Leonna terlelap saat Verrel sudah datang, Dhika dan Thalita juga sudah pamit pulang. Verrel duduk di sisi ranjang sambil mengompres kening Leonna. Leonna terlihat tidur dengan tak nyaman dan terus terbatuk-batuk. Verrel terus mengecek demam Leonna yang tak juga turun. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.30 tetapi Verrel sama sekali tak tertidur. Dia terus terjaga sambil mengompres kening Leonna yang panasnya juga belum reda. Apalagi Leonna terlihat tak nyaman karena terbatuk-batuk. Dia menggenggam tangan Leonna dengan erat dan sesekali di kecupnya. "Cepat sembuh Sayang."
"Aku tidak bisa melihatmu seperti ini," Ucap Verrel bersandar ke sandaran kursi sambil menatap wajah Leonna yang pucat.
Pagi menjelang, Leonna terbangun dari tidurnya dengan terbatuk-batuk. Terlihat Verrel tertidur di kursi yang ada di sisi ranjangnya. Leonna melepas handuk kecil di keningnya dan berusaha untuk bangun. Leonna membelai wajah Verrel dengan tangan kanannya. Tercetak jelas raut lelah di wajah tampannya. "Kenapa kakak tidak tidur semalaman." gumam Leonna karena suaranya semakin menghilang.
Merasa ada yang membelai wajahnya, Verrelpun terbangun dari tidurnya. "kamu sudah bangun?" Leonna mengangguk dengan senyumannya. "bagaimana panasnya." Verrel mengambil temperature dan meminta Leonna menggigit ujungnya setelah kembali memeriksanya.
"Masih panas, De. Apa tidak sebaiknya kamu di rawat di rumah sakit saja." Leonna menggelengkan kepalanya dengan berkaca-kaca. "Baiklah, asal jangan menangis lagi, oke." tambah Verrel segera mengusap air mata Leonna.
"Aku pengen pipis," gumam Leonna lirih semakin tak terdengar.
Verrel tak merasa rishi membantu Leonna melepaskan celananya dan membantu Leonna untuk buang air kecil. Bahkan Verrel membantu memakaikan kembali celana Leonna. Leonna terlihat sangat lemas, sampai – sampai untuk berdiripun tak kuat. Verrel menggendong Leonna dan membawanya ke atas ranjang.
"Kakak tidak kerja?"
"Kakak tidak akan bisa berkonsentrasi kalau kamu masih sakit begini. Kamu tunggu yah, kakak akan ambilkan makanan untukmu, pasti Bunda sudah buatkan bubur." Verrel beranjak meninggalkan Leonna sendirian di dalam kamar mereka.
Tak lama, Verrel kembali dengan semangkuk bubur dan segelas air putih. Verrel duduk di sisi ranjang dan mulai menyuapi Leonna makan. "Pahit,"
"Namanya juga lagi sakit, Sayang." ucap Verrel.
Sebelumnya Thalita sudah bilang. Kalau Leonna sakit, tingkat kemanjaannya akan meningkat. Dia akan menjadi seperti anak SD yang banyak merengek ini itu, Thalita bahkan berniat untuk menginap disini kalau Verrel merasa keberatan dan terganggu dengan sikap Leonna. Tetapi Verrel menolaknya, dia yang akan merawat Leonna sendiri. Dia sudah mulai terbiasa dengan sikap manja Leonna, dan dia pasti bisa memaklumi tingkah Leonna yang sekarang.
"Sudah ah," ucap Leonna mendorong mangkuk itu.
"Baru juga satu suap sayang, makan lagi yah biar cepet sembuh."
"Nggak mau, rasanya pahit."
Leonna menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. "Kan kalau kamu sudah sembuh, kita bisa buat dede bayi lagi." bujuk Verrel membuat Leonna terdiam seakan menimbang-nimbang. "ayo cepat makan yang banyak, biar bisa bikin dede bayi lagi." akhirnya berhasil membuat Leonna menyantap suapan Verrel kembali.
"Sudah Kak," rengek Leonna, dan akhirnya Verrelpun menurut yang penting sudah beberapa suap masuk ke dalam perut Leonna.
"Minum obatnya." Verrel mengambil kotak obat.
"Banyak banget, papa gak kira-kira kasih obatnya." rengek Leonna dengan suara serak dan batuknya.
"Jangan banyak bicara, suara kamu makin hilang."
"Awalnya aku mau nyanyi, biar suaranya terdengar serak serak basah."
"Yang ada serak serak pecah, nanti semua barang-barang disini hancur karena suara kamu." kekeh Verrel dan Leonnapun ikut terkekeh mendengarnya.
"Kebanyakan." rengek Leonna.
"Kan biar cepat sembuh, ayo makan." Leonna langsung menutup mulutnya dan menggelengkan kepala. "De," Leonna tetap menggelengkan kepalanya.
Verrel menarik lengan Leonna yang menutup mulutnya. Dan Leonna kembali menutup mulutnya dengan tangan lainnya, Verrel kembali menarik kedua tangan Leonna dan menahannya dengan sebelah tangannya. "Kakak gak mauuu."
Verrel meminum kelima obat itu ke dalam mulutnya dan mengambil air secukupnya, lalu mencium bibir Leonna yang terasa panas. Leonna masih menutup mulutnya rapat-rapat, tetapi tangan Verrel yang lainnya meremas bagian dada Leonna membuat Leonna membuka mulutnya dan itu kesempatan Verrel menumpahkan air dan kelima obat itu ke dalam mulut Leonna. Verrel tak melepas ciumannya sebelum Leonna menelan semua obat itu. Setelahnya Verrel melepaskan ciumannya dan membuat Leonna terbatuk-batuk, Verrel segera menyodorkan air putih untuk Leonna. "ihh Kakak nyebelin."
"Yang penting kamu sudah meminum obatnya." ucap Verrel dengan senyumannya
"Dasar nyebelin," gerutu Leonna.
"Sekarang tidurlah."
"Kakak mau kemana?"
"Tidak akan kemana-mana, Kakak akan disini menunggumu."
"Kakak tidur di sini juga dong, kan Kakak belum tidur." Leonna menarik tangan Verrel untuk ikut merebahkan tubuhnya di samping Leonna. Verrelpun menurut dan ikut merebahkan tubuhnya di samping Leonna. Dengan melingkarkan tangannya di perut Leonna.
Leonna mendatangi ruang kerja Verrel. Verrek terlihat tengah menggambar sesuatu di dalam kertas putih itu. "Kakak," Leonna memeluk leher Verrel dari belakang.
"Hai sayang, kamu sudah bangun? Bagaimana keadaan kamu?" Verrel menengok ke arah Leonna dan menyentuh kening Leonna. "sudah lebih baik, syukurlah."
"Aku sudah membaik Kak, kakak tidak perlu khawatir." Leonna duduk di pangkuan Verrel. "Kakak lagi buat desain rumah yah. Rumah siapa Kak?" Leonna melihat hasil desain Verrel.
"Hmm, rumah masa depan kita." ucap Verrel meneruskan menggambarnya.
"Serius?" Verrel menganggukan kepalanya ke arah Leonna.
"Menurutmu kalau seperti ini bagaimana?"
"Jangan terlalu besar Kak, yang penting nyaman untuk di tempati."
"Baiklah, berarti Kakak harus mengurangi daerah ini dan ini yah." Verrel memperbaiki gambarnya.
"Kak, tapi Leonna pengen taman yang luas, terus ada rumah pohon dan ayunan seperti di rumah oma Sari. Terus pengen ada taman bunganya gitu Kak." ucap Leonna sangat antusias.
"Hmm, terus." Tanya Verrel mulai memperbaiki gambarnya.
"Tapi Kak, aku pengen di pinggir pantai rumahnya, seperti Vila papa yang di Lombok. Jadi aku bisa lihat sunset dan sunrice dari rumah pohon itu, bisa ngerasain hembusan angina laut. Ya tuhan, membayangkannya saja sudah tak sabar ingin menempatinya."
"Akan kakak usahakan yah De, soalnya di Jakarta sudah penuh dengan penduduk di sekitar pantai. Kalau luar Jakarta kan kamu tau, kita melakukan aktivitas sehari-hari di Jakarta." jelas Verrel.
"Iya sih Kak, tapi kalau gak di bibir pantai setidaknya di atas bukit yang bisa melihat keindahan alam."
"Akan Kakak usahakan, menurut kamu gambar ini gimana?" Tanya Verrel
"Ini sempurna Kak, tamannya yang lebih luas. Aku gak sabar pengen cepat-cepat menempati rumah ini. Nanti mendekor isi rumahnya sama kita berdua yah."
"Oke princes saying,"
"Besok malam Kakak ada acara reuni SMA, kamu ikut yah." ucap Verrel,
"Oke, tapi Leonna gak ada dres atau gaun. Kakak kan tau sendiri kalau aku gak pernah pakai pakaian yang seperti itu." kekeh Leonna.
"Besok siang kita beli, sekarang lebih baik kamu istirahat saja dulu. Kamu kan belum sembuh total."
"Sebentar lagi." ucap Leonna.
Keduanya kembali sibuk menggambar desain rumah dengan lebih menarik sambil bercanda. Bahkan Leonna tak berhenti berceloteh menjelaskan desain rumah yang dia inginkan. "Mentang-mentang suara udah kembali pulih. Jadi cerewet melebihi Beo." ledek Verrel.
"Gak apa-apa, mumpung suara merdu aku udah balik. Jadi aku manfaatin untuk terus berbicara." kekeh Leonna. "pinjem pensilnya Kak." Leonna mengambil pensil dari tangan Verrel dan mulai menggambar.
"Kamu menggambar apa?" Tanya Verrel yang memeluk Leonna dari belakang dan menyandarkan dagunya di bahu Leonna.
"Lihat saja," Leonna masih sibuk menggambar. "Taraaaaaa."
"Ini Kakak, ini aku dan ini nanti calon anak kita. Kita akan menghabiskan waktu kita di taman bunga dekat ayunan sambil ngajakin main dede bayinya."
"Tapi tunggu dulu, kok Kakak gambarnya gini sih kelihatan pendek, mana ini kakinya panjang sebelah." protes Verrel.
"Ihh Kakak banyak nawar yah, udah tau Leonna gak pandai menggambar seperti Kakak. Udah terima nasib saja Kak." Kekehnya.
"Apaan terima nasib. nggak bisa. Masa kamu rapi, Kakak kakinya panjang sebelah." protes Verrel membuat Leonna tertawa. "Sini biar Kakak perbaiki." ucap Verrel mau merebut pensil di tangan Leonna.
"Nggak mau, udah lucu gitu." Verrel menggelitik Leonna dari belakang membuat keduanya tertawa puas. "Ampun Kak, sakit." ucap Leonna membuat Verrel menghentikan kelitikannya.
Verrel mengambil tangan Leonna yang memegang pensil lalu menuntunnya untuk menggambar manusia. "Nah begini cara menggambar manusia, terlihat lebih indah kan."
Verrel menggambar dua orang manusia, dimana yang satu duduk di atas ayunan sambil menggendong seorang bayi kecil dan satu lagi berdiri di belakang ayunan sambil memegang pegangan ayunan. "Yang lagi duduk ini Leonna, dan Kakak yang ada di belakang ini yah."
"Hmm,, Kelihatan indah kan?" Tanya Verrel.
"Iya Kak, sangat indah. Semoga tidak akan lama lagi kita seperti di gambar ini." ucap Leonna diiringi senyumannya.
Saat ini Leonna sudah memakai sebuah gaun tanpa lengan berwarna merah maroon. Gaun yang panjangnya hingga mata kaki itu terdapat belahan hingga batas paha membuat kaki jenjangnya terlihat indah. Rambutnya sebagian diikat, dan sisanya di curly. Leonna menampilkan sosok yang berbeda malam ini, ia juga memakai make up seadanya yang dia bisa. Walau kesehariannya tidak pernah memakai make up tetapi Leonna cukup tau bagaimana cara memakai make up. Ia memakai hiasan rambut, membuatnya terlihat indah dan cantik. "De, kam-" ucapan Verrel terhenti saat melihat sosok Leonna yang berbalik ke arahnya.
Verrel terpaku melihat kecantikan Leonna, sungguh sangat cantik. Leonna terlihat seperti boneka Barbie, dengan tubuh ramping idealnya. Lekukan tubuhnya tercetak jelas, terlihat indah dan seksi. Kulit putihnya terlihat bersinar dan sangat kontras dengan gaun merah maroon yang dia pakai. Hiasan gelang mutiara di pergelangan tangannya dan tatanan rambutnya sungguh semakin membuatnya terlihat sangat cantik. "emm, Kak. A-apa aku terlihat berlebihan?"
Verrel mengerjapkan matanya, Leonna terlihat seperti gadis dewasa yang lucu. Layaknya boneka Barbie. Wajahnya yang tirus, matanya yang bulat berbinar, hidungnya yang mancung dan ramping, bibirnya yang mungil dan merah membuatnya terlihat sangat cantik.
"Kak" panggil Leonna. " A-apa Leonna terlihat seperti badut?"
Verrel berjalan mendekati Leonna, ia menghapus jarak di antara mereka berdua. "Kamu sempurna," bisiknya membuat Leonna merona.
"Kakak juga sangat tampan, dan cocok dengan tuxedo ini." ucap Leonna tersenyum manis.
Verrel merengkuh tubuh Leonna dan membawanya untuk berdansa membuat Leonna terpekik kaget. "tidak ada music?"
"Tidak perlu," ucap Verrel. "ini sudah cukup." Verrel mulai menggerakkan tubuhnya. Leonna mengalungkan kedua tangannya di leher Verrel dan mengikuti gerakan Verrel dengan tatapan yang terpaut satu sama lain. "Kita latihan untuk nanti berdansa disana." ucap Verrel membuat Leonna tersenyum. "Kamu sangat cantik."
"Cius???" Tanya Leonna dengan berbinar.
"Mulai deh alay." ucapan Verrel membuat Leonna terkekeh.
"Apa kita tidak akan terlambat?" Tanya Leonna.
"Aku tidak perduli, yang penting aku puas memandangi kamu. Kalau nanti di pesta, aku takut banyak orang yang melirikmu."
"Cie cuamiku yang lopelope ini cemburu."
"Alaynya kurangin De." Leonna hanya terkekeh menanggapinya.
"Apa Kere akan ada disana?" Tanya Leonna.
"Tidak, dia bukan teman SMA ku." Membuat Leonna mengangguk.
"Lalu akan ada siapa saja?" Tanya Leonna.
"Percy, Rasya, Randa dan Rindi."
"Apa Kakak yakin mereka akan datang?" tanya Leonna.
"Maybe, apa sebaiknya kita juga tidak perlu pergi?"
"Lho kenapa? Sia sia dong aku sudah make up 2 jam." gerutu Leonna.
"Yah tidak apa-apa, toh tetap aku pandangi. Memangnya kamu bermake up untuk siapa, hmm? Mau ngecengin cowok lain?" Verrel menyipitkan matanya membuat Leonna terkekeh.
"Boleh juga tuh, siapa tau banyak yang ganteng."
"De!"
"Ahh lucunya suamiku ini kalau cemburu." Leonna mencubit kedua pipi Verrel dengan kekehannya.
Di tempat lain, Vino tengah duduk merenung di dalam kamarnya dekat piano miliknya. Di sampingnya ada anjing kesayangannya, Heavy. Tangannya terlihat memainkan koin yang di berikan Chella saat itu. Ia terus memutar mutar koin itu mencoba mengingat apa yang terjadi sebenarnya antara dirinya dan Michella. Ia juga memutar musik kesukaannya di piringan hitam, lagu yang sama yang saat itu di perdengarkan oleh Chella padanya. Vino merasa tak mengerti dengan dirinya, ada sesuatu yang seakan menyesakkan hatinya dan Vino tidak tau apa itu. Ia merasa telah melupakan sesuatu yang begitu berharga bagi hidupnya hingga membuat dadanya terasa berdenyut nyeri dan sesak.
Dia juga memang sudah mengenal Michella, karena sejak kecil sempat bertemu dan bermain dengannya. Tetapi dia sudah tak pernah bertemu lagi dengan Chella saat mereka sudah beranjak dewasa. Tetapi kenapa dia merasa ada sesuatu antara dirinya dan Chella.
Vino memijit pelipisnya sendiri, kepalanya langsung terasa pening saat memaksakan diri untuk mengingatnya. Ia benar-benar lupa apa yang terjadi selama 5 atau 6 tahun ini, bahkan alasan Jennifer di masukan ke tempat rehab juga ia tidak tau. "Sebenarnya apa yang terjadi beberapa tahun belakangan ini? Bahkan aku tidak bisa mengingatnya sedikitpun." gumam Vino terlihat frustasi. Ia kembali menatap koin di tangannya dengan perasaan tak menentu.
Di tempat lain Chella tengah berdiri di balkon kamarnya dengan memeluk tubuhnya sendiri. Pandangannya menatap ke langit gelap yang di penuhi bintang bintang indah. Puing kenangan dirinya bersama Vino terus terngiang di kepalanya seperti film yang tengah di putar. Musik kesukaan Vino terdengar di dalam kamarnya, sama halnya Vino yang tengah memutar lagu itu, Chellapun demikian. 'Tuhan, apa masih ada harapan untukku bersama dengannya?'
Chella mengeluarkan handphonenya dan menatap wallpaper handphonenya dimana saat mereka berdua tengah berada di sebuah pameran yang ada di Spanyol. "Aku merindukanmu, Vino." gumam Chella membelai wajah Vino yang terlihat tersenyum manis hingga memperlihatkan lesung pipitnya.
Leonna dan Verrel sudah sampai di tempat acara, suasana di sana sangat ramai sekali. Acara reuninya di adakan di sebuah hotel bintang 5 di Jakarta. Mereka melakukannya di aula hotel yang menghubungkannya dengan kolam renang yang sangat luas dan indah. Dan juga menyuguhkan kerlap kerlip lampu di luar aula, dimana dari sana mampu melihat padatnya jalanan ibu kota dan juga monas. Bintang yang cerah di langit menghiasi malam yang gelap itu.
Saat memasuki aula, semua mata tertuju pada Leonna dan Verrel. Leonna sungguh menjadi pusat perhatian. Para pria dengan terang-terangan menatap Leonna dengan berbagai tatapan, kagum, lapar dan lain sebagainya. Leonna menengok ke arah Verrel saat merasakan rengkuhan Verrel menguat di pinggangnya membuat badannya menempel dengan badan Verrel. "aku menyesal membawamu kesini." bisik Verrel.
"Kakak cemburu?" pertanyaan bodoh itu Leonna lontarkan membuat Verrel menengok ke arah Leonna.
"Menurut kamu?" Tanya Verrel membuat Leonna terkikik.
"Aku kan cuma lopelope sama kakak Verrel yang ganteng ini,"
"Aku tidak rela berbagi kecantikanmu dengan yang lain." ucap Verrel membuat Leonna tersipu.
"Hai Verrel," sapa 3 orang wanita cantik menghampiri Verrel dan Leonna.
"Hai," sapa Verrel membuat Leonna cemberut.
Mereka sangat antusias bisa bertemu dengan Verrel, yang merupakan most wanted saat di sekola. Mereka bilang most wanted di sekola itu adalah Verrel, Martin dan Percy. Mereka bertiga selalu bersaing satu sama lain. Tetapi predikat kepintaran Verrel jauh di atas rata-rata membuat Martin merasa terkalahkan. Jangan tanyakan soal wanita, karena ketiganya selalu di gandrungi para wanita.
Verrel memperkenalkan Leonna sebagai istrinya dan itu membuat para wanita kecewa, tidak menyangka kalau most wanted yang sudah mereka incar sejak lama ternyata sudah memiliki istri. Leonna semakin menempel dengan Verrel saat tau kalau Verrel merupakan most wanted. Verrel membawa Leonna ke balkon dimana terdapat taman dan kolam renang.
"Verrel Alexander Orlando," Panggilan itu membuat Verrel menengok begitupun Leonna. Di hadapannya terlihat Martin yang tengah memasang senyuman misteriusnya. Leonna merasakan aura lain dalam diri Martin, membuatnya semakin menempel dengan Verrel. "Hai Leonna, kamu sangat cantik malam ini. Kamu begitu mirip boneka Barbie, pantas saja para pria disini sejak tadi memandangimu." ucapnya dengan tatapan lain, membuat Leonna menelan salivanya sendiri.
"Kamu mengenalnya?" Tanya Verrel.
"Dia dosen di kampus aku, apa dia teman kakak?" Tanya Leonna.
"Dia adalah teman sekolaku."
"Apa kabarnya, Verrel? Lama tak jumpa." Martin menyalami Verrel, saat ingin menyalami Leonna, Leonna lebih memilih menunduk dan mengeratkan rangkulannya di lengan Verrel.
"Gue baik, Tin. Gue gak nyangka loe dosennya Leonna." ucap Verrel,
"Bukankah dunia ini begitu sempit, dan gue sungguh terkesima dengan perubahan Leonna. Dia yang biasa berpakaian casual kali ini memakai gaun cantik dan bermake up. Kamu sungguh seperti boneka, Leonna."
"Terima kasih, Pak."
"Verrel, woy." panggilan seseorang membuat ketiganya menengok. Seorang pria melambaikan sebelah tangannya ke arah Verrel. Verrel berpamitan ke Martin dan menuju ke arah temannya. Leonna merasa sangat risih dengan tatapan dan seringai dari dobul itu.
Saat ini Verrel terlihat asyik berbincang dengan teman prianya yang tadi. Leonna hanya bisa tersenyum sesekali. "Kak, aku ingin ke toilet."
"Mau aku antar?" Tanya Verrel.
"Tidak perlu, Kakak lanjutkan saja mengobrolnya."Leonnapun berpamitan pergi menuju ke kamar mandi.
Setelah 5 menit berada di kamar mandi, Leonnapun keluar menuju tempat Verrel tadi. Tetapi Leonna tak menemukan Verrel. "Kakak kemana yah,"
Seorang waiters menyodorkan nampan berisi beberapa minuman ternama dan mahal. Leonna mengambilnya satu gelas, Sebelum meminumnya, Leonna mencium baunya dulu. "apaan ini yah, bau nya gak enak." gumam Leonna masih mencium baunya dan ada rasa penasaran untuk mencobanya.
"Seorang mahasiswi tidak bagus meminum minuman itu."
Leonna menengok ke arah asal suara dan terlihat Martin menghampirinya dengan segelas orange jus di tangannya. "Minumlah ini," Martin menyodorkan segelas orange jus kepada Leonna, Leonna terlihat masih menimbang-nimbang. "Percayalah, itu akan membuatmu seperti orang gila."
"Aku tak ingin meminum apapun." Leonna menyimpan kembali gelasnya di atas meja yang ada di dekatnya dan bergegas untuk pergi mencari Verrel tetapi di tahan Martin. "Lepaskan tangan saya, Pak."
"Tidak lagi, karena kau begitu cantik malam ini. Jadi kau harus menemaniku." ucapnya dengan santai.
"What?" pekik Leonna. "Apa obat sakit kepala anda sudah kadaluarsa?" Tanya Leonna yang kesal dan segera menepis tangan Martin. 'Tak akan lama lagi, aku akan memilikimu seutuhnya dan menjatuhkan musuh bebuyutanku.' batin Martin menatap kepergian Leonna.
Leonna celingak celinguk mencari Verrel tetapi tak dia temukan tanda-tandanya. Ia memutuskan untuk menunggunya di sisi balkon sambil menatap padatnya jalanan ibu kota. "Hai nona Barbie, apa anda haus?"
Seseorang menyodorkan segelas orange jus ke hadapan Leonna, tetapi Leonna memalingkan wajahnya kesal. "ngambek nih ceritanya."
"Kakak tidak menepati janji, Kakak ninggalin aku." ucap Leonna kesal. Pria itu adalah Verrel yang kini tengah berdiri di samping Leonna.
"Maaf sayang, tadi teman Kakak mengajakku bertemu dengan teman yang lainnya." ucap Verrel membelai kepala Leonna. "minumlah, kamu pasti haus." Verrel kembali menyodorkan orange jus dan Leonnapun langsung meminumnya. "Apa kamu tidak betah?"
"Sedikit Kak, aku kurang menyukai pesta. Barusan Leonna malah hampir meminum minuman yang di bawa waiters itu. Tapi baunya gak enak," ucap Leonna.
"Kamu sudah meminumnya?" Tanya Verrel khawatir dan Leonna menggelengkan kepalanya.
"Baunya bikin kepalaku pusing." keluh Leonna.
"Itu minuman beralkohol. Apa kamu masih pusing?" Tanya Verrel memegang kening Leonna, yang masih terasa hangat.
"Sebenarnya aku sedikit pusing Kak, Bisakah kita pulang?"
"Baiklah De, kita pulang sekarang sekalian pamitan ke teman kakak."
Saat ini Leonna dan Verrel sudah berada di dalam mobil Verrel menuju rumahnya. Leonna terlihat memejamkan matanya karena rasa pening di kepalanya. Verrel dengan lembut membelai kepala Leonna sambil menyetir mobil.
Vino tengah berjalan di kerumunan orang, setiap malam di tempat dekat air mancur selalu ramai dan banyak sekali festival yang di laksanakan. Ia sudah berdiri di hadapan air mancur itu, sebelah tangannya memainkan koin yang Chella berikan padanya. 'Tuhan, kalau memang aku dan Chella pernah terjadi sesuatu. Maka ku mohon tunjukkanlah, jangan biarkan aku seperti orang bodoh yang tak mengerti apapun. Tunjukkanlah secuil kenangan tentangnya'
Vino lalu memegang teguh koin itu, lalu melemparnya ke arah air mancur besar itu. Koin itu tepat masuk ke lubang air mancur, Setelanya Vino memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu.
Hahaha, abang Ini sangat lucu.
Abang tau, apa perbedaannya akar pohon dan air?
Astaga abang ini sangat konyol....
"Arghh," Vino memegang kepalanya saat sekelebatan kenangan itu muncul. Kepingan itu berputar seperti kaset yang rusak dan berputar dengan sangat cepat membuat Vino semakin pusing. "astaga." Ia berjalan tertatih dengan berpegangan ke lampu taman. Sekuat tenaga ia berjalan menuju mobilnya dan menahan sakit di kepalanya.
Leonna, abang begitu menyukainya.
Abang salah, Leonna menyukai abang.
Maaf abang, tetapi aku tidak bisa.
Aku menyukai Leon.
Vino terjatuh ke tanah saat kepalanya terasa ingin pecah. "Aaargghh!!" pekik Vino memegang kepalanya yang terasa sangat berdenyut dan hampir pecah. Beberapa orang menghampirinya dan membantunya.
Vino mengerjapkan matanya berkali-kali, cahaya lampu menusuk ke retinanya. Ia mulai menatap sekeliling, ternyata dia berada di sebuah klinik. "Sayang kamu sudah siuman?"
Mendengar ada yang berbicara padanya, Vino menengok ke asal suara dan terlihat Claudya berdiri dengan pakaian dokternya. "mama periksa kamu dulu yah." Claudya segera memeriksa kondisi Vino.
"Ma," Claudya menatap ke arah Vino. "Ada hubungan apa aku dan Chella?"
Pertanyaan Vino membuat Claudya terpaku dan senyumannya memudar. "Kenapa diam Ma? Jawab saja, apa aku dan Chella memiliki hubungan yang special?"
"Kenapa kamu menanyakan ini?"
"Jawab saja Ma?" Tanya Vino terlihat frustasi.
"Kamu jangan terlalu memaksakan diri untuk mengingatnya."
"Katakan saja kebenarannya, iya atau tidak." ucap Vino semakin ngotot.
"Mama tidak tau pasti apa hubungan kalian, tetapi kalian memang cukup dekat." ucap Claudya membuat Vino terdiam.
Vino merenung, dia seakan baru menemukan kepingan puzzle dari semua pertanyaannya. "Jangan terlalu di pikirkan" ucap Claudya membuat Vino tersenyum kecil. "lebih baik kamu banyak beristirahat."
Leonna baru saja keluar dari kampusnya saat sore hari, ia pergi menuju ke kamar mandi dulu untuk mencuci wajahnya. Saat Keluar dari kamar mandi, seketika sesuatu membekap mulutnya membuat Leonna terjatuh tak sadarkan diri ke pelukan seseorang.
Leonna mengerjapkan matanya berkali-kali saat sinar lampu menusuk ke dalam retinanya. Ia menatap sekeliling yang begitu asing baginya. "dimana ini?"
"Kamu baru bangun?"
Ucapan seseorang membuat Leonna terbangun dan langsung duduk. Di hadapannya Martin tengah membawa segelas teh hangat dengan hanya memakai celana boxer selutut dan juga bertelanjang dada, hingga memperlihatkan badan sixpacknya. "Kenapa aku ada disini?" pekik Leonna emosi.
"Kamu tadi pingsan di kampus, jadi aku membawamu kesini." ucanya dengan santai sambil menyimpan teh hangat itu di meja nakasnya.
"Jangan berbohong!"
"Ya terserah kamu mau percaya atau tidak."
Leonna segera beranjak menuruni ranjang, walau kepalanya masih terasa pusing, Martin segera menahan tubuh Leonna yang oleng. "Lepas!" desis Leonna seraya mengambil jaket dan sepatunya. Martin tak mengatakan apapun hanya senyuman terukir di bibirnya. Martin mengikuti Leonna menuju pintu keluar apartement.
Ceklek
Deg
Leonna maupun seseorang yang berdiri di luar apartement melotot sempurna dengan tatapan tak percayanya. "K-kak Verrel!" gumam Leonna yang sangat kaget melihat Verrel berdiri di balik pintu, dan tangannya terangkat terlihat ingin mengetuk pintu.
Verrel menatap Leonna bergiliran dengan Martin yang berdiri di belakangnya dengan seringainya. Rambut Leonna terihat berantakan, mata Verrel menyusuri tubuh Leonna,
Deg ... Verrel melihat tanda merah di leher Leonna, dan itu membuat Verrel murka. "Menjijikan!" Verrel beranjak pergi meninggalkan Leonna dan Martin.
"Kak."
Leonna memaksakan diri untuk berlari mengejar langkah lebar Verrel, tanpa memperdulikan kepalanya yang terasa sakit. Bahkan Leonna belum memakai sepatunya. Di dalam apartement, Martin tersenyum puas melihat wajah murka Verrel. "Selamat Martin, kau mendapatkan kartu joker."
Leonna berlari mengejar Verrel dengan sedikit tertatih. "Kakkkkk!" teriak Leonna saat melihat mobil Verrel sudah berlalu meninggalkan parkiran apartement.