Hari yang indah dimulai dari rumah. Hari ini dengan sangat percaya diri aku akan mencoba mendapatkan teman sebanyak-banyaknya. Aku akan membangun relasi di tempat baru ini.
Aku berjalan menaiki anak tangga, selangkah demi selangkah. Aku tidak begitu berharap sekelas dengan teman-teman yang sudah aku kenal. Seperti yang aku bilang sebelumnya aku ingin mendapatkan teman baru. Teman-teman yang tidak mengetahui masa lalu ku, teman-teman hanya tahu aku yang sekarang bukan aku yang dulu. Dan jelas sekali aku ingin menyembuhkan trauma ku.
Aku berjalan melewati kelas demi kelas, ku lihat selembar kertas HVS yang ditempel di tiap jendela di dekat pintu masuk. Berurutan berisikan nama-nama siswa yang akan mengisi kelas tersebut.
Aku mulai dari kelas sepuluh IPA empat, kertas yang menempel dengan rapih di sana tidak menuliskan namaku di dalamnya. Jumlahnya sekitar empat puluh anak dan di urutan awal tidak tercantum nama Alyshanum Arayna.
Beralih menyusuri kelas di sampingnya lagi, menerobos kerumunan siswa baru yang sama-sama ingin mencari namanya berada di kelas mana. Untung saja badan ku tidak terlalu besar jadi aku bisa menyelip di sana sini. Sambil berdesakan aku membaca satu persatu nama-nama yang tertulis di kertas tersebut. Dan lagi-lagi namaku tidak tercantum di sana.
Setelah mengetahui nama ku tidak ada di sana, aku langsung keluar dari kerumunan tersebut. Berpikir sejenak, apa jangan-jangan aku tidak masuk jajaran kelas IPA karena soal-soal psikotes kemaren aku jawab dengan asal.
Aku menggelengkan kepala ku, membuang pikiran itu jauh-jauh. Aku akan sangat menderita jika tidak masuk jajaran kelas IPA. Bukan karena stereotip masyarakat yang membuat ku ingin masuk dalam kelas IPA, alasanya karena aku amat sangat tidak bisa menghafal, sedangkan jajaran kelas IPS semua pelajarannya mengharuskan dihafal. Aku paling benci pelajaran sejarah, terlebih ekonomi. Bukannya aku benci pada sejarah, hanya saja harus membaca tulisan-tulisan tanpa gambar yang tidak ada akhirnya itu membuat ku cepat mengantuk dan lagi nama-nama yang sulit serta tahun-tahun yang pastinya harus dijawab dengan tepat itu menyebalkan sekali. Kita harus mengisi jawaban sesuai dengan buku dan memang benar-benar harus sesuai. Karena sejarah hal yang memang pernah terjadi sebelumnya, atau sebuah kesepakatan para sejarawan? Entahlah hanya Tuhan yang tau pasti bagaimana semua itu bermula.
Aku mengedipkan mataku tersadar telah menutupi jalan koridor yang sempit karena banyaknya siswa yang berkerumun, lantas aku melanjutkan berjalan ke arah kelas sebelahnya. 10 IPA 2.
Kerumunan di depan kelas IPA dua ini tidak terlalu padat seperti kelas sebelumnya. Mungkin karena kelas ini sedikit terpisah dari kelas lain. Letaknya di pojok dan tidak ada jendela di samping pintu masuknya. Karena itulah kertas pemberitahuannya ditempel di pintu masuknya.
Aku membaca satu persatu nama yang tertulis di sana, berharap ada namaku di sana. Mataku berhenti di urutan nomor tujuh, tepat di bawah siswi yang bernama Alya terdapat namaku di sana. Ah, ya. Akhirnya.
Langsung saja aku memasuki kelas tersebut, yang ternyata baru ada dua orang siswa di sana. Satu orang siswa duduk tepat di samping jendela di ujung sana. Dan satu lagi seorang siswa berbahu lebar duduk di seberangnya.
Asik, belum begitu ramai. Aku bisa memilih tempat duduk ku kalau begitu. Lantas aku mulai mengisi bangku kosong di urutan kedua dari depan, selisih dua meja dari siswa yang berbahu lebar itu. Seorang cowok yang sangat fokus dengan ponselnya, auranya terasa begitu dingin.
Tak beberapa lama, satu per satu siswa dan siswi mulai memasuki kelas dan mengisi bangku-bangku yang kosong. Sejauh ini aku masih belum tau atau bisa dibilang belum mengenali mereka semua.
•••
Esoknya aku datang pagi sekali, seperti biasanya. Ajaibnya sudah ada seseorang di sekolah yang bisa di prediksi datang jauh lebih pagi dari ku. Cowok berbahu lebar yang duduk dua bangku di belakang ku. Aku menghampirinya.