"Iori...Iori...iori--IORI...!"
Gadis itu terbangun dengan peluh membasahi badan, pakaian tipis yang ia kenakan bahkan ikut basah oleh keringat bermanik-manik yang terlihat terus mengucur.
Mata bermanik biru yang terbuka lebar itu, langsung menatapi ruangan kecil yang bahkan tak memiliki pendingin ruangan kecuali kipas angin yang hanya membuat ruangan kecil tanpa jendela makin panas, pengap, menyesakkan. Sampai ia memejamkan mata, menyadari ia tak lagi ada di ruangan nyaman dengan ranjang lebar nan empuk, harum dan penuh udara segar juga wangi lavender yang begitu ia rindukan.
Tempat yang rasanya bisa ia sentuh setiap kali memejamkan mata karena hanya itu yang bisa ia lakukan kini. Mengenang masa di mana ia memiliki kehidupan tanpa harus mengenal apa arti hidup sesungguhnya.
Cklek! Suara pintu yang dibuka membuat wanita mungil dengan rambut yang selalu kusut tak lagi tersentuh tangan-tangan pekerja salon itu menoleh. Bocah lelaki yang bahkan harus berjinjit setiap kali ia harus membuka pintu, melongokan kepala kecilnya. Mata biru jernihnya melebar, mendapati sang mommy sudah bangun dari tidur yang hanya sesaat.
"Mommy, eng-" ragu, bocah yang bahkan belum berusia 4 tahun itu menggigit bibir merahnya yang basah , lalu memperlihatkan senyum pada wanita yang menyuruhnya masuk dengan gerakan tangan.
Senyum lebar itu, sungguh obat bagi segala kesusahan yang rasanya tak ingin menjauh dari kehidupannya kini. Senyum lebar dari bocah lelaki yang rambut halusnya berayun ketika kaki kecilnya berlari mendekat pada sang mommy yang badannya begitu tak terawat, bibir kering, mata lelah, tangan kasar, pakaian seadanya. Namun, pelukan sang mommy selalu hangat, menenangkan, juga aman bagi bocah lelaki yang akhirnya merasakan dekapan hangat setelah menunggu jarum panjang mendekati 5 garis di depannya.
Hal yang selalu bocah itu lakukan, setiap saat ketika penghuni rumah tak ada. Hanya meninggalkan dirinya dan sang mommy yang selalu kelelahan tapi, tangan dan kaki mommy terus saja bergerak. Entah, itu karena ucapan sang Oma, atau sang Daddy, ataupun wanita yang datang dan tidur dengan daddynya setiap malam, atau tantenya yang selalu bersikap tak baik pada mommy.
Opa? Hmm ... Opa tak kasar pada mommy tapi, Mommy terlihat tak ingin didekati pria yang sekali waktu membuat tanda biru di tubuh kecilnya.
"Mommy bangun, aku belum datang," ucap Rei dalam pelukan Cyntia yang mengusapi kepala berambut halus yang matanya mendongak, menatapi sang mommy.
"It's true, Darling," jawab wanita mungil yang bahkan kecupan bibir keringnya membuat pipi Rei kegelian, sampai bunyi perut yang protes ingin diisi terdengar.
"Apa anak mommy sudah lapar?"
Pertanyaan sederhana itu, membuat Rei diam beberapa lama lalu menggeleng meski perut kecilnya kembali protes dengan suara yang lebih besar.
"Ow, to bad than karena Mommy juga lapar."
Ucapan sang mommy membuat mata Rei berbinar begitu terang. Meski, saat mata bulat nan jernih itu menatap ke luar, mata birunya kembali menunjukan keraguan sampai sang mommy menyentuh pipi Rei agar menatapnya, "it's ok, Darling. Mommy menyimpan roti untuk kita di dapur."
"Tapi-"
Rei menelan kembali kalimatnya lalu menggigit bibir merah kecil nan basahnya itu, membuat wanita yang memeluknya erat mengenyahkan rasa menusuk yang begitu ia hafal dalam hati lalu tersenyum meyakinkan sang putra yang seharusnya tak memikirkan apa yang sedang ia pikirkan sekarang.
Bahkan pikiran itu tak seharusnya ada, tak seharusnya ada!
'I am so sorry, Rei. I am so sorry.'
"Let's go, atau roti kita bisa dimakan semut," ajak wanita itu berdiri dengan terus menggendong Rei yang tertawa, saat perut kecilnya yang kembali protes digelitiki tangan kasar yang terasa begitu hangat, menenangkan.
"Makan pelan-pelan, Rei," kata wanita itu, mengingatkan bocah kecil yang duduk di atas lantai dingin yang dihafal bokong kecilnya.
"Eng!" jawab Rei dengan mulut penuh roti tawar berisi selai coklat yang belepotan di bibir dan pinggiran mulut. Dengan cekatan, Cyntia mengusap coklat itu dengan ibu jari lalu dijilatnya.
"Yummy isn't it?" tanya wanita yang membuat Rei mengangguk, lalu menelan rotinya cepat, "kenapa Mommy tidak makan?"
Cyntia tersenyum lalu mengecup pipi putranya begitu gemas, "Mommy, sudah kenyang melihatmu makan, Darling."
Mendengar itu Rei jadi diam. Ia menatap roti ditangan kecilnya yang baru dua kali ia gigit, "tapi--Rei tidak kenyang saat liat daddy, oma, opa, tante Catlyn, dan tante itu makan, Mommy."
Ucapan Rei membuat Cyntia diam beberapa saat sampai panggilan Rei membuatnya sadar, mata bulat nan jernih Rei menatapinya. Rasanya, ia tak mampu menjawab dan hanya mengulurkan tangan mendekap tubuh kecil yang membuatnya bertahan. Sekuat hati ia menahan rasa sesaknya untuk tak nampak saat wajahnya menatapi wajah Rei dan senyum ia ciptakan meski matanya tergenang.
Tin...Tin! Tin...Tin!
Tak sabar suara klakson itu terdengar, membuat wajah Rei berubah kaku, panik menatap sang mommy juga roti di tangannya. "It's ok, Darling, kamu masuk kamar dan habiskan rotimu di sana. Jangan keluar kalau mommy tak memanggilmu, ok?"
Rei menatap Cyntia ragu, lalu mengangguk pada tatapan lembut nan meyakinkan sang mommy yang memberinya kecupan dan dekapan.
Cyntia, membetulkan untaian rambutnya, memastikan tak ada coklat yang menempel di badan ataupun tangannya saat bercermin setelah Rei masuk dan menutup kamar tempat mereka tidur, rapat.
"Apa kau tuli!!" Umpatan langsung terdengar dari lelaki yang begitu tak sabar, bahkan mendorong tubuh Cyntia yang hendak mengambil tas kerja sang suami, "darimana saja, Kau!"
"Aku dari belakang, Hans," jawab Cyntia dengan wajah datar, membuat Hans meliriknya dari atas dan bawah.
"Kuharap kau tak mendekati dapur ibuku!" seru Hans masuk, meninggalkan wanita yang hanya diam lalu berjalan di belakangnya.
"Biar aku," ucap Cyntia saat Hans melepas sepatunya lalu masuk dengan menutup pintu di hadapan muka Cyntia.
BRAKK!
Terkejutkah Cyntia? Tidak, dia tak akan lagi terkejut dengan sikap kasar Hans. Cyntia, hanya masuk lalu meletakan sepatu berserakan Hans dalam rak sepatu, hal yang rasanya tak pernah ia bayangkan akan ia lakukan saat ia masih tinggal di dalam mansion berpilar-pilar besar dengan taman luas dan pagar tinggi menjulang.
Setidaknya, sampai teriakan Hans terdengar membuatnya lari cepat setelah memastikan sepatu Hans rapi, tertata, tak menyalahi aturan pemilik rumah yang tidak suka pada ketakberaturan. Seandainya saja, pemilik rumah ini menerapkan hal serupa pada mahluk hidup yang tinggal di rumah ini. Tapi, rasanya itu tidak akan mungkin terjadi.
"CYNTIA!!" teriak Hans makin keras dan membanting tangannya di atas meja makan kosong yang bahkan tak meninggalkan jejak satu butir kacang ataupun anggur.
"Kenapa tidak ada makanan? Apa saja yang kau lakukan selama kami semua pergi, hah!"
"Ini belum waktunya memasak makan malam, Hans. Kau tau ibu tak suka jika aku membuka kulkasny-"
"Alasan! Aku tau kau hanya pemalas yang kerjaannya hanya tidur-tiduran sepanjang hari sementara kami semua bekerja siang malam untukmu dan putra sialanmu itu!"
Deg! Rasanya kepala Cyntia dipukul gada yang begitu keras. Bukan karena ia disalahkan. Disalahkan atas segala hal, sudah biasa baginya. Namun, setiap kali mendengar sang suami menyalahkan putra mereka, rasanya ia tak akan pernah bisa merasa biasa.
Putra mereka yang untuk makan selembar roti saja, harus sembunyi-sembunyi dan lelaki dihadapannya ini mengatakan ia bekerja siang malam untuk putra mereka?
"Airmatamu tak akan mempan, Cyntia. Jadi, simpan saja sendiri," ucap wanita berambut pirang yang masuk tanpa ia sadari, "Oh, dan tolong bawakan belanjaanku lalu masukan dalam kamar, please."
Manis, begitu manis dan manja. Hal yang kini hilang dari wanita yang bahkan hanya bisa menggigit bibirnya keras, merasa jijik pada pemandangan di hadapannya.
Gadis yang datang itu, tidak! Perempuan itu melumat bibir suaminya begitu lapar, sampai desahan keluar saat tangannya yang berkuteks merah mengkilap menyusuri selangkangan Hans! Dan ia, istrinya, hanya bisa melihat! tak lagi ingin protes ataupun marah. Lukanya hanya ia simpan sendiri seperti yang selalu ia lakukan selama ini. Menangis hanya jadi pelampiasannya jika ia sudah tak tahan.
"Ow, kau masih disitu?" tanya diikuti tawa manja itu terdengar dari perempuan yang melingkarkan tangannya pada leher Hans, pria yang hanya diam menatapinya yang mematung, "kau ingin lihat kelanjutannya, tentu?"
Ucapan itu seolah menyadarkan Cyntia dari apapun yang membuatnya diam. Diusap pipinya yang basah lalu keluar meninggalkan sepasang binatang yang suara desahannya memenuhi ruang makan. Cyntia bersyukur, kamar tempat ia tidur ada di bagian belakang rumah jadi putranya tidak akan mendengar apapun.
"Sampai kapan kau akan menyimpan wanita bodoh itu dan anak sialanmu disini, Hans? Aku sudah muak melihat wajah mereka."
Hans hanya tersenyum melihat gadisnya sudah mulai menggesek-gesekan selangkangan basahnya pada paha Hans, "kau pikir aku tak merasakan hal yang sama, Honey?"
Perempuan yang sudah kepanasan itu, mendengus sebal karena selalu mendapat jawaban sama dari pria yang mengangkatnya, "aku bosan mendengarmu mengatakan hal sama setiap waktu, Hans!"
"Oh, come on, Honey. Kita tak perlu membayar housekeeper selama wanita bodoh itu ada di rumah ini, aku pun tak yakin kau bisa memasak."
Hans mencium dagu perempuan yang menunjukan wajah cemberut, meski tangannya yang melingkar dileher Hans turun meremas selangkangan Hans yang mengeras, "tapi, aku pandai memanjakan dirimu, Hans"
"Dan kau pun menikmatinya, Honey," ucap pria yang mendorong pintu, tak perduli jika ada telinga yang mendengar.
Cyntia yang masuk dengan berkantong-kantong belanjaan juga tas hanya bisa diam memandang pintu kamar yang lebar terbuka. Menunjukan kegiatan macam apa yang dilakukan dua manusia yang bahkan tak perduli jika ia melihat.
Perempuan berambut pirang itu, bahkan sengaja menunjukan wajah kepuasannya pada tiap hujaman Hans yang juga tak perduli istrinya melihat. Suaranya yang melengking tinggi bahkan sengaja ia keraskan dan meminta Hans bergerak makin cepat di atas tubuhnya.
Cyntia, hanya bisa menatap dengan perasaan hancur tanpa kata, airmatanya bahkan seperti tak ada harganya sama sekali bagi pria yang pernah membuatnya jadi gadis paling bahagia, jadi ratu satu malam dalam pernikahan mereka yang dirayakan besar-besaran bahkan masuk media.
Tapi kini, ia hanya bisa diam melihat suaminya bercinta dengan wanita lain. Wanita berambut pirang yang Hans ajak tinggal serumah dalam rumah dingin yang rasanya jadi seperti neraka jika tak ada Rei. Satu-satunya cahaya yang membuatnya bertahan.
Cyntia sadar, ia tak akan pernah bisa bertahan di luar dan tempatnya hanya di sini, rumah ini! karena ia sudah tak mungkin kembali ke rumah besar yang membuatnya bisa tidur tanpa perduli waktu. Makanan yang tersedia sepanjang waktu tanpa harus merasa was-was dan terpaksa menyembunyikan satu ataupun dua lembar roti untuk perut kecil putranya.
"Iori, bukan kehidupan seperti ini yang kubayangkan untuk kujalani. Tidak seperti ini."