Acara pertemuan kedua keluarga itu sudah selesai. Keyna malah disuruh Ibunya untuk pulang bersama Ken saja. Hal itu membuat Keyna makin kesal. Dan ia malah enggan berdiri dari tempat duduknya membuat Ken menoleh jengkel.
"Kau pulang saja, aku bisa pulang sendiri." kata Keyna jutek. Ia merasa tak sudi jika di antar pulang oleh Ken, dan ia tak mengerti kenapa Ibunya bisa meninggalkan pada lelaki ini.
"Aissst, tapi Ibumu menyuruh ku untuk mengantarkan mu pulang. Turuti saja." katanya kesal. Keyna menoleh aneh, ia menggusap kepalanya, lalu berdiri. Meraih tasnya di atas meja dan beranjak pergi lebih dulu dan diikuti Ken dari belakang. Sepertinya Keyna harus membuang sedikit rasa bencinya pada lelaki ini. Ken kini menyamakan langkah kaki Keyna.
"Jadi kau playboy akut yang selalu dipuji Ibu ku, kau lulusan terbaik Harvard." tanya Keyna tak percaya. Ken mengangguk tersenyum.
"Tentu saja, kau mendengar semua yang baik tentang ku, tapi kau mengingat semua yang jelek tentang ku," balas Ken bangga dan Keyna menoleh kesal.
"Kenapa kau masih sama seperti dulu, tinggi mu tak bertambah dan kau bertambah cantik." Ken mendekat melihat ke arah Keyna yang masih setinggi bahunya, lalu terkekeh. Keyna sontak saja menjauh. Menatap Ken kesal.
"Aissst, kau sangat menyebalkan bagaimana bisa Ibuku menjodohkan ku dengan lelaki paling playboy di dunia ini dengan ku, sial apa yang melandaku." jujur Keyna sedikit emosi membuat Ken tertawa.
"Setidaknya kau bisa diajak bicara baik-baik setelah kita menikah, jangan banyak berpikir. Ayo! Aku antar pulang, aku tak bisa lama-lama disini." ucap Ken membuat Keyna menoleh serius. Ken membuka pintu mobilnya untuk Keyna.
"Kenapa? Aku yakin pacarmu sedang menunggu mu?"
Tanya Keyna tersenyum miris.
"Yah, aku akan menceritakannya padamu setelah kita menikah, sekarang aku tak punya waktu untuk itu." kata Ken menutup pintu mobil itu setelah Keyna masuk. Keyna memajukan mulutnya manyun.
Melihat Ken sekarang masuk. Keyna merasa tidak sudi jika satu mobil seperti ini dengan Ken. Tapi mau bagaimana lagi. Sepertinya ia harus menerimanya saja. Ken mulai memacu mobilnya dengan kecepatan sedang.
"Bisa ku pastikan hidupku hancur berkeping-keping setelah menikah dengan mu,"gerutunya kesal. Ken hanya tersenyum samar, setidaknya Keyna bisa diajak bicara baik-baik setelah mereka menikah.
"Tidak akan, aku akan menjagamu baik-baik. Percayalah padaku." katanya sontak membuat Keyna tertawa keras. Itu tidak mungkin.
"Kau masih suka merayu ternyata. Aku jijik mendengarnya." sahut Keyna cepat dan Ken kini gantian tertawa.
"Harusnya kau bersyukur dijodohkan dengan ku. Jika aku bukan orangnya, aku yakin kau makin menderita." jelas Ken lagi. Keyna memajukan mulutnya manyun.
"Aku benar-benar minta maaf waktu itu. Jujur aku mencari mu setelah itu. Tapi kau menghilang. Mari lupakan kejadian itu." jelas Ken serius membuat Keyna tersenyum sinis. Tapi tidak semudah itu.
"Kemana kau menghilang setelah itu, kau tak terlihat lagi disekolah, padahal tinggal sebantar lagi kau lulus." Tanya Keyna heran kembali mengingatnya.
"Aku pindah ke Sidney dan sekolah di sana." sahut Ken cepat.
"Oh benarkah? Kenapa mendadak, kau menghilang seperti hantu." ucap Keyna tampak curiga.
"Yah... Begitulah." Ken mengangguk sedikit. Membuat kedua alis Keyna terangkat penuh tanda tanya.
"Sesuatu terjadi padaku malam itu, jadi Ayah ku mengirim ku dengan cepat ke sana, besok ku ceritakan, aku tak bisa mampir, aku buru-buru." Ken memasang wajah tergesa-gesa melihat ke arah Keyna di sampingnya. Mereka sudah sampai d depan rumah Keyna.
"Baiklah, terserah kau saja." Keyna turun dari mobil Ken cuek dan berjalan tanpa menoleh sedikitpun pada Ken.
"Aissst, dia bahkan tak mengucapkan selamat malam padaku, cueknya meningkat seribu persen." gerutu Ken kesal kembali memacu mobilnya. Melihat Keyna menghilang di balik tembok tinggi rumahnya. Ia kini berjalan menuju ayunan kayu di depan rumahnya dan mengambil duduk di sana. Perasaannya semakin berantakan sekarang. Bahkan Keyna tak habis pikir kenapa orang itu, Ken?.
"Ah... Sialan." gerutunya sambil mengacak rambutnya frustasi. Semua sulit ia terima.
***
"Ken? Kenapa kau lama sekali?" Laura langsung memeluk Ken didepan pintu apartmennya membuat Ken menoleh kesal, hal yang selalu ia hindari memang.
"Maaf. Menjauhlah." ucap Ken sedikit tak nyaman dengan perlakuan Laura padanya.
Ken selalu menghindar, melepaskan pengangan tangan Laura yang melingkar di tubuhnya dengan cepat dan berjalan ke arah Sofa. Ini selalu dia lakukan, menolak untuk di sentuh Laura. Entahlah. Kennard tidak mengerti, ia tidak menyukainya.
"Apa kau punya mi instan? Aku tak bisa makan makanan hotel." ucapnya berbohong melihat ke arah Laura yang berdiri di depannya.
"Aku punya banyak, mari kita makan, tunggulah, aku akan memasaknya untuk mu." ucap Laura semangat langsung menuju dapur apartemennya. Ken bernapas lega, untung saja dia punya ide, kalau tidak, bisa jadi Laura masih menempel padanya sampai sekarang.
Ken menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa mengingat kembali pertemuan ia dan Keyna beberapa jam yang lalu, yang akan diijodohkan dengannya.
"Keyna?? Ini sulit diterima akal sehat ku." Ken mengaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, ia teringat ucapan Galvin beberapa waktu lalu. Ucapan Galvin ada benarnya. Dan orang itu malah Keyna.
***
Ken masuk kedalam Apartemen milik Galvin tanpa permisi. Dia sudah hapal password apartemen itu.
"Kau datang?" Galvin menurunkan buku yang baru dibacanya, meletakkan di atas meja, melihat Ken berjalan dengan lambat ke arahnya. Wajahnya tampak kusut dan lebih kusut dari kemarin.
"Bagaimana tadi malam?"
"Apa tebakan ku benar, dia mantan mu?" Galvin tertawa kecil melihat Ken mengambil duduk di sofa di sampingnya dengan muka kacau, lalu detik berikutnya ia tertawa tentu saja membuat Galvin heran. Ia pikir Ken sudah hampir gila.
"Tebakan mu salah, bukan mantan ku." ucap Ken berbohong.
"Oh, benarkah? Kau bohong?" tanya Galvin tak percaya pada Ken yang kini mengangguk mantap.
"Yah, tentu saja aku berbohong," sahutnya tertawa.
"Kau mau tahu siapa orangnya, sebentar lagi antar aku ke rumah sakit jiwa. Aku sudah hampir gila, memikirkannya." ucap Ken memukul kepalanya sendiri.
"Wah, siapa?"
"Jangan membuatku penasaran?" Tanya Galvin penasaran. Galvin mengambil air putih di depannya dan meneguknya.
"Keyna." ucap Ken terkekeh langsung membuat Galvin menyemburkan kembali air yang hendak diminumnya ke udara melihat ke arah Ken tal percaya.
"Apa? Keyna, hahaha." Galvin terbahak.
"Iya dia, Keyna." Balas Ken meyakinkan, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia pusing sendiri memikirkannya.
"Dia memang jodoh terbaik mu." Galvin kembali terkekeh memegang perutnya sampai jatuh ke lantai.
"Keyna. Syukur lah, kalian memang cocok,"
"Kita baru saja membicarakannya untuk jadi pengiring pengantin dipernikahan mu, dan ternyata malah dia yang akan jadi mempelaimu, ini sulit di percaya. Ini luar biasa." ucap Galvin memegang perutnya yang sudah terasa sakit.
"Ini membuatku stres berat. Kau malah tertawa bahagia diatas penderitaan ku." ucap Ken kesal meraih bantal sofa dan memukulnya tepat di kepala Galvin yang kini pasrah.
"Nikmati saja, yang penting kau pernah jatuh cinta padanya, aku rasa masih ada sisanya disini," tunjuk Galvin pada dada Ken.
"Dia juga akan menjadi yang pertama untuk mu seperti ciuman pertamamu." katanya kembali duduk di atas sofa.
"Yah," Galvin menggeleng tak percaya mendengarnya.
"Ini luar biasa, tapi kau memang cocok dengannya, dia memang jodoh mu, aku jadi ingin bertemu dengannya secepat nya." jelas Galvin kembali terkekeh.
"Tunggu?" Ken terpikir ucapan Galvin baru saja.
"Jadi yang pertama?"
"Maksudmu? Aku akan menidurinya?" yanya Ken polos. Galvin mengangguk mantap.
"Tentu saja, kau bodoh, kau pikir Ibumu akan membiarkan mu hidup tanpa seorang anak?" ucap Galvin mulai berhenti tertawa. Melihat Ken memasang wajah serius padanya.
"Aisst, tidak, jangan menambah beban hidupku dengan ucapan mu Galvin." gerutu Ken kesal.
"Tapi itu akan menjadi kenyataan," Galvin tersenyum samar. Ken makin kesal memikirkannya. Galvin tersenyum melihat Ken yang makin tampak kusut.
"Semangat, ada hikmah dibalik semuanya," kata Galvin menepuk pundak sahabatnya itu pelan untuk menyemangatinya.
"Setidaknya ini untuk Laura." tambah Galvin tersenyum.
"Tapi aku ragu, kau memang simpati padanya, kau lupa rasanya jatuh cinta karena rasa simpati dan tanggung jawabmu padanya." Lanjut Galvin membuat Ken menoleh serius. Galvin kembali mengulang ucapan itu lagi.
"Benarkah?" batin Ken ragu.
"Kau terakhir berkencan dengan Keyna, kejadian itu setelah kau putus dengannya. Malam itu juga." ucap Galvin lirih seperti bisa menebak apa yang dipikirkan Ken tentang hal itu. Ken menarik napas dalam-dalam.
"Entah lah, aku juga tak mengerti dengan hal ini, semua terasa sulit sekarang." ucap Ken menunduk frustasi.
"Aku hanya pesan satu hal padamu, jangan terlalu terfokus pada Laura, kau tak pernah tersenyum bahagia di dekatnya, kau hanya memperlihatkan rasa bersalahmu jika bersamanya, setidaknya kau mencari wanita yang membuat mu nyaman, tersenyum, membuat jantungmu berdebar dan kau selalu ingin bersamanya,"
"Itu baru cinta, bukan simpati yang sekarang kau rasakan, kau tertekan. Itu terlihat jelas di wajahmu jika bersamanya, apa hatimu benar-benar mati rasa, tak ada salahnya kau mencoba kembali dekat dengan beberapa wanita supaya kau kembali seperti dulu, cukup tertekan beberapa tahun ini, aku tak tega melihatmu seperti itu atau kau bisa memulainya kembali dengan Keyna, setidaknya kau pernah mengejarnya cukup lama, itu cinta bukan simpati, coba rasakan lagi baik-baik." ucap Galvin menepuk pundak Ken lalu bangkit dari tempat duduknya. Ken mencoba mencerna ucapan Galvin, Galvin benar.
"Aku ke resto dulu, di sini lah tenangkan dirimu." ucap Galvin meraih jaket jeans miliknya di sandaran sofa, lalu berlalu pergi meninggalkan Ken yang kini diam membeku, tak menyahut sedikitpun ucapannya.
Ken masih diam, sambil menyandarkan punggungnya di sandaran sofa menatap lurus kedepannya. Ucapan Galvin padanya membuat ia berpikir kembali. Galvin benar, ia sudah lama tidak merasakan yang namanya jatuh cinta. Bahkan ia lupa kapan jantungnya berdetak lebih cepat, tersenyum bahagia ketika melihat seseorang. Ia sekarang sadar, bertemu Laura malah membuat kepalanya pusing, dan ia tidak tenang.
"Benarkah? Ini hanya simpati? Apa rasanya jatuh cinta, aku sudah lupa." Ken memegang kepalanya yang kini terasa semakin berat. Ia tak mengerti kenapa jalan hidupnya seperti ini.