Satu tahun! Waktunya untuk hidup hanya tersisa satu tahun. Bukannya dia baru saja meninggal?!
Tidak, Marisa tidak mau meninggal lagi disaat dia baru saja hidup. Ayo pikirkan cara untuk menghindari semua masalah ini dan keluar dari keluarga ini. Dari ingatan 'Marisa' sejauh ini, sekarang mereka masih baru di bagian awal cerita. Diana baru saja masuk ke dalam kehidupan mereka sekitar enam bulan lalu dan itu artinya 'Marisa' belum melakukan hal-hal gila lainnya. Dia masih bisa menyelamatkan dirinya.
"Oh, Nona! Kau sudah bangun!" suara pekikan bahagia dan terharu itu memutus pikiran Marisa. Di pintu kamarnya berdiri seorang wanita paruh baya yang sepertinya beberapa tahun lebih tua dari Alisa dan Lukman, menatap Marisa penuh haru hingga mata yang terlihat basah. "Kepala pelayan! Kepala pelayan! Nona sudah bangun. Cepat panggil dokter!" Detik berikutnya pelayan itu berlari keluar dari kamar Marisa dan berteriak memanggil kepala pelayan.
Dari ingatannya, wanita itu adaah Bi Ina, pengasuh 'Marisa' dan Mario sejak kecil. Wanita itu dengan telaten mengurus 'Marisa' ketika Alisa sedang sibuk dengan pekerjaannya dan juga orang yang menjadi tempat pelarian 'Marisa' ketika perhatian Alisa beralih kepada Diana. Di novel, Bi Ina juga yang ada disisi 'Marisa' hingga dia menghembuskan napas terakhir. Menurutnya, Bi Ina jauh lebih seperti ibu untuk 'Marisa' dibandingkan Alisa.
Bi Ina kembali terlihat di pintu kamar Marisa bersamaan dengan seseorang, "Nona, dokternya sudah datang." Seorang lelaki dengan pakaian putih masuk ke dalam kamar Marisa. Dengan sopan dokter itu memberikan senyum dan juga sapaan kepada Marisa.
"Bagaimana perasaanmu sekarang, Nona Darmadji?" tanya sang dokter sambil memeriksa tubuh Marisa. "Kepalaku terasa sakit dan tubuhku lemas." jawab Marisa jujur. "Apa kau bisa memberiku obat yang mengurangi rasa sakitnya?" Dokter itu mengangguk paham dan segera menuliskan resep obat untuk Marisa. "Yang kau alami itu adalah hal wajar mengingat kau terjatuh cukup tinggi walau tidak sampai membahayakan nyawamu. Saya akan memberikan obat untuk pemulihan. Nona bisa beristirahat selama yang diperlukan hingga semua luka Nona sembuh. Saya akan ke sini lagi minggu depan untuk mengecek."
Begitu dokter pergi, Bi Ina segera menghampiri Marisa. "Nona, syukurlah kau sudah sadar. Aku sangat khawatir dengan keadaanmu. Aku tidak tahu harus bagaimana karena Nyonya dan Tuan tidak ada di rumah." ujar Bi Ina sambil mengelap sudut matanya yang berair. Marisa merasa canggung. Bagaimana pun juga wanita di depannya ini adalah orang asing, setidaknya untuk Marisa bukan pemilik tubuh asli ini.
"Maaf.... uhuk! uhuk!" Tenggorokannya yang kering membuat Marisa tersedak. "Nona, anda tidak apa-apa? Tika! Tika! Cepat bawakan air untuk Nona." teriak Bi Ina sambil mengusap punggung Marisa. "Nona maaf, seharusnya saya lebih perhatian." Kerut wajah Bi Ina begitu khawatir akan keadaan Marisa. Hatinya terasa sakit melihat anak yang dia besarkan dalam keadaan lemah seperti ini. "Bi, ini minumnya." Tika, salah satu pelayan disini, masuk dengan nampan berisikan air putih.
Bi Ina mengambil gelas itu dan perlahan membantu Marisa untuk minum. "Nona sudah lama tidak sadar, jadi cepat minta koki untuk hangatkan bubur untuk Nona Marisa. Dia perlu meminum obatnya." Perintah itu segera Tika laksanakan dan tidak lama kemudian Marisa melihat Tika datang lagi dengan semangkuk bubur. "Nona, walau sedikit ayo makan dulu, kau harus banyak makan agar cepat sembuh."
Sambil menaruh bubur di atas meja khusus untuk di atas kasur, Bi Ina melihat wajah Marisa yang semakin tirus karena dia sakit. Mendapat perhatian dan pelayanan baik seperti ini membuat Marisa tidak nyaman. Seumur hidupnya dia belum pernah mendapatkan perlakuan seperti ini. Menyuapkan bubur ke dalam mulutnya, Marisa merasa perutnya terasa hangat. Mungkin karena tubuh ini belum terisi apapun semenjak terjatuh, bubur ini terasa begitu nikmat.
Melihat makan Marisa lahap, kekhawatiran Bi Ina sedikit berkurang. Dia semakin bersemangat untuk membuat banyak makanan untuk Marisa agar dia cepat sembuh.
"Papa, dimana?" tanya Marisa di tengah makannya. Rasanya aneh sekali jika seorang anak sakit tapi tidak ada orangtuanya yang datang satu pun. "Itu...Nona...," Bi Ina dan Tika saling berpandangan. Mereka terlihat bingung harus mengatakan apa. "Tuan sedang keluar kota karena ada pekerjaan, Nona. Iya, dia bilang, dia sibuk saat ini." jawab Tika dengan gugup.
"Mama....apa mama tahu aku jatuh?" Baru saja Tika menghela napas lega, sekarang dia kembali panik karena pertanyaan Marisa. Tidak ada satu pun pelayan yang berusaha melaporkan masalah ini baik kepada Tuan ataupun Nyonya. Sudah menjadi peraturan umum jika Nona dan Tuan muda terluka, sakit karena Tuan maka tidak boleh ada yang membahas mengenai hal itu. Kejadian itu akan dianggap tidak ada.
Melihat bagaimana reaksi Tika dan wajah tidak berdaya Bi Ina, Marisa bisa menduga apa yang terjadi. "Aku sudah selesai makan. Berikan aku obatnya. Aku ingin tidur kembali, tubuhku lelah." ujar Marisa sambil mengulurkan tangan meminta obat. Setelah meminum obatnya, Marisa kembali berbaring lalu menyuruh Bi Ina dan Tika keluar dari kamarnya. Dia butuh waktu untuk sendiri.
Melihat kedua orang itu meninggalkan kamar dan pintu sudah tertutup rapat. Marisa kembali berpikir. Kejadian ini adalah awal mula hubungan 'Marisa' dengan Alisa memburuk. 'Marisa' merasa ditinggalkan sendirian tanpa ada yang peduli kepadanya membuat proses kesembuhan 'Marisa' terasa begitu menyakitkan. Apalagi dengan para pelayan tidak membawa 'Marisa' ke rumah sakit membuat semua jauh lebih berat untuk 'Marisa'.
Jadi saat ini Alisa, Mario dan Diana ada diluar negeri sementara Lukman menikmati waktunya bersama selingkuhannya. Lukman sengaja mengirim ketiga orang itu agar mereka semakin dekat satu sama lain sementara 'Marisa' dia jauhkan dari keluarganya. Itu artinya sampai tahun ajaran baru dimulai Marisa akan sendirian di rumah. Dia bisa melakukan apapun.
Hal pertama yang harus Marisa lakukan adalah pindah sekolah. Berbeda dengan 'Marisa', dia sama sekali tidak punya bakat di bidang seni dan Marisa harus menghindari hal itu. Cara termudah adalah pindah sekolah. Adiwidia Art High School adalah sekolah menengah atas seni nomor satu di Kota Jati, itu adalah sekolah Marisa, Diana dan Mario. Berbeda dengan sekolah menengah atas atau kejuruan lainnya, AAHS melakukan tes kenaikan sekolah lebih cepat dari sekolah lainnya. Ini karena mereka memiliki banyak kegiatan yang berhubungan dengan seni.
Ujian kenaikan kelas dilaksanakan dari akhir bulan Maret hingga awal bulan April dengan penguman di pertengahan bulan April. Lalu pada akhir bulan April, siswa yang memiliki peringkat tinggi akan berangkat keluar negeri selama tiga bulan untuk merasakan belajar di salah satu sekolah seni di sana. Bagi yang tidak ikut, mereka bisa mengikuti kompetisi lokal untuk menunjang protofolio mereka untuk masuk universitas. Maka itu, tiga bulan ini tidak dianggap libur bagi murid AAHS.
Untuk bisa pindah sekolah, Marisa hanya perlu menghubungi wali kelasnya lalu meminta surat pindah. Semua ini dia bisa minta kepala pelayan untuk menyelesaikannya. Marisa harus berbohong sedikit untuk membuat lelaki tua itu mau menurutinya.