T
iga hari sudah berlalu, dan Leonna sudah di perbolehkan pulang. Thalita membantu membereskan barang-barang miliknya. Leonna juga sudah tak melarang lagi Verrel untuk tidak menemuinya.
Ia yang masih duduk melamun di atas brangkar memperhatikan Thalita dan Verrel yang sibuk membereskan beberapa barangnya. "Sudah siap?" Leonna mengangguk kecil dan Verrel langsung membopong tubuhnya.
Leonna menyandarkan kepalanya ke dada bidang milik Verrel, dengan tatapan kosongnya. Leonna menjadi sosok yang pendiam saat ini, setelah kejadian itu.
Verrel berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan menggendong tubuh Leonna yang menyandarkan kepalanya ke dada bidang miliknya. Leon dan Adrian membantu membawakan barang Leonna dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Thalita dan Dhikapun mengikuti mereka menggunakan mobil Dhika.
Leonna duduk di atas pangkuan Verrel di jok penumpang belakang, dengan Leon yang menyetir mobil. Leonna mengalungkan kedua tangannya di leher Verrel dan masih menyandarkan kepalanya di dada Verrel. Seakan itu adalah tempat yang paling nyaman untuknya. Leonna menengadahkan kepalanya menatap wajah Verrel dengan seksama. Verrel yang merasa di perhatikan, menundukkan kepalanya dan mata mereka beradu. Verrel menatap wajah Leonna yang begitu pucat dan terlihat tak bersemangat seperti biasanya. Leonna tersenyum kecil ke arahnya. Tangan Verrel terulur untuk merapihkan rambut Leonna dan membelai pipinya yang terasa hangat, Leonna memejamkan matanya merasakan sentuhan lembut dari Verrel. Verrel terus menatap wajah Leonna yang menutup matanya. Ada rasa sakit di dalam hatinya melihat Leonna yang seperti ini. Verrel benar-benar merasa kehilangan wanitanya. Wanita yang selalu membuatnya bahagia dan tertawa karena tingkahnya. Sekarang sosok Leonna tak di kenalinya, seakan tak memiliki cahaya dan semangat lagi dalam hidupnya.
Verrel mengecup kening Leonna cukup lama, dan kembali memeluknya erat. Membiarkan Leonna semakin menelusupkan wajahnya ke dada bidang milik Verrel.
Tanpa terasa mereka sampai di kediaman Pradhika, Verrel kembali membopong tubuh Leonna memasuki rumah diikuti Adrian dan Leon, begitu juga Dhika dan Thalita.
Teeeeettttt
Ribuan kertas berwarna kecil dan bunga menyerbu Leonna dan Verrel. Semuanya menyambut kedatangan Leonna. Leonna terkekeh melihat banyak orang di depannya memakai topeng emot smile. Leonna tau ini pasti keluarga besar dari brotherhood. Bahkan di sekitar mereka banyak sekali balon berwarna warni, dengan di ukiran wajah yang tengah smile. Bahkan di dinding terdapat kata-kata sambutan yang di buat dari balon huruf.
Selamat Datang Princes Leonna
"Fighting Princes sayang." Leonna menengok ke arah suara yang dia yakinin adalah daddy tersayangnya.
"Kami di sini untuk kamu sayang." Thalita mengusap kepala Leonna.
"Terima kasih," gumam Leonna terlihat berkaca-kaca dan merasa terharu dengan semua ini.
"Jangan pernah menangis lagi, Princes." Vino menyodorkan sebucket bunga kesukaan Leonna.
"Makasih Abang." Leonna menerimanya, "terima kasih karena kalian selalu mendukungku."
"Astogee Ona, loe gak perlu lemah lembut begitu." celetuk Datan membuat yang lain terkekeh, "Loe gak pantes sok anggun gitu. Biasanya juga kagak pernah bilang terima kasih, udah kagak usah canggung, Ona." ucapnya membuat yang lain terkekeh begitu juga Leonna. "Loe kagak pantes, gue malah merinding ngeliatnya." Datan bergidik ngeri membuat yang lain terkekeh.
"Sudah sudah, biarkan Princesnya istirahat dulu," ucap Dhika.
Verrel membawa Leonna menuju ke dalam kamarnya, dan merebahkan tubuh Leonna di atas ranjang. "Apa kamu membutuhkan sesuatu?" Tanya Verrel, Leonna menggelengkan kepalanya. Dan merubah posisinya menjadi menyamping memunggungi Verrel.
Verrel melihat punggung Leonna yang tak bergerak. Disisi lain, Leonna menangis dalam diam. Air matanya luruh membasahi pipi. Dia merasa sangat canggung berdekatan dengan Verrel. Dan rasa minder itu masih menguasai dirinya.
"Aku akan membersihkan diri." Verrel beranjak memasuki kamar mandi. Dan tangis Leonna semakin pecah,
Leonna senang banyak yang mendukung dirinya tetapi kesedihan itu masih ada. Rasa tidak percaya diri itu mengendalikan dirinya.
Malam menjelang, setelah makan malam di dalam kamar. Leonna merebahkan tubuhnya di bantu Verrel tanpa berkata apapun. Verrel beranjak untuk menyimpan kembali nampan itu ke dapur.
Sekembalinya Verrel, Leonna langsung merubah posisi tidurnya menjadi menyamping memunggungi Verrel. Verrel berusaha memakluminya dan menaiki ranjang untuk ikut merebahkan tubuhnya di sisi Leonna. Baik Verrel maupun Leonna, keduanya terpaku dengan pikiran mereka masing-masing, tak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun.
"Kamu sudah tidur?" Tanya Verrel melirik Leonna yang tak bergeming. "Kamu tau De, kondisi kita seperti ini sangat aneh bagiku." Verrel menatap langit langit kamar yang terdapat burung bangau menggantung. Kedua tangannya di jadikan alas kepalanya. "Aku merasa kita seperti dua orang asing dalam satu ruangan." Leonna terdiam mendengarkan penuturan Verrel. Dia tak tau harus bagaimana lagi. Rasanya untuk kembali seperti dulu lagi, ia merasa tak mampu.
Verrel bergeser mendekati Leonna, dan memeluk tubuhnya dari belakang. "Aku sangat merindukanmu, De." Bisik Verrel tepat di telinga Leonna membuatnya kembali menjatuhkan air matanya.
Verrel menggenggam tangan Leonna yang berada di perut Leonna dan meremasnya. "Aku sangat mencintaimu, tolong percayalah." bisiknya mampu menggetarkan hati Leonna.
Tetapi Leonna masih tak bergeming, hanya air mata yang terus luruh membasahi pipinya. "Selamat tidur Princes sayang, semoga mimpi indah."
'Maafkan aku, Kak. Aku merasa malu dan belum bisa bersikap seperti dulu kepada Kakak. Aku terlalu malu untuk berhadapan dengan Kakak.' batin Leonna.
Verrel mengajak Leonna pergi ke suatu tempat. Di dalam mobil Leonna hanya diam membisu dan terus melihat ke luar jendela mobil. "Kamu lelah, De?" Verrel mengusap kepala Leonna, dan dia menjawab dengan gelengannya. Verrelpun kembali menjalankan mobilnya menuju suatu tempat. Mereka melewati beberapa perkebunan teh.
Hingga Verrel menghentikan mobilnya tepat di depan rumah minimalis di atas bukit. Lahannya yang luas dan asri, bahkan hanya satu rumah yang ada disini. Rumah yang sangat indah dan elegant. Rumah yang mengarah ke arah ujung bukit, dimana ada sebuah pohon cukup besar dan dari sana mereka bisa melihat langsung ribuan rumah warga dengan keindahan kerlap kerlip lampu.
"Selamat datang di istana Verlia..." ucap Verrel membuat Leonna mengernyitkan dahinya.
"Verlia?"
"Verrel Delia, ayo masuk." Dengan senyuman khasnya Verrel menarik pergelangan tangan Leonna dan membawanya masuk ke dalam rumah yang terlihat sangat sejuk dan damai itu.
Leonna menatap sekeliling rumahnya dan juga desain dari isi rumahnya. Tak ada yang berbeda dari gambar yang Verrel buat saat itu. "Bukankah saat itu sketsanya Kakak sobek?" Verrel menghentikan langkahnya mendengar penuturan Leonna, akhirnya istri nakalnya ini mau membuka suaranya.
Verrel tersenyum menengok ke arah Leonna. "Aku tidak perlu melihat gambar, semuanya sudah terlukis di dalam benakku."
Dan Leonna hanya ber-oh saja. "Bagaimana kalau kita melihat kamar utama." Verrel membawanya menuju kamar utama di lantai atas.
Ia membuka pintu kamar yang kokoh itu, Leonna tersenyum melihat kamarnya yang berdominasi warna putih tulang seperti warna kesukaannya. Banyak burung bangau bergantungan di langit langit kamar, bahkan beberapa balon dengan ukiran emot smile tertata di sana. Verrel memang selalu berusaha untuk membahagiakannya, dan ia menyadari itu. Tetapi semakin besar kebaikan Verrel padanya, ia semakin minder dan merasa ini adalah sebuah bentuk kasihani dari Verrel.
Leonna berjalan menuju pintu penghubung kamar dengan balkon yang luas. Ia tersenyum saat melihat boneka doraemon besar tengah duduk manis di atas sofa kamar. Ia hanya menyentuh kepalanya dan menggeser pintu penghubung balkon. Ia melangkahkan kakinya ke balkon kamar dan menatap hamparan luas taman di depannya. Keindahan pemandangannya terlihat jelas sekali dan sangat indah. Ia memejamkan matanya dan menghirup udara bersih dan segar itu hingga memenuhi rongga dadanya.
Di balkon kamar, hanya terdapat beberapa kursi dari kayu dan kursi malas yang ada disana. Ayunan duduk juga ada disana karena Verrel yakin Leonna akan menyukai duduk disana. Verrel berjalan mendekati Leonna, dan menyentuh kedua lengannya, membuatnya tersentak dan membuka matanya. Verrel menarik Leonna untuk berbalik menghadap ke arahnya. Keduanya saling bertatapan penuh arti dan perasaan rindu. Hembusan angin menerpa wajah dan rambut mereka.
Ia mengulurkan tangannya untuk merapihkan beberapa anak rambut yang menghalangi wajah cantik Leonna. Ia membelai pipi Leonna dengan lembut diiringi senyumannya. Leonna masih menatap Verrel tanpa berkedip dan juga tanpa tersenyum. Verrel mulai menundukkan kepalanya dan semakin mendekati wajah Leonna. Semakin lama semakin dekat hingga hidung mereka bersentuhan dan bahkan bibir bagian atas mereka sudah saling bersentuhan. Tetapi Leonna segera memalingkan wajahnya. "Aku ingin melihat bagian lainnya." Leonna beranjak meninggalkan Verrel yang terpaku di tempatnya.
Lagi-lagi ia kembali di tolak....
Verrel berbalik menengok ke arah Leonna yang berjalan memasuki kamar dengan kedua tangannya yang di masukan ke dalam saku celananya. Leonna sudah keluar dari dalam kamar mereka, Verrel hanya tersenyum kecil karena penolakan Leonna barusan. Iapun melangkahkan kakinya untuk menyusul Leonna.
Leonna berjalan menuju dapur yang juga di desain sebagus dan seminimalis mungkin, bahkan meja barnya cukup luas untuk di gunakan meja makan mereka berdua. Ia lalu berjalan menuju ruang keluarga dan juga ruang bersantai. Saat memasuki ruangan itu, ia langsung menatap lurus ke depan dimana dinding pembatasnya dari kaca dan mampu memperlihatkan taman belakang.
Rumah pohon, Ayunan putih, taman bunga, kolam renang tertata rapi disana. Dan terlihat begitu indah, bahkan sangat menyejukkan mata. Ia berjalan mendekati pintu itu dan kembali menggesernya. Ia berjalan menuju ke ayunan putih.
Verrel masih berdiri di teras, dengan menatap Leonna yang tengah menyentuh ayunan itu dan mengelilinginya. Verrel melihat tubuh Leonna terduduk di tanah dengan kepala yang di sandarkan di bangku ayunan. Tangisnya kembali pecah,
Verrel segera beranjak mendekati Leonna dan duduk di sisi Leonna dengan mengusap kepalanya penuh kasih sayang. "Kakak sudah memenuhi impian aku tentang rumah impian kita, tapi aku-,"
Verrel menarik Leonna ke dalam pelukannya dan mengusap kepala Leonna dengan sayang. Bahkan sesekali Verrel mengecup kepalanya. "Kamu impian Kakak, De."
"Tidak Kak, jangan mengasihaniku." Isak Leonna semakin menjadi,
"Aku tidak pernah mengasihani kamu, Delia. Percaya padaku, aku benar-benar membutuhkan kamu." Verrel semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Leonna.
Leonna melepas pelukannya dan menatap Verrel dengan tatapan sendunya. "Apa lebih baik kita berpisah saja."
"De!"
"Aku ingin kita berpisah Kak." Leonna beranjak dan berjalan menjauhi Verrel yang juga beranjak berdiri. "ini sangat menyiksaku, ini sangat menyulitkanku. Aku tidak bisa terus berusaha menerima semua ini, Kak. Aku tidak mau melihat Kakak terluka."
"Aku tidak terluka."
"Aku bisa melihatnya di mata Kakak, sekuat apapun Kakak menyembunyikannya. Aku tetap bisa melihat luka itu, Kak. Aku tidak bisa melihat tatapan itu, aku tidak sanggup." isaknya menundukkan kepala.
"Aku terluka karena kamu terus berusaha menjauh dariku, Leonna. Aku mohon jangan seperti ini, jangan menjauhiku."
"Tapi aku tidak bisa, rasa sakit itu masih ada." isaknya. "bisakah kita break dulu."
Verrel mengernyitkan dahinya bingung. "Aku akan tetap tinggal di rumah mama dan papa, dan aku mohon Kakak tinggal di rumahmu." ucap Leonna dengan sendu.
Verrel semakin mengernyitkan dahinya hingga lipatan di keningnya terlihhat jelas, kenapa Leonna terus seperti ini. Kenapa Leonna selalu ingin berjauhan dengannya, apa salahnya sampai Leonna terus melakukan ini padanya.
Verrel memijit pangkal hidungnya dan duduk di atas ayunan itu dengan pandangan lurus ke depan. "Kenapa kamu selalu melakukan ini padaku, Leonna."
Leonna menatap Verrel yang terdengar menghela nafas panjang. "Kamu ingin aku pergi jauh dari kamu? Itu yang kamu harapkan?"
Leonna masih berdiri tak berkutik. "Apa tidak kamu lihat, aku di sini terluka karena kamu. Aku berusaha keras untuk ikhlas dan menerima kenyataan ini. Aku menahan kesakitan ini, Leonna. Aku menahannya, walau terkadang aku ingin berontak dan berteriak tak rela." Verrel mengusap matanya yang berair, ia terlihat frustasi. "Apa aku begitu tidak kamu harapkan?"
Verrel menatap Leonna dengan tatapan terlukanya dan mampu membuat Leonna semakin sakit. "Aku mencintaimu, sangat mencintaimu, Delia."
Iapun beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati Leonna. "Aku menginginkanmu, dan sangat mencintaimu. Kenapa kamu selalu menolakku? Kenapa selalu memintaku untuk pergi? Kenapa?"
"Karena Kakak terlalu baik untukku, kakak terus melindungiku dan berkorban untukku. Sedangkan aku,, untuk memenuhi impian Kakak saja aku tidak mampu,, hikzzz"
Verrel hendak memeluk tubuh Leonna tetapi Leonna menahan dada Verrel dengan kedua tangannya. "Tolong biarkan aku sendiri, aku mohon. Aku butuh waktu."
"Aku mohon Kak." Ucap Leonna dengan tatapan memelas.
Verrel tak kuasa lagi menahan air matanya yang kembali luruh membasahi pipinya. "Aku akan mengantarmu pulang," Verrel beranjak terlebih dulu meninggalkan Leonna.
"Aku akan meminta jemput pada Leon." ucapan Leonna menghentikan langkah Verrel. Bahkan untuk sekedar mengantarnya saja, Leonna tak mempercayainya. Mendengar penuturan Leonna, Verrelpun berlalu pergi tanpa mengatakan apapun.
Leonna menangis menatap punggung lebar Verrel yang berlalu pergi meninggalkan dirinya memasuki rumah. "Maaf," gumamnya menangis dalam diam.
Verrel berjalan memasuki ruangan kerjanya yang berada tepat bersebelahan dengan kamar utama. Tangannya mengepal kuat karena emosi dan amarahnya.
"Aaarghhhh!!" Verrel berteriak dan memukul dinding dengan kesal, dadanya naik turun karena emosi. Ia tidak tau lagi harus bagaimana menghadapi Leonna, kenapa Leonna selalu saja menolaknya. Apa sebegitu tak pentingnya Verrel bagi Leonna?
Cukup lama terdiam dengan pikirannya, Terdengar suara deru mobil. Verrel berjalan ke arah jendela ruangan dan melihat Leonna di jemput oleh Leon. Mobilpun berlalu pergi meninggalkan pekarangan rumah.
Verrel hanya bisa terduduk dan menghela nafasnya, ia memijit pangkal hidungnya. Untuk kali ini, mungkin memang mereka berdua perlu menjaga jarak.
Ia berjalan memasuki kamar mereka yang masih di penuhi balon-balon. Ia berjalan ke lemari kecil di sisi dinding dan menggeser lemari itu hingga terlihat sebuah pintu berwarna putih.
Verrel mengeluarkan kunci dari sakunya dan membuka pintu itu. Ia mendorong pintu hingga terbuka lebar dan terpangpang jelas. Kamar mungil dan cantik dengan warna cat blue sky. Ranjangnya yang mungil dan beberapa boneka serta mainan memenuhi ruangan ini. Bahkan semua keperluan bayi ada disini, awalnya Verrel ingin memberi kejutan dengan kamar kerajaan dede bayi yang masih belum jelas jenis kelaminnya itu. Tetapi ternyata Verrel lah yang di beri kejutan yang sangat mengejutkan oleh dede bayi.
Ia duduk di kursi yang berada tepat di ujung ranjang mungil itu. Ia melihat sekeliling ruangan yang sangat indah, bahkan di dindingnya banyak sekali lukisan kartun dan lampu tidur yang menggantung indah di langit-langit kamar.
Boneka, robot, mobil-mobilan, kereta bayi, alat mandi bayi, pakaian bayi sudah lengkap semuanya, seketika air mata Verrel luruh membasahi pipinya. Verrel terpaksa menutupi pintu dengan lemari karena takut Leonna penasaran dan ingin masuk ke dalam kamar ini.
Kamar yang hanya akan menjadi kenangan...
Ia mengambil sebuah boneka yang tertata rapi di sana dan memeluknya dengan erat. Ia menangis sejadi-jadinya.
Verrel menangis terisak dan begitu memilukan, ia seakan mengeluarkan segala beban di dalam hatinya. Kesakitan yang selama ini ia pendam.
Masalah seakan tak ingin berhenti menghampirinya...
Di dalam mobil Leon, Leonna terus menangis terisak, membuat Leon serba salah. "Ona, ada apa? Apa kak Verrel memarahi loe?" Leonna menggelengkan kepalanya. "Apa kalian berdua bertengkar?" Leonna kembali menggelengkan kepalanya.
"Gue lelah, Le." jawab Leonna. "Gue tau kakak selalu berusaha tegar di depan gue. Gue tau dia berusaha membuat gue bahagia dan menghibur gue. Tapi semua itu malah membuat gue semakin sakit, Kakak seakan menahan kesakitannya sendiri tanpa mau berbagi sama gue. Yang dia pikirkan hanya perasaan gue, yang dia pikirkan hanya kebahagiaan gue tanpa dia memikirkan kebahagiaannya sendiri." Leonna memijit pelipisnya dengan menyandarkan kepalanya ke jok mobil.
"Harusnya loe bersyukur bisa mendapatkan suami setulus kak Verrel." ucap Leon masih fokus menyetir mobil.
"Menurut loe, gue harus seperti itu? Gue bukan gadis bodoh Le. Gue juga mencintainya, gue juga pengen berguna baginya. Yang terpuruk dalam situasi ini bukan hanya gue, tapi juga dia. Gue tau dia sangat menginginkan seorang bayi, tetapi dia bersikap seolah semuanya baik-baik saja dan bukan masalah besar. Tetapi di belakang gue, gue sering lihat dia menangis sendiri, Le. Dia tidak pernah mau menunjukkan kehancurannya, keputusasaannya di depan gue. Lalu apa gunanya gue sebagai istri? Gue gak bisa memberikan keturunan padanya, dan gue juga gak bisa jadi seseorang yang berharga buatnya, jadi seseorang yang berguna dan selalu ada di saat suka maupun duka. Kenapa dia begitu egois,,, hikzzz." tangis Leonna pecah. "Kenapa dia terlalu egois, Le? Kenapa dia hanya memikirkan perasaan gue? Gue tau dia juga sangat terluka."
Leon diam membisu, perkataan Leonna ada benarnya. Sebagai sepasang suami istri, sudah seharusnya saling berbagi duka, sudah seharusnya berbagi kesedihan. Tetapi Verrel terlalu egois dengan memendam kesedihannya sendiri. "Gue meminta dia menjauh dulu buat beberapa saat?"
"Whatt? Tapi kenapa?" Leon melirik Leonna dengan keterkagetannya.
"Gue sakit hati setiap kali menatapnya Le, dia memendam kesakitan di dalam hatinya. Dan itu terlihat jelas di matanya walaupun dia menampilkan senyuman terbaiknya. Gue gak kuat menatapnya, gue sudah membuatnya kecewa dan hanya dengan menatap matanya, gue semakin merasa bersalah padanya." Leonna menghela nafasnya dan memejamkan matanya sekilas. "Ini jalan terbaik untuk kami saat ini, sama-sama berbenah diri dan menyiapkan hati kami."
"Gue dukung semua keputusan loe, asalkan loe seneng Ona." ucap Leon.
"Loe jangan terlalu lebay, Le."
"Gue gak lebay, sudahlah. Ucapan loe sangat mendramatisir, bikin baper dengernya." ucap Leon kembali datar.
"Astaga, es balok juga bisa baper yah." kekeh Leonna menghapus air matanya.
"Sedikit," Leon mengedikkan bahunya singkat dan kembali fokus menyetir mobil.
Saat ini Chella tengah duduk di kursi belakang rumahnya bersama Datan yang juga terlihat galau karena di tinggal seseorang. Tak lama Vino datang dengan membawa cemilan dan minuman dingin.
"Makasih sayang," Chella dan Vino berciuman singkat di depan Datan membuatnya mencibir kesal.
"Ciee ada yang mupeng," ejek Chella membuat Vino terkekeh. "Galau aja Pak, ceweknya mabur yah." Tambah Chella semakin mengejek.
"Diem loe, Lonja. Gue kesini pengen menenangkan diri bukan semakin di bully." Ucapan Datan membuat Chella dan Vino semakin terkekeh.
"Bagaimana keadaan Princes?" tanya Vino.
"Dia belum masuk kampus, Al." Ucap Chella.
"Gue kemarin kerumahnya, dia masih terpuruk. Dia memilih berjauhan dengan abang. Gue heran deh kenapa para wanita senang sekali menjauh, padahal berdekatan membuatnya bahagia." Celetuk Datan.
"Wanita itu punya hati yang sensitive, jadi yah para pria harus sabar menghadapinya." Ucap Chella menikmati makanannya.
"Aku mengkhawatirkannya, terakhir dia nekad ingin mengakhiri hidupnya."
"Tenanglah Al, ada Leon yang akan selalu melindunginya. Kalau kamu mau, hari ini juga kita bisa datang menemuinya untuk memberi dia semangat." Chella menggenggam tangan Vino, bagaimanapun Vino sangat menyayangi adik perempuannya itu. Wajar saja dia begitu mengkhawatirkannya, dan Chella merasa tak pantas untuk cemburu pada Leonna.
Seminggu sudah berlalu, baik Leonna maupun Verrel tak ada yang saling menghubungi. Keduanya benar-benar membenah diri dan berusaha ikhlas dengan cara masing-masing. Verrel bahkan tak kembali ke rumah Daniel, ia menetap di rumah barunya sendiri. Iapun bekerja di dalam rumah tanpa pergi ke kantor. Untuk saat ini dia memang membutuhkan waktu sendiri.
Begitu juga dengan Leonna, ia berusaha ikhlas dengan caranya. Leonna masih belum masuk kuliah. Tetapi dia juga mulai kembali berbaur dengan keluarganya walau masih berbicara seperlunya.
Saat ini Leonna menemani Leon mendatangi yayasan yang saat ini tengah Leon jalankan. Leon mengajaknya masuk ke dalam yayasan dan langsung di sambut oleh beberapa anak kecil. Leon memperkenalkan Leonna ke mereka semua dan Leonna senang bisa berkenalan dengang mereka semua.
Setelahnya Leonpun mulai mengajar bahasa Inggris di sana, dan Leonna menunggunya di luar ruang belajar. Ia berjalan menyusuri yayasan yang terlihat sangat besar ini, bahkan ada beberapa kelas yang di jadikan tempat belajar mengajar. Leon memang mengikuti jejak sang Papa.
Leonna mengintip setiap kelas, dan tersenyum melihat ke antusiasan anak-anak itu dalam belajar. Hingga Leonna berpapasan dengan seorang wanita muda yang tengah menggendong bayi mungil yang menangis kencang. "Selamat siang nona Adinata," sapanya terlihat canggung.
"Panggil Leonna saja, bayinya kenapa mbak?"
"Sepertinya lapar. saya belum membeli susunya." ucap wanita muda itu.
"Cup cup Sayang," Leonna meraih bayi itu ke dalam gendongannya dan mengeyongnya dengan telaten, seakan dia sudah terbiasa. Tak lama bayi itupun berhenti menangis di gendongan Leonna.
"Wah, Aira langsung diam di gendong Nona," ucap wanita itu tersenyum.
"Kenapa bayi ini ada disini?" Tanya Leonna yang menatap bayi kecil itu.
"Salah satu tukang bersih-bersih kami menemukan bayi ini di tong sampah. Kami mengurusnya, dan berjaga-jaga siapa tau orangtua sang bayi akan datang." ucapan wanita muda itu menyayat hatinya.
Kenapa???
Kenapa dia yang begitu menginginkan bayi, tuhan malah mengambil rahimnya.
Sedangkan orangtua yang membuang bayi ini. Mereka tidak mengharapkan bayi, tetapi kenapa tuhan menitipkan bayi malang ini pada orangtua yang tidak bertanggung jawab. Sungguh ironis...
Air mata Leonna jatuh membasahi pipi menatap bayi mungil yang tengah mengemuti kepalan tangannya sendiri dan menatap ke arah Leonna dengan tatapan polosnya.
Tak lama, bayi itu terkekeh dan mengulurkan sebelah tangannya seakan ingin mengusap air mata Leonna. Leonna semakin menangis di buatnya,
Bisakah keajaiban itu datang...?
Bisakan Leonna melahirkan seorang bayi...?
Bisakah...?
"Ona,"
Panggilan itu membuat Leonna menengok dan langsung mengusap air matanya. Leon berdiri tak jauh di belakangnya, wanita muda itu menunduk dan memberi hormat pada Leon. "Gue cari loe kemana-mana."
"Gue ingin melihat-lihat, Le."
"Bayi ini-," Leon terdiam menatap bayi kecil itu. "Aira..."
"Dia cantik," ucap Leonna mengecup kening Aira. Air matanya kembali luruh membasahi pipinya.
"Puri, bawa Aira ke dalam dan segera beli susunya."
"Baik pak," Puri segera mengambil alih Aira dari gendongan Leonna yang terlihat tak rela.
"Le," Leonna terlihat ingin protes tetapi Leon mengusap lengannya. Puri membawa Aira pergi setelah berpamitan. "Le, kenapa loe ngelarang gue bu-,"
"Ona, loe masih trauma. Gue gak mau buat loe semakin sedih." Ucap Leon menghapus air mata Leonna, "gue gak mau lihat loe sedih lagi, Ona."
"Tapi-" Leonna menunduk sedih.
"Sebaiknya loe ikut gue mengajar anak-anak." Leon menarik lengan Leonna menuju kelas.
Saat ini Leonna tengah berdiri di belakang rumahnya, ia duduk di atas ayunan yang ada di taman sambil menatap langit luas yang di penuhi bintang-bintang indah.
Bayangan wajah Verrel terlukis indah di langit, sudah seminggu lebih mereka tak bertemu dan berkomunikasi. Leonna tidak tau bagaimana keadaannya. Tak dapat di pungkiri kalau dia begitu merindukan Verrelnya.
Ia membelalak lebar saat melihat foto dan video dirinya di atas langit. Leonna beranjak dari duduknya dan berjalan semakin mendekati bayangan itu.
Ini bukan mimpi...
Di atas langit terlihat jelas foto Leonna bersama Verrel. Foto pernikahan mereka, foto saat Verrel dan Leonna bercanda tawa, saling kejar-kejaran dan masih banyak lagi foto lucu dan mesra mereka. Terakhir Video di saat Leonna tengah memetik buah strawberry dan Verrel merekamnya sekaligus menggoda Leonna dengan mengatakan putri dari negri Cilingcing tengah memetik buah strawberry. Leonna terlihat kesal dan menarik-narik tangan Verrel untuk ikut masuk ke dalam rekaman video dan mengatakan kalau ini adalah prince Verrel dari negri Ciojar. Verrel dan Leonna tertawa bersama di sana dan terlihat berebut kamera.
Leonna tertawa di tengah isakannya dengan menutup mulutnya, kenangan indah mereka berdua. Selain itu ada juga video saat Leonna mengambil video Verrel yang tertidur. Dan Leonna dengan isengnya menggoda Verrel dengan menyentuhkan ujung rambutnya ke hidung dan telinga Verrel. Verrel terlihat lucu saat merasa tidurnya terganggu, hingga dia terbangun dan langsung mengejar Leonna yang berlari menghindar. Video itupun terlihat tidak jelas karena Leonna berlari menghindar hingga akhirnya Verrel berhasil menangkap Leonna dan melempar tubuh Leonna ke atas ranjang dan segera menindihnya. Tawa terdengar jelas dari keduanya hingga video itu berhenti, dan kembali menunjukkan beberapa foto dirinya bersama Verrel.
"Hikzzzzz..." Leonna semakin terisak melihat video itu, dia sangat merindukan suaminya. Sangat...
Leonna tersentak saat seseorang memeluk tubuhnya dari belakang dan menyandarkan dagunya di pundak Leonna. "Aku sangat merindukkan," Bisikan itu membuat bulu roma Leonna meremang, dan darahnya berdesir hebat. Jantungnyapun seakan tak bisa kembali berdetak normal, jantungnya terasa seperti habis lari marathon. "Jangan memintaku untuk berjauhan lagi denganmu, De. Aku sungguh tersiksa tanpa kamu."
Leonna semakin menangis saat tau yang memeluknya adalah suaminya yang begitu ia rindukan.
Verrel Alexander Orlando
Yang begitu dia rindukan, bahkan sangat dia rindukan.
Verrel melonggarkan pelukannya dan menarik Leonna agar berbalik menghadapnya.
"Kakak," gumam Leonna di tengah isakannya.
"Aku sangat merindukanmu," ucap Verrel lirih.
Leonna menatap Verrel dengan kernyitannya, Verrel terlihat kacau dengan wajahnya yang pucat, bawah matanya terlihat lingkaran hitam dan juga bulu-bulu halus di sekitar rahangnya semakin tumbuh lebat.
Leonna tersentak kaget melihat Verrel tiba-tiba saja duduk rengkuh di hadapannya. "Aku tau, aku begitu munafik. Aku sungguh munafik di hadapanmu, De." ucapnya lirih, "tapi percayalah, aku melakukan itu karena aku sangat mencintaimu. Aku tidak ingin melihatmu semakin terluka, sejujurnya ini sangat berat untuk aku hadapi, tetapi aku juga tidak ingin menambah bebanmu dengan melihat keterpurukanku."
"Delia," Verrel menengadahkan kepalanya menatap manik mata Leonna. "Ini semua adalah kesalahanku, karena akulah Caren melakukan ini padamu. Sampai kamu harus kehilangan bayi sekaligus rahim kamu. Ini karena keegoisan aku, dan semua salahku yang memberi ruang untuk Caren mencelakai kamu. Maafkan aku, tolong maafkanlah aku," ucap Verrel terdengar menyakitkan, air matanya luruh membasahi pipi.
Dari atas balkon. Leon, Datan, Adrian, Vino dan Chella tengah membereskan beberapa alat yang barusan memperlihatkan video itu ke Leonna. Mereka menyiapkan kejutan selanjutnya. Di dekat pintu ruang keluarga, Dhika, Thalita, Serli, Okta, Nela, dan Daniel tengah memperhatikan Leonna dan Verrel.
Leonna dan Verrel saling bertatapan penuh arti dan begitu dalam sampai mampu menyentuh jantung hati mereka. Air mata seakan mengisyaratkan betapa mereka sama-sama terluka dan saling merindukan.
"Maaf karena aku yang menyebabkan kita kehilangan bayi kita." Leonna menarik kedua lengan Verrel untuk berdiri di hadapannya.
"Kakak tidak bersalah, ini sama sekali bukan kesalahan Kakak." ucap Leonna,
"Kalau begitu, tolong hentikan kebisuan ini, De. Katakan segalanya padaku, berbagilah padaku." ucap Verrel membuat Leonna menggelengkan kepalanya.
"Bukan aku, tetapi Kakak. Kakak yang memilih untuk bisu, Kakak yang memilih memendam semua kesakitan Kakak di dalam hati. Hentikan kebisuan yang penuh dengan kebohongan ini, aku bisa merasakannya. Aku bisa merasakan kesakitan ini." Leonna menyentuh dada Verrel di tengah isakannya. "aku bisa merasakannya Kak, aku tau Kakak sangat hancur. Tetapi kenapa kakak memedamnya? Kenapa kakak tak ingin berbagi padaku, kenapa kakak tidak ingin kita sama-sama berbagi kesedihan? Kenapa kakak selalu berusaha menutupinya dengan berusaha tegar di hadapanku, padahal kenyataannya kakak begitu rapuh."
Verrel terdiam mendengarkan penuturan Leonna, Verrel sadar selama ini ia menutupi segalanya karena ketakutannya akan semakin membebani Leonna. "Kalau kakak memang mencintaiku, maka berbagilah kesakitan kakak padaku. Berbagilah keresahan hati kakak padaku. Jangan hanya memendamnya sendiri. Aku disini untuk kakak."
"Aku melakukan ini karena aku tidak ingin melihatmu terpuruk. Kalau aku tidak mampu untuk tegar lalu siapa yang akan menyemangatimu, siapa yang akan membuatmu kuat kalau aku sendiri tidak mampu tegar dan kuat. Aku bukan ingin menyembunyikannya darimu, aku juga bukan tidak mempercayaimu. Aku hanya berusaha tegar untukmu, aku berusaha ikhlas dan menerima semua ini untukmu. Hanya untuk kamu, Delia." ucapan Verrel begitu menyentuh hati Leonna.
Verrel memegang kedua lengan Leonna dan menatap manik mata Leonna dengan teduh. "Aku tidak ingin membuatmu semakin terpuruk karena aku. Saat kita sama-sama terpuruk dan putus asa, lalu siapa yang akan menyemangati? Setidaknya aku bisu, karena untuk memberimu semangat. Karena saat semangatmu kembali, akupun akan ikut bersemangat." Leonna semakin menangis mendengar ucapan Verrel yang begitu tulus.
"Cobaan ini memang terasa begitu kejam, tuhan merenggut sesuatu yang indah dan berharga dari kita berdua. Aku hancur, aku terluka bahkan sangat. Tetapi senyumanmu adalah kekuatanku, hanya melihat senyumanmu kembali, penderitaan dan luka ini seakan berkurang. Karena hanya di dalam senyuman kamu lah aku bisa berlindung selamanya. Hanya dengan senyuman dan keceriaan kamu, aku merasa sangat bahagia dan aku merasa telah menemukan surga dunia yang begitu indah hanya dengan melihat senyuman itu." Verrel mengatakannya dengan lirih diiringi air matanya yang luruh membasahi pipi. "Hati aku semakin hancur hanya melihatmu seperti ini, aku merasa gagal dan bodoh. Aku menuruti segala keinginanmu hanya untuk membuat senyuman itu kembali, senyuman yang begitu menyejukkan hatiku, senyuman indah yang sudah menjadi surga untuk hidupku."
Verrel menghela nafasnya dan menundukkan kepalanya dengan masih memegang kedua lengan Leonna. "aku berjalan dalam setiap detak jantungmu, aku berdiri di belakangmu dan terus mengikutimu seperti bayangan. Bayangan yang berharap kamu lirik, bayangan yang berharap kamu lihat dan tengok. Kamu adalah tujuan hidupku, seperti bayangan yang akan selalu mengikuti kemanapun kamu melangkah."
Ucapan Verrel mampu menyayat hati Leonna, membuatnya semakin menangis terisak. "Kita ini sepasang suami istri, jiwa kita sudah menyatu satu sama lain. Kamu adalah kekuatan sekaligus kelemahanku, Delia. Aku adalah teman hidupmu, teman di saat suka dan duka. Teman untukmu mengadu dan berkeluh kesah." Verrel kembali menengadahkan kepalanya menatap manik mata Leonna.
"Kamu ingat bukan, saat kita menikah di depan semua saksi. Aku mengikrarkan sebuah janji suci di hadapan tuhanku. Aku berjanji menyerahkan hidupku untukmu, aku menyayangimu dan mencintaimu dengan ikhlas. Ikhlas menerima kamu apa adanya, termasuk keadaanmu yang sekarang ini. Aku ikhlas mencintai kamu tanpa mengharapkan apapun. Aku sudah memberikan seluruh hatiku dan hidupku untukmu."
"Dengar De, aku tidak akan menjanjikan apapun padamu, aku tidak akan berjanji dan mengatakan kalau aku akan tetap di sisimu dan tidak akan meninggalkanmu walau waktu bergulir, bahkan mencapai puluhan tahun." Verrel menatap manik mata semakin dalam dan penuh perasaan. "Aku tidak akan menjanjikan apapun padamu, tetapi aku akan selalu berdoa dan meminta pada Allah. Untuk menjadikan kamu jodoh dunia dan akhiratku. Cukup hanya aku dan tuhan yang tau tau semua isi hatiku, cukup aku membuat janji kepada tuhan untuk selalu bersamamu."
Leonna menangis semakin terisak mendengar penuturan Verrel yang begitu dalam dan menyentuh hatinya. Leonna tidak tau kalau Verrel begitu tulus mencintainya. "Hikzzz," Leonna langsung loncat ke dalam pelukan Verrel sambil menangis sejadi-jadinya. Verrel bahkan mengangkat tubuh Leonna dan memeluknya dengan erat. "Aku sangat mencintai kakak, sangatt,, hikzzzz."
"Aku tau, dan jangan pernah memintaku untuk menjauh lagi. Aku sungguh tidak sanggup kalau harus berjauhan denganmu, Delia. Aku semakin hancur karena berjauhan denganmu."
Leonna mengangguk dan semakin menelusupkan wajahnya ke lekukan leher Verrel.
Duar
Duar
Leonna melepas pelukannya dan melihat ke atas langit, foto Verrel dan Leonna masih berputar indah di sana, di hiasi kembang api yang semakin membuatnya terlihat indah.
Leonna menengok ke arah balkon dan semuanya melambaikan tangan mereka membuat Leonna terkekeh melihatnya. Leonna kembali melihat ke arah Verrel dengan senyumannya. "Aku sangat mencintai kakak, dan tolong jangan tinggalkan aku." ucap Leonna.
"Tidak akan pernah," Verrel kembali megangkat tubuh Leonna membuat Leonna mengalungkan kedua tangannya di leher Verrel dan menundukan kepalanya diiringi kekehannya.
Verrel langsung mencium bibir Leonna yang begitu menggoda dan juga sangat ia rindukan, Leonna tak menolaknya untuk kali ini. Dia malah membalas ciuman Verrel dan semakin mengeratkan pelukannya di leher Verrel.
"Oh astoge,, kenapa mereka mirip sekali sama biangnya. Ciuman sembarangan." gerutu Okta membuat Daniel dan Dhika terkekeh.
"Gue gak sesering si Dhika," kilah Daniel.
"Akui saja, loe juga sering kepergok." ucap Dhika tak mau kalah. Sedangkan ketiga wanita disana terharu melihat Leonna dan Verrel.