Mendengar kalimat dari Qelia barusan, Xevanus langsung melukis ekspresi cemberut pada wajahnya. "Saya mengkhawatirkan Anda, Tuan! Sebab, Anda tidak bangun selama tiga hari. Tiga hari! Bayangkan betapa khawatirnya saya dan Aksvar juga Vesko, hanya untuk menunggu Anda bangun!" jelas Xevanus menekankan setiap kata-katanya.
Qelia merespon penjelasan Xevanus dengan kening yang mengerut. Walaupun begitu, dia tak menghentikan elusan lembut untuk menenangkan kedua bocah dalam pelukannya.
'Apa maksudmu?' tanya Qelia dalam hati pada Xevanus.
Xevanus pun menjelaskan kejadian dari dia terbangun dari pingsan, sampai ukiran teratai yang selesai terukir dengan nada tak percaya. Dan di setiap kalimat yang terlontar dari bibir Xevanus, Qelia benar-benar hampir tidak percaya dan terkejut mendengarnya.
'Berarti, waktu aku bertemu dengan Qelia asli itu benar-benar terjadi. Bukan sekadar mimpi. Tapi anehnya, kenapa waktu berlalu sangat cepat? Padahal aku merasa hanya sekitar sepuluh menitan,' batin Qelia bertanya pada dirinya sendiri.
"Yang membuat saya lebih terkejut itu, adalah ukiran teratai pada kening Anda bisa selesai secara sendirinya. Padahal saya tidak membantu!" Xevanus menyambung kalimatnya, sambil mengungkapkan rasa terkejut yang dirasakan pada kejadian sebelum Qelia bangun.
"Bagaimana caranya Anda melakukan itu?" tanya Xevanus dengan rasa penasaran yang mendominasi benaknya.
Helaan napas kemudian terdengar dari belahan bibir Qelia. 'Aku benar-benar tak bisa menjelaskannya sekarang. Intinya, aku harus segera menjadi lebih kuat dari sekarang, sebelum keluar dari hutan. Sebab di masa depan, akan ada bayak halangan rumit menanti!' balas Qelia menjelaskan.
Bungkam dan tak tahu lagi harus apa. Xevanus pun menganggukkan kepalanya naik turun. "Berarti Tuan sudah bisa memasuki tahap selanjutnya, yaitu dasar-dasar dan pengendalian tenaga dalam," gumam Xevanus menundukkan kepala, sambil menyusun materi untuk pelajaran sang majikan nanti.
Selesai menyusun semua materi dan urutan dalam tahap selanjutnya. Xevanus pun tersadar dari lamunan berisi rencananya, lalu mengangkat kepala dan melihat ke arah layar. Dia melihat, Qelia sedang menenangkan kedua bocah itu hingga mereka tak lagi menangis.
Keduanya bahkan mulai terlelap dalam pangkuan Qelia. Namun, ketika keduanya baru saja akan memasuki alam mimpi. Suara perut Qelia langsung bertabuh layaknya gendang perang, sangat keras dan kencang. Aksvar dan Vesko pun membuka kedua mata mereka.
Mereka tak jadi memasuki alam mimpi, dan melihat Qelia yang tengah merona malu dengan netra hitam legam masing-masing.
'Sudah berapa hari aku tak makan?' tanya Qelia pada Xevanus melalui batin.
Xevanus menahan tawa dan mencoba menenangkan dirinya yang ingin meledakkan suara tawa itu. "Selama Anda tak sadarkan diri, Tuan," jawab Xevanus yang terdengar sangat tenang.
Sayangnya, suara tenang itu hanya beberapa saat saja. Sebelum suara tawa kencang menggema di kepala Qelia. Suara dan ekspresi Qelia di saat perutnya menabuh gendang perang itu berputar berulang-ulang dalam ingatan Xevanus.
Pipi yang sudah merah, kini semakin memerah mendengar tawa Xevanus. Betapa malunya Qelia saat ini. "Ah iya, Mama belum makan sama sekali pas pingsan!" Aksvar tiba-tiba membuka suara, memecahkan suasana canggung yang dirasakan Qelia seorang diri.
Bocah itu bangkit dari posisi rebahan di pangkuan sang mama, lalu mengambil posisi berdiri. Vesko yang melihat kelakuan kakak kembarnya itu tak mau kalah. Dia langsung berdiri dengan ekspresi memelas.
"Ma, kemarin-kemarin. Pas Mama gak sadarkan diri, Aksvar sama vesko pergi berburu ke hutan! Hasilnya, kami mendapatkan satu rusa besar untuk dimakan!" seru Vesko menceritakan kegiatannya bersama sang kakak ketika Qelia pingsan.
Bukannya senang, Qelia malah membelalakkan kedua matanya sambil menatap keduanya tak percaya. Dia bertanya-tanya dalam hati; 'Bagaimana bisa mereka berburu ke hutan dengan berani seperti itu!'
"Kalian tak terluka bukan?" tanya Qelia bangkit dari posisi duduk dan memeriksa tubuh kedua putranya itu dengan teliti, secara satu per satu.
Aksvar dan Vesko saling bertatapan untuk sesaat. Kemudian mereka mengukir senyum ceria ke arah sang mama. "Tentu saja tidak Ma! Latihan-latihan yang Mama ajarkan waktu itu berhasil kami terapkan dalam perburuan, kami memukulnya hingga ada suara bugh-bugh-bugh!" jelas Aksvar memperagakan gerakan yang digunakan saat perburuan.
Helaan napas lega pun keluar dari bibir Qelia ketika mendengar penjelasan dari anaknya. Dia merentangkan kedua tangan, lalu menarik Aksvar dan Vesko ke dalam pelukannya yang hangat dan penuh kasih sayang.
'Mereka berdua adalah tanggung jawabku! Sampai terjadi apa-apa, aku akan menyalahkan diriku sendiri!' batinnya dengan perasaan lega, tapi sedikit waspada.
Dia semakin mengeratkan pelukannya. Hingga tak sadar, kalau napas mereka yang berada dalam pelukannya semakin tercekat karena kuatnya tenaga yang dia berikan. Namun, Aksvar dan Vesko tak mengeluh.
Mereka berdua malah menikmatinya, dan membalas pelukan sang mama dengan limpahan kasih sayang yang tak bisa dihitung banyaknya.
"Jangan mengulangi hal itu lagi kalau tak berada dalam pengawasan Mama. Mama takut terjadi apa-apa dengan kalian berdua!" ungkap Qelia dengan nada khawatir dan lembut. Kemudian, dia melepaskan pelukannya dan menatap Aksvar juga Vesko dengan ekspresi serius.
"Berjanjilah pada Mama. Kalian tak akan mengulangi perburuan seperti itu lagi. Jika ingin berburu, Mama akan mengajarkan kalian cara agar tak langsung berhadapan dengan hewan buruan. Masih beruntung kalian tak bertemu hewan buas!" sambung Qelia tegas.
Mereka pun saling bertatapan dan menunduk ketika mendengar penegasan dari sang mama. Namun, di saat mendengar kata bahwa sang mama akan mengajarkan mereka cara berburu yang lebih aman. Keduanya serentak mengangkat kepala.
"Kami berjanji!" seru mereka menjawab secara bersamaan dengan semangat membara.
Sudut bibir Qelia pun mengukir senyum lega. Namun, bersamaan dengan itu. Suara perut kembali menggema dengan keras di dalam gubuk kecil mereka. Asalnya tak lain dan tak bukan adalah Qelia sendiri.
Xevanus yang sudah berhasil berhenti tertawa, kini kembali tertawa terbahak-bahak di alam bawah sadar.
Sementara Qelia, dia hanya bisa terkekeh agar suasana itu tak canggung untuknya. "Di mana rusa yang telah kalian buru? mama mau lihat!" Qelia mulai berdiri sambil menggendong dua bocah itu, dan melontarkan kalimat barusan.
Raut wajah keduanya pun berbinar. Walau sedikit khawatir akan keadaan sang mama yang mungkin tak akan kuat. Sebab baru bangun dari pingsannya dan menggendong mereka. "Emmm, Rusanya agak jauh Ma. Soalnya itu berat, biar kami yang ambilkan!" tawar Aksvar memasang raut khawatir.
Vesko yang juga sama khawatirnya pun mengangguk, sambil menyenderkan kepala pada bahu mama mereka. Sementara itu, Qelia yang baru akan membuka pintu gubuk langsung menghentikan kegiatannya.
Tak dipungkiri, ada rasa aneh dalam sudut hati ketika mendengar kalimat itu dari sang anak. Seolah-olah, hatinya digelitiki oleh ribuan kupu-kupu. Dia pun menghela napas pelan, karena melihat betapa overprotective-nya kedua bocah ini.
"jangan khawatir. Mama ini lebih kuat dari yang kalian bayangkan! Sekalian aja nih, Mama mau lihat hasil buruan pertama anak-anak Mama yang tampannya luar biasa ini!" tolak Qelia dengan nada bujukan yang sangat halus.
Tak hanya itu. Dia juga mengecup pipi Aksvar dan Vesko, sebagai bujukan agar keduanya tak khawatir. Namun, dia mencium bahu yang tak sedap saat mencium keduanya.
"Berapa lama kalian tak mandi?" tanya Qelia dengan nada yang cukup membuat kedua bocah itu menunduk.
"Semenjak terakhir kali, waktu Mama sangat pucat dan sekarat. Seperti ingin meninggalkan Aksvar sama Vesko berdua!" Vesko mengangkat suara dengan nada lirih sebagai jawaban.
Qelia tersentak ketika mendengarnya. Dia terlalu fokus pada perburuan dan berlatih bela diri setiap harinya, sampai lupa akan hal kecil seperti ini. Dia pun melanjutkan kegiatannya, membuka pintu gubuk dan melangkah keluar.
"Setelah makan, kita akan mandi di sungai!" tegas Qelia.
Nada itu membuat Aksvar dan Vesko tak berani membantah. Mereka hanya mengangguk, sebagai jawaban dan persetujuan atas kalimat sang mama yang tak ingin dibantah.
"Baik Ma," keduanya menjawab pelan dengan serentak, sambil mengangguk paham. Nada sang mama yang terdengar memerintah dan tak ingin dibantah sudah cukup membuat mereka bungkam. Mama mereka itu lembut, tapi tetap tegas. Bagaimana mereka mau membantah?
Melihat reaksi keduanya yang penurut. Qelia pun mengangguk. "Sekarang, kasih tau Mama di mana buruannya kalian simpan!" pinta Qelia dengan lembut.
Dia kembali mengecup pipi kedua putranya. Membuat mereka mengangguk dan mulai menceritakan tempatnya. Tak hanya itu, keduanya juga menjelaskan permulaan mereka menemukan goa.