Aura sedari tadi mengetuk-ngetukan penanya ke pipi. Setiap kali sang guru membalikkan lembaran bukunya, setiap itu pula ia menghela napas bosan.
"Jen?" panggil Aura pelan. Jena yang sedang memperhatikan sang guru hanya bergumam sebagai jawaban. "Toilet yuk?" ajaknya. "Boseeen ...," rengeknya dengan bibir yang dimanyunkan.
Jena membesarkan matanya, sembari menggeleng. "Sama ...," ujarnya
"Masih lamaa setengah jam itu, Jenaaa." Ia menggoyangkan lengan Jena dengan pelan. "Gue ke kantin sendiri ya? Nanti lo nyusul. Okey?"
"Serah lo dah." Jena sudah sangat mengenal sifat Aura yang satu ini. Percuma memberi tau Aura agar kembali ke jalan yang benar. Toh, Aura bakal semakin menjadi-jadi kalo dibilangin.
"BU?" teriakan Aura membuat seisi kelas menoleh ke arahnya.
"Ada apa Aura?" tanya sang guru. "Mau ke toilet?" lanjutnya bertanya seakan tahu apa yang akan dikatakan Aura selanjutnya. Guru itu sudah sangat mengenal Aura. "Silahkan keluar."
Aura menyengir sambil menggarukkan kepalanya. Ia berdiri dari tempat duduknya tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Makasih Bu," ujarnya saat melewati sang guru. Dengan berlari kecil ia telah berada di luar kelas.
Aura tersenyum bahagia seakan merasa terbebas dari kurungan. Ia merentangkan tangannya, menghirup udara dengan mata yang terpejam dan kaki yang terus melangkah ke depan.
Brak
Aura merasakan tubuhnya seakan melayang. Dengan cepat ia membuka matanya, setelah bokongnya mendarat dengan tidak selamat di lantai koridor. Baru saja bersiap untuk memaki orang yang menabraknya, ia langsung tersenyum manis saat tahu sang pujaan hatilah orang yang menabraknya.
"Jeje?" panggilnya dengan posisi yang masih duduk di lantai koridor. Laki-laki yang merasa namanya dipanggil itu hanya menaikkan sebelah alisnya. "Lo gak apa-apa?" tanya Aura yang langsung berdiri. Bukannya ia mengkhawatirkan dirinya sendiri, ia malah mengkhawatirkan Jeje si penabrak yang dilihat saja masih sehat walafiat.
"Gak ada yang luka 'kan?" tanya Aura kembali karna tak mendapat jawaban dari Jeje.
Jeje menggeleng. "Gue gak luka. Tapi tangan lo berdarah tuh," tunjuk Jeje ke telapak tangan Aura yang sebelah kiri.
Gue gak mimpi 'kan? Jeje perhatian banget sama gue!!! pekik Aura dalam hati.
"Luka kecil palingan besok sembuh," cengirnya yang tak perduli dengan lukanya.
"Baguslah." Setelah mengatakan itu Jeje langsung berjalan meninggalkan Aura.
Aura bukannya merasa marah, ia malah tersenyum sambil memandangi kemana Jeje akan pergi. Setelah Jeje tak lagi terjangkau oleh pandangannya. Ia mulai merasakan pedih di telapak tangan kirinya.
Ia kembali melihat tangannya yang berdarah. Ringisan terdengar dari bibirnya setelah itu ia langsung berteriak, "MAMAAAAAA SAKIITT!!!" Untunglah koridor sekolah sepi di jam-jam segini. Dengan sisa-sisa tenaga, Aura berlari menuju UKS.
"DOKTERR MANAA DOKTERRRR!!! HUEEE ...." teriakan plus rengekannya membuat Dokter yang berjaga di UKS tersebut menoleh ke arahnya. "DOKTERRRR CEPAATT DOKTERRR!!! TANGAN SAYA DOKTERRRR!!!" teriaknya histeris seperti orang yang baru saja mengalami musibah besar.
"Ada apa?" tanya sang Dokter yang langsung menghampirinya.
"AAAAA ... TANGAN SAYAA DOKTER!!! TANGAN SAYAA!!!" Ia mengulurkan tangannya ke arah sang dokter.
Sang dokter langsung menarik tangan Aura untuk melihat. Setelah itu ia malah tersenyum. "Cuma luka dikit kok. Lebay kamu!" cibir sang dokter.
"AWW SAKIT DOKTER!" pekiknya saat sang dokter menyentil telapak tangannya yang terkena luka tersebut. "Ntar kalo tangan saya kenapa-napa! Terus diamputasi! Dokter harus donor tangan Dokter ya! Saya gak mau tahu!"
Dokter yang sedang mengambil kotak P3K tersebut malah tertawa mendengar ancaman Aura yang seperti lelucon untuknya. "Sini saya obatin."
Dokter itu kembali menarik tangan Aura. Ia membersihkan luka Aura dengan telaten.
"AW ... AW ...." Aura berteriak kesakitan. "Dok, jangan ditekan!" ucapnya sambil menggigit bibir menahan perih.
"Adu ... duh ... duh. Pelan-pelan, Dok!"
"AWW DOK!!! SUDAH-SUDAH!"
"Sudah selesai dari tadi Aura. Kamu lebay deh." Sang Dokter tersenyum kecil sambil membereskan kotak P3K-nya.
"Ehehe ... udah ya?" cengirnya. "O iya, kok dokter tau nama saya?" Aura mengikuti sang dokter yang sedang meletakkan kembali kotak P3K di tempatnya. "Ah ... saya baru ingat. Kan saya famous wajar dong kalo Dokter tau ya 'kan?"
Dokter tersebut menggeleng sambil tersenyum geli. "Kan di baju kamu ada nama kamu." Dokter itu menunjuk nama yang terjahit di baju seragam Aura.
"Eh iya." Aura pun menyengir kuda. Tiba-tiba Aura berseru, "mati! Bentar lagi istirahat!" Aura langsung kaget saat matanya melihat jam yang tergantung manis di dinding. Padahalkan salah satu alasan dia keluar kelas untuk mencari tempat duduk untuk makan. Biasanya kalau istirahat, kantin bakalan penuh dan itu artinya kemungkinan kecil Aura akan dapat tempat duduk.
"Makasih ya, Dok. Saya ke kantin dulu." Ia berlari menuju kantin.
"JANGAN LARI-LARI, HEY!" teriakan sang dokter hanya dijawab Aura dengan acungan jempol.
"Buuudeee ... Buuudeee," panggilan nyaring Aura membuat wanita yang diperkirakan Aura seumuran dengan Ibunya itu menoleh ke arahnya. "Pesen soto bening yang biasa, Bude." Ia menarik turunkan alisnya. "Sekalian tolong antar ke sana ya, Bude?"
"Siap, Non Aura." Wanita yang di panggil bude itu mengacungkan jempolnya.
Aura berjalan ke tempat duduk yang tadi ditunjuknya. Dengan bersenandung kecil ia berjalan sambil melihat-lihat siapa saja yang berada di kantin jam segini.
"AURA?!" teriak lelaki yang duduk di sudut kantin. Lelaki itu melambai-lambaikan tangan ke arah Aura.
Aura tersenyum kecil, ia menghampiri lelaki itu. "Kenapa tuh tangan lo?" tanyanya saat tak sengaja melihat perban membungkus telapak tangan kiri Aura.
Aura mengangkat tangannya menunjukkan ke lelaki itu. "Ini namanya bukti pengorbanan cinta," ucap Aura dengan yakin.
Lelaki itu tertawa begitu juga dengan teman-temannya yang ikut mendengar. "Bukti pengorbanan cinta lo yang diselingkuhin itu?" ledeknya. "Ra, kalo lo mau ngancem bunuh diri jangan bego-bego amat lah."
"Siapa coba yang mau bunuh diri?" ucap Aura dengan sewot.
"Alah ... jangan bohong deh. Lo pasti mau pura-pura ngiris nadi lo kan?" tanyanya yang membuat Aura semakin bingung. "Nih gue kasih tau, kalo mau ngiris nadi itu di sini." Lelaki itu menunjuk pergelangan tangan Aura. "Bukan di sini," ucapnya menunjuk telapak tangan Aura yang diperban."
"Woi!" teriak Jena yang tiba - tiba muncul. Padahal bel belum berbunyi. "Kalau ngomong mikir dong! Gak pernah disekolahin ya tuh mulut!" Jena tampak emosi.
"Jena ... kenapa Jen, marah - marah? Ntar cepat tua lo!"
"Biarin cepat tua, dari pada lo cepat masuk neraka karena mulut penuh dosa!"
"Sabar Jen ... sabar!"
"Diam lo ya Ibe! Jangan bela temen lo ini! Kalian pikir bunuh diri itu lucu? Bunuh diri bukan becandaan ya!" Jena benar - benar tak tahan dengan lelucon yang dibuat sekumpulan laki - laki ini.
"Sekali lagi gue denger lo ngolok - olok tentang bunuh diri, lo yang gue bunuh!" ancamnya. Jena menarik tangan Aura, menjauh dari sekumpulan orang itu.
"Jen, mereka cuma bercanda kok." Aura berusaha menenangkan sahabatnya.
"Bercanda mereka gak lucu Ra! Mereka gak tau rasanya ...." Jena langsung menghentikan ucapannya. "Lo udah pesen makanan?" alihnya bertanya.