Aura telah pulang ke rumahnya sore tadi, diantar langsung oleh Jena. Kini Aura yang baru saja selesai mandi menatap dirinya di depan cermin dengan tubuh yang berbalutkan kimono dan rambut yang digulung dengan handuk kecil.
Gadis itu diam beberapa saat sebelum mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer. Setelah selesai mengeringkan rambutnya, Aura memoleskan body lotion ke seluruh tubuhnya. Lalu ia mengganti kimononya dengan baju tidur.
Aura merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan termenung. Tiba-tiba ia teringat akan nomor Jeje yang baru ia dapat pagi tadi. Aura langsung merubah posisinya menjadi duduk, ia pun mencari-cari ponselnya.
Setelah mendapatkan ponsel canggihnya itu Aura diam sejenak untuk berpikir. Sebenarnya ia ingin sekali menghubungi Jeje setelah mendapatkan nomor ponsel lelaki itu.
Setelah penuh pertimbangan ia akhirnya memberanikan diri untuk mengirimkan pesan ke Jeje. Ditatapnya nomor itu lama, tapi tanpa sengaja ia malah menelfon nomor tersebut.
'Tit ... tit ... tit ....'
Aura langsung panik, ia pun bingung sampailah sebuah suara terdengar, "halo?"
Aura langsung menelan ludahnya. Ia yang benar-benar bingung langsung saja memutuskan panggilan tersebut.
"MAMAAAAAAAAAAAA!!!" teriaknya geregetan sendiri.
'Ceklek'
Tiba-tiba pintu terbuka. Aura menoleh ke arah pintu di sana berdiri kakak lelakinya yang baru pulang kerja. "Kamu kenapa dek teriak-teriak?" tanya kakaknya dengan bingung.
Aura langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan, lalu menggeleng dengan cepat.
"Kamu laper gak?" tanya kakaknya yang tak ingin memperpanjang kekepoannya. "Kakak bawa pizza tuh." Aura kembali menggeleng. "Tumben? Kakak bawa pizza loh kesukaan kamu." Dan lagi-lagi Aura menggeleng.
"Udah deh, Kak. Aura lagi diet. Simpen aja di kulkas, besok Aura makan."
Bagi Aura sekarang ini bukan waktunya makan. Tapi waktunya untuk berteriak untuk mengekspresikan perasaanya. Sejujurnya ia masih belum puas untuk berteriak, setelah mendengar suara Jeje.
"Tumben kamu diet—" sebelum kebawelan kakaknya semakin panjang. Aura langsung berjalan dan mendorong kakaknya keluar kamar.
'Blam'
Aura menuntup pintunya dengan keras.
'Ceklek ceklek'
Dan tak lupa ia juga menguncinya dengan rapat.
'Tok tok tok'
"DEK? KAMU KENAPA? ABANG KOK DI USIR?" teriak kakaknya.
Aura tak perduli dengan teriakan kakak lelakinya itu. Kini ia kembali menatap ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Nama dan nomor ponsel Jeje terpampang nyata disana.
Ia sekarang sedang berpikir keras apa dia harus nelfon Jeje lagi? Atau SMS Jeje? Pilihan yang berat. Setiap tangannya hendak mengambil ponsel untuk bertindak sesuatu, setiap itu pula ponselnya menjadi korban pelemparannya akibat pikirannya yang tiba-tiba berubah.
"ARRRRGH ...." teriaknya. Ia menenggelamkan wajahnya ke atas bantal.
'Tok tok tok'
"Dek kamu kenapa? Gak gila 'kan di dalem?"
"BERISIK KAK RIO! BERISIK!" Dengan kesal Aura malah melempar bantalnya hingga membuat sebuah bunyi gedebum.
Rio yang berada di balik pintu mengelus dadanya saat melihat pintu itu begetar akibat lemparan Aura. Tak ingin mencari masalah dengan macan ngamuk yang menjelma menjadi adiknya, Rio memilih untuk kembali ke kamarnya. Mungkin kali ini ia harus kembali tidur mengenakan headset agar suara-suara menyebalkan Aura tak menganggu tidurnya.
Merasa Rio tak akan kembali lagi mengusiknya. Untuk kesekian kalinya Aura kembali menatap ponselnya. "Apa gue biarin aja ya sampe besok? Mana tau nanti dia ngubungin gue duluan nanyain gue siapa, ya 'kan?"
Aura pun memilih berbaring sambil berharap Jeje akan menghubungi dia duluan. Tak lupa Aura meletakkan ponselnya di sampingnya.
Sepuluh menit berlalu, pesan masuk tak kunjung masuk juga dari Jeje. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Telah teritung sudah dua puluh kali Aura menguap. Tak tahan dengan rasa kantuknya. Lima menit kemudian Aura telah memasuki alam yang paling indah bernama mimpi.
+-+-+-+
"Aura ... Aura ... Aura???" panggilan lembut mendayu-dayu membuat Aura membukakan matanya.
Sepasang mata indah menyambutnya pagi hari ini. "Kamu gak sekolah? Sudah pagi loh." Suara merdu itu membuatnya berusaha membuka mata yang terasa berat. "Ayo bangun. Nanti kamu bisa telat. Mama gak mau ya anak Mama dijemur di tengah lapangan. Nanti bisa sakit." Wanita yang berumur empat puluh lima tahun itu menarik anak gadisnya dengan lembut.
Nyawa Aura masih setengah yang terkumpul. Padahal butuh waktu satu jam bagi Aura untuk mengumpulkan seluruh nyawanya agar dia benar-benar sadar. Tapi, wanita yang bernama Rena; yang di panggil Aura dengan sebutan Mama ini memilih untuk memaksa anaknya agar cepat bersiap-siap.
Rena menyeret Aura ke dalam kamar mandinya. "Kamu mau bangun atau Mama mandiin?" tanya Rena dengan sedikit mengancam.
Aura yang mendengarnya langsung membuka mata lebar-lebar walau tetap saja kesadarannya tidak seluruhnya terkumpul. "Mandi sendiri," ucapnya dengan cengiran khasnya.
"Yaudah kalo gitu Mama tunggu di ruang makan. Jangan lama!" ingatnya. Setelah itu Rena meninggalkan Aura di kamar mandi sendiri dan tak lupa sebelumnya ia menutup pintu kamar mandi dengan rapat.
Setelah kepergian Rena. Aura terduduk lesu di atas kloset. Ia masih mengantuk ingin sekali rasanya ia kembali ke atas tempat tidur. Namun, itu tidak mungkin. Bisa-bisa mamanya menyuruh Rio— kakaknya menggendongnya ke kamar mandi.
"Jeje," gumam Aura tanpa sadar.
"Jeje?" ucapnya lagi, kali ini ia benar-benar tersadar karena mengucapkan nama itu. "Jeje udah ngubungin gue belum ya?" ucapnya bertanya-tanya. Seingatnya tadi malam ia menunggu Jeje untuk menghubungi dia. Tapi ....
Aura langsung membuka pintu kamar mandinya. Baru saja ia hendak berlari menuju tempat tidur suara deheman membuatnya tersadar.
"MA—" Hampir saja teriakan Rio membuat riwayatnya abis pagi ini. "Cuih ... bau, Dek!" desis Rio setelah dekapan tangan adiknya pada mulutnya berhasil ia lepaskan.
"Jangan pengadu makanya!" ketus Aura tajam. "Emangnya Kak Rio mau makan tai segerobak?"
"Kok makan tai sih, Dek? Ih ... jangan-jangan tangan kamu bekas cebok ya?" Belum sempat Aura mengatakan sesuatu, Rio langsung melincit lari. "Uwek ... uwek ... Mama Aura jorok Maaa ...."
"Dasar pengadu pengada makin tai segerobak!" desis Aura. Ia menghela napas, ia yang telah lupa apa tujuannya keluar kamar mandi kembali ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Satu jam kemudian Aura telah rapi dengan pakaian seragam putih abu-abunya. Dengan rok span yang membuat bentuk tubuhnya terbentuk, baju yang begitu pas di tubuhnya dan tak lupa ikat pinggang dan dasi yang terpasang di tubuhnya.
"Cantik," pujinya pada diri sendiri setelah memoleskan lip balm di bibirnya.
Aura mengambil tasnya. Pertama ia memasukkan perlengkapan make up-nya ke dalam tas, buku-buku pelajarannya hari ini dan tak lupa sebuah teropong yang diambilnya diam-diam di kamar Rio kemarin.
Setelah merasa semuanya tak ada yang tertinggal sedikit pun. Aura menyandang tasnya ke kedua bahunya. Dengan tersenyum riang ia keluar dari kamarnya.
"Pagi Papa, Mama dan Kakak Rio tercinta." Aura mengecup pipi papanya, mamanya dan yang terakhir kakaknya Rio.
Papa dan mamanya tersenyum hangat. Berbeda dengan Rio yang memasang tampang kesal. Ia tak ingin mengingat kejadian yang sejam lalu baru di alaminya. Itu bisa membuat ia tak napsu makan.
"Ra, kamu pagi ini diantar sama Kakak kamu aja ya?" ucap Rena kepada putrinya. Aura yang baru saja hendak mengambil selembar roti terhenti karna menoleh ke arah ibunya.
"Kok diantar lagi? Kapan dong Aura bawa mobil sendiri?" protesnya.
Padahal ia sudah menjelaskan ke ibunya kalau dia sudah tidak galau lagi. Ia pun juga sempat berjanji tidak akan pacaran lagi, karna pacaran hanya membuat dirinya rugi. Tapi, itu hanya alibi Aura saja biar dia bisa bawa mobil ke sekolah lagi. Kalo sampai ibunya tau ia berniat untuk pacaran lagi bisa habis dia.
"Minggu depan sayang. Mobil kamu 'kan lagi Papa service," ujar Papanya. Aura mengerucutkan bibirnya.
"Yaudah deh," ucapnya sembari mengoleskan rotinya dengan selai kesukaannya— selai coklat.
"Cepetan Dek makannya. Nanti Leni bisa telat." perintah Rio dengan nada ketus.
"Bawel!" gerutu Aura. Tiba - tiba ponsel Aura bergetar. Matanya pun langsung membesar saat mendapat pesan dari seseorang yang ditunggunya.
From: My Prince Jeje
Siapa?