webnovel

365 Days Angela

Bagaimana rasanya terlibat cinta dengan 3 lelaki sekaligus??? Pertama, dengan sahabat sendiri. Kedua, dengan selebriti sekolah dengan basis fans halu tingkat akhirat. Ketiga, dijodohkan paksa dengan guru olahraga killer dan songong. Angela Kamaratih, yang baru saja menerima tantangan 365 hari untuk mengubah hidup datarnya menjadi lebih berwarna, dihadapkan pada situasi yang bikin puyeng. Ia sudah memilih satu lelaki, namun dua lainnya masih membayanginya, Membuat hari-harinya dipenuhi drama yang menguras emosi dan bikin tensi naik. "Kita berdua nggak boleh saling jatuh cinta." Sama-sama menolak perjodohan, Angela dan Valdy memilih menjalin hubungan dengan orang yang memang mereka inginkan. Dan untuk mengelabui keluarga, mereka saling membantu dengan akting romantis dan sikap manis. Padahal di belakang layar, nggak ada kata akur bagi mereka! Berantem tiap hari! Tapi seiring waktu berjalan, Angela sadar ia harus memilih. Jika tidak, ia akan kehilangan segalanya, dan semua karena kebodohannya. Cover by Pixabay

Karayu_S · 青春言情
分數不夠
206 Chs

Angela+Karina VS Geng Halu (2)

"Mau dengan cara apa?" tanyanya antusias.

Angela menunjukkan video yang tadi direkamnya, meminta sarannya untuk menambahkan kata-kata apa untuk membuatnya terlihat mengenaskan. Karina terkikik riang, sepenuhnya dikuasai nafsu balas dendam, lalu membantu Angela mengedit video geng halu itu dengan menambahkan lagu bernuansa roman sengsara.

"Gue bakal kena UU ITE nggak sih dengan ngedit dan posting video ini?" tanya Angela tiba-tiba.

"Lo nggak ingat semua meme dan video parodi lo yang mereka sebar di semua grup lintas angkatan?" sergah Karina berapi-api. "Baca dong isi UU ITE."

Angela hanya mengedikkan bahu dan kembali menyibukkan diri menambahkan ini itu di videonya. Ia lalu membuat caption yang pas dan mengena, membuat Karina tertawa ngakak membacanya. Sungguh, selain Valdy, gadis di sebelahnya memang partner in crime yang sempurna untuk urusan kriminal kecil-kecilan model begini.

"Udah! Buruan posting!" Karina mengecek ponselnya. "Tuh lihat! Mereka udah posting video lo yang ditegur Valdy barusan. Gila! Gercep amat tuh bocah dekil!"

"Mana?" Angela ikut melongok di sebelahnya dan melotot menyaksikan videonya di grup gosip sekolah. "Sialan. Nggak ada akhlak emang junior-junior kita!"

"Buruan, Angela!"

"Rin, invite dulu gue ke grup gosip. Lo masih jadi salah satu adminnya kan?" pinta Angela. "Satu-satunya grup yang gue ikutin cuma grup kelas, sisanya gue left."

"Ngerepotin banget sih lo!" Karina dengan gemas memencet layar ponselnya dan dalam sekejap muncul undangan ke nomor Angela untuk masuk ke tiga grup sekaligus, dan tanpa banyak berpikir Angela menerima undangan dari Karina.

Angela lalu mengirimkan video balasan dengan caption menusuk di grup yang sama, lalu grup angkatan. Ia dan Karina saling pandang sambil menyeringai. Masing-masing mengulurkan satu tangan di udara, menghitung dengan jari bersama-sama. Di hitungan ke-20, rombongan di seberang terdengar berseru dengan berang, melontarkan sumpah serapah nyaring yang bisa didengar semua orang. Angela dan Karina menoleh ke arah mereka, menyaksikan wajah mereka berubah merah padam, lalu tertawa sampai terbungkuk-bungkuk. Susah payah mereka berdua meredam tawa agar tak kembali ditegur Valdy. Angela membenamkan wajah di roknya dengan tubuh terguncang.

"La, La, selfie dulu, La. Mission accomplished!"

Angela bangkit, masih menahan tawa, lalu merangkul bahu Karina dan berpose dengan konyol. Setelah beberapa kali selfie ia kembali ke roknya untuk melanjutkan tawanya.

"La! Bangun! Valdy murka tuh!"

Angela bangkit dan duduk tegak. Sambil mengawasi Valdy yang tengah mengomeli rombongan di seberang, ia meraih tisu dari dalam tas dan pura-pura membersihkan hidungnya. Karina menendang kakinya, yang dibalasnya dengan tendangan juga. Mereka berdua duduk dengan anggun dan wajah diusahakan sedatar mungkin, saat rombongan di seberang bangkit dengan cemberut dan meninggalkan lapangan basket beramai-ramai. Valdy kembali ke tengah lapangan, memandang ke arah mereka berdua dengan curiga. Angela pura-pura memeriksa kukunya dengan sangat teliti, sementara Karina pura-pura ber-selfie.

Getar dari ponselnya membuat Angela tersentak dan ia cepat-cepat memeriksa siapa yang mengiriminya pesan.

Valdy : Lain kali nggak usah datang nonton latihan basket.

Angela : Alasannya, Om?

Valdy : Merusak konsentrasi!

Angela : Wait! Konsentrasi siapa dulu nih? Pacarku? Atau… tunanganku?

Angela menyunggingkan senyum miring saat melihat Valdy memijat dahinya di tengah lapangan. Valdy tak menanggapi lagi, tak memandang ke arahnya lagi, dan Angela tahu lelaki itu telah menyerah untuk menghadapinya hari ini.

***

"Jadi, sekarang udah baikan lagi sama Karina?" tanya Roni. Angela hanya mengangkat bahu. "Kalian ngapain tadi heboh berdua?"

"Oh, itu." Angela mengerutkan kening, berpikir keras apakah sebaiknya jujur atau berbohong saja. Ia memandang Roni yang telah menghabiskan dua mangkok bubur dan tengah menunggu jawaban sambil menyedot es teh manisnya.

"Hmm?"

"Kita membalas dendam ke rombongan fans-mu, Ron. Sudah lihat video yang kukirim?"

"Yang sebelum itu, La. Yang bikin kamu ditegur Pak Valdy."

Duhh… Angela memutar otak. Kalau satu orang tahu, nanti nama Valdy bakal jadi gosip dan ujung-ujungnya Angela akan ikut terseret. Ia tak yakin Karina akan dengan sukarela menyebarkannya sendiri. Jika memang ia mau pamer, grup kelas mungkin sudah ramai sejak weekend kemarin.

"Aku nggak bisa bilang." Angela akhirnya berkata pelan.

"Kenapa?"

"Karena aku sudah janji nggak bakal bilang ke siapa-siapa."

"Ini soal apa?" Roni meraih tangannya dan meremasnya dalam tangannya yang hangat.

"Nggak ada hubungannya dengan kita, at least." Angela mendesah. "Soal dia dan Valdy."

"Oh." Wajah Roni berubah lega. "Kenapa? Mereka sudah saling…" Roni memperagakan gerakan membuka baju, yang membuat Angela ternganga.

"Enggak! Ya ampun pikiranmu, Ron!" Angela berseru, membuat Roni menyeringai. "Nggak sejauh itu, tapi tetap saja bikin aku kaget tadi."

Roni tertawa pelan melihat rona merah yang merayapi pipi Angela.

"La, kalau sebatas ciuman, kita sudah melakukannya. Kenapa kamu sampai malu?" tanya Roni heran.

"Soalnya, Valdy itu kan guru kita, Karina siswa kayak kita. Rasanya…aneh!" Angela mengerutkan bibirnya dan bergidik. Ingatan tentang pelukan Valdy yang hangat di pinggir pantai kembali melintas di benaknya, membuatnya tanpa sadar melambaikan tangan di sebelah telinganya untuk mengusirnya.

Hush! Pergi! Angela membatin dengan muak.

"Ini kenapa lagi?" Roni terkikik melihat tingkahnya, mengulurkan tangan untuk mencubit pipi Angela.

"Jadi kebayang yang enggak-enggak."

Roni tertawa lebih keras, membuat Angela makin cemberut.

"Kamu polos banget tahu, La."

"Polos gimana?"

"Jadi begini. Kalo kubilang bahwa ada banyak pasangan di sekolah kita yang udah lebih dari sekadar ciuman, gimana?"

"Bohong!"

"Eh, serius! Kenapa dibilang bohong?"

"Nah, kamu tahu dari mana coba?" Angela mencondongkan tubuhnya, sepasang matanya membulat sempurna. "Mereka nggak mungkin ngaku dan gembar-gembor kan?"

"Ada beberapa yang ngaku, ada yang sikapnya berubah, dan semuanya bisa dibaca dengan gampang." Roni ikut mencondongkan tubuh ke arahnya.

"Ron." Angela menelan saliva dengan jantung makin memburu. Tangannya berubah dingin dalam sekejap, sama dengan punggungnya yang seketika meremang. "Kamu juga pernah melakukannya? Yang lebih dari ciuman itu?" Ia mengawasi kekagetan di wajah Roni. "Kalo enggak, kamu nggak mungkin bisa membacanya kan? Kamu harus berpengalaman dulu sebelum…"

"Angela." Roni berbisik. "Aku nggak pernah melakukannya. Tapi aku punya teman-teman yang bisa membacakannya untukku, jadi mau nggak mau akhirnya aku bisa juga melihatnya. Lama-lama jadi terbiasa melihatnya dan membacanya." Ia mengusap pipi Angela. "Kenapa jadi pucat begini?"

"Jangan bohong."

"Aku nggak bohong, La."

"Apa semua orang pacaran melakukannya? Apa itu satu syarat mutlak biar jadi langgeng?"

Roni mendesah dan melayangkan pandang ke sekeliling mereka yang ramai, lalu bangkit. Ia mengulurkan tangan pada Angela yang masih terpaku di tempatnya.

"La, jangan bicarakan itu disini. Ayo, pulang."

***

Angela merasa menyesal telah terlibat percakapan tentang seks dalam pacaran. Ia menolak upaya Roni untuk menenangkannya, memilih memeluk ranselnya erat-erat dan membuang muka. Shock, itu kata yang tepat untuk menggambarkan keseluruhan perasaannya. Tambah shock lagi saat ternyata pacarnya sudah cukup punya pengetahuan di bidang itu, dari menonton berbagai video, menurut pengakuannya. Roni mengatakan semua cowok sama seperti dirinya, lebih cepat menangkap hal-hal berbau 18+ ketimbang kaum hawa, walaupun tak pernah mempraktekkannya langsung. Roni bahkan bersumpah sepenuh hati bahwa ia jujur dan belum pernah melakukannya dengan siapapun, dalam kondisi sadar ataupun tidak. Namun Angela masih tak bisa menghilangkan semua perasaan negatif yang tengah menyerangnya.

"La…"

Angela masih tak mau memandangnya. Tangannya menepis sentuhan Roni di rambutnya. Lelaki di sebelahnya menggeram tak sabar. Sudah bermenit-menit mereka berdiam di tempat parkir mobil, tak beranjak pulang walaupun malam mulai larut.

"Pulang aja, Ron. Moon-Moon belum kukasih makan."

Tanpa banyak bicara Roni menyalakan mesin mobil dan dalam sekejap mereka telah meluncur di jalan raya. Angela meringkuk di kursinya, memandang kelebatan pemandangan di luar jendela. Ia bisa merasakan tatapan Roni berkali-kali mengarah padanya, namun tak mencoba menyentuhnya lagi.

Lima belas menit kemudian mereka sampai di depan rumah Angela. Angela membuka pintu mobil, menggumamkan "Thanks," lalu menghambur keluar. Ia tengah berkutat membuka kunci gerbang saat menyadari Roni turun dari mobil dan menyusulnya.

"Angela, jangan begini."

Pintu gerbang terbuka dan Angela masuk dibuntuti Roni. Lolongan Moon-Moon menyambut mereka diselingi suara garukan jeruji kandang.

"Ron, sudah malam."

"Aku nggak mau kita marahan cuma karena hal tadi, La!" Roni berkata tajam. "Bagian mananya yang bikin kamu begini? Aku bahkan nggak memaksamu untuk melakukannya denganku. Aku hanya menjawab pertanyaanmu soal itu."

Mereka berdiri di halaman depan. Roni mengurung Angela dalam kedua rentangan tangannya, sementara punggung Angela menempel rapat di pintu gerbang. Angela menggeleng gusar, mendorong dada Roni agar menjauh dengan satu tangannya, namun Roni bergeming.

"Jawab, La!"

"Aku cuma shock, oke? Anggap saja selama ini hidupku bagaikan fairytale, yang sama sekali nggak pernah kepikiran soal ini, terlalu naif juga. Aku… Aku…" Angela mendesah gusar dan menghentakkan kakinya keras-keras.

Roni memeluknya, mengabaikan upaya Angela untuk melepaskan diri dan mendekapnya lebih erat. Tas ransel di tangan Angela berdebam jatuh ke lantai, namun Roni menghalanginya bergerak untuk mengambilnya.

"Tenang, Sayang." Roni mengusap punggungnya. "Diam dulu sebentar."

Napas Angela memburu oleh emosinya. Ia ingin menjauh saja, namun tak mampu menolak hangatnya pelukan Roni. Dibenamkannya wajahnya di bahu lelaki itu dan ia terisak pelan, kacau sekali.

"Aku nggak mau…"

"Yang ngajakin kayak gitu siapa? Aku nggak sampai kepikiran ke arah sana, La."

"Tetap saja…"

"Aku nggak menyangka kamu akan shock separah ini. Harusnya aku nggak cerita-cerita sama sekali." Roni mengecup satu sisi kepalanya. "La, aku sayang kamu, La."

Angela tak menjawab. Kedua lengannya melingkar di tubuh Roni, memeluknya lebih erat.

"Jangan nangis dong."

Angela sebisa mungkin menghentikan tangisnya sebelum makin menjadi. Ketakutannya perlahan memudar dalam kehangatan yang mengungkungnya. Ia lalu mengusap wajah dengan satu tangan, masih menghindari tatapan Roni yang intens. Roni menangkup wajahnya dalam kedua tangannya, lalu mengusap pipi Angela yang basah. Wajah tampannya terlihat muram.

"Sudah malam, Ron. Pulang aja." Angela berkata pelan.

"Semasih kamu nangis, aku nggak akan pulang." Roni menukas. Tatapannya mengarah ke bangunan di belakangnya. "Kamu baik-baik aja sendirian, La?"

"Aku sudah biasa, Ron."

"Anjingmu dimasukkan saja ke dalam, dilepas, biar ada yang menemanimu tidur."

"Nggak. Dia itu rusuh banget. Bisa habis barang-barang di rumah dicakarin atau digigit-gigit." Angela menghela napas dalam. "Aku baik-baik aja."

"Nah, gitu dong." Roni mengusap pipi Angela, sedikit lega melihatnya tak menangis lagi. "Nanti aku telepon sebelum tidur."

"Aku tunggu."

"Boleh aku…" Roni tak menuntaskan kata-katanya, lalu menunduk untuk mengecup bibir Angela sekilas, membuat gadis itu tersentak dan cepat-cepat memalingkan wajah untuk menghindar.

"Sorry, Ron. Tapi aku…"

"Nggak apa-apa, La." Roni menepuk puncak kepalanya. "Tapi jangan lama-lama kayak gini. Janji?"

"Iyaaaa…"

Saat akhirnya Angela menutup pintu gerbang setelah Roni pergi, keresahannya kembali datang. Potongan percakapan mereka berdua kembali mengusiknya. Ia penasaran akan kebenaran penjelasan Roni, dan ia butuh bertanya pada orang yang tepat. Masalahnya, pada siapa?

Angela mengambil ponselnya yang bergetar dan melihat nama Valdy muncul.

Valdy : Peringatan terakhir, La. Besok dan seterusnya nggak usah nonton latihan basket.

Angela : WHY??

Valdy : Mulai besok lapangan CLEAR dari penonton. Got it?

Angela : Ya deh, Om!

Valdy : Masih saja manggil Om

Angela : Eh, eh… aku mau nanya hal penting sama kamu, karena Adrian lagi nggak ada.

Valdy : Soal apa?

Angela : Ada deh. Besok aja. Nggak seberapa urgent tapi bikin kepo berat.

Valdy : Spill sedikit

Angela : ADA DEH!

Valdy : SOAL APA?

Angela : BESOK AJA OMMMM

Valdy : Jangan ujung-ujungnya curhat. Nggak ada waktu dengerin curhat ababil.

Angela : BUKAN!

Angela : Tunggu aja deh!

Valdy : OK.

Sedikit mendapat suntikan semangat, Angela berjalan ke arah kandang Moon-Moon dengan langkah lebih ringan. Resiko bertanya pada Valdy tak akan sebesar resiko bertanya pada Adrian yang kadang saklek. Dan lebih baik melakukannya di luar jam sekolah agar tunangannya itu tak muncul lagi dengan ide detensinya yang di luar nalar.

"Tapi gue bakal diomelin nggak ya?" tanya Angela sambil mengawasi Moon-Moon berguling-guling di atas rumput. "Ah, itu urusan besok!"

***

Jangan lupa Vote yaa dan komen. hueuuhuee...

Karayu_Screators' thoughts