Kita melihat sepintas lalu ada sebagian rezeki datang kepada kita, kita ketahui sebab-sebabnya dan kita berusaha menghasilkan sebab-sebab rezeki itu. Dan ada pula sebagian rezeki datangnya tanpa melalui sebab-sebab yang kita ketahui dan dalam otak kita sunyi dari lintasan pada sebab-sebab tersebut. Tegasnya, hal keadaan ini dapat kita katakan ada rezeki yang kita dapati itu melalui makhluk manusia atau langsung dari Allah s.w.t., yakni tidak diusahakan sama sekali datangnya rezeki itu, dan tidak terfikir oleh kita bahwa kita mendapatkannya.
Semua rezeki yang datang kepada kita ada yang betul-bctul merupakan kurnia Allah s. w.t. sebagai rahmat dan nikmatNya, dan ada pula yang kebalikannya. Untuk mengetahui hakikat ini, marilah kita pelajari dalam Kalam Hikmah Ibnu Athaillah Askandary yang ke-88:
"Pemberian dari makhluk berarti haram (pada hakikat), dan larangan dari Allah berarti kebaikan."
Penjelasan Kalam Hikmah ini adalah sebagai berikut:
I. Apabila manusia memberikan sesuatu kepada kita dalam sifat bagaimanapun, lantas pemberian itu kita terima, sedangkan kita lupa kepada Allah s.w.t., maka pemberian tersebut pada hakikatnya bukan merupakan nikmat Allah yang sebenarnya. Atau dengan kata lain pemberian tersebut pada hakikatnya bukanlah nikmat dan rahmat dari Allah s.w.t. Sebab kita melihatnya sesuai dengan keinginan kita, syahwat kita dan keuntungan sekedar lahiriahnya semata-mata.
II. Apabila Allah mencegah pemberianNya dan kurniaNya atas kita, bukan berarti bahwa Allah bakhil, atau Allah tidak adil dan sebagainya.
Tetapi kadang-kadang hal keadaan itu merupakan kebaikan Allah, merupakan kurniaNya, nikmatNya dan rahmatNya kepada kita selaku makhlukNya. Ini apabila kita tidak lupa kepadaNya, malah kita bertambah dekat kepadaNya. Jika Allah dengan menahan nikmatNya itu ke atas kita, boleh menyebabkan bertambah keimanan kita, serta kita menjadi lebih dekat kepadaNya, maka Allah menahan kurniaNya itu pada hakikatnya adalah kebaikan Allah atas kita.
Karena itu maka wali-wali Allah s.w.t. dan hamba-hambaN ya yang saleh lebih mau memilih tidak mendapat apa-apa dari Allah, asal mereka dapat dekat dan lebih dekat kepadaNya. Sebab Allah adalah pokok kecintaan mereka. Jadi apa saja yang ditentukan yang tercinta adalah disukai dan dicintai.
III. Kenapakah demikian?
Sebab apabila mereka tidak diberikan kurnia macam-macam oleh Allah, berarti mereka harus berlindung kepadaNya dan selalu berhadapan denganNya.
Sebab Allah tidak memberikan sesuatu itu bukan karena bakhil, bukan karena tidak punya, dan bukan karena Dia memerlukannya. Tidak, sekali-kali tidak!
Tetapi Allah tidak memberikan kurniaNya itu kepada kita pada hakikatnya adalah pemberian yang sebenarnya dari Allah pada kita. Orang yang dapat menanggapi hal keadaan ini adalah teman yang bersangkutan, teman yang dapat dipercayai dalam perkataannya dan d;ilam perbuatannya, sebab temanlah yang tahu dengan keadaan seseorang, dan bukan orang lain.
Inilah yang menyebabkan Abu Hubaib Al-Badawy r.a. bertanya kepada Sufyan Tsaury sebagai berikut:
"Apakah hal saya memohon sesuatu kepada Allah, kemudian Allah menahanku? Sufyan Tsaury berkata: Tuhan tidak memberikan pada anda itu berarti pemberian, sebab Tuhan tidak memberi itu bukan karena kikir dan bukan pula karena tidak ada."
Kemudian Syeikh-Mahyuddin bin Araby berkata pula:
"Apabila Allah menahan anda berarti itulah pemberianNya, dan apabila Allah memberi anda berarti itulah laranganNya. Maka anda pilihlah meninggalkan atas mengambilnya."
Dari ini semua dapat kita fahami apabila kurnia-kurnia Allah dan nikmat-nikmatNya melupakan kita, maka takutilah hal keadaan itu.
Justeru itu tidak ada nikmat sama sekali atau kurang dari mencukupi kadangkala itu lebih baik buat kita. Sebab terikat kepada nikmat adalah lebih sulit daripada tidak ada nikmat. Jalannya bahwa tidak ada nikmat itu dapat diatasi dengan sabar, dan sabar lebih mudah bagi hamba Allah yang saleh daripada melaksanakan syukur yang sempurna kepadaNya.
Di samping itu pula nikmat yang datang dengan perantaraan makhluk kadangkala secara tidak langsung hati kita tersangkut kepadanya, dan ini boleh membawa kepada dekat kita kepada manusia di samping jauh kita kepada Allah. Karena itu Syeikh Abu! Hasan As-Syazli r.a. telah berkata: "Takutlah anda pada kebaikan manusia lebih banyak dari anda takuti pada kejahatan mereka. Karena kebaikan mereka mengenai anda pada hati anda, sedangkan kejahatan mereka mengenai anda pada fisik anda. Kena anda pada badan adalah lebih baik dari anda kena pada hati. Sesungguhnya musuh di mana anda kembali kepada Allah dengan musuh itu adalah lebih baik dari seorang teman yang menghambat-hambat anda pada jalan Allah."
Karena itu hamba-hamba Allah dalam melihat nikmat dan kurnia Allah ialah bahwa mcreka tidak ingin pada sesuatu nikmat jika tidak memberikannya.
lbarat baju tidak mau kita terima jika orang yang kita kehendaki tidak mau memakaikan (memberikan) baju itu kepada kita. Demikian pula dengan dunia ini, mereka itu tidak mau menerimanya, jika Allah s.w.t. tidak memberikannya.
lnilah maksud kata sya'ir: Aku tidak ingin pakai baju jika selain Engkau memakaikan kepadaku. Aku tidak menerima dunia jika selain Engkau yang memberikannya padaku.
Demikianlah perasaan hamba-hamba Allah yang saleh hingga sampai kepada hal-hal yang menurut kita sepele, tetapi bagi mereka besar dan menjadi perhatian.
Kesimpulan:
Pemberian makhluk manusia jika dibarengi dengan lupa kepada Allah s.w.t. berarti bukan rahmat Allah dan bukan nikmatNya.
Tetapi kebaikan Allah pada hakikatnya terletak pada apa yang di- tentukan olehNya. Jika Tuhan menentukan tidak memberikan apaapa pada hambaNya dan sebab itu lebih dekat kepada Allah, berarti itulah nikmat dan rahmat yang sebenar-benarnya pada pandangan kacamata hakikat.