"Di sini terlalu bahaya. Malam hari, di tengah hutan, dan hawa dingin. Tempat yang seratus persen mengundang hawa-hawa jahat dan hal-hal buruk. Ini pasti jadi gawang yang bagus untuk rencana Rey. Aku tidak boleh memberinya kesempatan."
Mereka berdua melangkah cepat dan berusaha keluar dari hutan dengan susah payah.
Arvy sendiri tidak tahu rute mana yang benar. Sepertinya mereka malah mengarah menjauh dari camp.
Dari jauh Rey tengah berdiri dari balik pohon besar nan tinggi. Ia mengenakan jaket bertudung. (cek bab 44)
Flashback selesai
Arvy menghela napas panjang.
"Rey masih mengawasinya saat itu." batinnya.
Holan mengirim lokasinya pantinya melalui chat, ia akhirnya memutuskan datang dan mengunjungi Rey yang katanya ingin bertemu dengannya.
Sesampainya di sana.
"Apa ini benar panti rehabilitasi? Kenapa sepi sekali?"
Arvy berjalan melewati lorong yang terdapat kamar di kanan kiri sisinya. tidak mungkin Pamannya mengirim alamat yang salah kan. Jelas jelas ada papan nama di depan bahwa tepat itu panti rehabilitasi. Ia sampai di kamar nomor 098. ia berhenti dan menatap pintu putih di hadapannya, itu adalah ruangan Rey.
Arvy masuk ke dalam.
ruangan putih itu seolah menyihirnya. Ada seseorang yang tengah berbaring di ranjang dengan baju pasien. Ia tertidur. Arvy mendekat dan menyadari itu adalah Rey.
"Rey…"
Rey membuka matanya perlahan dan mendapati Arvy berdiri di sampingnya.
"Kenapa kau ingin bertemu denganku?" tanya Arvy tanpa basa basi.
"Maaf."
Arvy yang tadi ekspresinya tajam kini berubah. Ia tertegun mendengarnya.
"Aku tahu kau membenciku dan aku tidak pantas mengatakan ini, tapi aku akan tetap mengatakannya, meskipun kau tidak akan memaafkanku."
Arvy membisu, menatapnya dengan diam.
"Aku minta maaf."
"Gita, bagaimana dengan Gita?"
"Aku tidak berbohong. Aku tidak menculik ataupun menyembunyikannya."
"Sepertinya kau jauh lebih sadar di sini ketimbang saat di basemen. Kenapa kau ketakutan saat itu? Kau lari dari apa? Lari dari siapa?"
"Itu…"
"Aku…tidak bisa memaafkanmu, sampai aku menemukan Gita."
"Aku juga."
"Apa?"
"Aku bukan manusia."
"Aku tahu."
"Kau monster."
"Benar," Arvy tersenyum miris. "Aku memang monster."
Arvy heran. Ia merasa bertemu dengan sosok Rey yang baru, tidak seperti Rey yang dulu.
"Apa yang kau katakan sebenarnya? Kau memintaku datang hanya untuk mengatakan ini?"
"Arvy, aku…"
"Jangan sebut namaku, br*ngsek."
Mereka berdua terdiam saling pandang. Arvy menatap dengan wajah tertekuk, alisnya berkerut dan penuh kebencian, sedang Rey menatapnya dengan bibir yang melengkung ke bawah.
"Siapa kau?" tanya Arvy.
"Apa? Apa maksudmu?"
"Siapa kau sebenarnya? Kau bukan Rey yang aku tahu," desak Arvy.
"Aku sudah berhenti. Lagipula aku bukan manusia. Rey yang asli….dia sudah mati."
"APA?!"
"Kau membunuhnya?!"
Rey menggeleng pelan.
Arvy terkejut. Sebenarnya mereka cukup tahu satu sama lain saat masih kuliah dahulu. Meskipun tidak dekat tapi keduanya memiliki rumor yang cukup populer. Arvy adalah pria yang sulit didekati, anti sosial dan tidak punya teman, sedang Rey sebaliknya, pria yang memacari banyak gadis, bahkan menghamilinya, si br*ngsek kaya raya dan hobinya clubbing. Jadi keduanya cukup mengetahui masing masing dari rumor.
"Sejak kapan?"
"Aku tidak ingat. Aku tidak tahu."
"Fyber…kau manusia fyber kan? Bagaimana bisa Rey bisa berakhir menjadi monster menjijikkan sepertimu?"
Arvy menggeleng, ia tidak habis pikir dan masih sulit mempercayainya.
"Kau, dari mana kau tahu aku manusia fyber?" tanya Rey. "Aku sungguh sungguh ingin mengetahuinya, aku tidak pernah mengatakan pada siapapun bahwa aku manusia fyber. Kau…bagaimana bisa…"
Arvy menatapnya diam, seolah tidak ingin menjawab.
"Siapa kau sebenarnya…Arvy?"
Flashback
"Siapa kau sebenarnya Arvy?"
"Aku sudah menduga ada yang tidak beres denganmu. Tapi aku tidak menyangka kau ketahuan semudah ini."
"Apa? Tidak mungkin! Aku adalah fyber yang memiliki kesadaran! Aku berbeda dari makhluk rendahan itu! Aku berpikir seperti manusia! Jangan meremehkanku! Aaaargggh!"
Rey balik memukul wajah Arvy dan berdiri dengan dramatis. Tiba-tiba seluruh tubuhnya mengeluarkan asap dan muncullah mata di bagian tubuhnya yang tak wajar. Satu mata, dua mata, tiga mata, hingga ratusan mata. Berjajar secara acak di dada, lengan, kaki bahkan wajahnya. Wajah tampan Rey kini ditutupi mata berlendir yang menjijikkan. Suaranya berubah menjadi aneh, bercampur dengan banyak jiwa.
Arvy menatapnya datar, ia menelan ludah. "Sudah berapa jiwa yang kau makan?"
"Aku melihat aura gadis suci itu benar-benar polos dan manis. Bagaimana bisa aku tidak terangsang. Aku ingin menciumnya, menidurinya dan menumbalkannya untuk ritualku . Dia akan kuajak bergabung dan menjadi bagian dari diriku yang terdalam."
Arvy mendekat. Ia meraih leher Rey dan mencekiknya dengan sekuat tenaga. Namun ada hal tak wajar yang terjadi. Rey tertawa terbahak-bahak sembari merentangkan dua tangannya seolah membiarkan Arvy melakukan apa yang ia inginkan.
"Ha ha ha. Cekik aku sepuasmu! Kau tidak akan bisa membunuhku."
Mata di seluruh badan Rey mengeluarkan air mata dan suara aneh mirip orang yang menangis sesenggukan. Arvy tertegun. Ia melepaskan cengkeramannya dan mundur beberapa langkah.
"Sial!"
"Sudah kubilang aku bukan fyber biasa. Aku mengumpulkan jiwa-jiwa istimewa dan membiakkan mereka dengan baik. Ha ha ha." (cek bab 21)
Flashback end
Kembali ke percakapan keduanya di ruangan Rey.
"Siapa kau sebenarnya Arvy?"
"Apa itu penting sekarang? Lalu kau? Kau ini sebenarnya makhluk apa? Manusia tapi bukan manusia. Aku tidak tahu soal fyber atau monster apapun itu. Aku hanya pernah mendengarnya di suatu tempat."
"Terima kasih sudah menolongku saat itu. Kau membawaku ke apartemenmu."
"Ah itu, aku tidak merasa itu bantuan. Aku mengurungmu di sana karena kau tidak bisa menjawabku dengan benar ketika kutanya tentang Gita. Aku sangat marah."
"Kau tahu pria yang bernama Ra…" mendadak Rey ingat kata kata Taka sebelumnya.
Kau ada dalam pengawasanku mulai sekarang. Semua tingkahmu di luar area, apapun yang terjadi aku akan mengetahuinya." kata Rataka sebelumnya.
Rey sontak berhenti ditengah tengah.
"Apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Arvy.
"Todak. Maksudku…apa kau masih ingin memukulku?"
"Pertanyaan macam apa itu?kau mengujiku? Tentu saja aku ingin memukulmu sialan!"
"Maaf. Sekali lagi Maaf."
Arvy hanya diam melihat kondisinya. Terbaring di ranjang dengan wajah pucat pasi, lemah dan tak berdaya. Ia melihat kalau Rey benar benar sakit.
"Kenapa kau bisa sakit? Padahal bukan manusia, cih."
***
Rataka dan Holan ngopi di kafe.
"Apa tidak apa apa?"
"Apanya?"
"Kau ini seorang petinggi di kepolisian. Apa waktumu seluang ini untuk ngopi bersama pengangguran sepertiku?"
"Kau akhirnya mengaku kalau pengangguran?"
"Aku serius. Bagaimana pekerjaanmu."
"Ada satu orangku yang terus menggali kasus Marina, pembunuhan 11 tahun silam, kasus panti asuhan Amy."
"Benarkah? Sepertinya dia punya insting yang bagus."
"Jadi kau sengaja mempertemukan Arvy dan Rey?"
"Hem."
"Ini rencanamu dari awal untuk membuat Arvy selangkah lebih dekat."
"Dia tipe yang berhati hati dan tidak mudah percaya. Aku yakin dia akan memikirkannya dengan mendalam setelah ini. Arvy menyelidiki aku bahkan menyewaku langsung ke perusahaan sekuritas kemarin. Sepertinya dia mulai tertarik denganku."
"Apa?"