepati janjinya untuk pergi jauh tapi sebelum itu Olivia mampir ke rumah Aditya untuk memberikan surat yang telah dipersiapkannya dulu. Saat sampai di teras rumah Aditya, Olivia mengetuk pintunnya dan dibukakan oleh ibu Aditya
"Loh nak Oliv, mau ketemu Adit?"
Olivia menggeleng dan memilih untuk menyerahkan surat itu lewat ibu Aditya, "Enggak te, Oliv Cuma mau ngasih surat ini ke Adit, Oliv titip sama tante ya"
Ibu Aditya menerima surat itu, dan ada sedikit perasaan bersalah pada Olivia karna sudah membuat Olivia patah hati, "Maafkan tante ya Oliv, dan tenang saja surat ini akan sampai ke Adit"
Olivia tersenyum dan menicum tangan ibu Aditya "Kalau gitu Olivia pamit dulu ya tante, terima kasih"
Setelah Olivia benar-benar sudah pergi, ibu Aditya segera memberikan surat tersebut pada Aditya, dan surat itu langsung dibuka oleh Aditya.
'Untuk Aditya Prayoga yang telah membuatku merasa bahagia selama ini, terima kasih telah menerima perbedaan kita selama ini, kau selalu saja bilang kalau kau akan mengalah tapi aku selalu melarangmu karna aku tidak mau kau berpaling dari Tuhanmu hanya karna sebuah perasaan cinta pada sesama manusia.
Karena aku tau semesta akan marah jika tasbihmu bertemu dengan salibku, dan masjidmu bersanding dengan gerejaku. Jadi memang kita berdua tidak bisa memaksa untuk terus bersama, kuharap kau mengerti.
Saat menulis pembukaan surat ini, sebenarnya aku sudah berpikir untuk mengakhiri hubungan kita tapi ternyata kau duluan yang mengakhiri hubungan. Aku tidak pernah menyesal telah menjalin hubungan denganmu, jadi janan pernah merasa bersalah karna kau tidak akan menyukai hal itu.
Setelah ini aku akan memulai kehidupan baru dengan bahagia, jadi kau tidak perlu khawatir dengan keadaanku. Setelah ini juga kau harus berjanji untuk selalu menjaga calon istrimu, karna kalau kau menyakitinya aku akan merasa sakit juga. Aku akan pergi jauh setelah ini, jangan pernah mencariku dan hiduplah bahagia bersama keluargamu'
-Olivia Yudhistira-
Disisi lain, Olivia kini sudah pergi meninggalkan tempat dimana banyak kenangan indah yang dia bangun bersama Aditya. Melihat Olivia yang terus melamun, membuat ayahnya sedikit khawatir.
"Jangan melamun dong, tenang saja pasti Tuhan sedang merencanakan sesuatu yang baik bagi kita hambanya yang setia"
Olivia tersenyum sebagai balasan atas perkatan ayahnya, tapi di dalam hatinya semuanya terasa menyesakkan bagi dirinya. Olivia tidak pernah menyalahkan Tuhan atas keadaannya saat ini, karna memang Olivialah yang memilih untuk berhubungan dengan Aditya.
"Semoga di kehidupan selanjutnya kita hanya terpisah jarak, bukan terpisah sebuah dinding kokoh yang bernama agama"
END